54. Trifecta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gadis itu tidak mengenal ampun. Dia turun dari mobil dan berjalan ke arah pos keamanan tanpa membawa pistol sama sekali. Di tangannya ada alat yang bisa membuat kamera dalam jarak sepuluh meter di sekitarnya mati begitu saja agar dia tidak terlihat dalam kamera pengawas mana pun.

Dia berdiri dengan kaki terbuka di depan lima laki-laki di sana sambil berkata dengan suara manja, "Aku kehilangan sesuatu yang sangat penting. Bisakah kalian mencarikannya untukku?"

Tentu saja suaranya yang mendayu itu adalah godaan bagi para lelaki itu, apalagi paha mulus yang dibukanya di depan mereka semua. Siapa yang tidak tergoda untuk menyentuh kaki gadis itu?

"Kehilangan apa? Bisa kau ceritakan pada kami, Nona?" tanya seorang lelaki yang langsung diikuti lelaki lain dengan pikiran sama joroknya.

Dengan senyum malu-malu dan mata cokelat kemerahannya yang bulat dan besar itu, Monchin berkata, "Aku kehilangan teman kencan. Aku jadi sendirian. Tidak ada yang menggaruk ini untukku." Dia menyentuh kemaluannya dengan wajah kesal. "Milikku sangat gatal. Aku sudah berkeliling untuk mencari teman kencan, tapi tak ada yang mau. Katanya, aku terlalu kecil untuk berkencan."

Lelaki yang bertanya tadi mengerutkan kening. "Terlalu kecil. Maksudmu?"

"Aku terlalu muda, maksudku. Kau tahu, aku ... masih belasan tahun."

Lelaki itu melihat teman-temannya, lalu berkata pada Monchin, "Kukira kau sudah dua puluh lima atau mungkin lebih. Aku tidak menyangka kau masih belasan tahun."

Orang di belakangnya memberikan alasan, "Mungkin karena mekapnya. Dia memakai lipstik yang terlalu merah. Warna itu membuatnya terkesan dewasa."

"AKU MASIH BELUM TUA, KEPARAT!" amuk Monchin sambil mengambil pistol di pinggang lelaki yang paling dekat dengannya. Dengan cepat dia menembakkan peluru-peluru pada pistol itu ke arah kelima lelaki itu, tepat di kepala mereka. 

"Seharusnya kalian tidak membuatku sakit hati. Aku masih terlalu muda untuk menjadi pembunuh, tapi kalian yang memaksaku. Enak saja menyebutku tua. Aku masih remaja dan akan terus menjadi remaja. Eh? Apa karena poniku? Apa mereka menyebutku tua karena aku tidak memakai poni lagi? Tapi, Juna berkata aku terlalu kekanakan kalau memakai poni. Itu berarti dia ingin aku terlihat dewasa. Apa dewasa sama dengan tua?"

Goldie yang duduk dengan tegang di dalam mobil hanya bisa ternganga melihat Monchin. Gadis itu benar-benar memiliki kecepatan luar biasa dalam menembak, tapi dia tidak terlihat berkompeten sama sekali. Setelah menembak dia malah berbicara sendiri seperti orang tida waras dan terus melihat dirinya di cermin.

Satu truk petugas keamanan berpakaian serba hitam melaju dari sisi dalam rumah. Monchin melihat mereka dari cermin yang ditatapnya sejak tadi. 

Dengan cepat dia menjatuhkan diri ke lantai dan membuka bagian atas pakaiannya sampai pakaian dalamnya terlihat. Bra warna hitam itu tentu akan membuat siapa saja tergiur untuk menyentuhnya, apalagi bra itu menutup dada bulat indah berwarna seperti susu. Lelaki mana yang tidak akan tergoda?

Tiga orang lelaki menodongkan senapan ke arah pos petugas keamanan itu. Monchin yang sudah menjambak rambutnya sendiri agar berantakan mengangkat tangan dengan wajah terkejut yang dibuat-buat.

"Tolong," katanya pelan. "Tolong aku, Sir!"

"A-ada apa?" Salah seorang termakan umpannya. Lelaki itu membuka kaca pelindung helmnya dan menghampiri Monchin yang terisak.

"Laki-laki itu membawaku ke mari dan ingin memperkosaku bersama teman-temannya. tapi mereka bertengkar dan saling tembak. Tolong, Sir! Aku tidak bisa melihat darah. Aku ... tidak ada yang memperkosaku sekarang."

Tentu saja ketiga lelaki itu saling pandang dengan bingung. Salah satu di antara mereka melihat ke luar, mencari kemungkinan lain, tapi tidak ada lagi orang lain selain gadis itu di pos penjagaan ini. Dia melihat mobil Monchin diparkir tak jauh dari pos itu, lalu bertanya, "Itu mobilmu?"

Monchin menggeleng. "Itu mobil lelaki yang menculikku," dia menunjuk pada mayat di sampingnya. "Dia mencurinya entah dari mana. Dia hanya berkata dia keren kalau naik mobil curian."

"Eduardo tolol," gumam lelaki itu sambil meludah ke tanah. Dia lalu kembali ke truk untuk memberitahukan ini pada teman-temannya.

Salah seorang lagi, yang berdiri paling depan menghampiri Monchin dan duduk jongkok di depannya. "Mereka berebut untuk menyentuhmu?"

Monchin mengangguk. "Mereka bertanya siapa yang pantas mendapatkanku lebih dulu. Lalu, mereka bertengkar, padahal mereka bisa saja melakukannya bersama-sama. Aku suka kalau bisa melakukan bersama-sama dengan banyak lelaki. Aku akan dengan senang hati melakukannya."

Lelaki yang satu lagi menendang lelaki yang jongkok. Mereka bertukar senyum yang membuat Monchin tahu di dalam kepala mereka ada hal cabul yang sama. 

Monchin senang sekali. Ini berarti calon korbannya telah memakan umpan. 

"Kami akan mengurusmu. Kamipunya teh panas di dalam. Apa kau mau?" tanya lelaki itu lagi.

"Bagaimana kalau wiski?" tanya Monchin dengan membelalakkan matanya.

"Tentu saja, Manis. kau akan mendapatkan wiski yang kau sukai. Mau ikut dengan kami?"

"Tentu saja!" Monchin mengulurkan tangan dengan manja. Dia meminta lelaki itu memeluknya dan menggendongnya. 

Tentu saja lelaki itu melakukannya. Lelaki akan melakukan apa pun demi mendapatkan kenikmatan seksual. Di dalam kepala lelaki itu sudah ada banyak sekali adegan cabul yang ingin dia lakukan pada gadis itu. 

Gadis di dalam pelukannya wangi sekali. Tubuhnya juga lembut sekali. Sudah jelas gadis itu memiliki tubuh yang sangat nikmat. Dia tak sabar ingin melihat seluruh tubuhnya tanpa pakaian.

Dia menaikkan Monchin ke truk. Ada lima belas lelaki lain yang menunggu dengan senjata di truk. Monchin yang terduduk di lantain menatap mereka dengan tatapan penuh semangat. Dia sangat suka melihat banyak calon korbannya yang siap untuk dihabisi.

"Apa yang membuatmu ke sini, Gadis cantik?" kata seorang lelaki yang menjulurkan lidah untuk menjilati bibirnya karena mengiler tentu saja. 

"Mereka berkata kalian punya wiski," kata Monchin dengan mata besarnya yang indah menatap lurus pada lelaki tadi. "Aku ingin menghangatkan tubuh."

"Kehangatan apa pun yang kau cari, tentu kami bisa memberikannya," kata lelaki tadi dengan senyum cabul yang membuat perempuan mana pun muak. 

"Terima kasih, Sir," kata gadis itu dengan senyum polos, seolah tidak mengerti apa pun.

badan truk dipukul dua kali oleh seorang lelaki. Truk itu berjalan kembali ke markas mereka. Hanya ada dua orang yang bertugas membereskan mayat para lelaki yang tertinggal di dalam pos. Dua orang ini juga bertugas untuk menginvestigasi pistol mana yang digunakan kelima lelaki itu untuk baku tembak. 

Dua lelaki itu adalah bagian Goldie. Monchin sudah memberikan pesan ini. Goldie harus bisa membunuh siapa pun yang tersisa.

Dengan tangan gemetar, Goldie memegang busurnya. Dari semak di dekat pos itu dia membidik mereka berdua tepat di leher. Dia mengembuskan napas untuk mengusir kegalauan di hatinya. Dalam tarikan napas pertama, dia melepaskan anak panah yang meluncur mengenai leher lelaki yang ada di bagian depan. Dia langsung mengeluarkan anak panah lain lagi untuk menembak lelaki yang ada di belakang tepat pada wajah.

Tugasnya selesai. Sekarang, dia harus membawakan semua senjata Monchin ke dalam dengan mobil. 

Sementara itu, di dalam truk, Monchin membuka kedua kakinya, memamerkan celana dalam warna hitam yang benar-benar membuat banyak orang transparan. Namun, saat para lelaki itu berkumpul untuk menyentuhnya, Gadis itu mengeluarkan pisau melengkung kecil dari lengan bajunya. Dengan pisau itu dia melukai sedikit pembuluh darah lelaki di depannya. 

Gerakannya cepat sekali. Dia menusuk leher pada bagian samping, tempat pembuluh darah besar dan saraf manusia berkumpul. Dia membuat orang lumpuh seketika dengan darah mengalir dari sana. 

Tangan kanan dan kirinya berlumuran darah. Tugasnya sudah selesai, tanpa suara, tanpa bersusah payah. Dari dalam truk itu dia melihat Ferrarinya melaju ke arahnya dengan kecepatan stabil. Dia tersenyum pada mobil itu. Semua rencananya telah terlaksana. Dia akan menyelesaikan ini dengan sangat gemilang dan membuat lelaki yang ditelepon oleh Goldie itu bangga.

Sambil menunggu, dia membersihkan kedua tangannya yang berlumuran darah dengan pakaian milik para penjaga itu. Dia bersenandung kecil, senandung musik dengan judul yang sama dengan namanya. Dia siap untuk pertempuran berikutnya.

"Aku anak baik, Juna. Aku membantu gadis kecil kembali pada ibunya. Walau aku tak punya ibu, tapi aku membantu gadis ini untuk bertemu dengan ibunya. Aku bukan anak yang iri pada anak lain. Kau seharusnya bangga padaku," kata Monchin di dalam truk itu.

Harapan lain juga berusaha dipompakan Goldie ke dalam hatinya. Sekalipun dia yakin ibunya juga sudah menjadi korban Juan, dia tetap menginjak pedal mobil itu mengikuti arah truk yang dinaiki Monchin. Dia yakin dia harus tetap mencoba. Dia harus tetap berusaha untuk melakukan yang terbaik.

Dua gadis itu tak tahu kalau lelaki yang menyebabkan ini semua berada di ruang tidurnya. Dia berdiri di depan cermin, menatap diri sendiri dengan sangat marah karena masih saja memiliki jiwa pengecut yang dibencinya sejak dulu. 

Di belakangnya, perempuan yang sejak dulu dicintainya sudah duduk terikat dan lemas, nyaris pingsan karena pukulannya. Namun, dia tetap tak berani melakukan apa pun. Dia terus melihat tangannya yang sudah memukul perempuan itu, berharap bisa memutar waktu agar dia tak perlu menyakiti perempuan yang dicintainya,

Namun, hatinya sakit. Perempuan itu tak lagi mencintainya seperti dulu. Semua bayangan akhir yang bahagia yang selama ini dia pelihara dalam ruang imajinasi ternyata harus pudar dengan cara yang mengerikan.

"Paling tidak, aku harus mendapatkan Goldie. Aku harus mendapatkan anakku kembali," sumpahnya pada diri sendiri.

***

Ternyata bab yang kemarin salah judul, Bees. Ya ampun saya baru sadar pas copas dari notes. Maaf, ya. Tak apa ya sekalipun judulnya nggak nyambung sama isinya?

See you next part, Bees.

Love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro