I Will Protect You *20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Note: Judulnya sesuatu banget ya, hehe.]

*

Author's POV

Yanda bisa jadi orang yang paling memalukan saat ini, berdiri di depan pintu Venus karena terlambat masuk ke kelasnya hari ini. Yanda merasa bahwa Gino-Sensei sedikit pilih kasih. Seingatnya, saat Tazu terlambat, lelaki itu masih dipersilahkan masuk tanpa omelan panjang yang berlebihan. Tapi ini? Dia baru terlambat untuk pertama kalinya dan langsung dihadiahi hukuman ini plus omelan panjang di depan kelas. Menggelikan.

Yanda ingin sekali menyalahkan kegiatan sekolah langit, karena ia berpatroli sampai jam satu dini hari bersama dengan para Venus.

Mereka—kelas Venus—memutuskan untuk melanggar batas jadwal patrol karena sudah seminggu ini, patroli berjalan namun tak membuahkan hasil. Mereka belum menemukan satupun Schyorizone.

Bahkan, karena saking buru-burunya dia pagi ini, dia lupa melepaskan kain bertuliskan V (Venus) yang diperuntukkan untuk semua anggota patrol. Kain berwarna putih-kekuningan dengan jahitan V itu, dipasang dengan peniti, hingga membuatnya tak mudah lepas.

Menurut Yanda, kain itu lebih mirip tanda kalau ia adalah orang penting di akademi ini. Pemikiran itu membuatnya ingin tertawa.

Kejadian memalukan ini mungkin boleh diketahui seisi kelas Venus, Yanda hanya berharap semoga hal memalukan ini tidak diketahui oleh-

"Yanda?"

Dan suara itu membuat Yanda secara sadar tak sadar, memejamkan matanya dan meringis pahit.

"Kau sedang apa disini?"

Sudahlah, sekarang, kalau seluruh dunia tahu pun, Yanda sudah tidak akan peduli.

"A-aku terlambat masuk kelas, kemarin baru balik kamar jam 1."

Lelaki itu, Vampix, bersandar di dinding yang ada di seberangnya. Yanda diam-diam bertanya-tanya, alasan mengapa lelaki ini bisa ada disini.

"Kalau kau sendiri, kenapa tidak masuk kelas?" tanya Yanda penasaran.

Vampix memejamkan matanya beberapa saat, lalu membukanya beberapa saat kemudian. "Mau bolos bersama, tidak?"

Mata Yanda melotot tak percaya. Bukan, Yanda akan senang hati pergi ke cafeteria dan mengantri di barisan terdepan dengan mapan berisi makanan yang masih hangat, tapi dipikirannya, Vampix adalah orang yang taat aturan dan tidak mungkin akan berbuat begitu.

"Aku hanya bercanda, hehe." Vampix tersenyum, yang membuat Yanda ikut tersenyum dengan masam. "Oh ya, rupanya kau juga tidak melepas itu?" Vampix menunjuk keberadaan kain yang melingkar di lengan Yanda.

Yanda pun menyadari bahwa Vampix juga tidak melepaskan kain tanda patrolnya yang berwarna jingga-keputihan. "Kau juga tidak melepaskannya? Kebetulan sekali."

"Eh, iya.Kebetulan sekali." Vampix menunjuk jahitan miliknya. "Lihat, Y untuk Yanda dan V untuk Vampix."

Yanda menerjapkan matanya beberapa kali, lalu memperhatikan jahitan huruf Y yang ada di kain patrol Vampix. Itu membuat Yanda sontak terdiam.

"Lho, kau pindah ke Jupiter?"

Vampix menggeleng, "Jupiter kekurangan Pro, jadi aku pindah ke sana setiap patrol."

Yanda mengangguk termangut. Bagaimana bisa, mereka menjadi inisial untuk Venus dan Jupiter? Itu sungguh kebetulan yang lucu.

"Jadi, kalian dapat Schyorizone kemarin malam?"

Yanda meringis mengingatnya. Nihil. Entah bagaimana bisa, kelas Venus tidak membawa satupun Schyorizone. Yang didengar-dengar olehnya, kelas Bumi berhasil menemukan dua Schyorizone, dan kelas Pluto berhasil menemukan satu. Oh, tak lupa pula team matahari yang berhasil menemukan satu.

"Ah, kami juga tidak bisa menemukannya." Vampix tersenyum menyayangkan, "Padahal kami bertemu dengan beberapa, lho. Tapi mereka cepat sekali, kami tak bisa menangkapnya."

Yanda baru saja berniat menjawabnya, sampai tiba-tiba pintu disampingnya terbuka lebar dan menampakan sosok Gino-Sensei yang menatap mereka berdua dengan tatapan datar.

"Ketemu lagi sama orang yang berpacaran di kelas saya," gumamnya tidak senang.

Yanda tentu saja malu setengah mati mendengarnya, berbeda dengan Vampix yang malah meladeni omongan Gino-Sensei, "Lho, tapi kan kami sedang tidak berada dalam kelas Sensei?"

"Kau siapa dan dari planet mana?" tanya Gino-Sensei mempertanyakan hal yang sedaritadi ingin ditanyakannya.

"Saya Vampix dari Bumi. Eh, maksud saya dari Saturnus." Vampix menjawab dengan cepat. "Eh? Berarti alien?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

"Kembali ke kelasmu, kau juga."

Yanda buru-buru masuk ke pintu Venus dan Vampix masih dengan tenangnya bercakap-cakap dengan Gino-Sensei yang sepertinya sangat anti dengan hal-hal berbau hubungan.

"Nah, Vampix, kau tidak kembali ke kelasmu?" tanya Gino-Sensei dengan nada tidak menyenangkan.

Vampix mengangguk, berhenti menyandar kemudian berdiri tegak. "Ya, lagipula alasan saya datang kemari juga sudah selesai." Balasnya.

Alasan? Gino-Sensei mengangkat alisnya.

"Hehehe, kalau begitu, saya balik dulu ya, Sensei~"

Gino-Sensei menggeleng tak percaya, "Anak muda sekarang..." gumamnya perihatin.

*

Piya's POV

"Dapat!" seruku saat menyadari bahwa salah satu dari sekelompok Schyorizone yang kami temukan tadi, terjebak dalam jaringku.

Omong-omong, aku yang merubah jaring ini. Hize membantuku untuk membuat jaring ini memiliki efek unattacken. Katanya, dengan jaring ini, aku bisa melindungi diri dan juga, apapun yang masuk ke dalam jaring ini, tidak akan mampu menggunakan kekuatannya sebelum lolos dari sana. Err, pokoknya jaring ini memiliki kekuatan unattacken.

Aku tidak tahu mengapa Hize memintaku merubah sesuatu menjadi jaring dan menambahkan kekuatannya pada jaring itu, tapi ini sangat membantu.

"Nah, ayo kita lihat, kekuatan peri ini..." Kayaka menyentuh pelan pipi peri itu dengan telunjuknya, lalu bangkit dan menunjuk angka tujuh ke arah langit seolah ia menembakan sesuatu dari tangannya. Namun tidak terjadi apa-apa disana. "Oh, bukan kekuatan yang fisiknya nampak?" gumamnya pelan. "Raia, giliranmu."

Raia pun melakukan hal yang sama, menyentuh pipi peri itu dengan telunjuknya yang membuat peri itu nampak sangat geram, nyaris menggigit telunjuk Raia namun tidak berhasil karena telunjuk Raia keluar dari jaring itu lebih cepat.

"...Schyorizone kekuatan warna kuning, mampu mengubah benda dengan warna yang lain menjadi warna kuning," terang Raia.

Eh, itu Changes Power juga bisa, kan?

"Kemungkinan puluhan Schyorizone tadi adalah rekan-rekan peri warna lainnya," timpal Kayaka mengungkapkan opininya.

"Di sana." Aquane yang pendengarannya memang bagus itu, menunjuk ke bagian belakang asrama.

Kami berlari dengan waswas, hingga akhirnya muncul dan mendapati sekelompok orang-orang juga tengah berusaha menangkap Schyorizone itu. Jumlah Schyorizone dan orang-orang itu mungkin setara, tapi belum ada tanda-tanda satu orangpun yang dapat menangkap mereka. Aku juga tidak tahu dari planet mana sekelompok orang itu, disana terlalu gelap sampai-sampai aku tak bisa melihat siapapun.

Ini kalau aku melempar jaring ini, aku yakin semua yang ada disana juga akan masuk di dalam dan tentu saja para Schyorizone itu.

"Semuanya, menunduk!" seruku yang membuat beberapa orang reflek menunduk dan aku tanpa basa-basi lagi melempar jaring itu ke arah mereka. Sebagian terkena jaring itu dan beberapa orang lainnya yang berhasil melepaskan diri, langsung melempar protes.

"Hey, Piya, kenapa harus melempar jaring? Kau tahu, ukuran peri-peri itu lebih kecil dibandingkan kami."

"Iya, aku tahu kok." Balasku santai. "Udah, kalian diam ditempat saja dulu. Biarkan Hize yang mengurus yang di dalam sana."

Semuanya diam, Hize tanpa berkata apapun langsung memasukan peri-peri ke dalam satu toples yang sama. Hampir ada sepuluh atau entahlah. Tidak semua Schyorizone tertangkap, beberapa berhasil melepaskan diri dan kabur.

"Seharusnya ini bagian kami!" seseorang memprotes.

Aquane memotong, "Pemecahan tim dibuat bukan untuk ini, tapi untuk mempercepat pencarian." Ujarnya yang membuat semua orang disana terdiam. "Semua Schyorizone yang berhasil ditangkap, akan dicatat sebagai rekor milik kalian. Kalian tidak perlu khawatir."

...Semua gara-gara pencatatan yang tidak berguna itu.

"Tch, kami bukan memprotes soal pencatatan. Ini tentang Schyorizone yang seharusnya kami dapatkan. Kami tidak butuh adik kelas yang sok pintar dan meremehkan kami dengan mengalah."

"Kalian-"

Ucapanku terpotong begitu saja oleh Kayaka, "Lalu, kalian, para Senpai yang terhormat, mau apa?" tanya Kayaka dengan nada menantang.

Aku bisa melihat salah satu dari mereka telah berapi-api karena tersulut oleh ucapan Kayaka. Bahkan saat dia melangkah selangkah ke depan, beberapa temannya menahannya. Kupikir orang bodoh ini terlalu bodoh sampai tak bisa menahan emosinya. Sifatnya jauh lebih kekanakan dari kami. Memalukan.

"Dengar ya, Stolen, atau siapapun kalian yang merasa hebat karena telah membawa kami keluar dari dunia sihir. Kalian hanya beruntung, dan hidup tidak selalu seberuntung itu. Semuanya akan berputar dan kalian akan berada di bawah suatu saat nanti."

Aku menyergit bingung saat Hize dengan beraninya maju ke depan dan langsung memukul lehernya sekali pukul. Orang yang berbicara barusan, langsung pingsan dan makin menyulut kemarahan yang lain.

"Ah, kalian kurang hati-hati," Hize berbicara dengan nada 'ramah' yang dibuat-buat, aku tahu bagaimana nada ramahnya yang sesungguhnya.

Tazu ikut menyambut dari depanku, yang membuatku bingung—kapan dia berdiri disana? "Mereka tidak sadar..."

Tidak sadar apanya?

Light menggeser posisi berdirinya disamping Kayaka, "Yeah, kesalahannya ada di kalian, tidak menyadari bahwa teman kalian telah terkena kekuatan dari salah satu Schyorizone tadi."

Semuanya langsung menoleh ke lelaki tadi, tak terkecuali aku. Aku menoleh kembali ke semua Hidden. Yaampun, jangan bilang hanya aku yang tidak menyadari ini?

"Begitu..." salah satu dari mereka menunduk dalam, "Kalau begitu, aku mewakili Neptunus tim 2, meminta maaf pada kalian, tim Matahari. Soal pencatatan itu..., jangan khawatir, memang Piya yang menangkapnya."

Aku terbata-bata, "H-huh?"

Raia yang hanya diam sedaritadi pun akhirnya ikut menyambung, "Memang seharusnya begitu."

Hanya Raia, satu-satunya angkatan kelas tiga di Hidden.

"Bawa dia ke UKS."

"Dia akan bangun beberapa menit lagi," potong Hize dan Tazu bersamaan, yang membuatku menerjap bingung.

Aku bisa melihat keduanya saling menatap datar meski samar-samar, sebelum kembali menatap korban barusan. Entah bagaimana bisa keduanya kompak dan entah apa yang mereka bicarakan lewat tatapan mata mereka itu.

"Kurasa kita harus kembali ke kamar, ini sudah jam 1 malam." Kayaka berpesan kepadaku. "Sebaiknya kita kembali ke kamar."

"Yah," jawabku seadanya. "Raia ikut kita." Sahutku mengingatkan.

"Kalian balik sendiri ya," Kayaka menatap datar ke arah para lelaki. "Harusnya sih kalian berempat bisa jaga diri."

Tidak ada yang membalas kecuali Light, "Iya."

Dan begitulah, patroli malam ke-sepuluh kami berakhir begitu saja.

*

I will miss you everyday.

Kalimat itu membuatku membatu. Kukira aku akan mendapatkan surat balasan dari Yaa-Chi yang memang sudah kutunggu hampir dua minggu ini, rupanya bukan.

Sebuah kalung, dan sebuah pesan.

Aku tidak tahu sejak kapan Yaa-Chi mulai belajar bahasa yang ada di Bumi dan mengukir...hm, sepertinya ini emas putih? Oh, dan demi apapun yang ada di dunia ini, Yaa-Chi tidak akan mungkin mengatakan itu padaku! Ya, aku pastinya mengenal diriku sendiri, Yaa-Chi adalah potongan diriku, menguasai kekuatan terbangku dan memiliki sifatku.

Sejujurnya, aku bukan tipe yang mudah merindukan orang. Aku memang merindukan Yaa-Chi, tapi kupikir semuanya sudah terobati saat wortel yang kuletakan hampir setiap hari, berpindah tangan. Dan kukira, aku tidak akan berucap rindu semudah itu, lebih baik langsung mengekspresikannya dengan perlakuan kita daripada kata-kata, benar kan?

Aku makin terbawa arus kebingungan saat membaca pesan, masih dengan bahasa sandi yang tak kumengerti itu.

Aku sudah duduk manis di tempat dudukku, dan tinggal menunggu Tazu datang untuk membantuku menerjemahkannya. Kupikir, Yaa-Chi hanya akan membalasnya setiap malam—berhubung karena aku menerimanya saat pagi—sok sibuk sekali kelinci itu.

Tapi aku tidak mencari keuntungan dari Tazu, kok! Aku sudah berusaha menerjemahkan ini, dan sungguh! Aku hanya mampu membaca delapan sandi terdepan saja. Artinya, sudah kuduga kau memang payah, Piya. Oke, maaf. Parahnya, pesan itu luarbiasa panjang.

"Pagi?" Suara itu membuatku terloncat kaget.

Aku mendongkak dan mendapati Tazu disana, menatapku datar. "Yaampun, kau jangan muncul tiba-tiba begitu! Aku nyaris jantungan!"

"Maaf," Tazu duduk dan langsung memperhatikan kalung yang kuletakan di atas meja, "Kalung siapa ini?"

"Entah." Aku langsung menyerahkan pesan itu padanya.

Butuh beberapa menit bagi Tazu untuk menyelesaikan bacaan itu, aku memakluminya karena pesan itu memang sangat panjang. Saat Tazu menjauhkan surat itu dari jangkauan matanya dan menghela nafas, aku menganggapnya telah selesai.

"Yaa-Chi bilang apa?"

Dengan nada yang amat datar, ia menerjemahkan. "Terima kasih, aku suka makanan jingga itu. Door Connection aman. Kalung ini dari Dolce untuk Wellyn."

"Huh? Pendek sekali?" aku mengangkat alisku.

Baiklah, mungkin tergolong panjang jika Tazu yang membacanya. Tapi yang benar saja! Di surat itu, sandinya sungguh panjang dan kira-kira berapa belas baris!

Tazu membalas, "Aku menyebutkan inti-intinya."

Aku menatapnya cemberut, "Coba kutanya, apa hidupmu akan berkurang sehari jika kau mengucapkan sedikit banyak kata?"

"Tidak." Balasnya tanpa merasa berdosa.

"Nah, kalau begitu, berhenti berbicara singkat-singkat! Aku kadang tidak mengerti dengan ucapanmu."

"Ya,"

"Hey, aku serius!" seruku.

"Aku berusaha setiap di depanmu, Piya." Gumamnya tak peduli.

Aku memiringkan kepalaku, mendapati tatapannya seolah menungguku menjawab. Argh, tapi aku tidak mengerti! Ini terlalu singkat dan lebih sulit dari teka-teki. Aku mengerang frustasi sambil mengacak-acak rambutku kesal.

"Kalau aku memintamu menceritakan dongeng Putri tidur, kau akan jawab apa?"

Tazu mengangkat alisnya, "Putri yang tidur?"

"Haha! Sudah kuduga! Kau pasti berbakat membuat orang kesal!" balasku frustasi, "Ah, sudahlah. Aku mau ke kelas Wellyn dulu!"

Saat aku melangkah mendekati pintu kelas, entah mengapa aku mempunyai firasat aneh. Aku berbalik ke belakang dan mendapati Tazu mengekoriku.

"Kenapa kau ikut?" tanyaku. "Sedang ingin?" terkaku.

Tazu mengangguk.

Sepertinya, semakin lama, aku semakin mengerti sifat anehnya itu.

Aku pun berjalan ke lantai bawah terlebih dahulu, berdiri di depan papan pengumuman dan mencari-cari nama Wellyn di setiap planet yang ada. Tentu saja aku lebih memilih mencarinya sendiri daripada masuk ke satu persatu kelas dan mencari-cari keberadaan Wellyn layaknya orang hilang.

"Wellyn...Wellyn...Wellyn..." Aku memicingkan mataku, berusaha jeli. Semoga saja aku tidak melewati nama Wellyn di daftar sebelumnya.

"...Neptunus."

"Huh?" Aku bertanya tanpa mengalihkan pandanganku dari papan pengumuman.

"Wellyn di Neptunus."

Aku memeriksa dahulu nama yang ingin kutemukan di Neptunus, lalu mengangguk termangut sebelum berjalan menaiki tangga untuk menjangkau kelas Neptunus.

.

.

.

Tidak ada siapapun di Neptunus, terkecuali lelaki itu.

Yeah, lelaki yang kerasukan—aku lebih senang menyebutnya begitu—beberapa hari yang lalu. Dari tatapannya, aku menerka bahwa dia tidak pernah mengingat pernah mengucapkan kalimat sekasar itu terhadap kami. Atau mungkin temannya yang lain tidak berencana memberitahukannya.

"Kenapa?" tanya lelaki itu dengan nada normal.

"Well-"

Aku tidak tahu mengapa Tazu tiba-tiba saja memotongku, "...Ini kelas Uranus?"

"Uranus di sebelah," balasnya dengan ekspresi sedikit curiga.

"Kalau begitu, kami keluar dulu..." Tazu menyeretku keluar dari Neptunus, lalu aku langsung angkat bicara setelah memastikan telah menutup rapat pintu di belakangnya.

"Kau tidak bilang terima kasih...dan, bukankah kita sudah di Neptunus?"

"Ya, memang. Aku tidak akan senang kalau barang milikku dititipkan ke orang lain." Balasnya sambil mengendikkan bahu.

Aku melebarkan mataku, "Wah, kau hebat! Darimana kau tahu kalau aku berniat menitipkan kalung ini ke lelaki tadi?"

Lelaki di depanku menyeringai, "Aku sangat mengenalmu,"

"Ya ya, kurasa aku harus percaya kalau kau ini memang teman lamaku? Oh...dan, kalau kau mengenalku, seharusnya kau tahu kalau aku tidak suka memegang barang orang lain. Serasa memiliki hutang padanya."

Tazu melangkah mendahuluiku, sambil mengelus tengkuknya. "Yang itu aku juga tahu,"

"Benarkah?" Aku menaikkan sebelah alisku, segera berjalan menyusulnya. "Hal lain apa lagi yang kau tahu, Tuan serba tahu?"

Tazu terdiam. Hah! Sudah kuduga, semua yang ditebaknya tadi hanya kebetulan!

"TOLONG!"

Seseorang berseru dari jarak yang kuperkirakan dekat, mataku langsung memperhatikan sekitar dengan awas. Aku menatap ke arah Tazu yang juga tengah menatapku serius, lalu mengangguk seolah mengerti maksudku.

Aku mulai berlari dibantu Wings Maker untuk memperkuat lompatanku, berdiri di atas besi ibu tangga layaknya seorang akrobat yang ahli dalam keseimbangan. Seharusnya, aku bisa melihat segalanya disini.

"Tidak ada apa-apa," gumamku pelan.

Lalu suara barusan...ilusi atau apa?

Suara yang lain mengagetkanku, suara deruman kuat dari audio sekolah, mirip dengan suara plastik yang digesekan namun lebih keras. Aku segera turun dari posisiku dan menatap ke arah Tazu yang juga memperhatikanku sama bingungnya.

"Schyorizone kekuatan penghancur dan menghilang, terdeteksi di dalam area bangunan cadangan. Segera masuk ke kelas terdekat..."

Belum lagi pengumuman berakhir, aku terkaget saat mendapati besi tempat aku berdiri tadi, hancur secara tiba-tiba tanpa ada seorangpun yang menyentuhnya. Tak memberiku waktu untuk berpikir, Tazu langsung menarikku menjauh dari sana.

Samar-samar aku bisa mendengarnya mengumpat sial. Hal yang jarang dilakukannya, namun terdengar jelas saat ini.

Ah, bukan itu saatnya.

Tazu baru saja hendak mendobrak pintu kelas Uranus, sialnya tanaman hias di dekat pintu tiba-tiba saja hancur menjadi debu, bernasib sama seperti besi tadi.

Kami berdua terpojok dalam sebuah lingkaran yang tak terlihat. Aku bisa mengetahuinya saat benda-benda terdekat kami mulai hancur menjadi abu. Schyorizone yang menyerang kami sama sekali tidak terlihat. Jumlahnya pun tak dapat dikira olehku. Yang terdeteksi hanya dua Schyorizone, atau mungkin...

Atau mungkin hanya satu Schyorizone dengan dua kekuatan?

Schyorizone dengan double power?

Tazu membangun batu es di sekeliling kami dengan ukuran yang sempit namun tinggi dan tebal. Ia menatap mataku dalam, "Dengar, Piya. Aku akan bicara panjang-panjang sesuai keinginanmu, jadi kau harus mengerti maksudku, oke?" Aku mengangguk cepat. "Ini benteng es yang tebal, saat kau melihat ada bagian yang hancur, segera berbalik ke arah yang berlawanan, keluarkan sayapmu dan bersiaplah mengeluarkan kecepatan terbangmu yang paling maksimal. Aku akan membuka pintu untukmu."

Aku membelalakan mataku tak percaya, "Tunggu! Kau tidak menyuruhku meninggalkanmu bersama peri penghancur itu, kan?!"

"Muncul dari belakangmu...," gumamnya dan langsung menarikku ke belakangnya, "Pergi."

"Ta-"

"Pergi!"

Aku tak menduga ia akan mendorongku ke belakang. Saat aku memejamkan mataku, bersiap-siap merasakan sakit yang akan melanda keningku, aku malah mendapati lututku yang lebih dulu menyentuh karpet di bawah kami.

...Jangan.

Jangan.

Aku berbalik, dan mendapati sebuah selinder berukuran besar dan tingginya sampai terkena langit-langit, ada tepat dibelakangku. 

Tidak mungkin.

Aku mendekati benteng itu, mengusap es yang berada di depanku berulang-ulang untuk melihat hal di dalamnya. Namun sia-sia, embun es yang cukup tebal membuatku tak dapat melihat apa yang terjadi di dalam sana.

Tidak terlihat.

Tidak ada suara.

"Tazu bodoh! Keluar kau dari sana!" jeritku sambil memukul es yang sekeras batu itu. Dingin, mematikan rasa, namun entah mengapa terasa sangat menyakitkan.

Jantungku berdenyut cepat dan terasa sakit disetiap detakannya. Darah yang mengalir dinadiku terasa sangat dingin sampai-sampai aku bisa merasakan seluruh alirannya dalam tubuhku. Jantungku nyeri sekali.

Masih ditemani keheningan yang panjang, dan tanganku yang mulai sibuk mengeluarkan kekuatanku, berusaha menghancurkan es di depanku. Tapi entah mengapa, setiap es yang meleleh, akan terus kembali membentuk dinding es baru yang mencoba menghalangiku.

I-Ini pasti ulah Tazu!

"Bagaimana kalau kita berjanji? Mulai detik ini, aku akan melindungimu."

Jangan berjanji...

"Sebenarnya, tanpa kau minta pun, aku akan melakukannya, melindungimu."

Jangan melakukannya...

"Aku akan melindungimu."

Jangan melindungiku...

"Keluar!" Teriakku emosi.

Aku mengepalkan tanganku dan memukuli dinding es itu makin kuat. Sudah kutambah dengan peluncuran cepat dari Wings Maker dan Changes Power yang sudah kuaktifkan agar bisa merubah dinding es ini serapuh biskuit.

Tapi mengapa masih tidak bisa?

Cairan mataku sudah berkumpul di sudut mataku, sekali lagi aku berkedip, aku yakin air itu akan jatuh.

Mengapa aku membuat Tazu menolongku?

Ada banyak hal yang masih bisa dilakukannya selain melakukan itu, kan?

"AKU BILANG KELUAR!" jeritku sekuat tenaga, rasanya jika pita suaraku terpotong karena hal ini bukanlah hal yang mustahil. Aku makin hancur saat mendengarkan suara itu.

Gema suaraku sendiri, lalu hening.

Hening yang sangat-sangat panjang.

Rasanya, aku siap hancur saja daripada dihadapi oleh situasi seperti ini.

***TBC***

7 Desember 2016, Rabu.

A/N

ER, apa ya?'-'

Saya masih sibuk sama tugas kuliah, laporan dan ujian yang datang silih berganti dan terus mengetuk pikiran, jadi ya... gitu. Padahal DN saya udah siapin lho dari beberapa hari yang lalu, tapi gatau deh kenapa ngaret publishnya. Entar malam saya up deh kalo ingat.

Terus...hm, soal Jupiter dan Yupiter..., lol. Sebenarnya saya salah sih. Jupiter (Inggris) dan yang Yupiter (Belanda). Apa ya, Indonesia kan dulu sempat di jajah Belanda, jadi ya kita kecampur aduk kayak gini. Padahal udah jelas salah, tapi masih saja adek niat lanjutin karena naskah udah sempat dibuat lol.

Kan capek mikirin moment Yanda-Vampix //mojok.

Oh ya, omong-omong saya merasa sangat pilih kasih terhadap pairing Piya-Tazu. Mengapa mereka muncul tiap chapter sedangkan pairing yang lain dapetnya tiap 5 chapter (itu pun kalau iya). Iya sih, mereka pemeran utamanya. Nggak bosan apa kalian *^*

Next Chapternya... *diem* -/////-

YAA! YAA! Kalian luar biasa! Pikiran kalian sekarang sudah terkontaminasi oleh- //PLAKKK.

Maaf, ngomong-ngomong. Saya lagi-lagi mempercepat alur, demi kebaikan bersama. Ini udah chapter 20 lhoo, alurnya lambat banget. Semoga kalian suka deh dengan apa yang direncanakan oleh mood saya.

*

SKY CORNER

Bela diri apa yang kalian kuasai sebelum kalian tiba di dunia sihir? #BoySide

1. Vampix
"Pfft, pertanyaan macam apa itu? Bela diri ya? Aku sempat belajar karate dan masih kurang setingkat untuk sabuk hitam, tapi sekarang aku sudah tidak terlalu berminat. Alasanku mengikuti bela diri kan, untuk melindungi diri dan melindungi...ehm, pokoknya, aku tidak punya alasan lagi untuk melanjutkan itu."

2. Light
"Aku benci membahas soal bela diri, tapi karena ini pertanyaan dari Author, baiklah... Aku sendiri tidak tahu apakah aku sudah belajar bela diri atau belum. Tapi harus kuakui dengan sangat berat, aku belum pernah kalah setiap melawan preman dan mafia yang selalu membuat rusuh area sekolahku yang dulu. Pokoknya, sesuai janjimu, Kazie tidak boleh sampai tau tentang ini!"

3. Sonic
"Bela diri? Aku menguasai Aikido, favoritku adalah teknik kuncian dan bantingan. Tapi aku hampir tak pernah menggunakannya. Itu terlalu berbahaya."

4. Hize
"Ayahku mengajariku bela diri yang dikuasainya, aku sudah menguasai semua yang dia bisa berkat kesabarannya. Setahuku Ayahku menguasai karate, judo, dan kick boxing. Ah, aku lupa menambahkan, Ibuku yang berdarah Korea juga mengajarkanku taekwondo dan hapkido. Kalau ada waktu, aku ingin belajar sumo."

5. Aquane
"Rasanya malu kalau ditanya seperti ini. Aku tidak sehebat yang lain, aku hanya pernah belajar kendo. Aku pernah menang di tingkat nasional sih, tapi tetap saja aku tidak percaya diri."

6. Tazu
"...aku dipaksa belajar semua bela diri yang Hiro bisa. Dia sangat ahli di kick boxing dan taekwondo. Aku menang hanya di karate dan judo."

Pengen belajar bela diri juga, hiks.

Lol, btw yang disebutkan di atas itu, semuanya adalah bela diri yang saya ingat lol. Kung Fu, Wushu, Tai chi, dan lain-lain, sengaja tidak dipasang.

Oh ya, lupa Tazu lagi dalam bahaya dalam benteng esnya, HAHAHA.

Next up: kuusahain secepatnya lol.

Salam, Cindyana H

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro