Dua Puluh Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Renjana mendapati Tanto berdiri di depannya ketika membuka pinta vila. Dia tidak sempat mengintip karena mengira yang mengetuk pintu adalah pegawai restoran. Dia memang sedang menunggu salad yang dipesannya.

Tadi siang Renjana tidak memesan makanan, tetapi dia tetap menerima kiriman makanan dari restoran. Dia menduga jika Renata-lah yang memesan untuknya. Sayangnya suasana hati Renjana terlalu kacau untuk makan. Dia hanya bisa menelan beberapa suap saja. Sekarang, setelah menghubungi rumah untuk bicara dengan Ezra dan beristihat sejenak, Renjana sudah lebih tenang. Dia akhirnya merasa lapar. Bagaimanapun, dia harus menjaga kondisinya. Dia memilih salad karena makanan segar dan ringan akan lebih mengundang selera dan mudah dihabiskan.

Ezra sementara dalam perjalanan ke sini untuk menjemputnya. Renjana hanya perlu menunggu beberapa jam lagi. Hampir semua barangnya sudah dirapikan di dalam koper, siap diangkat.

"Hai, kamu sudah mendingan?" tanya Tanto.

Renjana ikut menarik sudut bibir untuk membalas senyum Tanto. Ini adalah kesempatan terakhir untuk menatap wajah itu, jadi Renjana harus memanfaatkannya sehingga bisa menyimpannya dalam benak selamanya. "Jauh lebih baik, Mas. Maaf karena saya sudah merusak acara tadi."

"Boleh masuk?" Tanto tidak menanggapi permintaan maaf itu.

Renjana tersipu. Dia tuan rumah yang payah. Renjana segera menepi dari depan pintu untuk memberi ruang pada Tanto. "Tentu saja. Silakan masuk, Mas."

Mereka baru saja duduk ketika ketukan pintu terdengar. "Biar saya saja." Tanto beranjak lebih dulu. Tidak lama, dia kembali dengan piring salad pesanan Renjana. Dia menunjuk meja makan di bagian dalam ruangan. "Langsung kamu makan ya."

Renjana mengikuti Tanto yang menuju meja makan. Dia menyesal tidak sempat menyingkirkan makanan tadi siang yang nyaris tidak disentuhnya ketika melihat Tanto mengernyit melihat isi meja makan.

"Lho, tadi siang kamu nggak makan?"

Renjana mendesah pasrah. Baru juga tercetus di benaknya, Tanto sudah menanyakannya.

"Ehm... tadi itu belum lapar, Mas. Makanan ini kayaknya Mbak Renata yang pesenin."

"Kebiasaan baik itu adalah makan tepat waktu meskipun belum lapar karena tahu tubuh membutuhkan nutrisi. Kesehatan itu anugerah lho. Jangan disia-siakan." Tanto menarik kursi untuk Renjana. "Sekarang kamu makan salad-nya, setelah itu kita ke kafe atau restoran untuk mencari makanan yang lebih berat untuk kamu."

Orang yang menjadi pasangan Tanto pasti sangat beruntung, pikir Renjana. Laki-laki itu sangat baik. Seandainya tidak punya keterbatasan, Renjana mungkin akan memiliki keberanian untuk berjuang mendapatkan tempat itu, meskipun rasanya agak mustahil jika orang sedewasa Tanto akan jatuh cinta padanya.

Renjana mulai menusuk salad-nya dan mengunyah. Rasa lapar yang tadi dirasakannya menghilang secara ajaib. Makan di bawah tatapan Tanto tidak mudah. Renjana merasa sedang diawasi oleh juri dalam kontes etika makan.

"Kalau Mas haus, di kulkas ada minuman," kata Renjana. Akan lebih baik jika dia tidak mengunyah dan menelan makanannya di depan Tanto. Rasanya sangat tidak anggun.

"Oke." Tanto menggeser kursinya dan berjalan menuju kulkas. Tapi dia tidak butuh waktu selama yang diharapkan Renjana untuk kembali ke kursinya. Tanto meletakkan salah satu dari dua botol mineral yang dibawanya ke depan Renjana. "Mau pakai gelas?"

Renjana jelas butuh gelas karena tidak mungkin minum langsung dari mulut botol di depan Tanto, tapi dia tidak mau merepotkan. "Nanti saya ambil sendiri, Mas."

"Ambil gelas saja nggak mungkin repot." Tanto berdiri lagi.

Renjana menggunakan kesempatan itu untuk menghabiskan makanannya dengan cepat. Setelah itu dia mengusap sudut bibir dengan tisu untuk meyakinkan tidak ada remah makanan yang tertinggal. Kalau Tanto kelak akan mengingatnya, Renjana tidak ingin diingat sebagai orang yang berantakan saat makan. Tidak perlu manambah kata lemah, kikuk, dan tidak percaya diri yang pasti sudah ada dalam daftar Tanto saat menggambarkan dirinya.

Tanto kembali dengan sebuah gelas. Dia lantas menuang air dari botol ke dalam gelas. "Setelah ini kita jalan-jalan di pantai sebelum ke kafe atau restoran ya. Eh, kram perut kamu gimana, sudah bisa dibawa jalan?"

Renjana bingung sejenak sebelum menyadari jika kram perut itu pasti adalah alasan yang dipakai Renata sebagai penjelasan mengapa dia menangis kesakitan saat mendaki tadi pagi.

"Sudah baik kok, Mas. Nggak terasa lagi." Renjana tidak akan melewatkan kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama Tanto. Ezra hanya datang untuk menjemputnya, jadi mereka akan langsung pulang.

"Syukurlah kalau begitu. Sakit saat sedang liburan itu nggak enak banget. Apalagi kalau sendirian."

Itu pasti alasan Tanto mau menemaninya selama ini, pikir Renjana. Karena tidak tega melihatnya menghabiskan liburan sendiri. Tapi Renjana tidak peduli tentang itu lagi. Tujuannya adalah membuat kenangan sebanyak mungkin untuk diingat selama beberapa jam ke depan. Ini tentang dirinya, perasaannya. Dia tidak perlu kecil hati memikirkan jika Tanto hanya menganggapnya sebagai anak hilang yang harus dihujani rasa kasihan.

Renjana buru-buru meneguk minumannya. "Saya ganti baju dulu, Mas." Tidak masalah membongkar kembali kopernya untuk mencari pakaian yang akan mendapatkan kehormatan dipakai terakhir kali bersama Tanto.

"Ini liburan, dan resor ini bukan tempat umum yang ramai. Kamu nggak perlu ganti baju. Pakai jaket saja supaya kamu nggak kedinginan kalau matahari mulai tenggelam."

Tidak, tentu saja Renjana tidak akan memakai piamanya. Dia segera masuk ke kamarnya dan keluar dengan blus yang dilapisi outer plus rok lebar kembang-kembang kesayangannya. Dia suka penampilannya yang seperti ini karena terkesan feminin.

Mereka lalu berjalan-jalan menyusuri pantai. Rute yang sudah sangat familier karena nyaris setiap hari dilewati Renjana. Tapi hari ini terasa berbeda, mungkin karena dia sadar ini adalah saat-saat terakhir bersama Tanto sehingga dia lebih sentimental.

Ini ironi, batin Renjana ketika teringat alasannya mengunjungi ke resor ini. Dia ke sini untuk menyelesaikan keinginan Cinta yang kembali ke tempat ini untuk melupakan, sementara Renjana akan meninggalkan tempat ini dengan membawa kenangan untuk selalu diingat.

Sore ini air laut sedang surut sehingga garis pantai bergeser lumayan jauh. Sebuah keluarga yang terdiri dari orang tua dan 2 orang anaknya sedang bahu-membahu membangun istana pasir. Kelihatannya menyenangkan karena ekspresi keempat orang tua tampak antusias. Tawa mereka saling menimpali.

"Saya belum pernah membuat istana pasir selama berada di sini," gumam Renjana tanpa sadar. Dulu, sampai SMA, saat berlibur ke pantai seperti sekarang, dia dan Cinta selalu mendirikan istana pasir, walaupun pekerjaan itu sering kali tidak pernah selesai karena keburu air pasang, atau mereka dipanggil masuk kembali ke vila ketika ibu mereka merasa jika Renjana dan Cinta sudah terlalu lama berada di bawah paparan matahari.

"Masih ada besok," sahut Tanto. "Air laut masih akan surut di waktu seperti ini 2 sampai 3 hari mendatang."

Renjana langsung menyadari jika apa yang dikatakannya terlalu kekanakan. "Saya nggak pantas lagi untuk membuat istana pasir. Itu mainan anak-anak."

"Orang membuat istana pasir untuk bersenang-senang, dan cara orang mendapatkan kegembiraannya seharusnya tidak menjadi bahan cemoohan. Lagi pula, semua orang pasti punya sisi kekanakan dalam diri mereka. Liburan adalah saat yang tepat untuk bersikap lepas dan membiarkan sisi itu keluar karena orang yang melihatnya akan lebih permisif."

Renjana mengangkat bahu dan membiarkan percakapan itu lepas. Membahas istana pasir di penghujung pertemuan terasa mubazir. Untuk sekali ini, Renjana ingin dilihat sebagai perempuan, bukan remaja tanggung kekanakan yang merengek karena belum membuat istana pasirnya padahal berada di pantai setiap hari. Menjejak bahan baku istananya di bawah kakinya.

"Aku senang karena memilih tempat ini untuk berlibur," kata Renjana setelah mereka cukup lama terdiam seolah sedang menghitung langkah.

Tanto tertawa kecil. "Niat awal kamu ke tempat bukan untuk berlibur, tapi kabur ke tempat yang kamu yakin orang tuamu tidak akan bisa menemukanmu. Jadi, kamu sudah menghubungi mereka?"

"Sudah." Renjana lega karena dia tidak harus berbohong kali ini. "Mereka sudah tahu saya berada di sini."

"Menyelesaikan masalah dengan orang tua tidak akan sulit karena cinta selalu menjadi jembatan untuk setiap perbedaan. Perasaan sayang akan membuat orang cenderung mengalah dan menahan ego. Jadi, apa yang membuatmu senang karena tidak salah memilih tempat untuk kabur?"

"Tempatnya bagus banget." Renjana merentangkan tangan. "Pantainya luas sehingga tamu nggak kelihatan numpuk. Kesannya seperti punya pantai pribadi. Makanannya juga enak-enak." Renjana tersipu saat memutuskan melanjutkan, "Saya juga senang karena bertemu dengan Mas Tanto, Bu Helga, dan Mbak Renata di sini. Saya nggak terlalu pintar bersosialisasi, jadi nggak menduga akan bertemu dan bisa berteman dengan orang baru. Ini pengalaman yang tidak akan terlupakan seumur hidup saya."

"Saya juga senang bertemu dengan kamu." Tanto mengurungkan kalimat lanjutan yang hampir terucap. Belum saatnya. Dia menghentikan langkah. "Sekarang kita sebaiknya balik ke resor sebelum restoran ramai. Kamu butuh makan malam lebih awal. Orang nggak bisa hidup hanya dengan mengandalkan sayur dan alpukat."

"Salad-ku tadi ada ayamnya lho, Mas," gerutu Renjana mengingatkan. Tapi dia senang dengan dengan perhatian Tanto.

Tanto berdecak mencemooh jawaban Renjana. "Hanya beberapa iris. Itu nggak bisa dihitung sebagai sumber protein. Kalorinya juga nggak seberapa."

Renjana mengikuti langkah Tanto yang sudah berbalik kembali menuju kompleks resor. Dia memberanikan diri memegang siku Tanto. Ini adalah hal paling berani yang pernah dia lakukan pada lawan jenis. Dulu, dia juga perpegangan tangan dengan Justin, tetapi waktu itu hubungan mereka jelas, dan Justin yang lebih dulu menggenggam tangannya. Sementara Tanto yang digandengnya sekarang bukan siapa-siapanya.

Renjana merasa sedikit tenang karena Tanto tidak menarik lengannya seperti yang dikhawatirkannya. Laki-laki itu bahkan berkomentar apa pun, seolah kenyataan bahwa Renjana menggandengnya adalah hal yang biasa. Keheningan kembali menguasai mereka. Bukan sunyi yang canggung, dan Renjana menikmatinya. Pasti menyenangkan bisa kalau bisa menggandeng Tanto seumur hidupnya. Sayangnya dia bukan orang terpilih untuk bisa menikmati kemewahan seperti itu. Kesempatannya hanya terbatas kali ini saja. Setelah makan malam yang kepagian, mereka akan berpisah untuk selamanya.

Mereka tidak terlalu lama di restoran karena memesan spageti yang tidak butuh waktu lama untuk disiapkan, dan belum banyak tamu yang harus dilayani. Matahari belum benar-benar tenggelam ketika mereka berjalan bersisian keluar restoran.

Kali ini Renjana tidak harus menggandeng Tanto karena laki-laki itu lebih dulu menggenggam jari-jarinya. Dia seperti tahu jika Renjana mengingingkan sentuhan seperti itu. Mungkin perasaannya tergambar jelas. Seharusnya itu memalukan, tetapi Renjana tidak peduli lagi, toh mereka tidak akan bertemu lagi.

Perjalanan dari restoran menuju vila mendadak terasa terlalu singkat. Renjana belum ingin mengakhiri kebersamaannya itu, tetapi tidak punya keberanian untuk mengutarakannya. Terkadang segala sesuatu memang hanya perlu diterima, tidak untuk ditentang atau dibatalkan.

"Istirahat ya." Tanto melepaskan tautan tangan mereka saat sudah berada di depan pintu vila Renjana. "Besok pagi saya jemput untuk sarapan sama-sama setelah berenang dengan Risyad."

Renjana hanya tersenyum, tidak menjawab. Besok pagi, dia sudah berada dalam penerbangan pulang ke Jakarta. Sebelum kehilangan keberanian, Renjana berjinjit dan mengecup pipi Tanto.

"Terima kasih," bisiknya. "Berada di tempat ini, dan bertemu Mas Tanto adalah salah satu momen terbaik dalam hidup saya. Terima kasih banyak." Renjana buru-buru berbalik dan masuk vilanya agar tidak perlu melihat ekspresi Tanto. Dia tidak ingin melihat keterkejutan, apalagi penolakan karena apa yang baru saja dia lakukan. Dia ingin mengingat yang terbaik.

Di balik pintu, Renjana bersandar dan mencoba meredakan debaran jantungnya. Hari ini dia bukan dirinya, tapi dia tidak menyesal telah bertindak begitu berani. Ini adalah pengungkapan selamat tinggal yang sempurna. Ya, selamat tinggal.

**

Di Karyakarsa sudah tamat ya. Bisa ke sana kalau penasaran. Tengkiuuuu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro