18. Tulip

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Punten, harusnya kemaren update tapi aku lupa~ Hehe

***

Usai makan siang hingga ke sore hari yang mengenyangkan, ditambah bonus bahwa ia diperbolehkan pulang lebih awal tanpa perlu mengganti jam kerjanya yang hilang, membuat Hafa sanggup tersenyum sepanjang sisa hari. Meski ia tadinya terbangun dengan gelagapan, menemukan pipinya menempel pada meja makan, sebidang dengan piring-piring kotor, dan berharap tidak ada cairan liur yang tertinggal. Ia tidak habis pikir kenapa ia bisa tidur selama itu di jam kerja dan masih menemukan Levant saat pertama kali ia membuka mata. Seperti mimpi buruk saja. Mungkin ia kekenyangan, tapi kenapa pria itu tidak membangunkannya? Justru menyindirnya habis-habisan.

"Jadi kamu tadi sudah sampai mana, mimipinya?"

"Enak, kenyang terus tidur?"

"Iler kamu sudah sebaskom loh selama kamu tidur tadi."

Kira-kira, demikian yang ia katakan. Membuat Hafa keki.

"Kalau mau pulang, pulang aja. Kenapa mesti nunggu? Apa dia nggak punya otak?" gumam Hafa diam-diam jauh di belakang Levant, tidak berani menyuarakannya lantang-lantang. Walau bagaimanapun, mendapatkan pekerjaan itu tidak mudah, jadi ia tidak mau mengambil resiko dimutilasi oleh Mentari Rahayu, bosnya karena perlakuan tidak menyenangkan terhadap pelanggan.

Anehnya hari itu Mbak Tari justru menyuruhnya istirahat pulang dengan sangat senang seolah habis menang lotre, membuat Hafa tidak yakin apakah ia dipecat atau bagaimana. Ketika mengetahui bahwa Levant telah membayar ruangan sehari penuh beserta jam kerjanya seharian itu, barulah ia mengerti kenapa.

"Kenapa kamu masih berdiri di situ?"

Hafa berhenti terlalu memperhatikan lantai dan mulai menoleh ke depan, sumber dimana suara itu berasal. Di sana, Levant tampak menoleh dan bicara padanya. Tidak mungkin tidak, karena setelah Hafa celingukan sejenak, tidak ada orang lain dalam jarak dekat dengannya, sementara tatapan tajam mengerikan pria itu terasa terlalu lurus menohok ke arahnya. Dengan gugup dan penasaran, ia berlari mendekat. Bertanya "ada apa" yang hanya bisa dikeluarkan lewat mimik muka.

Levant menghembuskan nafas berat. Seolah menunggu gadis itu berlari sejauh lima meter darinya adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Wajah kebingungan itu juga tidak membantu sama sekali. Jadi tanpa basa-basi, satu tangannya telah menarik Hafa berjalan cepat melewati halaman, menuju mobilnya. Ia lebih mirip menyeret gadis itu ketimbang mengajaknya baik-baik. Lalu, tanpa omong apa-apa lagi, ia membukakan tempat duduk di belakang dan menjejalkan gadis itu di sana.

"Tunggu! Tunggu! Bapak ngapain?!" Sepertinya kemampuan verbal Hafa baru kembali setelah ia berhenti ditarik paksa.

Tapi Levant tidak mendengarnya. Ia dengan cepat memutari mobil, mengambil posisi di samping Hafa. Sopir Levant hari itu tampak kaget, tetapi tentu saja, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menjalankan tugasnya menyetir. Dalam beberapa detik saja, mobil sudah melaju cepat meninggalkan parkiran.

Hafa menatap panik pada sekelilingnya. Pasalnya, berada di mobil orang asing yang pendinginnya sanggup membuat Hafa sakit kepala, ditambah kecepatan mobil yang tidak kira-kira. Jangan salahkan jika segala jenis pikiran buruk mulai menggerayangi otaknya.

"PAK! BAPAK NGGAK BISA SEENAKNYA MENCULIK SAYA! NGGAK ADA YANG MAU NEBUS!"

"Diam, bisa?" Berkebalikan dengan Hafa, yang wajahnya panik setengah mati, Levant duduk begitu tenang di dalam mobil, menyilangkan kaki sambil menikmati musik dari tape mobil.

"ENGGAK! SAYA BAKAL TERIAK—"

"Berhenti."

Decit ban segera terdengar, Hafa hampir membentur tempat duduk depan ketika Levant memberikan perintah yang otomatis dituruti. Sang supir dengan cekatan memberhentikan mobil ke tepi.

"Turun," perintah Levant pada si supir lagi, yang segera dilaksanakan tanpa pertanyaan.

Levant menyeringai, lagi-lagi. Kali ini efeknya menjadi berkali lipat lebih mengerikan. Setelah si supir, orang yang satu-satunya membuat Hafa merasa sedikit aman karena keberadaannya, turun dan tampak berdiri membelakangi mobil cukup jauh di depan mereka, pria itu mendekatkan wajahnya ke Hafa tanpa basa-basi.

"K-kamu mau apa?" cicit Hafa, dengan kepala tertarik ke belakang.

Pertanyaan yang tentu saja tidak Levant tanggapi karena ia justru semakin mendekatkan wajahnya ke depan, memaksa Hafa memundurkan tubuhnya yang terhimpit dan memejamkan mata erat. Dalam keadaan seperti itu, ia selalu tidak berhasil mengeluarkan suaranya untuk berteriak. Hanya tangannya yang menyilang di depan tubuh seolah itu berguna.

Kenyataannya, Levant lebih cepat dan kuat memegangi tangannya. Baru berhenti ketika jarak antara kedua bibir mereka hanya hitungan satu atau paling banyak dua senti. Napasnya yang panas menyapu wajah Hafa, menakut-nakuti gadis itu yang sudah hampir tidak bisa berpikir. Ia menyeringai geli mengamati kelopak mata itu lagi. Hingga akhirnya gadis itu membuka matanya setelah beberapa waktu berlalu dan ia tidak merasakan apa-apa. Tidak ada kekerasan atau... atau hal buruk sedikit mesum yang ia pikirkan.

Dalam hati Hafa mengumpat atas isi otaknya.

Di hadapannya, ia menemukan manik mata Levant yang tajam itu berada dalam jarak begitu dekat. Ia masih dapat merasakan napas yang panas milik pria itu dan sesak sendiri karenanya. Belum lagi, tatapan tajamnya yang tidak bisa digeser-geser.

"See? Saya dengan gampang sekali bisa menyumpal mulut kamu dengan apapun. Dan bibirku ini... bisa paling cepat melakukannya. Jadi diamlah," bisiknya.

Seketika Hafa melepaskan kedua tangannya dari Levant untuk menutup mulutnya. Sehingga yang terlihat hanyalah sepasang matanya, menatap horor pada pria itu.

Levant tersenyum senang. Ia menepuk-nepuk kepala Hafa sebelum akhirnya menelepon kembali supirnya untuk menjalankan lagi mobil. Dalam kecepatan normal kali ini, diiringi alunan musik jazz yang santai. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

***

"Ini rumah kamu?"

Levant memperhatikan rumah kecil berpagar rendah di samping kaca mobilnya. Caranya memandang mengatakan bahawa ia hampir-hampir tidak percaya rumah sekecil itu bisa ditinggali. Seperti kandang ayam.

Hafa tidak berusaha menanggapi. Begitu kuncian pada mobil dibukakan, ia buru-buru turun dan bernapas lega. Seolah mobil Levant adalah kurungan mengerikan. Seperti neraka.

"Ini hutang tumpangan dariku," kata Levant, menahan langkah gadis itu yang sudah bersiap melarikan diri.

Hafa menolehkan kepalanya cepat. "Hah?!"

Sementara Levant hanya mengendik santai. "Saya hanya bermaksud ngasih kamu tumpangan."

"Apa?!"

Gadis itu hampir terguncang tidak percaya. Jadi dia senam jantung sepanjang jalan, menjadi bahan lelucon atau apasaja yang pria itu pikirkan, mempermalukan dirinya sendiri oleh semua pikiran negatifnya, dan ternyata... pria ini hanya ingin memberi tumpangan?!

"Kamu kecewa?" goda Levant. Ia memamerkan cincin di tangannya. "Saya sudah bertunangan dengan seorang model. Cewek kayak kamu... sama sekali bukan tipeku."

Tunggu! Tunggu! Apa maksudnya?!

"Saya—"

"Jangan terlalu kecewa."

"Kecewa?!" Hafa membuang napas kesal. Ia tidak tahu apakah pria itu benar-benar salah paham atau hanya menggodanya, tapi ide tentang ia yang mengejar pria itu membuatnya mual. Ia ingin sekali berteriak-teriak, berguling-guling di tanah, menjambak rambut Levant dan menguliti pria itu hidup-hidup. Dia seenaknya saja menyimpulkan!

Namun menyadari hal itu tidak ada gunanya, dan hanya akan membuat Levant justru bertambah senang, ia menarik napas dalam dan berusaha menghapus semua ingatan buruk yang ia alami sepanjang hari ini.

Ia tidak ingin mendengarkan ketika Levant—atau sopir Levant yang disuruh Levant—membunyikan klakson berkali-kali, seperti memanggilnya. Ia tidak mau peduli. Pria itu kurang ajar sekali! Namun tubuhnya berkhianat dengan menoleh. Segera ia menemukan Levant sudah bergerak mendekatinya lagi. Langkahnya cepat dan panjang-panjang, dan ia tidak sap untuk kabur. Terlalu terlambat menghindar, Levant berhasil meraih tangannya lagi dan menaruh buket bunga yang tadi di sana.

"Ketinggalan. Enggak membayar apapun, tapi anggap saja sebagai hadiah."

Lalu pria itu kembali ke mobil, meninggalkan Hafa dalam kebingungan.

***

Sampai di titik ini, Daru berpikir, mungkin menunggu adalah keahliannya.

Ia menunggu gadis itu hingga waktu yang lama, lama sekali. Berpikir, mungkin sesuatu hal mendesak membuat gadis itu terlambat datang. Ataukah sesuatu yang buruk? Sejak ponsel gadis itu mati dan tidak bisa dihubungi, pria itu merasakan kekhawatiran sepanjang hari. Hafa tidak pernah tidak datang pada janjinya. Tidak pernah mau melewatkan nasi goreng spesial buatan Daru. Tapi kali ini, hingga Daru menghabiskan lebih dari satu jam lepas kerja di taman Rumah Sakit, menunggu, gadis itu benar-benar tidak datang. Dan ia sama sekali tidak berniat menyentuh nasi gorengnya sebelum Hafa datang.

Malam telah agak larut ketika ia memutuskan membungkus kembali kotak bekalnya, memperbaiki rangkaian tulipnya yang mulai layu dan bersiap pulang. Ia ingin mengecek gadis itu. Siapa tahu ia kelelahan untuk datang. Atau lupa. Tidak apa jika ia lupa. Asal ia baik-baik saja, Daru akan memaafkannya. Pasti.

Ia sempat merasa tidak yakin ketika mengetuk pintu gadis itu. Takut membangunkannya. Namun begitu ketukan pertama, sudah terdengar jawaban berisik yang meyakinkan Daru bahwa ia tidak akan mengganggu. Ia memperbaiki sekali lagi tatanan tulipnya, berharap bahwa bunga itu masih cukup segar untuk ia berikan, dan nasi gorengnya... mungkin ia bisa memanaskannya di dapur Hafa nanti. Ia menyimpan keduanya di balik punggung.

Tidak lama, gadis itu muncul di pintu. Tersenyum lebar. Sebagian wajahnya tersembunyi oleh sejumlah besar bunga di dalam toples yang tidak kalah besar dalam pelukannya. Rangkaian bunga mawar putih yang sangat besar, jauh lebih besar dari yang dibawa Daru yang ia sembunyikan, dan sekarang berusaha ia sembunyikan semakin rapat. Siapa yang memberikan bunga itu? Hatinya seketika merosot.

"Pak Dokdok? Maaf lama bukanya, ini saya lagi nyusunin bunga ini ke dalam toples, habis nyari jambangan nggak ada. Oh iya, saya baru mau nelpon Pak Dok. Saya minta maaf karena nggak bisa datang tadi, ada.. kerjaan. Pak Dok nggak nungguin saya, kan?" cerocosnya dalam satu tarikan nafas, bahkan sebelum Daru berhasil mengatakan sepatah kata saja.

Sesaat, Daru memerlukan waktu untuk memproses informasi yang ia terima sebelum akhirnya cepat-cepat menggeleng dan tersenyum palsu, yang tentu saja tidak akan pernah gadis itu sadari.

"Enggak. Saya juga.. sibuk tadi, sampai lupa kalau kita ada janji."

Hafa mungkin tidak begitu mendengarkannya, mungkin juga tidak peduli, yang jelas gadis itu terlalu tidak peka untuk menangkap nada sedih dan tidak yakin dalam kalima tadi. Ia justru menyodorkan mawar di tangannya pada Daru.

"Pak Dok lihat, deh! Cantik, kan? Seumur-umur saya belum pernah liat bunga segede gini. Pasti mahal."

"Iya," Daru tersenyum tipis. "Kamu... sudah makan?"

"Hm! Tadi ada yang traktir, terus sisanya juga boleh dibawa pulang! Saya sama Ayes masih kenyang sampe sekarang," kekehnya.

Lagi, Daru beerusaha agar Hafa tidak pernah melihat bunga dan kotak makanan di balik punggungnya.

"Oh... yaudah, kalau gitu. Saya ke sini mau mengecek aja apa kamu sudah pulang atau belum. Jadi...saya pulang dulu, ya."

"Mau masuk dulu? Pak Dok sudah makan? Oleh-oleh tadi masih ada buat pagi, kalau Pak Dok mau—"

"Enggak, nggak usah." Daru menolak cepat. "Saya sudah makan. Sekarang juga masih kenyang," ia mengusap perutnya. "Jadi ngantuk banget sekarang. Kayaknya saya pulang aja, ya."

"Oh... oke deh. Punten saya tutup pintunya, ya. Nyamuk."

Daru terkekeh. Ia mundur perlahan, baru berbalik setelah gadis itu menutu pintu. Merasakan perutnya melilit tanpa diisi, namun selera makannya tiba-tiba sudah menguap begitu saja. Sama seperti hatinya. Sama seperti tulip-tulip layu di tangannya.

***

Aku liat-liat jumlah vote belakangan dan tercengang, huhu. Ternyata banyak juga yang baca. I feel happy but asddghkl I don't deserve it TT

Huhu makasih banyak, pokoknya! Dan semoga kalian suka update kali ini.

See you~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro