Shadow Enchantress

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pemuda itu masih saja terdiam di dalam kegelapan. Tubuhnya berbaring di tanah, beralaskan hanya selapis matras. Seluruh tubuhnya tertutup selimut, tapi aku bisa melihat gemetar yang samar-samar terlihat menjalari sekujur selimut yang tebal seperti bukit kecil di tengah ruang gelap itu.

Aku memandangi sosok yang berbaring memunggungiku itu dengan hati tersayat. Seharusnya aku membawa selimut yang lebih tebal. Seharusnya aku membawa lebih banyak matras. Tapi jika aku membawa terlalu banyak barang ke gua sempit ini, akan ada orang yang curiga. Jika sudah ada yang curiga, cepat atau lambat, akan ada yang menemukan orang ini ini di sini. Dalam keadaan lemah tidak berdaya, sempurna untuk diserang atau dijadikan sandera.

Itu hal terakhir yang aku inginkan sekarang.

Aku mengeluarkan orb kecil dari balik keliman gaun terusanku yang sederhana. Dengan mengalirkan sedikit sihir, orb di tanganku menghangat tanpa adanya suar atau cahaya. Sempurna untuk sebuah tindakan yang akan dilakukan sembunyi-sembunyi tanpa sisa, jejak, maupun riwayat.

"Siapa?!"

Sosok itu bangun dengan tersentak kaget. Ia setengah duduk di atas matras itu. Sosoknya langsung merapatkan diri ke dinding. Seakan mencari perlindungan dari dinding-dinding batu yang aku yakin, tidak akan bergerak sedikit pun meski ia dicabik-cabik di sini.

Kemudian ia diam, hanya mengamati. Tapi kepalanya beredar tiada henti. Telinganya mencoba mendengar sekeliling. Dan tidak butuh waktu lama, kepalanya mengarah tepat ke posisiku berdiri sekarang.

Aku tidak bisa tidak takjub.

Aku sudah merenggut separuh pendengarannya tapi ia masih bisa menerka seakurat itu.

Apa yang ia jadikan tolak ukur untuk menyambut kedatanganku? Suara langkah kaki? Padahal aku yakin slipper-slipper ini tidak mengeluarkan suara tadi. Aku sudah memastikan sihir peredam melapisinya sedikit agar langkahku tidak meninggalkan jejak di rerumputan.

Kalau bukan suara kaki, lantas apa yang ia gunakan sebagai acuan kedatanganku?

Menarik.

Dia selalu bisa membuatku penasaran dan takjub.

Sayang sekali aku tidak bisa menanyakannya secara langsung.

Aku segera memasang penghalang di dinding luar gua, menghalangi mata-mata awam melihat ke dalam sini. Kemudian aku mengetuk dinding gua dalam tiga pola berurutan empat-dua-tiga.

Kode yang aku sepakati dengan dirinya.

"Ka-kau! Apa itu benar kau?" Sekali lagi aku mengetuk dinding. Dua kali.

Kode untuk jawaban: Ya.

Kemudian aku menyalakan cahaya dari orb di tangan. Cahaya jingga seketika memenuhi seluruh ruang gua yang gelap itu. Kehangatan dari sihir api yang aku alirkan ke dalam orb membuat kelembapan dan rasa dingin di dalam sana sedikit menyingkir. Syukurlah, sekarang sudah lebih nyaman.

Di dinding gua, tergantung sebuah orb yang sudah tidak lagi menyala. Orb terakhir yang aku tinggalkan sebagai modal kehangatan di tempat ini. Aku segera memakai orb itu untuk mengisi kembali energi sihir di dalamnya, sementara menggantung yang baru sebagai bekalnya seharian besok.

"Kau ... kau datang terlambat." Pria itu kembali bersuara dan aku menoleh. "Apa ada yang terjadi? Sesuatu yang buruk?"

Dalam keremangan cahaya jingga, pria itu tampak seperti entitas dari dunia lain. Seluruh sosoknya bagaikan berpendar di tengah redupnya cahaya. Meski hanya dengan satu lembar pakaian sederhana dari katun, tubuh penuh perban dan luka yang tidak kunjung pulih, aku masih bisa terpukau oleh betapa sempurnanya dia, mulai dari betapa kontras rambut hitamnya di atas wajah pucat yang tidak henti memandang ke arahku, garis sudut rahang yang kuat dan selalu seperti ingin menggertakkan gigi karena marah, hidung mancung, hingga bibirnya yang ranum tapi tidak pernah tersenyum.

Sekarang, di gua sepi tempat hanya kami berdua ini, ia tidak tampak lebih dari seorang pria malang yang penuh luka. Pria yang kebetulan punya wajah tampan dan butuh pertolongan segera.

Tapi di luar gua ini, kisahnya benar-benar lain.

Aku mengetuk dinding gua tiga kali sebagai jawaban dari pertanyaannya sebelum ini.

Kode untuk jawaban: Tidak.

"Kau tidak bohong?"

Dia sepertinya menyadari aku tidak menyahuti pertanyaannya secepat biasa.

Tidak.

Dia tentunya tahu pertanyaannya itu ambigu sekali, kan? Jawaban ya atau tidak, semuanya akan terserah pada persepsinya.

Ya, selama itu tidak menggangguku sama sekali, aku tidak masalah.

Aku segera mengeluarkan apa saja yang aku bawa dari keranjang rotan. Sebotol air dan ramuan penyembuh yang aku beli dari warlock di pusat kota dan tiga potong roti gandum kecil. Aku rasa ini cukup untuk satu hari ini.

Aku berjalan mendekat, menghampiri pria itu. Selama aku mendekat, bayanganku dan dirinya saling menyatu. Tumpang tindih satu sama lain. Saat itulah, aku bisa merasakan kehadiran otot tambahan di sepanjang lenganku. Otot dan tulang itu tidak menjadi bagian utuh tubuhku, tentu, tapi dia ada di seluruh diriku, seperti membungkus. Seperti baju zirah. Dan aku bisa mengendalikannya sepuas hati.

Dengan satu ayunan tangan, bayangan hitam di bawah kakinya bergerak. Kedua tangannya terangkat dan terentang dari kanan ke kiri.

Pria itu tidak lagi meronta sekarang. Berbeda dari tiga hari lalu dan bahkan dari kemarin. Sepertinya kondisinya sudah jauh lebih baik. Ramuan pemulihan dari para warlock itu bekerja dengan efektif. Aku lega. Setidaknya aku tidak lagi ditipu warlock kelas teri. Ramuan mahal itu terbukti begruna, aku tersenyum sendiri.

Kemudian aku meletakkan satu nampan makanan lengkap yang biasa itu di dekatnya. Ada di jangkauan tangannya. Sekali lagi, tanpa suara. Bahkan rok gaunku yang mengayun, tidak menimbulkan angin. Sihir pekat menyelimuti tubuhku, menghalangi suara apa pun bocor di luar sepengetahuanku.

Selesai dengan itu, aku kembali mundur, bayangan kami terpisah dan kedua tangan pria itu pun kembali jatuh ke masing-masing sisi tubuh.

Sepertinya teknik bayanganku juga mengalami kemajuan. Aku tidak perlu lagi menirukan gerakan secara utuh sampai membahayakan diri. Cukup kuasai gerakannya di ujung jari jemari, persis seperti kata Master.

Diam-diam aku melirik pria itu. Kini ia meraba-raba tanah. Dalam waktu cepat, ia berhasil meraih roti yang aku letakkan di sana.

Tentu saja, karena aku meletakkannya selalu di titik yang sama. Agar tidak menyusahkannya.

Setidaknya hanya itu yang bisa aku lakukan, untuk menebus semua sisi egoisku selama ini.

Dalam diam, aku memerhatikan pria itu makan. Lebih tepatnya, memerhatikan matanya yang kelabu. Aku mengaburkan matanya agar tidak mampu melihat apa pun. Sepenuhnya buta selama ia ada di sini. Tidak seperti telinganya yang hanya aku tutupi setengah, mata dan penciumannya aku tutupi seutuhnya. Kami juga tidak pernah bersentuhan.

Jadi dia tidak tahu suaraku, tidak tahu rupaku, tidak tahu aromaku, dan tentunya tidak tahu bentuk wajah ataupun tubuhku.

Jika takdir memutuskan untuk bermain kejam dengan mempertemukan kami kembali suatu hari nanti pun, dengan status asli kami masing-masing, dia tidak akan mengenaliku. Dia butuh menjadi binatang buas seutuhnya yang mengandalkan insting jika ingin mencariku. Itu pun, jika tidak salah tangkap.

Aku tertawa.

Binatang buas. Aku baru menjulukinya demikian.

Padahal aku tidak ada bedanya dengan binatang buas. Aku menggunakannya sebagai eksperimen hidup untuk sihir bayangan ini. Untuk melatih kemampuanku selama mengurusinya di sini.

"Kompensasi dari tindakan heroikku menyelamatkanmu yang sekarat di tepi jurang."

Itu alasanku kepada diriku sendiri.

Tapi aku tidak pernah semulia itu. Aku tidak punya niatan bersih sejak awal menolongnya. Dku mengamati orb yang menggantung di sisi kiri. Di balik orb itu menggantung satu kalung dengan cincin bermata topaz yang indah.

Di dalam batu topaz itu, terlihat sebuah lambang keluarga: dua ekor ular kembar saling melilit di sekeliling simbol keluarga Veritas.

Duchy of Veritas.

Aku mengetuk-ngetuk jari ke pangkuan dengan tidak sabar. Tangan kanan kekaisaran Laumaji. Tombak utama dari kekaisaran Laumaji: musuh dari kekaisaran Norvan, kekaisaran tempatku tinggal.

Aku dengar setiap anggota Duchy satu itu memang diberi tanda di tubuh mereka, entah lewat aksesoris ataukah tato.

Kecuali orang ini adalah penipu ulung yang mencuri aksesoris ini dari anggota Duchy Veritas yang asli dan mencari mati dengan tombak utama kekaisaran Laumaji, aku rasa dia asli.

Seorang Veritas, ada di genggaman tanganku. Seharusnya aku bisa memanfaatkan ini. Seluruh keluargaku dan kekaisaran akan bangga jika aku bisa menghadiahkan mereka kepala dari kaum barbar Laumaji.

Tapi di sinilah aku, dengan konyolnya malah menolong salah satu dari orang-orang Laumaji. Yang lebih parah, aku menolong orang yang kemungkinan adalah anggota Duchy Veritas ... dari semua orang di kekaisaran busuk itu!

"Kau belum pergi juga?"

Aku menatap pria itu dengan kesal. Dia ingin mengusirku? Sudah berani dia lancang mengusirku? Dia lupa siapa yang menghabiskan waktunya berjam-jam untuk mengobatinya sampai bisa bangun, makan, dan bicara lagi begitu?

Kalau mau protes, kembalikan waktuku yang sudah aku buang untuk—

"Kau biasanya pergi setelah mengantarkan ini."

Ah, aku jadi merasa bersalah sendiri sekarang.

Tentu saja, tentu saja pria ini benar. Aku biasanya langsung pergi setelah mengantar obat dan makanan. Dan karena ini sudah berlangsung setidaknya enam bulan. Aku rasa ini akan jadi kunjunganku yang terakhir.

"Apa kau sedang memikirkan sesuatu?"

Aku berpikir sejenak sebelum mengetuk dinding dua kali:

Ya.

Aku menghela napas. Dilihat dari mana pun, ini benar-benar konyol. Aku yang keturunan kekaisaran Norvan berbicara dengan orang dari kekaisaran musuh. Tanpa saling mengacungkan senjata. Malahan, kami bercakap dengan tenang, meski berat sebelah, dan malah aku ada di posisi penolong di sini.

Kalau keluargaku lihat, mereka bisa menjadikan ini skandal untuk benar-benar mengusirku dari mansion!

Ini harus segera diakhiri sebelum diendus oleh orang-orang kurang ajar itu.

Aku menyipitkan mata, memastikan semua barang yang aku kenakan sudah terlapisi efek peluruh, termasuk .... Aku menoleh ke arah orb yang menggantung di sana.

Sip, semua sudah terlapisi efek peluruh. Aku hanya bisa berharap ramuan itu bekerja sesuai tenggat waktu yang direncanakan. Orb itu memang agak mengkhawatirkan karena biasanya orb punya ketahanan lebih kuat pada serangan sihir. Tapi jika dari ramuan, masih ada kemungkinan berhasil.

"Aku baru sadar." Pria itu kembali bicara. "Selama aku ada di sini, kita belum saling berkenalan."

Tidak perlu. Itu tidak perlu. Semakin aku tahu namamu, semakin terikat kita nanti. Aku tidak mau ada yang sakit hati kalau di pertempuran nanti kita akan saling bunuh. Lebih baik aku tidak kenal siapa yang kepalanya aku penggal atau tubuhnya aku hancurkan.

"Aku akan memperkenalkan diriku lebih dulu." Pria itu berhenti makan dan malah duduk bersimpuh. "Aku ini—

TOK, TOK, TOK!

Aku menukas omongan itu dengan tiga ketukan keras. Sihirku sempat berguncang karena kemarahan yang menggelegak secara tiba-tiba. Kehangatan dan cahaya yang tadi sempat memenuhi ruangan itu, sesaat hilang ditelan kegelapan dan hawa dingin menusuk dari dalam gua yang lembab maupun dari luar tempat hujan baru saja berhenti.

"Kau tidak mau?"

Aku mengernyit. Pertanyaan itu keluar dengan nada yang tidak aku duga.

Aku hampir menduganya akan bertanya dengan ragu, mungkin dengan nada seperti anak anjing yang baru dicampakkan majikannyaL memelas dan iba. Tampak menyedihkan seperti saat aku masuk ke gua ini.

Tapi ternyata ia malah bertanya dengan nada angkuh.

Nada yang seolah mau memastikan, apakah ia benar baru saja mendengar ada orang yang menolaknya.

Aku menyeringai sinis. Lalu mengetuk dua kali.

Ya.

Benar, meninggalkannya sekarang adalah saat yang tepat.

"Kau takut aku akan meminta bayaran atas nama itu?"

Dia ingin aku percaya dia memberikan nama dan identitasnya cuma-cuma?

Aku mengetuk dua kali: Ya.

Pria itu diam. Ia berhenti bersimpuh dan duduk normal sekali lagi. "Baiklah kalau begitu." Kemudian ia menarik selimut dan kembali berbaring. Kembali memunggungiku.

Saat aku kira semua sudah selesai, aku pun bersiap untuk kembali. Aku mengambil kembali mantel dan merapatkannya ke tubuh. Tapi tepat saat itu, aku mendengar suaranya berkata di belakangku:

"Aku rasa karena itu juga kau tidak mau aku mengenalimu, ya?"

Aku terdiam kali ini. Membeku di tempat. Terlalu kaget sampai tidak bisa memberi jawaban.

"Kau menolongku, tapi tidak membiarkanku mengenalimu. Aku mulai berpikir kalau penyelamatku ini adalah seorang kriminal."

APA YANG BARU SAJA DIKATAKAN VERITAS GADUNGAN INI?!

"Kalau kau tidak mau dikenali...." Pria itu melanjutkan. "Seharusnya kau tidak perlu menolongku sekalian."

Aku tertegun.

"Biarkan saja aku mati di tepi jurang hari itu."

Aku menggertakkan gigi, lalu tanpa menghabiskan waktu, aku pun pergi dari sana. Kali ini, aku tidak repot menjaga sihir milikku untuk bertahan di sana. Menjaga keamanan pria itu. Aku sudah memutuskan dengan yakin bahwa ia tidak membutuhkannya, jadi akumelepas sihir yang melindungi mulut gua, membiarkan dia berada dalam belas kasihan nasib.

Aku sudah tidak mau tahu lagi.

Aku pun berderap pergi meninggalkan tempat itu. Sihir menebal di sekeliling tubuhku, Meski rerumputan basah dan tanah becek bekas hujan, aku yang berlari sama sekali tidak meninggalkan jejak. Sama sekali tidak meninggalkan bekas.

Seperti mungkin, pertolongan sia-sia yang aku lakukan sampai hari ini.

"Sudah ditolong, tapi malah bilang sesuatu yang seperti itu!" Aku akhirnya menggerutu dengan mulut sendiri setelah yakin sudah jauh dari gua itu. Sudah tidak ada lagi yang mengikuti. Aku menggertakkan gigi. Tanganku merapatkan jubah ke tubuh, lalu memaki ketololan diri sendiri dalam hati. "Kalau memang aku punya nyali untuk meninggalkanmu di jurang itu sendirian, aku juga sudah melakukannya dari dulu!"

Aku pun semakin kencang berlari, semakin cepat meninggalkan tempat itu, sembari masih memaki diri sendiri sampai kakiku akhirnya menginjakkan kaki di mansion sekali lagi.

***

A/N :

PADA BIKIN KISAH ISEKAI, SAYA IKUTAN AH!

Itulah pikiran saya saat bikin cerbung ini.

Ya, kalian nggak salah lihat. Cerbung. Saya cuma menargetkan kisah ini tamat dalam dua chapter. Karena ya, saya nggak kuat kalau harus bikin full chapter bahas soal kerajaan-kerajaan.

Dan kalau kalian merasa plotnya mirip sebuah manhwa, ya karena saya emang terinspirasi dari sana. Cuma saya pakai skenario what if. 

Bagaimana jika authornya rada niatan dikit gitu nge-hide identitas sang heroine? 

Gimana kalau art manhwa nya rada niat gitu bikin identitas heroine-nya jadi kabur gitu, gak cuma pake topeng yang nutupin muka atas tapi mata masih keliatan rambut juga berkibar. Itu apanya yang diumpetin, markonah?

Jadilah saya bikin kisah ini buat pelampiasan kesal saya sama manhwa-manhwa di sana. 

Ah, dan kalau kalian lihat tag transmigrassion dan reverse time, nope kalian nggak akan temukan itu di sini ya

Saya tambahin tag itu dengan niatan menipu pembaca sekalian hahahaha

Maafkan kegabutan saya kali ini ya. Adios di next chapter yang mungkin akan jadi last chapter juga

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro