---12. Semangat Juang---

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi baru datang. Suasana Malang yang sejuk menyambut Vivi dan Dani. Mereka menikmati sarapan berdua. Ada perasaan hangat yang menyatukan keduanya sejak semalam. Namun di balik senyum Vivi, terselip pula ganjalan yang membuatnya gelisah.

"Dan, soal tadi malam. Apa kita akan ...?" Vivi tidak melanjutkan kalimat. Ia bingung sendiri dengan apa yang sesungguhnya ia inginkan.

"Kamu keberatan? Kita tidak akan melakukannya lagi kalau kamu nggak suka."

"Bukan begitu. Apa kita harus meresmikannya nanti?"

Dani termangu. "Apa itu harus? Aku nggak keberatan kalau kamu memang mau begitu."

Vivi menggigit bibir. "Kamu mau ikut caraku?"

Dani mengangguk. "Aku sudah nggak peduli lagi mau pakai cara apa. Keinginan orang tua udah aku ikuti. Mereka juga udah nggak ada. Sebentar lagi aku mati. Nggak masalah mau ke neraka atau surga. Aku udah muak dengan segala pengkotakan dan batasan itu."

"Tapi menikah dengan caraku nggak bisa instan ...."

"Kita harus ngadepin orang tuamu pula."

Kontan, Vivi teringat Brian. Bukan hanya papa dan mamanya yang akan menentang keras. Ia tidak yakin Brian akan tinggal diam. Wataknya saja keras dan ngototan. Bisa-bisa calon suaminya itu membuat perkara ini menjadi panjang.

"Aku mau jujur padamu," ucap Vivi setelah sekian lama mengulur waktu dengan berkali-kali memainkan sendok dan garpu.

Dani mengembangkan senyum. "Kamu punya tunangan?"

Vivi kaget. "Kamu tahu dari Dokter Damian?"

Dani mengangguk. "Hmm, ada satu lagi. Sebenarnya setelah membeli mille feuille buat kamu, aku balik lagi ke sana dan duduk-duduk minum kopi. Yah, buat membunuh waktu. Nggak lama kemudian, datang seseorang yang mencari kue yang sama buat kekasihnya. Lalu, aku lihat kalian keluar dari rumah sakit berdua."

Vivi mengangguk. "Iya. Namanya Brian. Kami dijodohkan."

Dani mengamati wajah wanita terkasih itu dalam-dalam. Ia bisa merasakan kegalauan hati Vivi. Saat berjalan bersisihan dengan Brian, wajah Vivi tidak terlihat berbinar. Tidak, Vivi tidak boleh terpaksa menikah. Ia tidak rela! Entah mengapa, ia tidak percaya Brian bisa membahagiakan wanitanya ini.

"Kamu bisa mengambil contoh pengalamanku. Aku menikah demi menyenangkan orang tua. Lihat apa jadinya. Bertahun-tahun kami habiskan untuk saling menyiksa. Akhirnya pernikahan itu runtuh juga," ucap Dani.

Vivi masih terdiam. Selera makannya menguap sehingga ia menyudahi acara sarapan dengan meneguk air putih. Ucapan Dani mengena sekali. Bukankah ia tidak merasakan apa-apa bersama Brian? "Aku harus putuskan dia?" bisiknya.

Dani menggeser duduknya mendekati Vivi. Direngkuhnya pinggang ramping wanita itu. "Perasaan kita masih sama seperti dulu. Jangan mengingkarinya lagi, Vi. Kita berhak untuk hidup dengan cara yang kita inginkan. Kita berhak untuk bersama."

Getaran lama dalam dada Vivi semakin menguat. Ia merebahkan kepala di dada Dani. Mungkin waktu mereka tidak lama. Ia pun enggan melepas kebersamaan ini. "Aku sayang kamu, Dan."

"Umurku nggak akan panjang. Masa kita nggak boleh bahagia sebentar aja? Toh kita hidup bersama itu nggak merugikan orang lain." Dani mempererat pelukan.

Mendengar kata hidup bersama, hati Vivi kembali menciut. Betapa banyak yang akan mereka hadapi. Betapa banyak norma dan dogma yang akan mereka langgar.

"Kita akan mengurus pernikahan secara resmi bila itu membuatmu nyaman," ucap Dani lagi.

Melihat Vivi tercenung, Dani meraih tangannya. Jangan-jangan Vivi ragu karena pernikahan mereka kemungkinan besar akan diisi dengan penyakit dan kematian. "Doakan aku selamat melewati ini, Vi. Aku janji akan berjuang semaksimal mungkin untuk tetap hidup demi kamu."

Air mata membasahi kedua pipi Vivi. "Jangan pernah ngomongin kematian selagi kamu masih bernapas, Dan. Aku nggak sanggup mendengarnya!"

Dani tersenyum, lalu mengelus pipi Vivi dengan sayang. "Iya, kamu nggak akan mendengarnya lagi."

☆---Bersambung---☆

Komen please ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro