26. Chocolate Mint

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 "Apa saya harus kayak gini terus?"

"Uh... itu..., saya minta maaf, Pak, tapi tahan sebentar, ya."

"Leher saya rasanya mau patah!"

"I-iya maaf." Hafa tersenyum canggung pada pria yang berjalan di sisinya, terus menggerutu dengan Ayres yang bergelantungan di pundaknya.

Hafa menipiskan bibirnya, lalu membuang muka, tidak lagi kuat menahan senyum. Yang jelas, Levant tidak boleh melihat senyum itu atau akan tamatlah riwayatnya. Sejak kelahirannya ke dunia, Hafa tahu adiknya itu memang suka kurang ajar, tetapi ia juga tidak menyangka Ayres akan berani-beraninya minta digendong seperti sekarang.

Maksudnya, Levant itu 'kan seorang bos besar, yang kemana-mana mengenakan setelan mewah yang seumur hidup pun tidak akan sanggup Hafa bayar. Mana pernah dia membawa beban berat di pundaknya, apalagi anak kecil yang tertidur di punggungnya, meneteskan liur.

"Apa saya terlihat aneh?" tanya Levant, segera setelah menangkap basah dua orang perempuan yang berbisik-bisik sambil menatapnya.

Hafa maju selangkah, membentuk kamera dengan tangannya, memberi Levant tatapan menilai yang agak berlebihan. Ia mengerti kenapa gadis-gadis suka membicarakan Levant. Dia punya wajah dan proporsi tubuh untuk itu, tapi mengakuinya secara langsung hanya akan membuat Levant besar kepala.

"Kamu... memang selalu aneh."

Levant mendengkus, lalu menggerakkan punggungnya demi membangunkan Ayres. Sudah hampir satu jam seperti ini, punggungnya mulai mati rasa, berikut kakinya. Mereka telah meninggalkan Trans Studio setengah jam yang lalu dan sekarang hanya berjalan-jalan tidak jelas di sepanjang mall.

"Hei, bocah!" panggilnya pada Ayres yang masih memejamkan mata, sama sekali tidak tergugah oleh gerakan Levant. "Kamu manusia atau koala, ha? Tidur terus! Kenapa mirip banet sama kakak kamu yang jauh lebih aneh dari saya itu?!"

"Hmm....," Ayres mengerjap-ngerjap, namun belum bersedia mennyingkirkan pipinya yang menempel di pundak Levant. "Kak... mau es krim."

"... Kamu pikir saya pesuruh kamu?!"

Di sisinya, Hafa mengeluarkan dengusan tawa sembari menutup mulut, sama sekali tidak heran dengan kelakuan Ayres. Ia melirik Nasya yang berjalan dengan tenang di sisinya, kemudian berjongkok menyamakan pandang dengan anak itu. "Nasya capek?"

Nasya mengangguk pelan. "Dikit."

Tanpa banyak berpikir, ia membawa gadis kecil itu ke dalam dekapannya, menggendongnya. "Pak, kita duduk dulu, ya. Saya juga capek banget."

"Salah siapa menyuruh saya bersedia menggendong─"

"Kak, mau es krim!"

"Saya nggak akan menuruti permintaan kamu tanpa kata tolong di dalamnya," Levant memperbaiki posisi Ayres yang nyaris melorot. "Saya sudah berbaik hati bawa kamu ke sini, kamu nggak bisa menyuruh-nyuruh saya─"

"MAU ES KRIM!" Ayres menjambak rambut Leavnt, yang membuat pria itu tidak dapat menyembunyikan ringis kesakitannya.

"Iya! Iya! Sabar! Kita ke sana!" Lalu, sambul melirik Hafa ia bergumam pelan. "Bagaimana caranya kamu bertahan mengurus anak ini setiap harinya."

Dan yang tidak ia ketahui adalah, Ayres hanyalah seekor anak singa. Sementara Hafa adalah singa betina kelaparan.

Jambakan di rambutnya membuat Levant mempercepat langkah, memaksa Hafa menjadi tertinggal di belakang, tertutupi orang-orang lain yang ingin mendahului menuju elevator. Sesaat, Levant berhenti sebelum menaikinya. Pria itu menoleh dan berdecak sebentar menyaksikan Hafa yang berusaha keras untuk menyusul. Alih-alih menunggu, ia kembali ke tempat gadis itu dan menarik tangannya. Agar tidak hilang di antara kerumunan. Agar tetap berada dalam jarak jangkaunya.

"Kalian serasi sekali, dan keliatan masih sangat muda." Seseorang menegur mereka, seorang ibu-ibu tua yang bergandengan tangan dengan seorang pria seumurannya. Suaminya, agaknya.

"Betul," pria yang membawa sekantong belanjaan itu menambahkan. "Suaminya ganteng, istrinya manis, dan anaknya lucu-lucu. Jadi ingat masa kita muda, ya, Bu?"

"Iya, Pak." Kepada Levant, wanita itu kembali melempar senyum. "Kalian nikah umur berapa?"

".... Apa?"

Ganteng, itu sudah biasa Levant dengar, tapi dengan kata tambahan suami di depannya, rasanya aneh sekali. Dan mereka, menatap ia dan Hafa dan setan kecil di pundaknya seolah mereka keluarga kecil teladan nan bahagia. Yang benar saja!

"Ibu tanya, kamu kapan menikahnya? Kok kayaknya masih muda sekali, ya. Anak kalian yang mana kakaknya? Apa kembar? Dua-duanya cantik dan ganteng."

"Oh, kami ng-nggak─"

Kalimat defensif berusaha Levant muntahkan dari bibirnya, namun apa daya semuanya tersendat, terpatah-patah di ujung lidah. Mereka sampai di ujung elevator dan sepasang suami istri tadi tidak lagi mengindahkan mereka.

"Awet terus ya, kalian," kata si wanita sebelum mereka berdua melangkah pergi, meninggalkan Levant yang kebingungan di ujung elevator.

Kebingungan dan .... merasakan hawa panas di pipinya.

"Bapak kenapa? Nggak keurupan, kan?" Hafa menggamitnya. Lalu menunjuk ke arah kanan. "Konter es krimnya di sana."

Ayres turun dari pundaknya segera, hal yang melegakan. Meski hanya sebentar. Karena berikutnya, anak itu telah menariknya menuju sebuah konter penjual es krim. Anak itu memesan satu cone besar es krim vanilla, stroberi untuk Nasya, dan cokelat mint untuk Hafa. Levant membiarkan gadis itu memesankan rasa yang sama untuknya lalu dengan ogah-ogahan menerima es krim di tangan.

Es krim. Ia tahu tidak begitu suka es krim karena kalorinya. Sementara Levant tidak menyukainya hanya karena ... tidak terbiasa. Ibunya selalu membuat koki rumah memasak makanan sehat untuk mereka sekeluarga. Ia wanita pendiam yang tidak suka jalan-jalan. Dan semasa sekolah pun, Levant hidup untuk belajar, ia tidak memerlukan teman. Sehingga, tidak ada yang berhasil meracuninya soal es krim.

Tidak hingga sekarang.

Ayres menarik Hafa dan Nasya menuju sebuah toko boneka, hanya ingin melihat-lihat. Dan Levant ... tertinggal di belakang. Ia tersenyum sesaat, menertawakan dirinya sendiri yang melantur di tengah keramaian, sebelum akhirnya berjalan mengekori gadis itu. Juga, mengekori kegiatannya. Ia mencoba melakukan hal sama, menggigit es krimnya dan membuat penilaian rasa di lidah. Makanan ini... meman sangat manis. Tapi manisnya itu tidak buruk. Ini... enak.

Ia melahapnya lagi. Ternyata enak sekali.

Dengan rakus, Levant menghabiskan es krim beserta cone-nya hingga ke ujung lebih dulu, lebih cepat daripada siapapun. Membuat Hafa bahkan Ayres dan Nasya tertawa.

Dan sesuatu yang aneh terjadi. Ia tahu gadis itu manis. Tapi bagaimana mungkin, saat gadis itu tertawa... es krim cokelat bahkan tidak bisa terasa lebih menyenangkan daripada itu? Saat kelopak mata gadis itu membentuk dua buah sabit dan bibirnya melengkungkan garis pelangi, saat itulah Levant bertaruh Tuhan pasti sedang memikirkan es krim seperti yang di tangannya ini sepanjang menciptakan gadis itu. Hafa. Namanya Rintik Hafa, benar, kan? Ia pernah melihat name tag­-nya. Rintik Hafa tertawa untuk waktu yang agak keterlaluan lama, karena sulit untuk bernapas saat gadis itu masih begitu memesona.

Hafa mengakhirinya dengan senyum simpul. Ia menyodorkan pada Levant es kirmnya.

"Mau lagi?"

***

Ketika mereka keluar dari gedung mall, arah bayangan telah terbujur panjang ke arah timur dengan sinar matahari yang redup. Levant seketika tahu waktunya telah habis. Waktunya untuk bersenang-senang telah habis dan ia harus pulang, mau tidak mau. Rasanya nyaris mirip dengan mengetahui bahwa kematian itu sudah dekat.

Levant memejamkan matanya begitu mereka masuk ke mobil. Hari ini ia sudah melewati hari yang membahagiakan. Sangat. Sebuah hari yang lepas, bahkan selama beberapa waktu ia tidak lagi memikirkan pekerjaannya, tunangannya, kematiannya. Ia merasa seperti terjebak di masa kecil seseorang, sebuah masa kecil yang menyenangkan. Dan ia merasa ingin menjadi anak kecil itu selamanya. Di sisinya, Hafa tersenyum. Senyum yang mengingatkan Levant pada es krim yang ia cecap tadi.

Gadis itu kemudian membuang pandang begitu mobil melaju, menatap gerimis yang tiba-tiba turn di luar jendela dalam diam. Beberapa waktu lalu, beriringan dengan kepulangan mereka bersama letih di pundak, langit berubah cepat dan gerimis turun dengan segera. Seakan memerangkap mereka untuk berada di dalam, dalam waktu yang lebih lama dari seharusnya. Di bagian belakang mobil, Ayres dan Nasya tidak membutuhkan waktu lama untuk terlelap.

Mereka terhanyut dalam diam. Levant dengan pikirannya, dan Hafa dengan embun yang terbentuk di jendela. Ia menggunakan tangan kirinya untuk mencoret-coret di sana, menulis dongeng. Sementara tangan lainnya hampir mati rasa, terkunci dalam genggaman Levant, dan ia tidak tahu kapan pria itu ingat untuk melepaskannya.

***

Idul Adha selalu menjadi minggu yang sibuk buat saya. Mohon kemaklumannya. Dan... belum ada konflik di sini, hanya momen manis antara Pak Payung dan Peri Hujannya. 

Kapan mereka akan sadar? Tunggu aja ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro