Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ekspresi kaget Renjana, dan ketidakmampuannya segera menjawab pertanyaan yang simpel itu membuat Renata menghembuskan napas keras melalui mulut.

"Sepupuku memiliki kelainan jantung bawaan," Renata melanjutkan setelah yakin dugaannya benar. "Walaupun sudah dioperasi saat dia masih kecil, dia tidak bisa melakukan banyak hal yang bahkan nggak butuh usaha untuk kulakukan. Kami tumbuh bersama, bersahabat, tapi dia tidak bisa ikut ketika aku melakukan kegiatan outdoor yang butuh kekuatan fisik karena itu akan memengaruhi kerja jantungnya. Walaupun iri padaku, dia bisa menerima kondisinya. Dia tahu batas kemampuannya, jadi tidak pernah berusaha melanggar batas itu. Tidak pernah, sampai saat dia jatuh cinta." Renata diam sejenak.

Renjana bisa melihat matanya berkaca-kaca. Dagu Renata bergetar menahan tangis. Renjana semakin merasa bersalah. Kebodohannya membuat seseorang harus diingatkan pada masa lalu pahit yang seharusnya sudah terlupa.

"Aku sedang libur di luar kota ketika sepupuku diajak cowok yang ditaksirnya jalan-jalan ke Pulau Bidadari bersama teman-temannya. Dan sepupuku melupakan batas itu. Dia tahu kalau dia seharusnya tidak boleh menerima tantangan melompat dari perahu dan berenang ke darat, tetapi dia melakukannya. Hanya jasadnya yang pulang ke rumah." Renata menyusut matanya. Dia menatap Renjana lama. Ketajaman sorot matanya berganti dengan pengertian. "Jangan melakukan kesalahan yang sama. Siapa pun yang ingin kamu buat terkesan, dia tidak sepenting dirimu sendiri. Kesehatan dan keselamatanmu di atas segalanya. Kamu bertanggung jawab untuk menjaganya."

Renjana menunduk. Air matanya jatuh lagi. "Saya minta maaf, Mbak."

"Kamu harus minta maaf pada dirimu sendiri dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Kamu tidak perlu minta maaf pada aku, Tanto, Risyad, atau Rakha."

"Tapi saya sudah merusak acara hari ini."

"Gua itu tidak akan ke mana-mana. Tempat itu masih tetap akan kokoh di atas sana sampai kiamat tiba. Kami bisa kembali kapan saja. Tapi aku, dan aku yakin Tanto juga tidak mau menjadi orang yang akan menghubungi keluargamu untuk menyampaikan berita buruk."

Dagu Renjana tertekuk sampai menyentuh tulang dadanya. Tetes air matanya jatuh membasahi kausnya. Dia berusaha sekuat tenaga menahan isak supaya tidak terdengar oleh ketiga lelaki yang meskipun menyingkir karena disuruh pergi oleh Renata, tetapi Renjana yakin mereka hanya berjarak beberapa meter.

Renata merapatkan jarak mereka dan merangkul bahu Renjana. "Maaf karena aku bicara blak-blakan seperti ini. Aku nggak bisa menahan diri. Kurasa aku masih belum bisa menerima tidak berada di tempat yang sama ketika sepupuku membutuhkan bantuanku. Aku tahu ada hal-hal yang tidak bisa diubah karena takdir sudah menulisnya seperti itu, tapi aku kadang masih berandai-andai. Seandainya aku tidak libur keluar kota, dia pasti tidak akan ikut trip ke Pulau Seribu karena aku akan melarangnya. Atau, aku bisa ikut bersamanya."

Renjana tidak bisa menahan diri ketika Renata menyentuhnya. Dia membalas sentuhan itu dengan pelukan erat. Rasanya menenangkan. Persis seperti ketika Cinta memeluknya. Aroma yang yang terkuar dari tubuh Renata bahkan terhidu seperti wangi Cinta. Kali ini isak Renjana pecah. Dia merindukan Cinta. Sangat rindu, sampai rasanya menyesakkan. Seharusnya Cinta tidak meninggalkannya, karena Renjana terlalu rapuh untuk menghadapi semuanya sendiri setelah mereka selalu bersama selama lebih dari 20 tahun. Rasanya tidak adil ditinggalkan begitu saja oleh belahan jiwa yang selalu menjaganya, tanpa diajari cara bertahan menghadapi dunia.

**

"Dia kram atau terkilir sih?" tanya Risyad pada Tanto. Mereka menyingkir karena disuruh oleh Renata. Tidak ada yang meragukan kemampuan Renata untuk memberi pertolongan pertama, jadi mereka tidak membantah ketika diperintahkan untuk memberi ruang.

"Mungkin dua-duanya," Rakha yang menjawab. "Kelihatannya dia kesakitan banget. Sampai nangis gitu. Padahal toleransi menahan rasa sakit perempuan kan jauh lebih tinggi daripada kita-kita yang laki-laki." Dia melanjutkan dengan nada defensif saat melihat Risyad menatapnya skeptis. "Beneran, itu ada risetnya lho. Gue kebetulan baca. Tapi tapi riset itupun, gue yakin banget kalau teori itu benar. Itu pasti alasan kenapa perempuan yang kebagian tugas untuk melahirkan. Kalau laki-laki yang yang dikasih beban untuk melahirkan, pasti banyak kasus bapak-bapak yang sudah tewas duluan karena kesakitan sebelum anaknya lahir. Atau semua proses kelahiran harus dibantu lewat operasi. Lo bisa bayangkan keadaan zaman dulu sebelum teknologi pembedahan ditemukan? Spesies kita pasti sudah punah karena kakek moyang kita gagal melaksanakan tugas mengeluarkan keturunannya dari perut."

"Ada-ada aja!" gerutu Risyad. "Laki-laki nggak dikasih tugas untuk melahirkan bukan karena toleransi rasa sakitnya lebih rendah daripada perempuan, tapi karena anatomi tubuh kita nggak dirancang untuk itu. Emangnya bayi bisa dikeluarkan dalam bentuk cairan trus dicampur tepiung dan dibentuk pakai tangan kayak play-doh setelah meluncur dari penis yang lubang salurannya ala kadarnya itu?"

Tanto tidak ikut dalam perdebatan itu. Dia sibuk memperhatikan interaksi Renata dan Cinta. Sayangnya jaraknya terlalu jauh untuk bisa menangkap percakapan mereka. Tapi Tanto bisa merasakan keanehan. Renata tidak melakukan perawatan apa pun yang diperlukan kalau Cinta memang kram atau cedera. Renata hanya bicara dengan ekspresi keras yang tidak disukai Tanto. Apakah Rena memarahi Cinta? Dia tidak berhak melakukannya meskipun Cinta membuat mereka akhirnya tidak bisa sampai ke gua seperti rencana semula.

Tidak ada yang mau mengalami hal seperti yang dialami Cinta sekarang. Tidak seharusnya anak sepolos itu dihadapi dengan suara tinggi dan ekspresi jutek. Cinta sudah cukup kesakitan. Kenapa Rena tidak memeriksa kaki Cinta, memberikan pertolongan pertama supaya mereka bisa segera pulang ke resor? Ada dokter Puskesmas yang tinggal di dekat resor yang bisa dihubungi untuk memeriksa Cinta lebih lanjut. Atau kalau memang butuh penanganan serius dari dokter spesialis, Cinta bisa dibawa ke rumah sakit di kota.

Semakin lama, interaksi antara Renata dan Cinta semakin mencurigakan. Tanto melihat mereka akhirnya berpelukan. Lama. Apa-apaan itu? Ekspresi Rena juga berubah drastis. Dari yang tadinya kesal bercampur marah berubah menjadi lembut. Rena kemudian menuntun Cinta ke mobil. Tidak ada langkah tertatih atau pincang, padahal Tanto yakin, Rena sama sekali tidak menyentuh kaki Cinta untuk memberikan perawatan. Benar-benar mencurigakan. Rena harus menjelaskan semuanya setelah mereka sampai di resor.

**

Perjalanan pulang menuju resor dilalui dalam keheningan. Renjana terus menggenggam tangan Renata yang duduk di sebelahnya. Tangan itu terasa seperti sumber kekuatan yang benar-benar dia butuhkan sekarang. Kehangatan yang ditularkan tangan Renata memberikan ketenangan. Air mata Renjana tidak menetes lagi. Tapi hatinya masih basah oleh penyesalan.

Renjana terus menatap keluar jendela mobil, meskipun tidak bisa menikmati perjalanan karena benaknya yang riuh. Semua yang diyakininya saat duduk merenung di dermaga kemarin, sekarang terasa konyol. Tidak akan ada titik balik untuknya. Dia bahkan tidak bisa menjaga diri sendiri, bagaimana dia bisa melakukan hal lain dengan baik? Akhirnya, dia tetaplah hanya seorang putri yang akan terus tinggal di istananya tanpa melakukan apa pun sampai waktunya di dunia berakhir.

"Kita sudah sampai," kata Renata lembut. "Turun, yuk!"

Renjana tersentak. Lamunannya buyar. Mobil memang sudah berhenti di pelataran parkir resor. Tanto dan teman-temannya sudah turun. "Maaf...."

"Nggak apa-apa. Kejadian tadi penting untuk kamu renungkan supaya tidak terulang lagi. Jangan korbankan dirimu untuk membuat orang lain terkesan. Siapa pun dia, dia tidak layak untuk ditukar dengan nyawa kamu. Dan kalau dia memang tertarik padamu, kamu nggak perlu melakukan hal-hal di luar kemampuan kamu untuk bikin dia terkesan. Dia akan mencintai kamu karena dirimu, bukan imej yang ingin kamu ciptakan."

Renjana merasa malu karena Renata sepertinya bisa membaca perasaannya. Dia hanya bisa mengangguk. Mereka lalu keluar mobil masih dengan tangan yang bertaut.

"Biar aku yang antar Cinta ke vilanya," kata Tanto yang ternyata masih menunggu di luar mobil. Risyad dan Rakha tidak tampak lagi.

Renjana mengeratkan genggamannya pada tangan Renata. Dia tidak mau bersama Tanto saat ini, ketika perasaannya terasa rapuh. Dia tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Tanto karena dia terlalu lelah untuk berbohong. Dia takut tidak bisa konsisten karena sudah melupakan apa saja yang sudah dikarangnya ketika ngobrol dengan Tanto. Bisa saja dia mengatakan sesuatu yang bertolak belakang.

"Aku saja," jawab Renata yang bisa mengerti isyarat Renjana. "Masih ada yang harus aku bicarakan dengan Cinta. Yuk, Cinta."

"Oh, oke." Tanto tidak memaksa. "Nanti aku jemput untuk makan siang ya."

Renjana tidak menjawab, dia bergegas mengikuti Renata.

Setelah sampai di vila Renjana, Renata menyuruh Renjana berganti pakaian sementara dia menumpuk bantal dan menyalakan AC. Renjana menurut. Dia segera menukar kaus dan jeans-nya dengan piama. Setelah itu dia bersandar pada tumpukan bantal yang susun Renata. Dia merasa déjà vu ketika Renata menarik selimut dan menutup tubuhnya sampai ke pinggang. Cinta sering melakukan itu ketika Renjana sedang sakit.

"Kamu tahu kan kalau kamu seharusnya nggak berlibur sendiri, apalagi di tempat seperti ini?" Renata duduk di tepi ranjang.

Renjana mengangguk. "Saya memang salah." Tapi dia melakukannya untuk alasan penting. Untuk Cinta. Sayangnya dia tidak bisa memberitahu Renata.

"Aku heran karena keluargamu mengizinkan kamu melakukannya."

Renjana menggigit kuku jari telunjuknya. "Mereka tidak tahu saya di sini. Saya... saya kabur dari rumah." Ini seperti mengulang percakapan dengan Tanto. "Tapi saya akan menghubungi kakak saya untuk memberitahu keberadaan saya sekarang," sambung Renjana cepat.

"Itu memang tindakan paling tepat." Renata menepuk punggung tangan Renjana. "Aku nggak akan menanyakan alasan kamu kabur, karena itu pasti sangat personal. Aku hanya berharap kamu nggak akan mengulanginya setelah kejadian hari ini. Kayaknya ini sudah berkali-kali aku ulangi dalam 1 jam terakhir."

Renjana tidak keberatan dengan pengulangan itu. Itu tanda kepedulian. "Terima kasih sudah mau bicara dengan saya, Mbak." Percakapan mereka benar-benar berarti bagi Renjana.

Renata bangkit dari duduknya. "Kamu istirahat ya. Jangan lupa makan siang, Kalau nggak mau ke restoran bersama Tanto, kamu bisa memesan makanan untuk diantar ke sini. Mana ponsel kamu? Biar aku masukan nomorku, jadi kamu bisa menghubungku kalau butuh sesuatu."

Renjana menggeleng ragu. "Saya... saya nggak pernah menyalakan ponsel sejak meninggalkan rumah, Mbak. Orang tua saya akan menemukan saya kalau nomor saya aktif. Mungkin kedengarannya berlebihan, tapi orang tua saya bisa melakukan hal-hal seperti itu." Renjana sebenarnya punya nomor lain yang dia gunakan sesekali untuk mengirim pesan pada sahabatnya untuk diteruskan pada Mbak Avi. Pesan supaya orang di rumah tahu dia baik-baik saja. Tapi Renjana tidak mau memberikan nomor yang tidak akan digunakannya lagi setelah pergi dari sini. Kesannya seperti menipu Renata. Lagi pula nomor itu hanya digunakan sesingkat mungkin, hanya untuk mengirim pesan. Dalam film-film yang ditonton Renjana, ada batas waktu penggunaan ponsel sebelum bisa dilacak. Sepertinya itu benar, karena Renjana belum ditemukan padahal dia sudah mengirim pesan sebanyak 4 kali selama pergi dari rumah.

Renata mengangguk. "Kalau begitu, kamu bisa menghubungi saya lewat resepsionis. Minta tolong mereka supaya menghubungi vila Bu Helga."

"Baik, Mbak. Terima kasih." Tentu saja Renjana tidak akan melakukannya kalau tidak sangat terpaksa.

"Oke, aku tinggal ya. Coba untuk tidur."

"Mbak," panggil Renjana pelan. "Mas Tanto nggak perlu tahu kondisi saya."

Renata tersenyum maklum. "Kalau kamu nggak mau dia tahu, ya jangan dikasih tahu. Dia nggak akan tahu dari aku karena aku nggak berhak menceritakan hal sepribadi itu pada Tanto. Tapi kalau mau dengar saranku, lebih baik jujur sejak awal. Hubungan lebih gampang dijalani kalau dilandasi kejujuran. Oke, aku pergi ya" pamitnya lagi.

Lama setelah Renata pergi, mata Renjana masih nyalang menatap langit-langit. Dia tidak bisa tertidur. Akhirnya dia bangkit dari tempat tidur. Dia membuka koper dan mengeluarkan ponsel. Benda yang sudah dua minggu tidak disentuhnya itu akhirnya dia nyalakan. Teleponnya diangkat pada dering pertama.

"Kak, aku mau pulang," bisik Renjana. "Tolong jemput aku." Sudah saatnya mengakhiri perjalanan ini.

**

Versi lengkap ada di Karyakarsa ya. Kalau belum baca dan pengin cepet tamat, bisa ke sana. Tengkiuuu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro