---13b. Wewedan---

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menjelang asar, mereka sampai di rumah yang dituju, yaitu rumah berbentuk joglo yang terletak di pojokan desa. Jalan menuju ke sana masih berupa tanah yang diperkeras dengan kerikil. Walau letaknya terpencil, rumah itu besar dan terawat. Strukturnya terbuat dari kayu yang terlihat bagus. Mungkin kayu jati tua yang langka. Pekarangannya juga luas. Singkatnya, rumah itu terlihat mewah walau tua.

Seorang anak kecil menyambut mereka, lalu meminta mereka duduk di pendopo yang berlantai pualam. Dani menduga pemiliknya pasti sangat kaya, bisa mendatangkan kayu jati tua dan pualam alami seperti ini. Aura mistis memenuhi area itu karena banyak pajangan senjata dan berbagai tengkorak binatang di meja, tiang, dan dinding. Selain itu ada sesajen—lengkap dengan dupa yang mengepulkan asap wangi—diletakkan di beberapa sudut bangunan.

Beberapa waktu kemudian, seorang lelaki muncul dari balik pintu kayu jati berukir. Wajahnya masih terlihat muda, namun jenggot panjang dan rambut gondrongnya telah beruban. Ia mengenalkan diri bernama Nowo.

Dani membuka mulut hendak menyampaikan maksud. Ternyata ia kalah cepat.

"Dik Dani ini datang mau diambil tumornya?"

Dani terpana. Lelaki yang mengenakan sarung batik ini ternyata tahu nama dan penyakitnya. Benar-benar sakti! "Nggih, Pak," jawabnya dengan santun.

"Weeeh, jangan panggil 'pak'. Saya ini baru 45 loh. Dik Dani berapa? Belum 40, kan?" tanya Nowo sembari tersenyum lebar.

"Belum. Saya baru 36," sahut Dani.

"Wah, masih kinyis-kinyis sudah sakit parah," gumam Nowo sambil manggut-manggut.

Dani hanya bisa meringis. Sakit kepalanya tiba-tiba semakin berat sehingga tanpa sadar ia mengernyit. Melihat itu, Nowo mengarahkan telapak tangan kanan ke kepala Dani. Lelaki muda itu merasakan hawa hangat memasuki batok kepalanya. Ajaib, rasa sakit itu reda seketika.

"Dik Dani, semua hasil itu ditentukan oleh Yang di Atas. Saya hanya sebagai perantara saja," ujar Nowo setelah melihat Dani terpana kagum karena efek penyaluran tenaga dalam tadi.

"Nggih, Mas. Saya paham."

"Nah, setiap hasil itu ada harga yang harus dibayar," lanjut Nowo.

Sekali lagi, Dani mengangguk. "Nggih, Mas. Berapa?"

Nowo mengangkat tangan. "Bukaaaan, bukan uang. Tapi syarat-syarat seperti tirakat, puasa, dan berderma. Ya pasti ada ritual-ritual yang membutuhkan biaya, tapi bukan itu intinya."

"Nggih, Mas, apa pun itu, saya siap. Tapi apa tumor saya bisa dibuang?"

Nowo termenung sembari mengelus janggut. "Hmmm, daging tumbuh itu sayang sekali ndak bisa dibuang, Dik. Tapi ada jalan untuk hidup panjang. Intinya itu Adik mau panjang umur, kan? Ndak masalah sambil punya tumor?"

Dani merenung sejenak. "Inggih, Mas. Tapi saya ingin panjang umur dan sehat. Kalau masih ada tumornya masa bisa sehat?"

Nowo mencodongkan badan ke ke depan. "Lah Adik sekarang masih sehat kan biarpun punya tumor di kepala?"

"Oh, jadi saya bisa tetap seperti sekarang selamanya?"

"Iya! Gimana, cukup adil, kan?"

Dani termangu sejenak. Sekarang ia memang hanya terganggu sakit kepala. Tapi tangannya tidak bisa diajak bekerja padahal tangan itu sumber nafkah. Bagaimana masa depannya nanti? Dani mengulurkan tangan kanan dan menggerakkannya di depan Nowo. "Tapi saya kepingin sembuh total. Kalau tangan saya cacat begini, saya nggak bisa kerja, Mas."

Nowo terkekeh. Ditamparnya tangan Dani keras-keras hingga lelaki itu meringis kesakitan. "Mana? Mana tangan yang cacat? Manaaa?"

Dani terkesiap. Ia mencoba menggerakkan jemari tangan kanan yang kaku itu. Ajaib! Tangannya ternyata tidak kaku lagi! Semua gerakan jari bisa dilakukan dengan lancar. Ia bahkan bisa mencengkeram dengan kuat! "Mas, ilmu apa ini?"

Nowo terkekeh. "Yang jelas bukan ilmunya Mbah Wito! Nggih mboten, Pak Jo?" tanya Nowo sembari mengerling ke Pak Jo. Ia tahu lelaki itu sedari tadi menatapnya dengan curiga. "Orang luar memang sering menuduh saya memakai ilmu hitam. Lah, mana ada ilmu itu hitam atau putih? Ilmu ya ilmu. Kalau ilmu itu dipakai buat kejahatan, yang dosa orangnya, bukan ilmunya! Nggih mboten Pak Dokter?"

Sekali lagi Dani terkagum. Nowo bahkan tahu profesinya! Ia langsung mengangguk dan mengacungkan jempol. "Benar sekali, Mas! Ilmu kedokteran juga bisa dipakai untuk membunuh kalau dokternya jahat."

"Tapi ingat!" Nowo menuding muka Dani. "Ada hasil, ada harga!"

Dani langsung setuju tanpa berpikir panjang. Nowo pun memberikan catatan berbagai bahan yang harus disiapkan.

"Ada satu hal lagi, Dik," ujar Nowo sambil menyerahkan catatan tersebut.

"Nggih, Mas?"

"Ritual yang akan kita jalankan ini sebenarnya sangat langka. Saya pun baru sekali ini akan melakukannya. Jadi, segala risikonya saya tidak bisa menjamin, harus Dik Dani tanggung sendiri."

Dani mengerjap bingung. "Tapi saya bisa hidup panjang dan bebas rasa sakit dan bisa bekerja seperti biasa?"

"Kalau itu, saya jamin bisa, Dik. Tapi kalau ada hal-hal yang di luar pengetahuan saya, saya tidak bisa membantu. Gimana, sanggup?"

Jaminan untuk sembuh itu sudah cukup bagi Dani. Biarlah masalah lain diselesaikan nanti. Bukankah itu lebih baik daripada pasrah menunggu kematian seperti saran Mbah Gito?

"Sanggup, Mas," jawabnya mantap.

___________

[1] Desa Wewedan hanya nama fiktif, jangan dicari-cari di Google, apalagi dicari ilmu hitamnya wkwkwk.

---Bersambung---

Follow IGku yuk, buat dapetin info-info seputar novelku

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro