The Round Hat Mystery

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Scene 1: Boncel

Boncel menghentikan langkahnya. Ia berdiri merapat di sisi utara dinding minimarket Kampretmart dengan perasaan was-was. Peluh di dadanya membasahi bajunya yang lusuh. Tangan kanannya tampak tengah menggenggam sebuah benda elektronik berbentuk persegi panjang. Lutut dan sikunya lecet. Aroma aspal, debu, keringat, dan ikan asin hasil mengutil di restoran milik Bu Romli tadi siang saling bercampur membentuk sinergi di tubuh dan kepala botaknya.

Di belakang Boncel, seorang gadis cantik berpakaian kemeja belang zebra dan celana pensil ajaib Spongebob sedang berlari mengejarnya. Dilihat dari ekspresi mukanya, ia jelas-jelas tidak bermaksud untuk memberi Boncel sebuah kecupan apalagi ingin mengangkatnya menjadi selingkuhannya. Ia juga bukan kakak Boncel yang mengejar Boncel karena telah mencuri pakaian dalam berharganya. Tidak, ia sama sekali tidak tahu siapa Boncel. Ia tidak mengejar Boncel karena kemauannya sendiri. Ia mengejar Boncel karena ia memang sudah seharusnya mengejar anak kecil kurus nan dekil itu.

*****

Scene 2: Kosim

Lampu-lampu jalan sudah mulai dinyalakan. Kain-kain terpal pedagang kaki lima sudah mulai dinaikkan. Lalu lalang kendaraan di jalan utama semakin ramai oleh mobil dan motor orang-orang yang baru pulang kerja atau sekadar jalan-jalan, pergi ke taman untuk berpacaran — atau mengganggu orang pacaran. Kampus-kampus mulai menutup kegiatan perkuliahannya. Angkot-angkot semakin jarang terlihat berlalu lalang di jalan raya. Gerobak-gerobak jajanan putu, klepon, keripik singkong, molen, martabak dan sebagainya semakin ramai memadati tepi-tepi jalan hingga di depan pasar dan ruko-ruko; menggantikan peran pedagang sayur mayur dan bahan-bahan makanan yang sudah mengemasi barang dagangannya dan menutup lapaknya.

Pak Kosim baru saja keluar dari pasar. Ia tak membawa apa-apa kecuali tas hitam besar yang ia jinjing di tangan kanannya. Ia berjalan dengan perlahan, menyamakan irama langkah sepatunya dengan denyut jantungnya. Jika ada yang ia kenal di tepi jalan itu, ia pasti akan tersenyum ramah dan menyapanya. Jika ada yang melihat dan mengenalnya, orang itu pasti langsung tahu bahwa ia adalah Pak Kosim, penjual topi legendaris yang terkenal dengan topi bundarnya.

Tapi tak ada satupun orang di situ yang tahu siapa Pak Kosim, dan ia pun tak pernah sekalipun berpikir bahwa ada orang yang mengenalnya atau ingin berkenalan dengannya. Ia juga tak berpikir akan ada yang membeli topinya lagi, sebab saat ini ia tak terlihat seperti penjual topi. Di pandangan orang-orang yang berpapasan dengannya di tepi jalan itu, ia hanyalah orang tua berpakaian batik, bercelana panjang, dengan topi bundar di kepalanya.

Tanpa penjelasan darinya, takkan ada yang menyadari bahwa ia adalah seorang penjual topi. Tas besar yang ia jinjing dapat diartikan bermacam-macam. Bisa saja ia adalah seorang perantau yang baru turun dari terminal, atau sales asuransi jiwa, atau seorang bapak yang baru diusir dari rumahnya karena ketahuan selingkuh oleh istrinya.

Ia tak sepandai detektif dalam menganalisa. Ia juga bukan pemimpi. Ia tidak sedang membayangkan bertemu dengan dua orang berpakaian necis, berkacamata hitam, berpakaian hitam-hitam, bersepatu hitam, dan berkulit hitam. Jangankan membayangkan akan bertemu dengan mereka, membayangkan bayangannya sendiri saja tak bisa tanpa bantuan kaca. Tidak, dua orang yang ia temui benar-benar ada dan nyata. Mereka bukan bayangan semata. Jika dilihat dari penampilannya, mereka berdua sepertinya bukan orang baik-baik. Mereka pasti orang jahat. Ya, mereka jahat.

(Catatan: kulit mereka terlihat hitam karena lampu jalan tempat mereka bertemu dengan Pak Kosim masih rusak dan belum diperbaiki. Sebenarnya warna kulit mereka sawo matang. Kamu bisa abaikan bagian ini.)

Salah seorang dari mereka membawa tas hitam besar, mirip seperti tas hitam milik Pak Kosim. Wajah mereka hampir tak bisa dikenali, begitu samar seperti wajah pedagang tahu boraks di acara investigasi. Mereka berdua tampaknya tidak menghentikan langkah Pak Kosim untuk membeli topi. Mereka kelihatan seperti dua orang algojo yang dikirim pemerintah daerah untuk mematahkan leher Pak Kosim karena terlambat membayar tagihan listrik dan air bulan Oktober dan November lalu.

Pak Kosim meletakkan tasnya di atas tanah. Ia memasang kuda-kuda sambil mencoba mengingat-ingat ilmu silat yang ia pelajari di puncak Gunung Gede — tempat ia dan kakak seperguruannya, Wiro Sableng, menimba ilmu dengan eyang Sinto Gendeng. Sayangnya, ia gagal mengingatnya.

Pria yang membawa tas hitam besar pun turut meletakkan tasnya di atas tanah. Ia mengacungkan kedua jarinya ke atas dan berkata,

"Pak, beli topi dua."

"Lho? Kamu kok tahu kalau saya penjual topi?" tanya Pak Kosim.

"Kan Bapak sendiri yang teriak-teriak, 'Topi! Topi!' begitu tadi," ujar seseorang yang lainnya.

Pak Kosim terdiam sejenak. Untuk pertama kalinya sejak ia berjalan dari pasar hingga sampai di jalan lengang ini, ia menggunakan otaknya untuk berpikir. Ia masih tak yakin apakah ia memang mengucapkan apa yang orang di depannya ucapkan barusan. Ia tak yakin, lebih tepatnya tak ingat. Ia tak pernah berpikir bahwa apa yang ia lakukan memang pernah ada dalam ingatannya. Dengan kata lain, dia pikun.

"Ya sudah. Silahkan pilih," ujar Pak Kosim sambil membuka tas besarnya.

Kedua calon pembeli itu mengendap-endap seolah-olah mereka tengah melakukan transaksi barang-barang terlarang — seperti narkoba dan cabe-cabean. Setelah mengambil topi yang mereka inginkan, mereka berdua pun segera merogoh kocek dan menanyakan kepada Pak Kosim berapa harganya. Transaksi berlangsung cepat. Kedua pembeli itu sedang buru-buru tampaknya.

Tiba-tiba datang seorang anak kecil kurus dekil menerobos ke tengah-tengah mereka bertiga. Ia menabrak salah satu dari kedua pembeli misterius itu. Dua buah benda berbentuk persegi panjang terjatuh. Anak kecil itu lalu jatuh tersandung oleh tas Pak Kosim yang baru saja ditutup rapat.

"Ampun, Om. Ampun, Mbah," kata anak itu dengan nafas terengah-engah. Ia segera mengambil barang yang terjatuh barusan. Tak lama kemudian ia lari terbirit-birit seperti sedang dikejar-kejar setan.

Pak Kosim dan kedua orang tak dikenal itu pun berpisah. Semakin lama Pak Kosim berjalan, semakin jauh ia dari hiruk pikuk jalanan dan pertokoan. Rumahnya ada di Gang Merpati; gang kecil yang mulutnya diapit oleh dua dinding apartemen mewah milik pengusaha dan pejabat pemerintah.

Makin lama jalannya makin melambat, seolah arwah yang bersemayam di parit-parit gang turut menyeret-nyeret kedua kakinya. Wajahnya tampak seperti orang yang tengah memikirkan suatu masalah berat yang membebani hidupnya. Tapi tidak, dia tidak memiliki satupun masalah yang membuatnya kesulitan melangkah menuju ke rumahnya. Ia juga tak sedang memikirkan nasib dan masa depan anak dan cucunya, atau sedang bertikai dengan istrinya. Tak ada satupun hal dalam pikirannya yang membuatnya ragu-ragu untuk pulang ke rumahnya.

Justru sebaliknya, ia ingin cepat-cepat mengetuk pintu rumahnya dan berjumpa dengan istrinya. Ia ingin kembali menikmati teh buatan istrinya — seperti hari-hari biasanya — sambil menonton televisi layar cembung di ruang keluarga. Ia berharap istrinya memasak pecel lele kesukaannya, atau pecak ikan tongkol, atau keduanya, sambil membayangkan yang mana yang lebih enak apabila disantap di malam yang tenang dan tenteram seperti malam ini.

Ia bukan orang yang sok romantis dan sok puitis, ia tak pernah mengatakan I love you pada istrinya secara terang-terangan, sebab, ia adalah ahlinya dalam menyatakan cinta tanpa harus mengatakannya. Ia tak membawa kado apa-apa untuk istrinya kecuali dirinya yang lelah dan bau keringat setelah seharian berpeluh-peluh menjajakan topi. Yang ia inginkan hari itu, saat itu, di bibir Gang Merpati yang tak dapat dilewati oleh dua unit sepeda motor itu, adalah tiba di rumah. Pulang. Sebuah keinginan sederhana dari seorang pria tua yang sayangnya, tak dikabulkan oleh Yang Mahakuasa.

Pak Kosim takkan pulang ke rumah hari itu. Ia takkan menikmati teh dan makan pecel lele malam itu. Di tengah gang kecil yang lengang itu, ia ambruk. Ia tak punya riwayat penyakit apapun. Walaupun sudah berumur, kakinya masih cukup kuat untuk menopang berat badannya. Tapi ia tetap tak dapat berdiri lagi. Seandainya maut punya kaki, Pak Kosim pasti sudah mendengar langkah kakinya sejak mulai masuk mulut gang. Seandainya musibah punya mulut, Pak Kosim pasti segera lari terbirit-birit meninggalkan tas besarnya sejak tadi setelah mendengar musibah memanggil-manggil namanya. Tapi tidak, takdir tidak akan membocorkan rencana Tuhan jika Tuhan tidak menghendaki itu terjadi. Begitupun halnya dengan saat ini. Detik ini, Tuhan telah memerintahkan sang takdir untuk menghancurkan kedua kaki dan juga harapan kecilnya.

*****

Scene 3: Aku

Paling senang kalau menyendiri di tempat yang sepi. Bisa bersantai, tidur nyenyak, atau bahkan bisa ngakak-ngakak sendiri tanpa ada yang peduli. Paling enak kalau berduaan di tempat yang sepi. Apalagi kalau sama pacar atau istri. Tapi sayangnya itu semua hanya bisa terjadi dalam mimpi. Terlebih lagi aku tidak bisa tidur dan bermimpi sebab saat ini aku sedang mengemban sebuah tugas — tugas yang suci.

Temanku sudah menunggu di teras rumahku sejak lima menit yang lalu — menungguku bersolek dan memakai baju. Sebelum aku meninggalkan kamar kuperiksa barang-barang yang hendak kubawa barangkali masih ada yang terlupa. Kemeja? Sudah. Jas hitam? Sudah. Dasi? Sudah. Celana? Sudah. Rompi? Sudah. Sepatu? Sudah. Tas beserta isinya? Sudah. Topeng? Sudah dikenakan di muka. Muka sendiri? Sudah dikantongi di saku celana. Sepertinya sudah semua, pikirku. Sekarang saatnya pergi. Kemana? Ke kamar mandi.

"Lho? Mandi saja belum kok sudah berdandan rapi?" temanku bertanya.

"Hanya bersiap-siap."

"Bersiap untuk?"

"Masuk rumah sakit jiwa."

Temanku langsung mengerti. Tugas suci kami bukanlah tugas yang bisa dilakukan oleh orang yang punya otak waras. Butuh orang yang lebih waras daripada sekedar orang waras untuk melakukan tugas mulia ini. Dan untuk bisa menjadi orang yang lebih waras daripada orang waras, syaratnya hanya satu: mencicipi rasanya menjadi orang gila, menuju tak terbatas, dan melampauinya. Temanku sendiri yang mengajarkannya padaku. Dan berkat dia, aku sekarang menjadi pribadi yang waras seutuhnya.

Selepas mandi, dengan bermodalkan nyali, sedikit uang, tas travel hitam dan setumpuk kewarasan yang tak pernah padam, kami berdua segera berangkat ke gedung kedutaan besar negara Lamuria.

Sesampainya di depan Gang Merpati kami berdua baru menyadari bahwa ada sesuatu yang kami telah lupakan sedari tadi.

Kami lupa membawa topi.

Aku pernah berkata pada temanku, jangan bunuh diri kalau belum memakai topi. Badan boleh telanjang, tapi kepala harus tetap terjaga kehormatannya. Ia sempat bingung pada awalnya. Tapi kataku, demi mencapai kewarasan sejati, ia harus melakukannya tanpa banyak bertanya. Ia pun cukup membalasnya dengan mengangguk-angguk saja. Seolah-olah ia takut pendapat pribadinya malah merusak persahabatannya denganku.

Kami pun bingung. Kami sudah sejauh ini tapi lupa membawa topi. Mau kembali ke rumah, tapi tanggung. Mau tetap melanjutkan perjalanan, tapi rasanya kurang afdol kalau belum memakai topi.

"Topi! Topi!"

Awalnya aku tak percaya dengan pendengaranku. Seorang penjual topi malam-malam begini? Sepertinya ideologi kewarasan temanku sudah merasuk ke dalam sanubari orang-orang di sini. Tapi sudahlah. Apa yang terjadi sudah sepatutnya disyukuri. Aku hanya bisa berharap bahwa pak tua yang membawa tas besar itu benar-benar seorang penjual topi—bukan pembunuh berdarah dingin yang berpura-pura menjadi seorang penjual topi.

Fyuh! Ternyata pak tua itu benar-benar penjual topi. Aku sempat khawatir jangan-jangan ia akan membunuh kami, memutilasi kami, lalu memasukkan potongan-potongan mayat kami ke dalam tas besarnya untuk dimasak dan dimakan bersama anak dan istrinya. Temanku membeli topi bisbol berwarna cokelat tua. Sedangkan aku membeli topi kupluk berwarna merah muda.

Tiba-tiba ada seorang anak berkepala botak tanpa topi menabrak temanku sehingga menjatuhkan benda sakti beserta topi yang baru saja ia beli.

"Dasar bocah sableng, kepala botak dibiarkan telanjang tak mengenakan topi. Tidak tahu malu," ujarku sambil mengambil salah satu benda yang terjatuh itu.

Kami bergegas pergi. Semoga belum terlambat, ujarku dalam hati. Asal kamu tahu, kami berdua hendak menghadiri konferensi. Sekarang sudah pukul tujuh malam, konferensi dimulai lima menit lagi. Jarak antara Gang Merpati menuju kedutaan besar Lamuria jika ditaksir sekitar dua ratus lima puluh meter. Berapa meter per detik kecepatan langkah yang kami butuhkan untuk tiba di sana agar kami tidak terlambat?

Aku dan temanku sudah berlari secepat yang kami bisa, tapi kami tetap tak dapat menyaingi laju lari seorang gadis cantik yang baru saja berlari menyalip kami. Rambut panjangnya dikucir kuda. Bajunya belang-belang seperti zebra. Aku yakin kalau bukan atlet lari, dia pasti pacar seorang detektif atau polisi. Atau mungkin seorang kriminal yang baru kabur dari penjara karena kasus korupsi daging babi.

"Copet! Copet!"

"Itu copetnya! Mereka berdua pasti copetnya!"

Ada suara teriakan massa yang marah-marah di belakang kami. Mereka sepertinya butuh minum susu Mbok Darmi.

"Tunggu, kalian salah paham! Kami bukan pencopet!" teriakku membela diri. Jangan-jangan yang mereka maksud cewek yang tadi.

Tapi mereka malah mengepung dan melingkari kami.

"Bohong! Mana ada maling yang mau ngaku!" seru seorang pemuda hitam kurus jelek jerawatan di depanku.

"Betul! Kalau kalian nggak salah kenapa kalian lari?" tanya seorang bapak-bapak yang berkumis mirip kumis Tukul Arwana.

"Kami mau menghadiri konferensi!" bentak temanku tak kalah ngotot. "Kami takut telat!"

"Hajar saja mereka ramai-ramai!"

Percuma. Mereka tak mendengarkan ucapan kami. Kalau begini terus kami bisa mati babak belur sebelum mencapai tujuan mulia kami. Aku memutar otak hingga akhirnya mendapatkan ide cemerlang. Kulemparkan tas yang kubawa kepada kerumunan yang hendak menghajar kami. Aku lalu mengangkat tangan tinggi-tinggi.

"Tas itu berisi bom rakitan berdaya ledak tinggi. Di tangan saya ini adalah pemicunya. jika kalian berani macam-macam dengan kami, maka jangan harap kalian bisa pulang dengan kepala dan leher tersambung!"

*****

Scene 4: Nara

Seorang laki-laki muda dengan tinggi badan sekitar 170 sentimeter baru saja melewati pintu rumah sakit tempat Pak Kosim dirawat. Dadanya bidang, matanya sayu, wajahnya tirus, kulitnya gelap eksotis. Sekilas, orang pasti akan mengira dia perempuan karena rambutnya yang panjang dan dikucir kuda. Hal lain yang mencolok darinya adalah pakaiannya. Ia mengenakan jas cokelat dan kemeja hitam dengan dasi putih panjang bermotif topi dan terompet tahun baru. Kedua tangannya berbalut sarung tangan hitam sementara kedua kakinya mengenakan celana hitam dan sepatu boots coklat.

Kedatangannya langsung disambut oleh seorang pria berkumis lebat yang mengenakan seragam polisi. Mereka berdua lalu duduk di kursi panjang yang letaknya agak jauh dari depan ruang unit gawat darurat, demi menghindari pertikaian antara keluarga Pak Kosim dengan keluarga pejabat pemerintah yang sedang berlangsung di sana.

"Waktu yang tidak tepat," kata Nara, pemuda berkulit gelap itu.

"Ya, waktu yang tidak tepat bagi keluarga Pak Kosim," timpal sang pria berkumis lebat. "Mereka pasti terpukul sekali mengetahui pria tua itu menjadi korban ledakan. Apalagi ledakannya berada tepat di gang menuju ke rumahnya. Beruntung hanya sebagian kecil bom yang meledak sehingga nyawa Pak Kosim masih dapat terselamatkan."

"Bukan itu yang saya maksud, Inspektur Hendrik," ujar si pemuda. "Saya sedang menunggu sms dari pacar saya ketika Anda tiba-tiba menghubungi saya. Biasanya dia sudah selesai kuliah pada jam-jam ini. Jika tidak karena Anda, sekarang saya pasti sudah berkencan dengan pacar saya."

Pria berkumis itu mencibir. "Dasar anak muda. Di saat-saat seperti ini masih sempat-sempatnya memikirkan pacar."

"Daripada Anda, umur sudah hampir kepala empat tapi masih jomblo."

Inspektur Hendrik kehabisan kata-kata untuk membalas. Nara menutup mulutnya menahan tawa.

"Oke, oke, kesampingkan soal itu," ujar Inspektur Hendrik mencoba mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana pendapatmu?"

"Pacar saya? Dia cantik, cerdas, pengertian."

"Bukan itu yang saya maksud! Huh," ucap Inspektur Hendrik sembari mengatur nafas menahan emosi. "Saya tidak peduli dengan pacar kamu. Yang saya pedulikan sekarang hanya kasus ledakan misterius itu! Bisakah kamu serius sedikit?"

Nara tertawa tanpa kehilangan ketenangannya. "Anda terlalu kaku. Seharusnya Anda lebih menikmati hidup Anda dan pergi piknik sekali-sekali." Nara melongok ke arah ruang UGD, tempat yang didatangi Inspektur Hendrik sebelum bertemu dengan Nara. "Ada ribut-ribut apa di sana?"

"Kamu tidak akan suka berada di sana," sahut Inspektur Hendrik. "Pejabat-pejabat bodoh itu. Mereka menuduh keluarga Pak Kosim bersekongkol dengan teroris untuk meledakkan apartemen mereka. Membuat kasus ini semakin rumit saja. Padahal apartemen mereka hanya lecet sedikit gara-gara ledakan itu. Dasar orang-orang sok penting dan sok tahu."

Nara tersenyum. "Bagaimana dengan Pak Kosim?"

"Masih dalam perawatan dokter. Tidak boleh diganggu. Tapi setahu saya, kedua kakinya hancur sampai ke paha dan telinga kirinya tuli permanen. Tubuhnya mengalami luka bakar walaupun tidak begitu serius. Benar-benar keajaiban beliau bisa bertahan dari ledakan sedekat itu. Bahkan Pak Kosim masih bisa berbicara walau sedikit."

"Anda mendengar Pak Kosim mengatakan sesuatu?"

"Bukan sesuatu yang penting. Sebelum diperiksa, Pak Kosim sudah saya coba ajak bicara berkali-kali. Tapi jawabannya selalu sama, 'Mana topi saya? Topi saya mana?'. Bisa gila saya lama-lama kalau terus-terusan bicara dengan orang tua itu."

"Ah!" Tiba-tiba mata sayu Nara menyala-nyala. "Apa Anda sempat menanyakan bentuk topinya seperti apa?"

"Tidak."

"Seharusnya Anda menanyakannya," ujar Nara menyayangkan.

"Lagipula apa hubungannya topi dengan kasus ini?"

"Lho? Kok malah tanya ke saya? Bukannya Pak Kosim itu penjual topi?"

Inspektur Hendrik mengernyitkan dahi. Ia merasa tidak nyambung dengan apa yang Nara bicarakan. "Memangnya kenapa kalau Pak Kosim itu penjual topi?"

"Wajar bagi seorang penjual topi menanyakan di mana topinya. Pertanyaannya, di mana topinya?"

"Apa itu? Semacam permainan kata-kata?" tanya Inspektur Hendrik tak mengerti.

"Hanya logika sederhana, Pak Hendrik. Jika Anda saja tidak memahami hal sesepele itu, bagaimana mungkin Anda bisa lulus sekolah dasar?"

"Saya tahu itu. Yang saya tanyakan, apa hubungan topi dengan kasus ini?"

"Anda sudah melakukan olah TKP 'kan?"

"Ya, Tapi saya sama sekali tidak menemukan topi."

"Memangnya di mana Anda mencari?"

"Gang Merpati."

"Hanya Gang Merpati?"

"Ya."

"Pak Kosim berjualan di Pasar Tanah Terlantar, menempuh 500 meter perjalanan dari pasar hingga ke rumahnya, tapi Anda hanya mencari di Gang Merpati, gang kecil yang jaraknya hanya satu berbanding lima puluh dari total jarak yang ditempuh Pak Kosim? Apa Anda benar-benar serius ingin memecahkan misteri ini?"

"Hal itu mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam penyelidikan," ujar Inspektur Hendrik. "Tapi tas berisi bom rakitan itu ada di Gang Merpati. Tentu saja saya lebih memprioritaskan Gang Merpati daripada area di luar itu. Lagipula kita tidak tahu persis jalan mana saja yang ditempuh oleh Pak Kosim saat berjalan menuju ke rumahnya."

"Tidak tahu persis, huh?" kata Nara sambil tersenyum sinis. "Anda punya banyak anak buah, punya banyak alat penyelidikan, tapi mencari tahu asal bom rakitan saja harus menghubungi saya. Saya hanya pekerja swasta, Pak. Saya tidak punya alat-alat canggih seperti yang Anda punya."

"Ya ya, saya sudah cukup banyak menerima sindiran dari kamu hari ini," sahut Inspektur Hendrik sebelum Nara menyindirnya lebih dalam lagi. "Lalu bagaimana kasus ini jika dilihat dari sudut pandangmu?"

Nara merenggangkan otot-otot lengannya dan mulai berkata, "Yang jelas, peristiwa ini tidak semata-mata disebabkan oleh satu jalur peristiwa, melainkan disebabkan oleh beberapa jalur peristiwa. Anggap Pak Kosim adalah vektor x, sedangkan pemilik tas berisi bom rakitan itu adalah vektor y. Kedua vektor tersebut sama-sama membawa beban, yaitu tas berisi bom dan tas berisi barang dagangan Pak Kosim. Kita bisa mengabaikan rute mana saja yang mereka lalui, sebab, yang pasti mereka pernah saling berpotongan atau bersinggungan paling tidak sekali. Titik perpotongan itu tidak mungkin jauh dari rumah Pak Kosim, sebab apabila terlalu jauh, Pak Kosim tentu dapat menyadari keanehan dari tas yang ia bawa. Titik perpotongan tersebut kemungkinan besar berada di tempat yang gelap — seperti jalan tanpa lampu atau jalan yang berlampu tapi kebetulan lampunya mati. Hal itu dapat sedikit menjelaskan mengapa tas mereka bisa tertukar."

"Sedikit menjelaskan. Saya masih ragu dengan hal itu," ujar Inspektur Hendrik menggarisbawahi pernyataan Nara. "Saya bisa menerima bahwa Pak Kosim dan teroris itu mungkin pernah saling berinteraksi. Tapi berdasarkan ucapanmu barusan, saya belum menemukan alasan yang cukup logis untuk menjelaskan mengapa tas mereka bisa tertukar."

"Ya, saya mengerti apa yang sedang Anda pikirkan. Jika vektor yang berperan hanya Pak Kosim dan teroris itu, teori saya dapat dengan mudah dibantah. Tentu saja saya tidak akan mengatakan hal semacam itu jika saya sendiri tidak yakin dengan ucapan saya sendiri. Saya berani mengatakan demikian karena saya yakin ada resultan gaya dari luar yang mengacaukan interaksi antara kedua vektor tersebut. Ada sebuah kejadian yang mengakibatkan mereka menjatuhkan barang-barang dan akhirnya salah mengambil barang. Saya bisa menyebutnya dengan vektor z."

"Apa yang membuatmu begitu yakin?" tanya Inspektur Hendrik masih ragu-ragu.

"Pacar saya."

"Hah?"

"Saya baru mendapat sms dari pacar saya."

"Apa hubungannya dengan ucapanmu tadi?"

"Tidak ada. Saya hanya berkata bahwa saya baru mendapat sms dari pacar saya. Saya baru sadar smsnya sudah masuk sejak lima belas menit yang lalu."

"Kamu benar-benar senang mempermainkan saya ya," ujar Inspektur Hendrik sambil menahan kesal. "Oke, kembali ke topik. Sekarang apa yang harus saya lakukan? Apa saya harus kembali ke lapangan untuk menelusuri dari tempat Pak Kosim bekerja sampai ke rumahnya seperti yang kamu katakan tadi? Bila perlu, saya bisa mengerahkan semua anak buah saya."

"Anda tidak perlu melakukannya. Cukup duduk di sini menemani saya. Tamu istimewa kita akan tiba di sini sebentar lagi."

"Tamu istimewa?"

"Ah, itu dia. Baru tiba di ruang UGD."

Nara dan Inspektur Hendrik segera menuju ke ruang UGD. Pak Kosim sudah dipindahkan dari ruangan tersebut ke ruang rawat inap. Di depan pintu ruang UGD, seorang polisi berdiri menyambut kedatangan mereka berdua.

"Inspektur Hendrik, Detektif Narayana," ujarnya sambil memberikan salam hormat.

"Saya hanya pekerja swasta. Cukup panggil saya Nara," sahut Nara merendah.

"Briptu Hasan, siapa dua orang yang dibawa masuk tadi?" tanya Inspektur Hendrik.

"Mereka berdua pencopet yang babak belur dihajar massa di depan Pasar Tanah Terlantar, Pak."

"Hanya pencopet?" Inspektur Hendrik mengucapkannya sambil melirik ke arah Nara.

"Lebih dari sekadar pencopet," ujar Nara dengan yakin. "Salah seorang dari mereka adalah rekan saya. Sedangkan yang satunya lagi adalah gembong teroris yang selama ini kita cari-cari. Pak Inspektur, jika Anda berkenan, maukah Anda melakukan sesuatu untuk saya?"

*****

Scene 5: Dul Martin

Nara menghampiri seorang pria yang tengah terbaring di ranjang kamar nomor 14. Pria itu mengenakan topi kupluk berwarna merah muda. Tubuhnya penuh dengan perban, tulang kakinya patah dan lengannya retak. Hanya kepalanya yang tampak baik-baik saja.

Nara mengambil sebuah ponsel yang tergeletak di samping tubuh pria malang bertopi kupluk itu. Salah satu sudut ponsel tersebut tampak sedikit lecet.

"Kau tampak berantakan," komentar Nara.

"Kalau tahu aku akan dipukuli begini, aku tidak akan menerima tawaranmu untuk menyusup ke sarang teroris," gerutu pria bertopi kupluk itu. "Kau harus membayar biaya rumah sakitku."

Nara tersenyum. "Tapi gara-gara kau, hp pacarku jadi lecet. Jadi kita impas. Bayar biaya rumah sakitmu sendiri."

"Kampret! Awas kau. Kudoakan hubunganmu dengan Cordelia cepat putus!"

Di ranjang yang lain, sekitar lima meter dari ranjang milik pria bertopi kupluk itu, tergeletak seorang pria yang kondisinya tak jauh berbeda dengannya. Pria itu mengenakan topi bisbol berwarna coklat tua.

"Pengkhianat! Tak kusangka kau bekerja dengan anjing-anjing pemerintah itu!" umpat pria bertopi bisbol kepada pria bertopi kupluk. "Jadi semuanya palsu? Jadi ucapanmu tentang topi itu hanya umpan untuk menjebakku? Jadi kau juga yang menukar tas berisi bom itu dengan tas berisi topi-topi itu?"

"Izinkan saya yang menjawabnya, Tuan Dul Martin," ujar Nara pada pria bertopi bisbol. "Saya turut berterima kasih karena telah memercayai teman penipu saya. Rencana saya jadi berjalan lancar berkat kerjasama Anda."

"Keparat! Lalu bagaimana dengan pemicunya? Bagaimana bisa pemicunya tiba-tiba menghilang?"

Nara sengaja tidak menjawab pertanyaan tersebut.

Usai puas melihat-lihat isi tas yang dibawa oleh kedua korban amuk massa itu, Briptu Hasan angkat bicara, "Jadi orang bernama Dul Martin ini bukan pencopet, melainkan teroris yang hendak meledakkan gedung kedubes Lamuria?"

"Betul, Pak," jawab Nara.

"Dan Pak Kosim bukan teroris, melainkan hanya penjual topi?" tanya Pak Kirun, pejabat yang tadi marah-marah gara-gara apartemennya terkena ledakan.

"Bukan, Pak," sahut Nara. "Kedua pihak hanya secara 'kebetulan' berpapasan dan berinteraksi sebagai penjual dan pembeli. Tak lebih."

"Nara," Inspektur Hendrik tiba-tiba datang dari luar ruangan sambil menggandeng seorang anak kecil di sampingnya. "Ini anak kecil yang kamu maksud?"

"Anda datang tepat waktu, Inspektur Hendrik," ujar Nara sambil tersenyum senang. "Saya kagum akhirnya Anda melakukan hal yang benar."

"Apa maksud kata-katamu barusan?" tanya Inspektur Hendrik merasa tersinggung.

"Bocah itu! Dia yang menabrakku di jalan gelap itu!" seru Dul Martin tiba-tiba. "Dia yang membuatku digebuki massa! Dia pencopet yang sebenarnya!"

"Dia juga yang mengutil di warung saya! Saya ingat betul itu dia!" kata Bu Romli, pemilik restoran — istri kedua Pak Kisrun.

Nara berdehem dan bertepuk tangan untuk memusatkan semua perhatian orang kepada dirinya. "Anda semua boleh menyebut anak kecil lusuh ini pencopet, pengutil, atau apapun itu. Kenyataannya, dia adalah tokoh kunci yang menggagalkan rencana terorisme ke gedung kedubes Lamuria."

Nara meminta anak kecil itu untuk memberikan benda elektronik berbentuk persegi panjang kepadanya. Pemuda berkulit gelap itu lalu mengangkat benda tersebut dan menunjukkannya kepada orang-orang yang hadir di ruang rumah sakit itu.

"Anda pasti tahu benda ini, bukan? Tuan Dul Martin?"

"Brengsek!"

*****

Scene 6: Curtain Closed

Pejabat-pejabat yang tadinya marah-marah pada keluarga Pak Kosim pun akhirnya meminta maaf. Mereka bahkan memberikan santunan dalam jumlah yang besar, terutama setelah Nara mengancam hendak menyebarkan video perselingkuhan dan skandal korupsi daging babi yang melibatkan mereka semua ke ranah publik. Teroris bernama Dul Martin secara resmi telah berada di bawah kendali polisi. Sementara rekan Nara — pria bertopi kupluk — secara resmi ditahan di rumah sakit akibat kendala dalam pelunasan administrasi.

Kata dokter, kondisi fisik Pak Kosim cukup baik. Operasi amputasi kedua kakinya berjalan lancar. Meskipun demikian, baik dokter, perawat, dan anggota keluarga Pak Kosim sama-sama meragukan kondisi psikologis dari pria lansia itu. Sejak sehabis operasi, Pak Kosim terus meronta-ronta sambil berteriak-teriak menanyakan di mana topinya. Banyak yang beranggapan bahwa Pak Kosim sudah kehilangan kewarasannya akibat ledakan itu. Apa yang ada di dalam pikirannya saat ini hanya topi dan topi.

Ketika Nara dan Inspektur Hendrik memasuki ruang inap Pak Kosim, mereka mendapati Bu Kosim tengah mencoba menyuapi Pak Kosim dengan makanan kesukaan suaminya, pecel lele dan pecak ikan tongkol racikannya sendiri. Namun berkali-kali ia mencoba menyuapi, mulut Pak Kosim tak pernah membuka kecuali untuk berkata,

"Topi saya! Di mana topi saya!"

Inspektur Hendrik mencoba menenangkan Pak Kosim dengan membawakannya tas berisi topi dagangan Pak Kosim. "Saya membawakan topi milik Bapak."

"Bukan! Itu bukan topi saya!"

"Tapi ini topi Bapak. Ini semua barang dagangan Bapak."

"Bukan! Itu bukan topi saya!"

Nara menepuk pundak Inspektur Hendrik, memberikan kode kepadanya agar cepat menyingkir. Senyumannya hampir tak pernah ia tanggalkan, begitu pula pada saat itu. Namun matanya tetap tak bisa menyembunyikan kesedihan. Meskipun demikian, Nara tetap dapat mengendalikan emosinya dan tak larut dalam air mata seperti anggota-anggota keluarga Pak Kosim. Ia tetap tenang seperti biasa. Tidak terlalu kaku tetapi juga tidak berlebihan dalam bersikap. Ia lalu mendekat ke telinga kanan Pak Kosim.

"Bapak masih ingat bentuk topi Bapak?" tanya Nara seolah-olah sedang meladeni seorang anak TK yang baru kehilangan topinya.

"Bundar... topi saya... bundar...."

Diam-diam Nara memejamkan matanya sambil bernyanyi dengan lirih, menirukan ucapan Pak Kosim dengan nada yang sama dengan nada lagu Burung Kakaktua.

"Saya melihat sebuah topi di bayangan saya," kata Nara. "Jangan-jangan itu topi Bapak."

"Apa bentuknya... bundar?"

"Tidak, persegi."

"Berarti itu bukan topi saya."

"Yah, sayang sekali," ujar Nara seperti seorang anak kecil yang gagal menangkap kupu-kupu di pagar taman. "Coba saya cari lagi."

Nara bernyanyi lagi. Kali ini lebih pelan. Begitu pelan sehingga suaranya menyatu dengan suara monitor detak jantung di samping ranjang Pak Kosim. Begitu pelan sampai-sampai jangkrik yang biasa muncul di televisi ketika seseorang baru saja menyampaikan lelucon garing pun turut mengheningkan cipta.

Lagu yang ia nyanyikan terdengar aneh di telinga beberapa orang. Beberapa orang yang lain menganggapnya lucu dan tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Menurut mereka, lagu itu seharusnya dinyanyikan oleh orang tua pada anak kecil atau anak kecil pada anak kecil lainnya. Bukan oleh seorang pemuda kepada pria lanjut usia.

Tapi Nara tetap menyanyikannya tanpa mengindahkan bisikan-bisikan miring yang menyebutnya gila. Beberapa saat kemudian pemuda itu lalu memekarkan senyumnya. "Saya tahu di mana topi Bapak sekarang."

"Di mana? Di mana topi saya?"

*****

Epilog

Karena desakan Nara, sebelum semua orang pergi, Pak Kisrun memborong seluruh barang dagangan Pak Kosim. Lalu beliau membagi-bagikannya kepada semua orang yang menjenguk Pak Kosim, termasuk Nara dan Inspektur Hendrik. Inspektur Hendrik menolak dan memberikannya kepada Nara sehingga pemuda itu mendapatkan dua topi.

Beberapa saat kemudian, bersama Inspektur Hendrik, Nara bergegas pergi meninggalkan ruangan tempat Pak Kosim beristirahat. Jam besuk pasien telah berakhir. Tidak ada hal lain lagi yang menahan mereka untuk terus berlama-lama di rumah sakit itu.

"Saya tidak akan banyak berkomentar mengenai rencanamu dalam membekuk teroris itu. Rencanamu brilian. Saya akui itu," ujar Inspektur Hendrik saat mereka berdua berjalan menyusuri koridor menuju pintu depan. "Tapi ada satu hal yang masih mengganjal di pikiran saya. Saya bisa mengerti alasanmu menyuruh pencopet untuk mencuri pemicu bom itu. Yang saya tidak mengerti adalah, kenapa kamu menyuruhnya untuk mencopet ponsel milik pacarmu juga?"

"Untuk menghindari kecurigaan," jawab Nara. "Teman saya — pria bertopi kupluk itu, kalau Anda masih ingat — sengaja tidak saya perbolehkan membawa alat komunikasi selama penyusupan agar target mudah memercayainya padanya. Sebelum ia berangkat, — sekitar sebulan yang lalu — saya hanya memberitahukan padanya bahwa saya akan memberikan ponsel pacar saya pada situasi yang tak terduga, sehingga saya memintanya untuk tetap waspada. Jika ia telah mendapatkan ponsel milik pacar saya, saya minta dia untuk segera menghubungi saya."

"Jadi sms yang tadi kamu terima adalah sms dari temanmu itu?"

Nara mengangguk.

"Baik, saya mengerti," kata Inspektur Hendrik sambil manggut-manggut. "Tapi kenapa harus ponsel milik pacarmu?"

"Saya sudah berjanji untuk berkencan dengannya hari ini," jawab Nara. "Kami berdua sama-sama sibuk. Dia sibuk kuliah, saya juga sibuk dengan pekerjaan saya. Sedangkan hari ini adalah hari bebasnya yang terakhir sebelum ia berangkat ke luar kota untuk menyelesaikan penelitiannya. Jika kencan kami ditunda atau dibatalkan, dia pasti akan merasa terpukul sekali. Jadi saya harus mencari cara untuk menunda kencan kami tanpa harus menyakiti perasaannya."

"Jadi menurutmu dengan menyuruh pencopet untuk mencopet ponselnya, kamu tidak akan menyakiti perasaannya?"

"Setidaknya itu akan sedikit menyibukkannya daripada harus terus menunggu kepastian dari saya."

Inspektur Hendrik mengernyitkan dahi. "Kamu gila."

"Anda akan mengerti," ujar Nara sambil tersenyum menyindir, "jika Anda sudah punya pasangan nanti."

"Hmph." Inspektur Hendrik membalas, "Jika saya harus menyusun rencana untuk membekuk teroris dan menyusun rencana kencan pada saat yang bersamaan, lebih baik saya tidak punya pasangan."

Tawa pemuda berkulit gelap itu meletus. "Anda benar-benar butuh piknik."

Mereka akhirnya tiba di pintu depan. Malam masih belum terlalu larut, tapi suasana rumah sakit sudah tidak seramai saat Nara baru datang tadi. Sebelum berpisah, mereka masih sempat berbincang-bincang.

"Nara," ucap Inspektur Hendrik, "sesuai permintaanmu, seluruh uang hadiah yang disediakan pemerintah terkait penangkapan teroris itu akan diserahkan kepada keluarga Pak Kosim. Bagaimanapun, kamu adalah otak dari serangkaian rencana penangkapan teroris ini. Apa kamu yakin tidak mau menerima sepeserpun?"

Nara menggeleng. "Saya sudah cukup puas dengan mendapatkan topi ini," ujarnya sembari menunjukkan topi di kepalanya yang baru saja ia dapatkan dari Pak Kisrun.

"Jika saya menerima lebih dari ini, itu sama saja dengan orang yang tidak tahu diri," lanjut pemuda itu. "Saya bisa mencari seribu alasan untuk membenarkan tindakan saya. Tetapi itu tetap tidak dapat mengubah fakta yang telah terjadi. Saat saya mendengar kabar dari Anda bahwa telah terjadi ledakan yang menyebabkan Pak Kosim cedera, saya langsung menyadari celah besar dalam rencana saya. Penghitung waktu itu pasti tertekan secara tidak sengaja saat pemicunya terjatuh atau saat pencopet kecil itu berlari. Gara-gara rencana saya, orang tak bersalah seperti Pak Kosim kehilangan kedua kakinya. Jika saja saya segera datang ke tempat kejadian sebelum ledakan itu terjadi, Pak Kosim tak perlu mengalami tragedi mengerikan ini."

"Oke," ujar Inspektur Hendrik sambil menghela nafas. "Kalau memang itu sudah menjadi keputusanmu, saya tidak berhak untuk berkomentar apa-apa lagi."

Usai mengatakan itu, Inspektur Hendrik berpamit pergi, meninggalkan Nara bersama kedua topinya di halaman rumah sakit. Topi yang satu ia pakai di kepala, sementara topi yang lain hanya ia putar-putar dengan tangan kanannya sambil terus berjalan. Bentuknya bundar seperti bentuk topi Pak Kosim; topi yang hancur setelah melindungi kepala pria tua itu dari ledakan yang hampir melenyapkan nyawanya.

Di depan laki-laki berambut panjang itu, lambat laun makin terlihat sosok seorang gadis berpakaian kemeja bermotif belang zebra. Wajahnya penuh dengan keringat sehingga tampak jelas lunturan kosmetik di pipi dan dahinya. Cara berjalannya begitu kaku, bahkan berkali-kali ia terlihat seperti hendak jatuh ke depan.

"Cordelia."

Gadis itu berhenti begitu berada tepat di depan Nara. Perasaannya bercampur antara rindu ingin bertemu dengan kekasihnya, kesal karena ponselnya dicopet orang, dan bingung setelah melihat ponselnya sekarang berada di tangan kekasihnya. Namun, belum sempat ia bertanya mengapa dan bagaimana, Nara menginterupsi sambil memakaikan topi bundar di kepala gadis tersebut.

"Restoran Ayam Penyet Bu Romli sudah menyiapkan candle-light dinner hanya untuk kita berdua. Aku juga sudah memintanya untuk menyediakan menu ayam penyet bumbu sambalado kesukaanmu. Kalau kau mau menamparku, menendangku, atau memutuskanku, lakukan itu sesudah kita berdua makan malam bersama."

TAMAT







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro