BAB IV. Rencana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kegelapan menyelimuti dunia ini. Dunia yang penuh akan rasa sakit, penyesalan, dan penuh akan kehampaan. Ini, adalah Dunia Bawah. Dunianya para iblis.

Di tempat ini, berdiri kastil besar. Yang dibangun dengan bebatuan yang membara disekelilingnya. Dengan obor yang menyinari setiap koridor-koridor di kastil itu, dan pajangan-pajangan seperti tulang berulang dan tengkorak, serta berbagai senjata menambah kesan menyeramkan di dalamnya.

Seseorang dengan jubah hitam di tubuhnya, sedang berlutut di hadapan seseorang yang duduk di singgahsananya. Menatap orang tersebut dengan tatapan yang merendahkan.

"Tuanku, semua persiapan sudah saya siapkan. Dan saya sudah menemukan seorang tumbal, seperti yang tuan inginkan," ucap orang berjubah itu.

Seseorang di singgahsana itu masih terdiam. Jarinya ia ketuk-ketukkan pada lengan kursi singgahsananya. Tak lama kemudian, ia berkata, "Bagus. Kalau begitu, kita bisa menjalankan rencana kita sekarang," ucapnya dengan nada bicara yang penuh wibawa namun juga begitu mencekam bagi siapa yang mendengarnya.

Ia bangkit dari tempatnya. Lalu dengan lantang ia memanggil seseorang, "Thela, Conus!"

Dan seketika, dua orang yang memakai jubah yang sama dengan orang tadi muncul di hadapan lelaki tua itu dalam posisi berlutut.

"Ya, Tuan?"

"Kita sudah siap. Dan kalian tahu apa yang harus kalian lakukan," ucap lelaki itu. "Cepat pergi! Cari tumbal itu. Dan jadikan dia mainan kita!" perintahnya. Seringai kecil terulas di bibirnya.

Kedua orang yang masih berlutut itu ikut menyeringai saat mengerti apa yang di maksud oleh tuannya.

Setelah itu, mereka berdua menghilang dibalik bayangan yang datang menyelimuti mereka.

Lelaki itu berbalik, memunggungi orang berubah yang sudah bangkit dari posisi hormatnya.

"Kita akan menyelesaikan ini dengan cepat. Para malaikat itu, akan segera binasa."

'"...**..."'

Sementara itu, di Bumi, Veena yang baru saja terlelap itu, tetiba terbangun dengan perasaan yang mengganggunya.

Dadanya terasa sesak, pikirannya pun terasa dipenuhi sesuatu yang ia tak ketahui. Seperti bayang-bayang akan sesuatu yang akan terjadi. Dia merasa seperti suatu bayangan gelap nan pekat sedang mengerubungi dirinya saat ini.

Dan bayangan lain menyergap kepalanya lagi. Memberikan kilas bayangan yang membuat Veena bangkit dari tempat tidurnya dan menyambar jaket coklatnya.

"Gawat. Reiza ...." Ia mengambil ponsel di atas mejanya dan langsung menekan nomor yang akan di hubunginya.

Setelah nada sambung berakhir, suara seseorang terdengar di ujung sana.

"Halo?"

"Rheafen!" Veena langsung menyahut tanpa basa-basi. "Temui aku di Cafe dekat sekolah. Ajak Reiza dan Chalras juga. Ada yang harus kita bicarakan."

'"...**..."'

"Woaah ... akhirnya. Hari ini kelar juga," seru Raysa seraya meregangkan tubuhnya yang terasa kaku dan pegal karena duduk-berdiri seharian.

Reiza berdiri dan menyambar tas dan jaket hitamnya yang terselampir di kursi. Meninggalkan Raysa dengan buku dan lembaran-lembaran kertas yang masih berantakan di atas meja.

"Reiza! Tunggu! Bantu beresin ini dulu!" teriak Raysa.

"Bereskan saja sendiri. Itu kan tugas-tugasmu."

Suara pintu tertutup terdengar bersamaan Reiza yang menghilang di baliknya.

Reiza menghela nafas lega. Pada akhirnya, ia bisa keluar dari tempat itu. Rasanya ia sudah tidak kuat lagi dikelilingi oleh aroma buku yang berdebu karena sudah lama tidak dibuka dan dipinjam oleh para pengunjung perpustakaan.

"Akhir-akhir ini kau sering ke perpustakaan, ya?"

Reiza menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari samping kirinya. Rheafen berdiri bersandar pada tembok tepat di sebelah pintu perpustakaan.

Pakaian Rheafen sudah berganti dari seragam sekolah menjadi sebuah kaos lengan panjang warna hitam dan celana jeans biru panjang.

"Ini sudah hampir jam 8 malam. Dan kau masih di sini--di perpustakaan sekolah ini. Sedang apa?"

Reiza memejamkan matanya. Ia merasa tenaganya sudah habis hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan yang di lontarkan Rheafen. "Gadis itu yang memaksaku," jawabnya singkat.

"Rei, Veena menyuruh kita untuk berkumpul di Cafe sebelah."

Reiza memijat pelan keningnya. Lalu dengan malas bertanya, "Kenapa?"

Rheafen mengendikkan sebelah bahunya. "Katanya sih, ada yang mau ia bicarakan," ucapnya. "Dari nada bicarakan di telpon yang kebenaran panik dan terburu-buru, sepertinya itu hal penting. Benar-benar penting."

Reiza lagi-lagi menghembuskan nafas berat. Rasanya ia benar-benar malas untuk pergi dengan Rheafen sekarang. Entah kenapa, tapi ia merasa tenaganya seperti sudah habis. Padahal hanya melakukan tugas mendata di perpustakaan tadi biasanya tidak menguras banyak tenaga di bandingkan olahraga lari lebih dari sepuluh keliling.

Rheafen menyadari ada yang tidak biasa di diri Reiza. Stamina Reiza seperti yang terkuras habis saat ini. "Rei, kau tak apa?" tanyanya khawatir.

Reiza menggeleng pelan. "Aku tak apa," ucapnya pelan.

Rheafen masih memperhatikan Reiza. Ia tidak benar-benar yakin kalau Reiza sedang dalam kondisi fit hari ini. Dan selintas pikiran mucul dalam pikirannya. Mungkin saja hal itu menjadi penyebab keadaan Reiza begini bukan?

Rheafen ingin bertanya padanya. Ia membuka mulutnya. Namun, seakan-akan kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Rheafen tak yakin bertanya keadaan Reiza saat ini bukan ide yang bagus. Dan akhirnya, Rheafen mengatupkan kembali mulutnya.

"Kalau begitu ayo. Mereka mungkin sudah menunggu kita di sana," ajak Reiza. Ia memakai jaket hitamnya dan berjalan melalui Rheafen.

Rheafen pun mengangguk dan mengejar di belakang Reiza.

"Apa yang akan di bicarakan Veena soal hal ini, ya?"

'"...**..."'

Sesampainya di Cafe yang di tentukan, mereka di sambut oleh harum khas dari Cafe ini. Aroma kopi yang menguar begitu enak. Alunan musik yang di putar di sini pun ikut menyambut mereka. Dan hangatnya tempat ini, seakan-akan membuat mereka enggan lagi melewati pintu di belakang mereka untuk pulang ke rumah.

Rheafen mengedarkan pandangannya ke sekeliling Cafe. Hanya untuk mencari sesosok pemuda berambut hitam yang duduk di bangku yang paling dekat dengan jendela Cafe.

"Sejak kapan kau di sini, Chalras?" sapa Rheafen seraya menarik kursi di hadapannya. Reiza pun melakukan hal yang sama.

"Hm? Sejak tadi. Begitu kau telpon, aku langsung datang kemari," jawabnya.

Tak lama kemudian, seorang pelayan mendatangi mereka. Gadis yang cukup manis dengan balutan seragam kerjanya yang khas. Kemeja putih dengan rompi coklat muda dan dasi kupu-kupu warna hitam. Rok spannya pun senada dengan warna rompinya.

Rambut hitamnya digelung di atas. Penampilan yang terlihat dewasa, namun memancarkan kesan manis di mata pemuda bersurai pirang itu.

Rheafen menatapnya dengan tatapan menggoda, yang biasa ia lakukan pada gadis lain.

"Wah... ternyata ada juga gadis manis yang bekerja di sini. Kau baru di sini ya? Siapa namamu, Manis?" godanya.

Gadis tadi hanya tersipu malu. Papan kecil dengan kertas di atasnya yang di bawanya tadi ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Dan, saat ia hendak menjawab pertanyaan Rheafen, Reiza sudah terlebih dulu memotongnya. "Ar--"

"Kau tidak perlu menjawab pertanyaan orang ini, Nona," ucapnya. "Aku pesan kopi espresso," pesannya.

"Aku juga ya, Manis."Rheafen ikut menyahut dengan nada bicara yang dimanis-maniskan."Satu Coffee Latte panas. Tapi jangan terlalu manis, ya. Nanti manisnya wajahmu akan kalah dengan manisnya kopi yang kau bu--Aduh!"

Reiza menyikut perut Rheafen, membuat kata-katanya terpotong sebelum sempat ia selesaikan. Dan gadis tadi, begitu ia selesai menuliskan pesanan dua pemuda itu, ia langsung berlari menuju meja kasir untuk menyampaikan pesanannya. Yang tentu saja, dengan wajah yang masih memerahhh karena kata-kata manis Rheafen tadi.

"Sebaiknya kau mulai berhenti menggoda gadis seperti itu, Rheafen," tegur Chalras.

"Orang ini memang nggak ada kapoknya, ya?" ucap Reiza geram.

Rheafen hanya tertawa kecil. Pemuda itu memang sering menggoda gadis seperti tadi. Menurutnya, melihat gadis yang berlari dan tersipu malu karena dirinya, terlihat menarik di matanya, sekaligus terlihat lucu.

Bahkan, karena ulahnya itu sendiri, ia sering didatangi para gadis yang memang sudah terbawa perasaan olehnya. Dan akhirnya, ia pun dikelilingi oleh Gadis-gadis yang jatuh hati padanya.

Jujur, walaupun ia tahu itu semua karena ulahnya, tetap saja dikelilingi oleh gadis-gadis seperti itu membuatnya risih.

"Hehe... agak... sedikit sulit merubah kebiasaan ini," ucapnya. Dan itu membuatnya mendapat satu tinjuan dari kepalan tangan Reiza.

"Ngomong-ngomong, dimana Veena? Dia yang menyuruh kita ke mari tapi dia sendiri yang terlambat." Reiza kembali geram.

"Mungkin ada kendala di jalan. Atau mungkin dia harus kemana dulu, gitu?" Chalras menyahut.

"Sabar dulu lah Rei. Kau tahu, kan? Orang sabar itu pasti beruntung," ucap Reiza dengan nada santainya. "Lebih baik kita menikmati dulu hangatnya kopi di sini. Nikmati dulu aja suasana yang nyaman ini."

Reiza menyeruput espressonya yang sudah diterimanya beberapa menit lalu. Espresso itu sudah tidak terlalu panas. Kehangatan dari kopi hitam itu langsung terasa di tenggorokannya. Rasa pahit-manisnya pun terasa pas di lidahnya. Begitu nikmat.

Tiba-tiba sesuatu bergetar dari saku jaketnya. Ia merogohnya dan melihat siapa yang menghubunginya.

From : Unknown Number
Subject : Tolong.

Hai Reiza! Maaf menganggumu. Tapi, bolehkah aku meminta tolongmu sekali lagi? Kumohon. Aku sedang di toko buku sekarang. Dan aku tidak bisa menemukan taksi. Apa kau bisa menjemputku? Jalan tak apa. Temani saja aku pulang.

Raysa.

"Gadis itu...," gumamnya Reiza dengan kegeraman yang kembali memuncak.

Rheafen yang penasaran dengan apa yang dibaca Reiza bertanya sembari melirik HP yang digenggam Reiza. "Siapa, Rei?"

"Gadis itu, Raysa. Dia menyuruhku untuk menjemputnya." ia meletakkan HP-nya di atas meja dengan kesal. "Ya ampun, apa masih belum cukup gadis itu membuatku repot?"

Reiza yang merasa mendapat tatapan keseriusan dari dua orang yang duduk di dekatnya itu, mendongakkan kepalanya."Apa?"

"Reiza, kau masih ingat, kan? Batas kedekatan hubungan kita dengan manusia?" tanya Chalras pelan dengan suara khasnya yang lembut.

Reiza mengerutkan darinya. "Apa maksudmu? Tentu saja aku masih ingat."

"Kita harus menjaga jarak dengan mereka. Kita tidak boleh membiarkan mereka terlalu dekat dengan dunia kita," ujar Chalras. "Identitas kita harus dijaga, Reiza. Kau tahu kan, kalau identitas kita terbongkar akan seperti apa jadinya?"

"Tunggu, tunggu. Kenapa kalian tiba-tiba membahas hal ini? Apa kalian khawatir dengan keadaanku... karena gadis itu?" Reiza memandang mereka penuh keanehan. Mereka tiba-tiba saja membahas hal-hal soal aturan batas malaikat dan manusia. Ada apa sebenarnya?

Sementara Chalras masih menatapnya sendu. Pancaran kekhawatiran begitu kentara di iris navynya. Baru ia mau membuka mulutnya untuk berucap, derap langkah kaki yang terburu-buru terdengar mengarah ke meja mereka.

"Reiza!" teriaknya lantang bersamaan dengan suara gebrakan meja yang terdengar keras saat sosok yang baru datang itu menghampiri mereka. Membuat seluruh pasang mata tertuju pada mereka.

"Ssstt..." Rheafen menempelkan telunjuknya pada mulutnya yang sedikit dicondongkan itu. "Kau ini kenapa, Veena?" bisiknya.

Gadis itu masih berusaha mengatur nafasnya yang memburu. Mulutnya pengap-pengap berusaha mengembalikan oksigen yang sudah habis dikeluarkannya saat berlari dengan jarak dari rumah kemari yang lumayan jauh.

Ia berusaha berucap. Mulutnya terbuka. "Reiza...," ucapnya terengah-engah. "Tolong... jangan jemput gadis itu."

Reiza menyatukan alisnya. Terkejut bagaimana Veena dapat mengetahui isi pesan yang dikirim dari Raysa.

Veena mendongakkan kepalanya yang tertunduk. Menatap ketiga pemuda itu--terutama pada Reiza--dengan tatapan serius. Mereka yang mendapatkan tatapan itu, dapat langsung mengetahui ada sesuatu yang buruk akan--sedang--terjadi malam ini.

"Aku dapat firasat buruk," ucap Veena. "Hawa gelap mulai terasa lagi di Bumi. Kali ini lebih pekat dari sebelumnya. Mereka sudah mulai bertindak."

Iris maroonnya makin menatap tajam Reiza. Dan kata-kata yang dilontarkannya kemudian, membuat mata Reiza membelalak.

"A...Apa maksudmu?" tanya Reiza dengan suara yang sedikit bergetar.

"Reiza. Para iblis membuat suatu rencana. Aku belum tahu itu apa. Yang jelas, Gadis itu, Raysa, dia sudah ditandai oleh para iblis. Dan sepertinya malam ini, mereka akan menjalankan rencana mereka," ucap Veena.

"Raysa akan menjadi tumbal dari rencana mereka."

"'...**...'"

==BAB 4--DONE==

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro