Aversum *9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yanami's POV

Nama lengkapku Watsuhara Yanami, umurku saat ini enambelas tahun. Tahun ini aku masuk SMA, dan sekolah tujuanku adalah Sky Academy. Jangan tanya apakah aku lolos masuk ke sana, sebab aku akan menjawab 'ya' dan mampu membuat mereka yang tidak bisa masuk, merasa iri padaku.

Silahkan bermimpi masuk ke dalam Sky Academy, jika kau bukanlah salah satu bagian dari yang terpilih. Yang kutahu, semua cikal bakal murid disana berstatus penyihir-sama sepertiku.

Bulan lalu lewat beberapa minggu, aku telah mengunjungi Sky Academy bersama para penyihir lainnya. Sayangnya, aku hanya bertemu dengan beberapa orang saja. Aku bertemu dengan Rainna-Reina yang rupanya adalah artist yang selama ini muncul di layar televisi dan selalu diperbincangkan teman sekelasku dulu (baiklah, aku cukup kuno sampai tak menyadari bahwa aku berteman dengan artist). Ada pula Vilia, Keilia dan sisanya, aku benar-benar tak menghafal nama mereka.

Biar kupersingkat disini, nama penyihirku adalah Yanda, dan aku sangat kesal karena tidak bertemu dengannya hari itu.

Oh, siapa tadi yang berhasil menebak siapa aku, sebelum aku mengatakannya?

Omong-omong, aku anak tengah di antara tiga bersaudari. Kakakku, Watsuhara Hanami yang tahun ini sudah memasuki masa kuliah dan adikku, Watsuhara Nanami yang hanya berbeda setahun di bawahku.

Aku memperhatikan bingkai raksasa yang menampilkan satu keluarga kami disana. Ayahku yang memakai setelan jas hitam dengan dasi biru dongker, Ibuku dan kami bertiga yang memakai gaun berwarna putih. Sekilas foto keluarga itu tampak begitu mewah dan mahal, tapi percayalah, itu hanyalah foto yang kebetulan bagus dan diambil saat pernikahan salah satu sepupuku tahun lalu.

Dan tentu saja di foto itu, aku yang paling mencolok. Karena selain berada di tengah (aku anak kedua), sepertinya fokus photographer-nya saat itu juga tepat terkena padaku. Aku masih ingat photografer-nya memujiku dan bilang akulah yang paling cantik diantara tiga bersaudari kami.

Tapi sepertinya dia hanya membual, aku tidak berpandangan seperti itu, soalnya.

Oh! Impianku adalah menikah secepat mungkin, jadi aku bisa bebas dari keluarga ini!

Dan tentu saja aku ingin menikah dengan...,

"Yana," tegur Ibu membuatku tersadar dari lamunanku. Aku merenggut, bayangan dimana aku dan dia memakai pakaian khas pengantin musnah begitu saja. "Daripada kau diam disana, lebih baik kau bantu Ibu menyiapkan makan malam."

Tanpa berkata apa-apa, aku bangkit dari dudukku di atas lantai. Padahal aku bukan sedang tidak berbuat apa-apa. Aku sedang menyusun rencana demi masa depan yang lebih baik.

"Kau jangan bersantai-santai. Anak gadis harus belajar masak. Makan apa suamimu nanti, huh?"

Aku tak menjawab apa-apa, hanya mendengarkan saja apa yang dikatakannya. Sebab aku tahu, bagian terburuknya akan segera diungkapkannya dalam beberapa detik lagi.

"Contohlah Kakakmu yang pandai, sampai bisa masuk di Todai (Universitas Tokyo) atau contohlah Nana yang ramah, sopan, patuh dan penurut. Satu hari tanpa Nana saja, Ibu sudah sibuk begini."

Bagian terburuknya, ya itu.

Aku sering sekali dibanding-bandingkan dengan saudari-saudariku. Hanya karena aku anak kedua yang tidak sepintar Kak Hana atau tidak selicik Nana, aku selalu saja dibanding-bandingkan. Licik? Maaf, Nana memang licik. Hobinya adalah memasang wajah semanis mungkin, mencari perhatian dari orangtua dan merenggut apapun yang bernotabene milikku. Dan tebak apa? Dia selalu berhasil melakukannya karena aku adalah Kakak yang diharuskan untuk mengalah kepada Adik.

Nana tidaklah sebaik yang dipikirkan Ibu dan Ayah, tapi buat apa menghabiskan waktu untuk menjelaskan itu kepada mereka? Mereka tidak akan pernah mempercayaiku, karena aku hanyalah anak kedua yang bodoh dan pembangkang. Dan bahkan katanya aku berhasil masuk ke Sky Academy karena keberuntunganku.

Well, hell yaa! Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, oke?

Putri tengahmu masuk ke Sky Academy karena dia bisa mengendalikan apapun! Rasanya ingin menjeritkan kalimat itu, tapi aku sadar tidak akan ada yang sudi mendengar.

Kalau Papa sayang Kakak, Mama sayang Adik, lalu siapa sayang aku?

Miris.

"Yana, jangan melamun! Mana piringnya?" tegur Ibu yang membuatku kembali lagi ke dunia nyataku.

Aku membuka pintu-karena dapur dan meja makan dipisahkan oleh sebuah pintu kayu-dan langsung mengulurkan tanganku, mengendalikan rak piring agar terbuka, lalu sebuah piring melesat cepat ke arahku layaknya piring terbang. Secepat itu pula aku menangkapnya dan muncul lagi di dapur untuk menyerahkan piring itu.

Hehe. Aku suka dengan kekuatanku.

"Jadi, kapan kau akan pergi ke Gakuen Sora?" Tanya Ibuku sambil menyecap sedikit makanan guna mengetahui rasanya.

"Minggu depan,"

"Hm..." Ibuku menoleh ke arahku. "Kau harus belajar mandiri, Yana."

Yeah, aku sudah sangat mandiri sejak terdampar di dunia sihir selama dua tahun, ingin sekali aku membalas itu, tapi kubatalkan karena hanya akan memperumit segalanya.

"Aku pulang,"

Suara Nana tertangkap di indra pendengaranku, dan juga indra pendengaran Ibuku. Ibuku memberi alih sendok dapur ke arahku dan buru-buru masuk ke dalam sana, membuatku cengo karena tak tahu harus berbuat apa pada sendok dan makanan dalam panci.

"Nana, selamat datang. Bagaimana acara ulangtahun temanmu?"

Aku mengintip dari pintu, dan sendok yang tadi diberikan Ibuku sudah kukendalikan untuk mengaduk makanan dalam panci. Aku menatap ke arah Nana yang kini sedang duduk di meja makan.

"Terlalu ramai, aku tidak menikmati pestanya." jawab Nana setengah mencibir.

Ibu tersenyum lebar, "Tebak apa? Ibu memasak makanan kesukaanmu malam ini. Kau makan lagi ya?"

Nana menganggukan kepalanya dengan semangat. "Ya, kebetulan aku juga tidak makan banyak di sana. Tidak masalah!"

Semuanya tampak baik-baik saja sebelum akhirnya Nana menangkap basah diriku tengah memperhatikan mereka dari pintu. Senyuman Nana berubah sinis perlahan, "Ah, Yana-Nee. Sedang apa kau mengintip disana? Ayo gabung."

Dan tatapan Ibu berpindah ke arahku, dia nampak panik. "Yana! Mengapa kau tak mengaduk makanannya?"

Meskipun aku mengaduknya (dan meskipun dengan bantuan kekuatanku), aku tetap membantah. "Ibu tidak menyuruhku mengaduknya! Tadi Ibu langsung ngasih sendoknya terus pergi."

"Aduk yang benar, sana."

Aku menutup pintu dan kembali ke dapur. Sendok dapur yang tengah mengaduk tanpa seseorangpun yang melakukannya pun kutangkap dengan cepat dan kulanjutkan acara aduk-aduk yang membuatku makin kesal saja.

Selalu saja, Ibu lebih mementingkan Nana.

.

.

"Kau sedang apa?" tegur Hana-Nee yang baru saja pulang.

Sebagai mahasiswi, Hana-Nee cukup sering pulang malam-malam begini. Dia selalu diantar-jemput oleh pacarnya yang sudah bersamanya sejak SMA (Ahh, enak sekali Hana-Nee! Kapan aku dan dia jadian?!).

Omong-omong mereka berada di universitas yang sama. Kadang, Hana-Nee bisa terlihat seharian penuh seolah dia tak memiliki kegiatan, namun ada kalanya pula dia tak terlihat seharian meskipun sebenarnya dia tak memiliki jadwal di universitas penuh.

Oh, tapi sekarang dia pulang malam karena mengunjungi keluarga pacarnya (Yeah, keluarga pacarnya. Sial, aku benar-benar iri!)

"Aku?" Aku berbalik dan menaikkan alis. "Aku sedang kemas-kemas."

"Mau kemana?" tanya Hana-Nee dengan kening mengerut. "Bukannya sudah hampir masuk sekolah? Memangnya sempat berlibur lagi?"

Belum sempat aku menjawab, Nana yang sedang tiduran membaca manga menjawab. "Yana-Nee pindah ke asrama di Gakuen Sora."

Dan tatapan Hana-Nee berubah membinar menatapku. "Hebat!" Hana-Nee menepuk-nepuk bahuku. "Kukira kemarin-kemarin kau hanya bercanda. Rupanya kau benar-benar masuk ke sana?"

Aku memutar bola mataku kesal, lalu memperlihatkan surat yang ditujukan terhadapku kepada Hana-Nee. "Tentu saja, aku di undang langsung malah."

Hanya Hana-Nee-lah yang percaya bahwa surat undangan yang datang itu bukan karena mereka kebetulan mengirimkannya di kotak pos di depan rumahku dan dengan nama yang sama pula. Tapi karena aku benar-benar diundang.

Nana dengan tidak senangnya mencibir, manga-nya sudah ditutupnya dan perhatiannya sudah beralih kepada kami. Dia yang tadi tiduran pun berganti posisi menjadi terduduk. "Aku juga bisa masuk ke sana kalau aku mau!"

Aku hanya bisa tertawa puas dalam hati, Haaah, coba saja kalau bisa! Nana kan bukan penyihir! Tapi aku hanya bisa tersenyum tipis meladeni ucapannya, "Ya, ya, ya. Buktikan saja tahun depan."

Terpancing dengan kata-kataku, Nana menggeram, membuka selimut dan masuk ke dalam sana tanpa berkata apa-apa. Sudah kubilang, dia tak sebaik yang pikirkan orang-orang. Hanya aku dan Hana-Nee yang tahu tabiat busuknya itu.

"Tidak semua orang bisa masuk ke sana, kan?" Hana-Nee kembali ke topik. "Kau hebat!"

"Yeah, aku memang hebat." balasku sambil melanjutkan kegiatanku, menyusun-nyusun pakaian dalam koper hitamku. "Aku tidak akan pulang jika tidak liburan musim panas atau musim dingin, jadi jangan rindukan aku." Ujarku setengah bercanda.

Ya, aku tahu kami diperbolehkan pulang sehari jika weekend, tapi aku tidak memberitahu keluargaku. Setidaknya impianku untuk keluar dari rumah tercapai sedikit. Karena aku sudah lelah berlama-lama disini. Mungkin saja setelah ini kelakuan mereka akan berubah terhadapku?

"Seminggu ini aku akan mengajarimu cara mencuci pakaianmu sendiri, memasak sendiri dan..."

"Tidak perlu, kak." Balasku santai. "Aku sudah tanya dengan sangat lengkap. Mereka menyediakan mesin cuci di dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar kami. Makan pagi, siang dan malam sudah di atur sangat teratur di cafeteria sekolah." terangku. "Ah! Aku tidak sabar ingin segera ke sana!" pekikku senang, tak menyadari bahwa aku baru saja menyerukan bagaimana antusiasnya aku nanti.

Bagaimana tidak? Pagi, siang dan malam aku bisa melihatnya kapan saja! Wuhuuuu! Ini pasti akan seru sekali! Aku tidak perlu lagi merasa kangen padanya karena aku akan segera bertemu dengannya setiap saat!

"Kalau begitu, satu pesan untukmu. Kau jangan macam-macam ya, disana." Hana-Nee terdengar memperingatiku dengan serius. "Jangan berbuat yang aneh-aneh. Kalau punya pacar, langsung bawa ke rumah dan kenalin sama keluarga."

"Iya, iya. Kalau dia menyukaiku juga, aku akan membawanya ke rumah." Ujarku setengah bercanda, sebelum akhirnya aku menyadari bahwa ucapanku barusan terdengar seperti menandai apapun yang menjadi milikku dan pastinya akan memancing Nana untuk merebutnya dariku.

Dan aku melihatnya. Wajah Nana yang muncul dari dalam selimut, menatapku dengan senyuman jahat.

*

Piyorin's POV

Aku duduk berhadapan di depan Papa dan Nenek sihir itu. Papa yang menatapku serius dan Nenek sihir yang menatapku dengan tatapan tajam dan tampak marah. Kukira Papa menghindariku selama beberapa minggu ini, sebab sejak sebelum ujian dimulai sampai selesai ujian dan setelah berlibur beberapa hari yang lalu, baru hari ini aku punya kesempatan untuk berbicara dengan Papa.

Aku bisa menduga, pembicaraan kami hari ini mungkin adalah pembicaraan yang penting. Papa sendirilah yang menyuruhku turun beberapa menit yang lalu.

"Piyorin,"

Aku mengangkat kepalaku yang sedaritadi menunduk memperhatikan satu semut yang tersesat di atas keramik lantai di bawahku. "Ya?"

"Papa kira kau sudah dewasa untuk tahu tentang hal ini..." Papa terlihat ragu, tangannya mengelus tengkuknya, nampak ragu untuk melanjutkan pembicaraan. Disaat itulah nenek sihir itu dengan tak tahu dirinya menyambung pembicaraan.

"Tentu saja dia sudah dewasa, bahkan minggu depan dia sudah masuk ke sekolah SMA barunya." Sambungnya dengan nada sedih yang dibuat-buat. Oh, percayalah, aku sangat muak dengan ekspresinya itu.

"Hal apa?" tanyaku dengan datar, tak tampak serius ingin mengetahui pembicaraan mereka, meskipun sebenarnya aku memang benar-benar ingin mengetahuinya. "Apa itu penting?"

"Penting. Ini mengenai-"

Ucapan nenek sihir itu dihentikan oleh Papa dengan sekali pukulan keras di meja di depan kami. Wajah Papa nampak menegang, dan matanya menatap nenek sihir itu dengan tatapan menyalahkan, membuat nenek sihir itu bungkam. Aku hanya bisa menerjapkan mataku bingung dengan kelakuan Papa, meski diam-diam aku menikmati bagaimana tegangnya wajah nenek sihir itu sekarang.

"Pa?" tegurku yang membuat Papa menoleh ke arahku. Wajah tegangnya melunak, digantikan oleh senyuman hangat yang membuatku menghela nafas.

"...Mungkin kita akan bicarakan ini nanti saja," Papa mengacak rambutnya frustasi. "Papa ingin bertanya padamu, Rin. Apa kau yakin akan masuk ke Gakuen Sora?"

Aku mengernyitkan dahiku bingung. "Apa yang Papa khawatirkan? Aku bersama Kayaka dan juga Kayato-Senpai."

Dugaanku menerka bahwa tidak ada seorangpun anak dari Paman Takuto yang berhasil masuk ke Sky Academy, sebab kalau iya, tidak mungkin Papa begitu ragu dengan keputusanku.

"Kau putri Papa satu-satunya, tentu saja Papa khawatir." gumamnya pelan. Sementara si nenek sihir itu sudah bangkit dari duduknya, meninggalkan ruang makan dan masuk ke dalam kamarnya, mungkin dia sadar diri bahwa dia memang tak dibutuhkan disini. Aku harap suatu hari dia keluar sendiri dari rumah ini tanpa harus-

"Rin. Apa kau sudah yakin dengan keputusanmu?"

Sebenarnya tidak.

Aku hanya ingin menangkap semua penyusup dimensi dan mencegah mereka membuat kekacauan di bumi. Hanya itu.

Mungkin tidak.

Aku ingin berkumpul kembali bersama semua penyihir.

"Ya, Rin yakin." Balasku pelan. "Papa tenang saja, Rin akan jaga diri baik-baik."

Papa menghela nafas berat, lalu bangkit dari duduknya. Kukira Papa akan langsung masuk ke dalam kamar seperti yang dilakukan oleh nenek sihir itu, tapi rupanya Papa malah berpindah tempat duduk disampingku dan mengelus rambutku lembut.

"Sempatkan dirimu pulang jika kau tak sibuk."

Aku menganggukan kepalaku dengan semangat, "Ya, pasti, Pa."

.

.

.

Minggu lalu, kami benar-benar pulang dari puncak sebelum menginap dua hari disana. Tepat setelah bertemu dengan Ryuko dan Kazumi, sorenya kami pulang kembali karena Kayaka-lah yang memintanya langsung sebagai hadiah ulangtahunnya, katanya.

Apalagi setelah Kayato-Senpai menanyakan soal pemilik selimut biru lainnya pada Kakek yang rupanya adalah penjaga penginapan itu. Pemilik penginapan yang sesungguhnya adalah Paman Takuto. Aku tak tahu sekaya apa Paman Takuto, dan aku juga tidak tahu bagaimana ceritanya sampai semua ini bisa menjadi sekebetulan ini.

Setelah menceritakan kepada Kayato-Senpai tentang Paman Takuto-setelah dipaksa oleh Kayaka, Kayato-Senpai langsung menyetujui argumen Kayaka untuk segera pulang meninggalkan penginapan. Tante Izumi mengikuti keputusan apapun yang dibuat oleh Putra-Putrinya. Dan lagipula dia tampaknya tidak berminat berurusan dengan Paman Takuto.

Aku berbaring di atas ranjangku sambil meratapi langit-langit kamarku. Dalam diam menghitung lipatan burung yang menggantung di atas sana, jumlahnya duapuluh delapan-hasil dari perkalian tanggal dan bulan lahirku.

Aku masih ingat persis membuatnya bersama Mamaku dulu. Huft, aku merindukannya.

Aku menghirup nafas dalam-dalam, mencoba mengingat aroma kamar ini. Kupastikan aku masih akan mengingat baunya saat aku kembali nanti, sebab minggu depan, aku sudah tidak lagi tidur di kamar ini.

Minggu depan, aku sudah berada dalam kamar asramaku.

Di Sky Academy.

***TBC***

10 Agustus 2016, Rabu.

A/N

LOL tangan kananku terkilir.

Iyap, Welcome to Sky Academy di next chapter.

Iyap, masalah Yanda yang pernah saya bicarakan, muncul.

Oke, sekian. My hand, it's rlly hurt, rlly... :(

c i n d y a n a

🐤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro