07. Sepeda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PS: Grammar dalam percakapan di bawah tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Berikut adalah contoh grammar error dalam percakapan. Namun selagi dapat dipahami, tidak apa, lanjutkan. Jangan malu! Baby made mistakes too when they first learned language.

Happy reading~

***

"Here's for my coffee and snacks, please take the ... back money," Seseorang menaruh selembar pecahan lima puluh ribuan di atas meja bar, tepat di depan Hafa." Thank you. You makee a very delicious Cinnamon Brown Sugar Latte. I think I will come to enjoy your coffee again."

.... Hah?

Sebentar, mata Hafa yang sudah berkeliaran kembali, melirik ke arah pintu menuju masuk dan pintu pantry bergantian. Yui belum datang juga, Ya Tuhan! Dan tidak ada Yorkers yang dapat membantu membebaskannya dari situasi ini. Ia sendirian, terjebak bersama pengunjung paling banyak omong yang pernah Hafa temui.

Mending kalau dia berceloteh dengan bahasa Sunda kuno kayak orang kesurupan.

"How do you make that, though?" Sialnya, pria di depannya ini tidak menunjukkan tanda-tanda ia akan menutup mulut segera. Ia menjelaskan dengan bersemangat, dengan bahasa Inggris yang mungkin hanya dia dan Tuhan yang paham maksudnya. "To make it so delicious and sedap! And yeah... you know."

"Ahahaha, yes! Yes! Thank you," Hafa mengarang jawaban. Senyum canggung tersungging lebar di wajahnya sementara matanya sendiri terus bergerak liar mencari keberadaan Yui.

"The sweetness is really ... good! I like that very much. Do you have a trick for that?"

"Yes, Sir. Yes. Hehe."

"By the way, can I have your... you know, social media or number phone?"

Phone number kali, ya. Hafa tersenyum lagi, hampir mengatakan iya untuk kalimat yang sebenarnya tidak begitu ia pahami jika bukan karena seseorang yang datang menimbrung pembicaraan mereka. Pria muda itu menepuk pundak pria di depannya ini, memanjat stool lain di depan bar, lalu, sedetik kemudian Hafa sudah bisa menyimpulkan bahwa dia tampan.

"Did you enjoy our drink?" Pria itu tersenyum ramah, seramah suaranya, membuat siapapun pasti akan betah mengobrol berlama-lama. Para pria akan menyukai pembawaannya. Dan para wanita, tentu saja, pembawaan dan tampangnya. Inikah adik Ibu Bos yang suka digosipkan Yui dan para Yorkers itu?

Well, apa boleh buat. Tampangnya memang patut dijadikan materi gibah. Matanya ... mirip sekali dengan Bu Tari.

Kibasan tangan pria itu tepat di depan wajahnya menyadarkan Hafa bahwa ia telah membiarkan pikirannya jalan-jalan terlalu jauh. Pria itu tersenyum, lalu mengisyaratkan dengan mata dan tangannya untuk Hafa bisa pergi. Kesempatan yang tidak mungkin Hafa sia-siakan. Ia meninggalkan bar, bermaksud akan ke pantry saat bel di pintu masuk bergemerincing, diikuti keberisikan seseorang yang masuk dengan tersengal.

"Teteh! Itu sepedanya udah selesai direparasi!"

Yui berhenti di tengah-tengah kafe. Mulutnya terbuka. Bukan hanya karena menyadari bahwa orang lain di kafe English itu sementara ia tidak menggunakan bahasa Inggris. Tetapi lebih karena, siapa orang lain yang sedang berada di hadapannya saat ini.

"Eh... Kang Samudera," lirihnya, dengan napas masih berlarian. Kemudian, setelah menyadarkan diri, ia segera meralat. "Maksudnya.., Pak! Hehe."

"Did you just join a marathon?" Samudera terkekeh.

Yui tidak. Hafa meneguk ludah, tahu apa yang ada di kepala gadis itu. Dan untuk mencegah Yui yang kalau-kalau ambruk dihadiahi senyum demikian, Hafa segera bergerak maju untuk menyokongnya. Membuat perhatian semua orang tiba-tiba tertuju pada caranya berjalan yang sedikit diseret dan plaster luka di lututnya.

"Teteh kenapa?" Sekarang keadaan berbalik seketika. Justru berganti Yui yang memeganginya. "Gara-gara keserempet tadi, ya?"

"Iya, tapi udah diobatin sih tadi."

"Aduh, Teteh udah minta ganti rugi, belum?!"

"Mana sempet! Orang cuma dikasih pay─"

"What's wrong?" Samudera menimbrung, dan sebelum Hafa sempat mengarang alasan yang sopan, Yui telah bersemangat menceritakan segalanya.

"Kamu kalau cedera gitu, mending pulang sekarang aja. Istirahat. Biar saya yang bilangin Mbak Tari."

Hafa hampir menangis. Setengah tahun ia bekerja di sini, belum pernah diijinkan pulang lebih awal kalau tidak memohon-mohon dulu. Kadang ia malah harus romusha bekerja ekstra selepas jam tutup. Membuat Hafa sempat curiga ada darah Hitler mengalir dalam diri Mentari, namun sang adik membantah hal itu dengan sikapnya.

Dengan senyum yang tidak bisa ditahan-tahan, ia sampai berkali-kali mengangguk pernuh terimakasih pada Samuderkha untuk selanjutnya berlari ke dapur. "Yay! Pulang!"

Yui melongo. "Kenapa sekarang dia kayak nggak sakit?"

***

Kecuali untuk gerimis yang remang, yang menggelitiki dedaunan dalam rintik senyap, hujan telah mereda. Hafa mengayuh sepedanya pelan-pelan dengan satu tangan sementara tangan lainnya memegangi payung berwarna biru. Payung yang diberikan pria angkuh itu.

Udara yang terbiasa dilekati debu sekarang bersih. Aroma segar tanah sehabis hujan menguar di bawah rongga hidung. Ranting dan dedaunan basah, sesekali merontokkan titik-titik air setiap Hafa lewat dan payungnya menjawil mereka. Aspal tampak basah dengan beberapa genangan air jernih yang mengumpul. Dan gerimis berbisik, mengetuki payungnya. Dan bagi Hafa, semua itu adalah definisi paling mudah untuk bahagia.

Ia tersenyum, menyenandungkan lagu, mengkhayalkan tentang apa saja selama melaju di jalanan yang sekarang sepi. Kemudian, di bawah jalan yang dipayungi deretan pohon damar, Hafa memperlambat kayuhan sepedanya. Ada pemandangan mengherankan yang memaksanya berhenti. Sebuah Lamborghini berwarna hitam pekat yang familiar, terlalu familiar. Mobil itu menarik perhatian lantaran posisinya yang tidak wajar, secara ekstrim terparkir horisontal di sisi badan jalan. Perasaannya mengatakan, ada sesuatu yang tidak beres.

Gadis itu memarkirkan sepedanya hati-hati di pinggir jalan sebelum dengan lebih berhati-hati mencoba mengintip apa yang terjadi. Mulut gadis itu terbuka tanpa suara begitu melihat seorang pria di sana, bersandar pada kap mobil dalam keadaan basah kuyup. Ia tampak berantakan.

Setiap orang yang melihatnya pasti langsung bertanya-tanya apakah ia masih hidup atau tidak. Alasan kenapa Hafa kemudian mengendap-endap bergerak ke sisinya, memayunginya, kemudian dengan gugup bergerak lebih dekat. Ia berjongkok untuk memeriksa apakah pria itu masih bernapas atau ... telah jadi mayat. Ia meletakkan jari telunjuknya di bawah hidung pria itu, dan segera bernapas lega begitu ia merasakan hangat membentur jemarinya.

Pria ini... adalah pria itu, si pemilik payung.

Sekali, telunjuk Hafa mengenai bibirnya yang dingin dan pucat. Pria itu membuka matanya sedikit dan bergumam tidak jelas di antara gemerutuk giginya. Ia menggigil kedinginan.

"Pak... Pak Payung? Kamu enggak pa-pa?"

Bahkan tanpa pria itu menjawab ia sudah tahu jawabannya. Bodoh sekali ia sudah bertanya. Ia buru-buru melepaskan cardigannya dan menyelimuti pria itu sebelum memapahnya berdiri.

"Bapak kecelakaan? Mobilnya rusak? Kenapa?"

"Kamu siapa?" tanya Levant sambil berusaha berdiri dengan kakinya sendiri. Suaranya parau dan mengkhawatirkan. "Kamu kenal saya?"

"Enggak." Hafa mengerutkan alis. Kemudian memutuskan menyuarakan pertanyaannya. "Emangnya kenapa? Kamu bukan artis, kan?"

Ia memandang Levant lagi sepintas, lalu buru-buru menutup mulutnya dalam kekagetan. "Bapak ganteng! Boyband, ya? Yang nyanyi cenat-cenut itu?"

Sesaat, Levant memandangnya tajam, tidak percaya. Jika bukan karena penglihatannya yang mengabur dan sakit kepala yang menyerang akibat terlalu lama di bawah hujan.

Melihat respons pria itu, Hafa meralat. "Bukan, ya? Maaf. Saya jarang nonton TV jadi nggak tahu. Artis sinetron, ya kalau gitu? Yang main di Tukang Bubur Naik Haji?"

Levant mengibaskan tangannya, malas berdebat. "Terserah. Kita nggak saling kenal, dan saya nggak ngerti kenapa kamu menolong─" gumamnya sementara gadis itu mendudukkan dirinya di boncengan sepeda. "Tunggu! Kamu ngapain—"

Dengan segenap sisa kesadarannya, Levant buru-buru berdiri. Perlu usaha keras baginya untuk mengumpulkan seluruh nyawanya tanpa membuat dirinya jatuh karena terlalu pusing. Tunggu! Apa yang... apa yang gadis aneh ini coba lakukan dengan mendudukkannya di belakang boncengan sepeda?!

"Tenang! Tenang! Ini Bapak sakit! Saya mau bawa Bapak ke Rumah Sakit. Pegangan aja sama saya, ya?"

"Apa?!"

***

"Hati-hati, Pak Payung!"

Hujan hampir berhenti seluruhnya, tetapi Hafa tetap memegangi payungnya hati-hati dengan satu tangan sementara tangan lainnya berpegang erat pada kemeja Levant hingga kemeja itu lusuh di bagian pinggang.

Tidak ingin melukai harga dirinya, Levant berkeras ia yang membawa sepeda setelah sepertiga perjalanan. Ia lebih memilih menguras semua tenaga dan memaksa diri agar tidak pingsan daripada harus dibonceng seorang wanita. Lebih buruk, wanita yang lututnya terluka. Dan gadis itu duduk di boncengan sekarang, merasa sangat tidak enak. Ia berupaya sebisa mungkin agar tubuhnya tidak terlalu berat. Bahkan menyesali kenapa sebelumnya ia makan terlalu banyak. Seharusnya ia tidak mengambil jatah Dokter Daru juga tadi.

Pria itu bahkan menggigil sejak pertama Hafa menemukannya beberapa saat lalu. Dan sekarang, Hafa hampir membuatnya sekarat dengan harus membonceng naik sepeda.

"Hey! Pegangan aja yang benar! Jangan gerak-gerak dan jangan tarik-tarik baju."

Levant menangkap tangan itu yang dari tadi berkali-kali membuatnya oleng dengan perpegangan pada bajunya, membuat Levant tampak semakin berantakan. Ia meletakkan tangan ramping itu persis di perutnya, menangkupnya dengan telapak tangan sendiri beberapa saat hingga gadis itu tidak lagi menolak. Keputusan yang tepat, mungkin, karena setelahnya, Hafa sudah berhenti bicara. Ia sedang malu, agaknya? Levant menebak-nebak. Dan tanpa disadarinya, seberkas senyum geli yang meski tipis, muncul di bibirnya.

Mereka singgah di lapak gerobak dorong pinggir jalan. Alasannya, Hafa tidak ingin Levant kehabisan tenaga sebelum mereka mencapai rumah sakit, atau puskesmas terdekat. Atau mungkin karena ia pengin saja begitu melihat penjual batagor.

Levant duduk di bangku panjang yang tersedia, menatap orang-orang, kendaraan berlalu lalang yang sebelumnya tidak pernah diperhatikannya. Namun sekaang, hanya ada ia dan dirinya, tanpa ponsel, tanpa mobil yang mobil yang ia tinggalkan tanpa peduli. Hanya ia, di bawah belas kasih seorang gadis aneh yang pernah ditabraknya.

Cukup lucu jika mengkilas balik kenapa akhirnya ia sampai di sini sepert saat seharusnya ia sudah berada di kantor, berkutat dengan laporan, dokumen, meeting klien, dan semua yang berhubungan dengan pekerjaan. Semuanya hanya karena kecemburuannya terhadap tunangannya sendiri, Leona Karlesha Bekker.

Cemburu? Benarkah? Jauh di lubuk hati Levant mengoreksi. Apakah ia cemburu? Kenapa? Apakah karena ia benar-benar mencintai gadis itu? Atau... Leona Karlesha Bekker termasuk satu-satunya yang ia miliki?

Jika benar ia mencintainya, lalu... kenapa ia masih ragu untuk mengikatnya dalam sebuah pernikahan? Kenapa ia masih bermimpi buruk setiap malam dan menyebut gadis yang bukan Leona? Apakah... karena ia begitu kesepian sampai tidak rela ditinggalkan? Apakah ia bersama Leona Karlesha Bekker hanya agar tidak sendirian?

"Pak Payung? Kamu melamun?"

Levant menoleh, gadis asing yang menolongnya tadi tengah tersenyum padanya dengan senyum yang... katakanlah, manis. Bukannya ia berniat memperhatikan. Hanya saja, dia tersenyum dan cuaca mendadak menjadi sedikit lebih cerah. Hanya ... sedikit. Gadis itu mengulurkan sepiring batagor ke pangkuannya.

"Makan dulu, Pak. Mumpung masih hangat!"

Selama beberapa saat, Levant hanya menatap piring di tangannya. Potongan-potongan batagor komplit dengan saus kacang. Makanan yang sama yang membuat gadis di sampingnya memasang wajah amat menikmati saat menyantap.

Dan... mungkin aneh, tetapi Levant tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ia makan jajanan seperti itu, atau apakah ia pernah memakannya sama sekali. Ia menghidu sebentar. Baunya seperti .... kacang. Tidak buruk.

Pria itu meraih garpu, lalu menusuk batagornya dengan ragu-ragu. Ia kembali menatap Hafa yang memakannya dengan lahap, nyaris sudah menghabiskan setengahnya meski batagor di piring masih tampak panas dengan sisa-sisa kepulan uap. Sudah berapa hari dia belum makan?

Merasa menjadi objek tatapan, gadis itu menoleh.

"Kenapa?" tanya Hafa dengan mulut penuh,. "Nggak suka batagor, ya?"

"Lebih tepatnya, belum pernah makan."

Ucapan itu membuat Hafa tersedak seketika. Ia menelan batagor di mulutnya cepat dan segera meraih air minum, lalu menepuk-nepuk ada. Jika ada yang mengatakan alien itu nyata atau bumi ternyata berbentuk donat, Hafa mungkin saja percaya. Tetapi, ada manusia yang tidak pernah memakan batagor?!

Gadis itu seketika menatap Levant seolah pria di depannya ini telah musyrik.

"Hah? Sudah berapa lama emangnya di Bandung nggak pernah makan batagor? Emang selama ini Bapak makan apa? Berlian?!"

"I eat Chef's cooking? Makanan Inggris, Perancis, Jepang. You name it."

Hafa mendengkus. Seharusnya ia tidak usah bertanya. Kesombongan pria itu sekarang kumat. "Enak, tahu. Selama hidup Bapak, rugi nggak pernah makan batagor."

Levant tidak menanggapi kali ini. Ia masih menatap gadis itu, tidak beranjak, bahkan bertambah intens. Tajam bercampur heran.

"Kamu mengenali saya, kan?" Levant memiringkan kepalanya agar mendapat sudut yang lebih pas memperhatikan gadis ini. Dan semakin dipehatikan, ia semakin merasa heran. "Tadi pagi... kamu ingat, tidak?"

"Oh?" Hafa menatapnya, lalu mengangguk. "Ingat, kok! Kamu mau ngambil payung, ya?" jawabnya tanpa beban seraya memindahkan payung di sisinya ke sisi Levant.

Pria itu membuang napas berat. Bukan itu maksudnya.

"Simpan aja. Dan... kenapa kamu nggak marah?"

"Untuk?"

"Menabrakmu."

"Saya menyeberang tanpa lihat-lihat dulu. Kamu merasa bersalah?"

Rasanya tertohok. Levant segera berdeham dan meluruskan pandangannya kembali, kepada batagornya yang belum tersentuh.

"Enggak. Kamu tuntut aja supir saya."

Meski ragu, pria itu akhirnya memasukkan satu potongan batagor ke mulutnya. Merasakannya. Dan tersenyum. Ia tidak tahu bahwa makanan murah juga bisa seenak ini. Terutama saat udara sedang dingin dan dirinya sedang kebasahan seperti sekarang. Ia memasukkan suapan kedua dan ketiga lebih cepat dari sebelumnya. Rasa laparnya hampir tidak bisa ditolerir sekarang sampai-sampai ia tidak lagi peduli dengan wibawa yang selalu ia jaga kemana-mana. Tidak peduli meski gadis disampingnya sudah memperhatikannya dengan tawa geli.

"Pak? Udah berapa hari belum makan?"

Levant melotot padanya, yang hanya ditanggapi Hafa dengan cengiran lebar. "Mau nambah? Bawa pulang?"

Levant menjawabnya dengan kibasan satu tangan, mulutnya masih sibuk dengan makanana. Baru kemudian setelah ia selesai mengunyah, ia menoleh kembali pada gadis itu.

"Kamu kerja di kafe itu? Saya lagi enggak mbawa uang tunai, tapi nanti saya akan bayar. Ini," ujarnya, menunjuk mangkuknya sendiri. "Dan ganti rugi pengobatan kamu." Dagunya menunjuk lebam di lutut Hafa.

"Oh, itu. Nggak pa-pa kok. Saya traktir. Saya orangnya nggak pelit, kok. Sesekali—"

"Saya enggak suka berhutang.Saya akan bayar."

"Bener?"

Seketika, mata gadis itu berbinar. Dan Levant merasakan firasat buruk tentangnya. Gadis itu menggeledah tasnya, menarik sebuah notes lalu merobek sehelai kertas darinya. Dengan cepat ia menulis sesuatu di sana dan menaruhnya ke tangan Levant yang kemudian membacanya dengan kening berkerut.

Batagor: 2 x 10.000 = Rp. 20.000

Air mineral: 2 x 3.500 = Rp. 7.000

Pengobatan: Rp. 50.000

Ojek Sepeda: Rp. 150.000

"Apa ini?"

"Bon! Biar Bapak nggak lupa."

"Kamu bilang kamu tidak pelit." Levant menatapnya tidak percaya. Gadis macam apa yang di depannya ini? "Dan kenapa ojek sepedanya mahal?"

"Uang Bapak kan banyak, segitu masa mahal?! Lagian Bapak berat, tahu!"

"Tapi sepedanya saya yang bawa."

"Bapak memaksa, saya bisa apa?"

Levant mendengkus. Percuma berdebat dengan gadis ini. Sepertinya mulutnya ada lima, selalu punya jawaban untuk apapun. Ia meneruskan makannya lagi, begitupun dengan Hafa.

Pria itu baru bisa berhenti makan setelah tersedak begitu tidak sengaja melirik arlojinya. Hampir pukul empat! Dan dia memiliki rapat penting tepat pukul itu. Agenda penting yang akan dipimpin oleh pimpinan utama, ayahnya sendiri, tidak mungkin ia bisa membatalkan datang atau sekedar terlambat ke sana.

"Boleh pinjam ponsel kamu? Saya mau manggil taksi. Ke kantor."

"Kita nggak jadi ke Rumah Sakit?"

***

Maaf ya telat :( I'm not in a very well condition, mood wise. 

Satu bab ini ditulis dalam beberapa hari. Karena itu, semoga kamu nggak keberatan untuk vote dan meninggalkan komentar. Sedih akutuh vote-nya terus menurun. Apakah karena bosan?

Semoga enggak, hehe. Pokoknya, semoga semangat harinya setelah ditemani Pak Payung! Sampai juga lagi next part <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro