Unexpected Terror *30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

REPOST SAMPAI CHAPTER 31!

Happy reading!

The Sorcery: Little Magacal Piya

"Ma, apa besok hadiahku akan penuh dengan coklat?" tanyaku sambil tertawa geli mendengar cerita mama. Mama baru saja menceritakan tentang kebiasaan orang di hari esok, hari valentine.

Para kaum hawa memberikan coklat kepada lelaki yang mereka sukai, dan coklat yang dikirim kembali bulan depannya, menandakan bahwa cintanya terbalas.

"Tentu saja. Mungkin kau akan dapat banyak." jawab mama sambil tersenyum.

Aku tertawa riang, besok yang kami maksud adalah hari valentine juga hari ulangtahunku."Aku tak sabar ingin ke sekolah besok!" sahutku sambil meloncat-loncat kegirangan.

Mama menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca, seolah air didalam sana hendak tumpah.

"Kenapa, ma?"

"Tidak, mama tidak percaya kau sudah sebesar ini." sahut mama sambil memelukku, dia menangis meskipun aku tidak mengucapkan apapun yang mengharukan.

Aku tersenyum dan membalas pelukkannya."Tentu saja!"

*

"Papa, selamat pagi!"

Papa nampak menunjukan larut wajahnya yang gundah. Matanya terlihat begitu sedih, kecewa dan begitu terluka dalam waktu yang bersamaan. Membuatku bertanya-tanya di dalam hati.

"Papa kok wajahnya gitu?" Aku duduk di depan meja makan yang tampak bersih dari peralatan makan. "Hari ini aku ulang tahun, lho" ucapku dengan senang, memamerkan deretan gigi yang membuatnya mengusap kepalaku dengan sayang.

"Selamat ulang tahun, Piyorin" sahut papa sambil tersenyum tipis.

Aku juga ikut tersenyum melihatnya. "Mama mana? Biasanya mama akan membangunkanku dan mengatakannya untukku." sahutku.

Wajah papa pun makin terlihat gundah, membuatku langsung mempunyai firasat buruk.

Apa mereka bertengkar lagi?, batinku gelisah.

"Lupakan wanita itu."

"Eh?" Alisku tertekuk tidak percaya, aku mulai yakin mereka berdebat dengan suara keras seperti hari-hari sebelumnya. Tapi..., ini pertama kalinya papa menyuruhku melupakannya.

Ada yang salah disini.

"Mama sudah...," Papa nampak duduk membungkuk dan menahan dahinya di lengannya. Beberapa saat kemudian, setetes cairan jatuh menelusuri pipi kanannya.

Papa menangis.

"Mama..., kenapa?" tanyaku dengan pelan. Kurasakan tanganku mendingin, seketika tenggorokanku terasa kering dan jantungku berdebar begitu cepat.

"Menghilang."

Mataku terbuka bersamaan dengan pandanganku yang langsung saja memperlihatkan alis Yaa-Chi yang mengerut menatapku gelisah. Kurasakan sesuatu yang hangat meluncur mengikuti lekuk wajahku.

Aku menangis dalam tidur.

"Aku baru saja ingin membangunkanmu."

Aku buru-buru menghapus airmataku, dan beranjak bangkit dari kasurku dengan segara hal yang membuatku begitu sesak.

"Mengapa kau menangis?" tanya Yaa-Chi dengan begitu hati-hati.

"Aku bermimpi buruk."

*

"Aku Aquane." Seru seorang lelaki dengan tiba-tiba saat aku melewatinya. Aku berbalik kebelakang dengan segala tanda tanya yang membuatku bingung harus berbuat apa.

Baru saja aku berencana meninggalkannya, berpura-pura tidak mendengarkannya, dia kembali mengeluarkan suaranya.

"Aku hanya ingin berteman."

Aku menatapnya sedatar mungkin, dan mulai mengeluarkan suaraku dengan begitu enggan.

"Aquane?"

Aku mulai menerka kekuatannya yang membuatku penasaran dengannya. Karena kekuatannya, mungkin saja...,

"Aquatic Lake?!" pekikku. "Satu dari tujuh kekuatan tersembunyi!?"

"Ternyata kau baca Hidden Book juga ya?" Dia tersenyum. Akhirnya, pembicaraan awal yang semula canggung dan kaku menjadi longgar.

"Jadi, apa yang bisa dilakukan Aquatic?"

"Hanya spesial mengendalikan air dan jenisnya. Mungkin itu saja" jawabnya merendahkan dirinya.

Hebat!, batinku. Aku sudah berhasil menebak kekuatannya dari namanya.

"Sebentar," ujarnya sambil membuka give pocketnya. Akhirnya, ada sebuah buku yang dikeluarkannya. Hidden Book.

"Buku ini selalu berubah. Yah, selalu" ujarnya sambil membuka halaman 'Hidden Power'

1 . Wings Maker = 1

2. Stole Power = 1

3. Aquatic Lake = 1

4. Electric Thunder = 1

5. Flame = 1

6. Un-Attacken = 1

7. ?????????? = 1

Aku langsung merebut buku itu hingga membuatnya kaget. Dia pasti bingung mengapa aku merebut buku itu tiba-tiba.

Ada yang berubah!

Flame.

Flame yang awalnya tidak berpemilikkan, kini sudah ada. Dan itu cukup membuatku tertekan, karena itu adalah kekuatan yang Tazu inginkan.

"Siapa pemilik Flame?" tanyaku panik.

"Memangnya, ada apa?"

"Ti-tidak, tidak apa-apa" jawabku sambil berusaha tenang dan kemudian mengembalikan buku itu.

"Pemilik Flame belum diketahui. Entahlah dia dari clan BlackMix atau Magacal. Atau mungkin, dia adalah penyihir lain yang berada di tempat lain yang bukan merupakan salah satu dari clan yang kita kenal." terangnya.

"Maksudmu, ada clan lain selain BlackMix dan Magacal?"

"Bisa jadi. Tapi ini hanya persepsiku. Sebab, Flammer sudah muncul sejak dua tahun yang lalu." ujarnya dengan kening yang mengerut. "Flammer termaksud sangat kuat, dan jika BlackMix mempunyai kekuatan yang hebat, mereka seharusnya menggunakannya dari dulu. Jadi, menurutku Flammer tidak berpihak dengan siapapun."

"Sepertinya, tanda tanya yang ini bisa terbuka kalau enam pemilik Hidden Power berkumpul. Itu mungkin." lanjutnya dengan yakin.

"Aku kenal beberapa. Aku akan membantumu mengumpulkan mereka." ujarku antusias.

"Kau yakin, bisa terkumpul semua?"

"Ya! Yakin-Seyakin-yakinnya!" seruku semakin semangat. Apalagi saat membayangkan bahwa aku akan menjelajah mencari clan yang lain, tentu saja aku bersemangat.

"Tapi..., Piya saja belum kembali. Bagaimana mungkin bisa terkumpul semua?"

DHEG!

Jantungku terasa lepas dari tempatnya, dan dengan kikuknya aku melontarkan pertanyaan bodoh.

"Berarti, semuanya tergantung kepada kembalinya Piya, yah? Kira-kira dia dimana sekarang?" Percayalah! Aku benar-benar merasa bersalah.

"Aku yakin dia akan segera kembali. Dimanapun sekarang Piya berada, dia pasti masih berjuang untuk kembali ke dunia ini. Dia tidak mungkin melepaskan tanggung jawabnya begitu saja." sahut Aquane sambil tersenyum memandang langit.

"Kau berbicara seperti kau mengenalinya. Bukan, seperti kau benar-benar sudah mengenalnya!" gurauku sambil tertawa konyol yang dibuat-buat.

"Ya, aku memang mengenalnya di dunia nyata."

"Mana mungkin!" pekikku spontan. Begitu sadar, aku buru-buru menutup mulutku dan merutuki diriku sendiri akan bodohnya diriku. "Aku pernah berbicara dengannya. Dia bilang, dia tidak punya teman di bumi. Hanya satu orang." sahutku membantahnya dengan gugup.

Aquane terdiam, lalu dia tersenyum. "Ya, memang. Aku mengenalinya. Tapi dia tidak mengenaliku."

Bagaimana mungkin?!

"Aku sekelas dengannya. Dia pernah terpilih menjadi ketua kelas saat kelas empat. Dia cukup tanggung jawab, dia punya sahabat baik. Meskipun mereka harus menjadi lawan sekarang." sahutnya.

Aku memaki diriku sendiri di dalam hati, memaki diriku yang begitu bodoh dan cuek hingga tidak sadar dengan keberadaan orang-orang yang ternyata memperhatikanku.

"Piya, benar-benar kuat. Aku mendengar kabar bahwa ibunya menghilang ketika kami kelas lima. Dia sama sekali menangis. Tapi sejak itu, sifatnya berubah drastis." tambahnya.

Aku masih terdiam, dan dengan seriusnya mendengar kata-perkata yang ia lontarkan untukku.

"Kami pisah sekolah saat SMP, dia masuk di sekolah khusus putri."sahutnya. "Aku sering melihatnya di jalan. Tapi, setelah Piya menghilang, Aku tidak pernah melihatnya lagi. Lalu aku pernah bertemu dengan Kaya—Kazie di kota. Dia terus mencari Piya karena dia meyakini Piya hanya kabur dari rumahnya. Eh, tau-tau beneran menghilang." dia terkekeh mendengar ucapannya sendiri.

"Kau sendiri, Kapan kau menghilang?" tanyaku mengalihkan topik. Aku pasti malu total jika mendengarnya bercerita tentangku.

"Sekitar sebulan setelah Kazie." Ujarnya.

Kami berdua sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia kembali membuka topik yang memalukan. "Ngomong-ngomong, kudengar-dengar kau gadis yang paling dekat dengan Ice Prince?"

Benar kan? Setiap orang, siapapun itu, akan tersenyum jahil seperti itu jika mengait-ngaitkanku dengan Tazu. Mereka pasti begitu yakin kalau aku menyukai Tazu.

"Tidak kok! Mana mungkin!" bantahku.

"Tapi sejauh ini, dia hanya mau berbicara denganmu setelah insiden dua tahun yang lalu." sahutnya. Melihatku bertanda tanya, ia melanjutkan sendiri tanpa perlu kuminta. "Dia tidak terlalu banyak bicara setelah menangkap Light."

Aku menaikkan alisku.

"Eh, maksudku dia bukan tidak terlalu banyak bicara, lho! Kan dia dari dulu memang irit kalau bicara sama orang." ralatnya buru-buru. "Tapi sejak insiden itu, dia makin irit." sahut Aquane dengan serius. "Dan, memang daridulu, dia hanya berbicara denganmu dan Piya" sahutnya lagi.

Hanya denganku dan karakter bayanganku? Apa-apaan itu? Apa ada motif yang membuatnya mau berbicara hanya dengan dua magacal terkenal di sini?

Bukan! Aku bukan PD. Tapi itu kenyataan.

"Dilihat baik-baik, kau mirip dengan Piya yah" dia mengelus dagunya sendiri dan mulai melihat wajahku lebih-lebih lama membuatku salah tingkah.

"Banyak yang bilang begitu" aku pun menutupi wajahku dengan tanganku sambil menenangkan diriku agar jangan panik dengan kata-katanya.

Sebaiknya aku cepat-cepat mengakhiri topik saja, batinku.

*

"Hari ini kita patrol" sahut seseorang. Aku tidak tau itu siapa, tapi sepertinya dia punya jiwa kepemimpinan. Kami masing-masing di beri topeng berwarna putih yang mengkilap.

"Kau..., menarikku ke sini karena ingin ditemani patrol?!" tanyaku nyaris memekik kepada Yanda. Walaupun complain, aku tetap memakai topeng itu, tanda aku siap untuk patrol.

"Ayolah, Yako! Kau terus menerus mengurung diri di kamarmu, dan lagipula memang jadwal hari ini kita berdua. Masak iya, aku sendiri yang patrol? Kalau aku kenapa-napa gimana?" tanya Yanda dengan suara yang dimanja-manjakannya,dia juga memakai topengnya dan kemudian menoleh kembali kearahku

"Seorang Yanda kenapa-napa? Kamu sedang melucu?" tanyaku dengan nada menyindir.

"Tidak. Aku agak kesepian saja kalau kau tidak ada." sahutnya sambil terkekeh pelan, dengan wajah tak berdosa.

"Sudahlah! Aku patrol di sana. Kau partol di situ." ujarku segera pergi tanpa menunggu respon darinya.

Tadi, dia menarikku dari rumah sehingga membuatku buru-buru merubah Yaa-Chi menjadi sapu dalam waktu 0.3 detik, karena dia berhasil mendobrak pintu kamarku dan langsung masuk.

Benar-benar bikin kesal, kan?

Aku memasuki daerah yang tidak pernah kulewati sebelumnya. Semakin aku masuk ke dalam daerah tersebut, semakin gelap tempat itu. Rasa curiga mulai muncul saat aku menyadari bahwa tempat itu dikelilingi pohon beringin dan tali tipis yang mengantung dan saling terikat dengan begitu mengerikannya. Akhirnya kubatalkan niatku untuk masuk makin dalam, firasat buruk mulai menjalar dipikiranku.

KREK.

Terdengar suara ranting yang patah membuatku langsung dengan sigap berbalik ke belakang, ada yang mengikutiku. Tanganku sudah kusediakan kekuatan, untuk langsung menyerang siapa yang menyerangku..

Dan dugaanku benar-benar tepat.

Aku menunggu kedatangan orang itu yang dapat kuprediksi lewat bayangannya. Sepertinya yang datang adalah perempuan.

Dan dugaanku lagi-lagi benar.

"Yanda?"

Kulihat Yanda berjalan sambil menyingkirkan tali pohon beringin yang lebat dengan tangannya. Aku langsung mematikan kekuatanku dan menghela nafas panjang. Namun, entah mengapa, rasanya aku sedang tidak dalam keadaan yang aman.

"Kenapa kamu ada di sini?" tanyaku berkacak pinggang. "Bukannya kamu patrol disebelah sana?"

Yanda tersenyum. Bukan senyuman manis yang biasa ia pamerkan. Melainkan senyuman iblis.

"Ups." Seseorang menyentuhku dari belakang, dan membuat seluruh tubuhku lemas seketika. Kakiku yang tidak mampu menopang berat badanku pun membuatku berlutut dengan kerasnya ke lantai.

Kudongkakkan kepalaku ke atas, dan mendapati seseorang dengan pakaian hitam khas BlackMix dengan topeng dan jubah hitamnya, tersenyum puas menatapku dibalik topeng kilat hitamnya.

"Jangan mudah lengah." Yanda tersenyum jahat kepadaku, sambil mendorong tubuhku dengan kuat ke tanah.

Tidak mungkin.

Tidak mungkin Yanda begini.

Setahuku, dia menyukai Vampix, dan dia tidak mungkin mengkhianati bangsanya.

Atau aku yang terlalu mudah mempercayainya?

"Handa, bawa dia sekarang, atau bunuh ditempat?" tanya Yanda kepada wanita berpakaian hitam itu.

"Kita belum tahu kekuatannya. Setelah kita tahu, we will."

Yanda sekarang menarik rambutku, memaksaku untuk menjawab pertanyaannya.

"Apa kekuatanmu, dik?"

Mengapa Yanda mempertanyakan kekuatanku? Bukankah dia mengetahuinya?

"Selain Stone Poison, aku juga menyebarkan racun bisu padanya. Dia tidak akan bisa berbicara sampai duapuluh empat jam. Kamu yang sabaran sedikit, Mole." Ucap Handa dengan begitu tenangnya.

Dan aku baru sadar, bahwa dia bukanlah Yanda.

"Kita akan terus menyerangnya, dan kita akan memaksanya melawan racun yang kuberikan, agar dia mengeluarkannya."

Ini gila!

Tubuhku, sama sekali tidak bisa bergerak. Suaraku sama sekali tidak bisa keluar. Seluruh tubuhku serasa mati rasa, seperti bukan dirikulah yang memilikinya. Rasanya, semua organ tubuhku terlepas semua, dan aku sama sekali tidak bisa merasakan apapun.

Hanya mataku-lah yang sedaritadi membulat tak percaya setiap mendengarkan kata-kata mereka.

Dan..., aku hanya bisa menggunakan Wings Maker saat ini.

"Nah, ayo mulai." Mereka berdua menyeringai licik.

Atau, memaksa Changes Power-ku untuk bekerja untuk saat ini. Hanya untuk bagian Mataku.

Tak kuperdulikan benda tajam yang mereka arahkan kepadaku. Yang terpenting saat ini adalah, segera mungkin mengumpulkan kekuatan maksimal di bagian organ mataku, dan segera menggunakannya untuk menyerang mereka.

Dapat kurasakan cairan hangat mengalir melewati kulit lenganku, dan aku sama sekali tidak berani menengok ke sumber sakit itu.

Aku benar-benar dalam bahaya.

Dengan cepat, aku membuka mataku dan menatap ke arah mereka. Tali-tali pohon beringin mulai berkumpul dalam volume besar dan mengikat mereka.

"Oh, Flower Bloomer, huh?"

Beberapa saat kemudian, pohon-pohon beringin itu terlepas dari akarnya yang sangat dalam, dan membuat mereka berdua berputar-putar di langit dengan begitu hebohnya.

"Controlers? Apa sebenarnya kekuatanmu, dik?" Mereka tersenyum makin mengerikan saat berhasil melepaskan diri dari ikatan yang kubuat.

Aku pun pasrah, saat menyadari bahwa kekuatanku telah terkuras habis untuk melakukan sesuatu yang sia-sia. Dan dengan sisa-sisa tenagaku yang kupunya, kukirimkan mantra darurat dari mataku dengan susah payah.

"Kamu memanfaatkan matamu, huh?"

Kurasakan tangan Handa menyentuh keningku, aku bahkan masih sempat melihat Mole dalam sosok Yanda yang masih tersenyum sinis dibalik topeng putihnya.

"Kamu harus menghargai matamu, dik."

Dan kemudian, aku melihat kegelapan yang begitu mencekam.

"Kamu akan merasakan penderitaan si bisu dan si buta dalam duapuluh empat jam." Ucapnya dengan suara yang terdengar begitu menakutkan. "Oh, atau... kamu juga ingin merasakan penderitaan si tuli?"

Seketika itu, segalanya terasa berubah. Tidak ada lagi terdengar suara gesekan-gesekan daun, suara orang itu, atau suara apapun yang biasanya kudengar. Hening. Dan, kegelapan yang kulihat seolah tak ada sinarnya. 









A/N:

Saya lagi repost LMP, sehari empat chapter. Belum dihapus dan please biasakan membaca a/n.

Saya kurang yakin kalian membaca pesan di Author Note di bagian yang paling terakhir setiap saat. Saya bukannya ingin menganggu ketenangan membaca kalian di bagian awal, tapi saya ingin memberi sedikit pemberitahuan.

Jadi gini...,

Cerita ini selalu nge-stuck di tengah-tengah. Saya nggak bisa jamin kalau saya bakal selalu update dalam empat hari, seminggu atau kapan.

Tahun ini saya kelas 12, dan semoge cerita ini tidak selambat otakku yang mikirnya lambat. Saya pengen cerita ini selesai sampai tamat.

Jadi, mohon dimaklumi yah, kalau saya updatenya rada-rada lambat. Apalagi Wattpad yang selalu error pas saya ngetik buat di update.

Belakangan ini saya ngerasa updatenya pendek. Jadi saya ngasih panjang-panjang deh di chapter ini.

Big Love, Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro