Path-31 : The Festival and The Weird

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari kedua festival.

Seharusnya, ini menjadi yang menyenangkan, begitulah pikirku.

Namun, entah kenapa kejadiannya tidak semenyenangkan itu.

Ada beberapa kejadian yang terjadi hari ini, dan semuanya bukanlah kabar yang baik.

Tadi pagi, aku sempat menyapa Lizzy. Gadis itu tampak pucat dan tidak bersemangat seperti biasanya. Tapi, bodohnya aku justru telat menyadari hal itu.

"Hai Lizzy!" sapaku ramah, "Sudah siap untuk pertarungan memperebutkan semi-final?"

"Hm?" Lizzy menatapku tidak tertarik. "Oh iya, aku masuk semi final, ya?"

"Jadi, bagaimana? Kau siap??"

"Uh ... sepertinya aku akan mengundurkan diri saja."

Aku mengedipkan mataku sebanyak dua kali, merasa terkejut. "EHHH?! Kenapa tiba-tiba?"

"Hanya tidak tertarik saja."

Hanya kalimat itu yang dia katakan, selanjutnya dia berlalu meninggalkanku sendirian di koridor sekolah.

Ada apa dengannya? Padahal kemarin dia begitu bersemangat mengenai turnamen ini. Namun, mengapa justru dia mengundurkan diri? Sepertinya mood Lizzy begitu buruk.

Atau hanya perasaanku saja?

Kejadian berikutnya, adalah sosok Clyde yang tak bisa kutemukan dimanapun. Entah di Ruang kesehatan, Perpustakaan, Ruang guru, aku tak menemukan gadis berambut merah itu di manapun. Padahal, aku hendak menanyakan cara membuka gelang pemberiannya itu dari tanganku. 'Kan sangat disayangkan jika aku tak sengaja merusaknya saat turnamen. Aku juga ingin bertanya mengenai kalungku yang selalu bersinar di saat-saat tertentu. Namun Clyde sulit sekali ditemukan.

Dan entah mengapa aku justru teringat kepada foto Clyde yang ada di jejeran daftar tersangka.

Eh, tunggu dulu. Apa yang baru saja aku pikirkan? Aku tidak boleh meragukan temanku sendiri. Clyde adalah orang yang baik, aku tahu itu.

Tapi ... tetap saja aneh, 'kan?

Kemudian, kejadian terakhir yang sangat aneh.

Leon jadi begitu ramah kepadaku.

"Halo, Kena. Bagaimana kabarmu?"

... seperti saat ini.

"Halo juga, Leon," balasku. "Kabarku baik, seperti yang terlihat."

Entah apa yang lucu, Leon tertawa, seakan aku baru saja melontarkan sebuah lelucon. "Kabarku juga baik. Kau siap untuk turnamen?"

He ..? Siapa pula yang menanyakan kabarnya?

"Siap," aku mengangguk malas.

"Bagus kalau begitu, kau tampak tidak bersemangat," Leon kembali tertawa, "Hari ini para bangsawan akan datang ke festival, mungkin beberapa akan menonton turnamen. Aku gugup sekali!"

Ah, benar juga ya. Hari kedua festival, orang luar yang mendapatkan tiket boleh masuk. Aku sendiri tidak memberikan tiketku kepada siapapun, karena aku memang tidak memiliki kerabat lagi di sini. Kira-kira, Leon akan memberikan tiketnya kepada siapa, ya?

Karena penasaran, akupun bertanya, "Kau memberikan tiketmu kepada siapa?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Leon hanya mengulum senyum. Entah kenapa, senyumnya tampak hampa. "Aku berasal dari panti asuhan, jadi aku tidak punya keluarga."

Mendengar jawaban tersebut membuatku tersentak pelan. Jadi selama ini ... Leon tidak memiliki keluarga?

"Ah, maaf," ucapku lirih.

"Tidak perlu meminta maaf, haha. Memang kenyataannya seperti itu."

Hening.

Tak ada lagi topik yang bisa dibicarakan. Aku tidak terlalu dekat dengan Leon, jadi aku tidak tahu banyak tentangnya. Berbeda dengan Sena yang sudah kukenal sejak kecil, Leon itu misterius. Tidak ada yang mengetahui latar belakangnya, juga asal usulnya. Yang kini kutahu, bahwa Leon hidup sebatang kara, sama sepertiku.

Tapi sepertinya aku harus bersyukur. Aku memiliki sahabat-sahabat yang begitu baik kepadaku, Bibi Laura yang sudah seperti Ibuku sendiri, juga para guru yang sangat perhatian. Tidak semua orang beruntung sepertiku.

"Ah, sepertinya turnamen akan segera dimulai," ujar Leon, "Mau ke Gedung olahraga bersama?"

Tentu saja itu bukanlah pertanyaan yang sulit. Jika orang lain yang menanyakannya kepadaku, mungkin aku akan mengiyakan tanpa pikir panjang. Namun entah kenapa aku merasa tidak enak. Maksudku, aku ragu untuk menerima ajakan Leon. Sukar sekali bagiku untuk menjawabnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Jika aku bilang 'tidak', Leon bisa saja sakit hati. Tapi di sisi lain, aku merasa tidak bisa menerima ajakannya.

Setelah berpikir panjang, akhirnya aku menjawab, "A-Aku harus ke ruang Dewan dulu. Ada sesuatu yang harus kukerjakan."

"Sayang sekali," air wajah Leon berubah, sama sekali tak dapat kuartikan. "Kalau begitu, aku pergi dulu."

"Uhm, i-iya," balasku gugup, "sampai jumpa."

***

"Bodoh, sudah kubilang apa?!" maki Lexy dengan amarahnya yang tertahan. "Seharusnya aku menghentikanmu, sial!"

Clyde tertawa getir, "Kenapa? Yang terpenting berhasil, 'kan? Gelang yang sudah kuberikan rune sihir itu berhasil dipakai oleh Kena."

Lexy menggigit bibir bawahnya, tak habis pikir tentang apa yang sudah dilakukan si ketua badan kesehatan. "Tapi kau hampir sekarat, kuulangi, KAU HAMPIR MATI!!" Lexy mencoba mengatur napasnya yang mulai memburu. "Kau menciptakan rune dari darahmu. Hanya soal waktu hingga Kena menyadari bahwa di gelang yang dipakainya terdapat darahmu."

"Kena tidak akan menyadarinya," Clyde memaksakan seulas senyum, sesekali meringis kesakitan. Ia menatap tangan kirinya yang mulai membiru. Dia memang ceroboh, membuat rune sihir menggunakan darah memiliki konsekuensi yang sangat tinggi. Apalagi Clyde membuat rune kuno yang begitu kuat. Clyde sempat berada di ambang kematian.

Hanya demi tujuannya, Clyde rela melakukan semua hal bodoh itu.

"Sekarang, kita tunggu bulan purnama," Clyde menggenggam erat pergelangan tangan kirinya, mencoba menyembuhkan tangannya menggunakan kekuatan healer-nya. "Ketika purnama datang, aku akan membuat rune lagi untuk mengaktifkan rune yang ada di gelang Kena. Sampai saat itu tiba, kau harus membantuku, Lexy!"

Lelaki berambut pirang itu hanya bisa menghela napas menyerah, mengangguk menurut. "Baiklah, aku akan selalu mendukungmu."

***

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, mengusapnya, kemudian kembali menatap tulisan yang terpapar di layar transparan. Mulutku ternganga hingga membentuk huruf "o" karena saking tidak percayanya. Kupertajam penglihatanku, mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang sedang kulihat bukanlah sebuah ilusi semata.

Dan kenyataannya, itu memang bukanlah sebuah ilusi.

"Wow," aku berdecak kagum sembari menggeleng-gelengkan kepalaku. "Akhirnya tiba waktunya. Iya, 'kan?" Aku menoleh, menyenggol pelan lengan Sena sembari menaik-turunkan alis.

Sena menghela napas pelan. "Hm," tanggapnya tak tertarik.

"Hei! Kau tidak lupa dengan perjanjian kita, 'kan?!" Aku mengembungkan kedua pipiku. "Jangan lupa! Kau berjanji akan mengajakku ke Toko kue!"

"Tapi aku sudah memberikanmu kue."

"Memberikan, bukan mengajakku langsung!" Aku berkecak pinggang. "Jadi, jangan kabur, ya!"

Sekali lagi, Sena menghela napas pelan. "Iya."

"Yo!" Hide yang entah datang dari mana, tiba-tiba saja merangkulku dan Sena. "Ada apa ini? Sepertinya kalian serius sekali."

Serius? Dia pasti bercanda.

"Jangan dengarkan Hide, Kena. Dia memang tidak jelas," ujar Yura yang juga sejak kapan berdiri di sampingku. Dia bersidekap tangan, kepalanya mendongak, menatap layar transparan. Dia mengerjap beberapa kali, lalu menatapku sedikit terkejut. "Oh, kau akan melawan Sena sekarang?"

Hide juga tampak terkejut, kemudian menatapku dan Sena bergantian. "Eh, serius?!"

"Tentu saja!" sahutku bangga. "Aku akan melawan Sena, dan aku akan menang!"

"Whoah!" Hide melepas rangkulan tangannya, sekali lagi menatapku dan Sena bergantian. "Ini spektakuler! Maksudku, kita akan melihat pertandingan antara es batu dengan api neraka!"

Sena menatap sinis. "Dan siapa api neraka itu?"

"Eh, aku hanya bercanda, Sena." Hide menyeringai lebar sembari menggaruk rambutnya yang berantakan. "Tapi, ini memang seru, 'kan? Api dengan es, siapa yang akan menang?"

Yura menghela napas, "Sena, jangan terlalu kasar ke Kena, ya! Kalau bisa, kamu menyerah saja, biarkan Kena menang!"

Aku menyikut lengan Yura, melotot sebal. "Ya sama saja seperti tidak bertarung!"

"Aku hanya mencoba membantu, Kena," Yura meringis pelan. "Jangan sampai si tripleks itu menyakitimu."

"Aku yakin Sena bahkan enggan melawan Kena," Hide tertawa. "Si tripleks ini pasti terpaksa. Iya, 'kan?" tanya Hide seraya melirik Sena dengan alis yang dinaik-turunkan.

"Ck, berisik," Sena mendesis pelan. "Kena, ayo. Kita harus segera bersiap."

"Ah, iya!" sahutku. "Aku pergi ke ruang ganti perempuan dulu, ya! Sampai bertemu di arena!" Aku melambaikan tinggi tanganku, kemudian berlari kecil melewati kerumunan orang, menuju ruang ganti perempuan untuk mengganti seragamku dengan baju bertarung.

Jantungku berderu begitu cepat. Aku sangat-sangat-sangat menanti pertarungan ini!

***

Aku berdiri berhadapan dengan lelaki bersurai merah yang telah menjadi sahabatku, ah bukan, kakak laki-lakiku sejak dua tahun lalu.

Aku menyunggingkan senyum lebar, menatap Sena dengan semangat yang berkobar. Wajah Sena tetap datar seperti biasa, tapi dari tatapannya aku yakin ada sesuatu yang berbeda. Ah, tapi sudahlah. Mungkin hanya perasaanku saja.

Tribun yang mengelilingi kami susah dipenuh sesak oleh para penonton. Entah bagaimana caranya, ada dua kubu di sana. Kubu yang mendukungku kompak memakai baju berwarna biru, dan duduk di tribun sebelah kanan. Sedangkan yang mendukung Sena kompak memakai baju berwarna merah, duduk di tribun sebelah kiri.

Sebenarnya aku tidak tahu mengapa mereka sampai seheboh itu. Padahal pertandingan yang kemarin biasa saja. Bahkan mereka sampai menyeragamkan baju serta tempat duduk. Penonton yang duduk di sebelah kanan mayoritas bergender laki-laki, sedangkan di sebelah kiri bergender perempuan.

Aku tidak secantik itu untuk bisa membuat laki-laki tertarik padaku. Jadi mungkin saja mereka yang mendukungku kasihan, karena hampir semua kaum hawa mendukung Sena.

Ah, ini membuatku sedikit tidak percaya diri.

"Tes, tes. Apakah semua sudah siap?"

Suara pembawa acara terdengar melalui speaker melayang yang ada di langit-langit ruangan. Suara gemuruh penonton tak sanggup untuk mengalahkan nyaringnya suara yang berasal dari speaker tersebut. Dari suaranya, aku tahu Hanz lah yang menjadi pembawa acara untuk pertandingan kali ini.

"Karena ini adalah pertandingan untuk memperebutkan final, maka ada beberapa peraturan yang diubah. Pertama, setiap satu serangan yang telak mengenai musuh akan terhitung lima puluh poin. Serangan yang hanya menggores musuh akan terhitung dua puluh poin. Dan jika serangan berhasil menjatuhkan lawan, maka poin yang didapat adalah seratus poin. Maka berhari-hatilah! Jangan sampai lawan berhasil menyerangmu!"

Oke, menurutku sedikit banyak Hanz terlalu melebih-lebihkan suasana. Tak bisakah dia langsung ke intinya saja?

"Peraturan kedua, setiap pertarungan akan diberikan waktu sepuluh menit. Jika dalam sepuluh menit belum ada pemenang, maka pemenang ditentukan berdasarkan poin yang diperoleh. Peraturan ketiga, kalian dilarang melewati garis merah. Jika kalian melewati garis merah, maka otomatis kalian akan tereleminasi. Sejauh ini, paham?"

Aku dan Sena mengangguk bersamaan.

"Baiklah, hitung mundur akan segera dimulai. Tiga, dua ... SATU!"

Suara letusan terdengar, menandakan bahwa pertandingan telah dimulai. Teriakan heboh penonton pecah, mulai memenuhi indra pendengaran.

Dengan cepat, aku menghentakkan kaki ke lantai arena, membekukan lantai arena guna membuat Sena kesulitan berjalan. Setelah itu, aku menciptakan sebilah pedang es. Belum genap aku berhasil menciptakan pedang es, sebuah kilatan api melesat ke arahku.

Aku tersentak, tanpa menduga Sena lebih dulu menyerang. Secepat mungkin aku menghentakkan kaki ke lantai, menciptakan sebongkah raksasa es untuk melindungi diriku sendiri.

Begitu kilatan api Sena bertemu dengan esku, ledakan tercipta. Esku tidak cukup untuk menahan serangan Sena. Aku memiringkan kecil kepalaku, hendak mengintip keberadaan Sena. Namun, dia tidak terlihat di manapun.

Kemana dia?

"Apa yang sedang kau cari?"

Aku refleks memutar tubuhku, lantas menciptakan sebilah pedang es lalu menghunuskannya.

Tang!

Suara dentingan yang begitu memekakkan telinga terdengar. Mata pedang esku dengan mata pedang api Sena saling beradu. Tak menyia-nyiakan kesempatan persekian detik ini, aku segera melompat tinggi ke belakang.

Aku memasang kuda-kuda. Kali ini, aku sudah siap untuk bertarung. "Ayo, maju!" seruku keras, berusaha mengalahkan suara teriakan heboh para penonton.

Sena berdiri, menyorot datar dengan pedang api di genggamannya. Dia memasang kuda-kuda, lantas melesat dengan cepat ke arahku sambil menghunuskan pedangnya. "Ayo, selesaikan ini dengan cepat," bisiknya.

"Jangan bermimpi," aku menyeringai lebar, menangkis serangannya. "Aku yang akan menyelesaikan ini dengan cepat!"

Aku dan Sena saling beradu mata pedang. Aku mengeluarkan semua teknik serta jurus Master Joule yang selama ini telah kupelajari. Sekilas, dari pada turnamen sihir, ini lebih mirip pertandingan pedang. Karena baik aku maupun Sena jarang menggunakan kekuatan kami kecuali untuk membuat tameng atau perlindungan.

Di menit ke tujuh, napasku mulai menderu. Ini lebih melelahkan dari yang kukira. Sena ... benar-benar hebat!

"Kena, wajahmu mulai pucat," ujar Sena. "Kalau mau, kita bisa mengakhirinya sekarang."

"Heh, enak saja!" sahutku tidak terima. Aku kembali memasang kuda-kuda, mengarahkan mata pedangku kepadanya. "Kita teruskan hingga titik darah penghabisan!"

Sena memutar bola matanya, jengah. "Perkataanmu berlebihan." Walaupun berkata demikian, Sena tetap menghunuskan pedangnya, melangkah maju.

Baru saja aku hendak menangkis serangannya, sebuah api menyambar dari belakangku. Aku menoleh. Sial, aku tidak menyangkan bahwa Sena akan menyerangku dari dua arah.

Aku menciptakan tameng es, mencoba menahan sambaran api yang begitu besar. Bagaimana cara Sena membuat api berjalan dengan sendirinya?

Aku mencoba menahan api tersebut, namun tenaga api itu terlalu kuat. Tubuhku mulai terdorong ke belakang, namun aku tetap mempertahankan posisi kuda-kudaku.

Tanganku terulur, menciptakan sebalok es agar api itu berhenti mendorongku. Es tercipta, dan sambaran api berganti dari memaksaku mundur, menjadi menghantam bongkahan es. Aku mengelap peluh yang terurai di keningku. Baiklah, kekuatan Sena itu sudah selesai kusingkirkan, sekarang saatnya kembali bertarung dengan ...

"Sudah berakhir." Sosok Sena yang entah sejak kapan berdiri dua meter di hadapanku, menatapku dengan senyum tipis.

Aku terdiam. "Apa maksud--"

"Sayang sekali, Kena telah melewati garis merah yang ditentukan. Dengan ini, Sena resmi maju ke babak final!!"

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali, lalu menunduk, menatap garis merah yang berada satu meter dari tempatku memijak.

Aku ... kalah?

Suara tepuk tangan serta siulan para penonton bergejolak riuh. Aku menarik napas panjang, kemudian menghelanya pelan. Yah, ini adalah kekalahanku.

"Kena, kau baik-baik saja?" Sena berjalan mendekat.

Aku menatap tepat di manik hijau Sena. Sejenak, kami saling bertumbuk netra. Hingga aku mengembangkan senyum terbaikku, lantas mengulurkan tangan. "Selamat, ya! Kau menang! Sudah kuduga, kau memang hebat, Sena. Bertarung denganmu memang menyenangkan!!"

"Kena ...," Sena balas menatapku. Dia maju selangkah, kemudian mengusap pipiku. "Kalau begitu, jangan menangis."

"Eh?" Aku mengerjap beberapa kali, kemudian menyentuh pipiku yang tahu-tahu saja sudah berbanjiran air mata. Aku refleks mundur beberapa langkah, menutup kedua mataku dengan telapak tangan. "A-Aku tidak menangis! Ini ... mataku kelilipan, tahu!"

Sena menghela napas pelan, kemudian tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Terima kasih atas kerja samanya."

"Hiks, i-iya," aku menerima jabatan tangan Sena, "T-Terima kasih atas kerja samanya."

***TBC***

Huhuhuuu... maapkan Vara ngaret update hampir nyaris satu bulan
TT-TT

Niatnya mau update kemarin, tapi pas mau update, hp malah low :(

OKE MINNA, BESOK KONFLIK TERAKHIR AKAN DIMULAI. SIAPKAN HATI DAN MENTAL KALIAN KARENA CLUE ENDING AKAN SEGERA DISEBARRRR.

Dan tebak-tebakannya masih berlaku, lho. Tebak siapa yang menjadi dalang sihir hitam BESERTA ALASANNYA ya! Kalau benar, nanti Vara kabulkan satu permintaannya hehe.

Umm... bingung mau bilang apa lagi :v

Apayah... yaudah lah ya itu aja wkwk.

Dan OH! JANGAN LUPA YA SEPTEMBER TANGGAL 18!!
//ngode.

POKOKNYA JANGAN LUPA TANGGAL 18 SEPTEMBER. YANG LUPA VARA JEWELLL.

APALAGI KALIAN, PARA PENGHUNI GRUP! POKOKNYA SIAPKAN KADO!!! //kode kerazz.

Udah ya, Bubyeeee.

Big Luv, Vara.
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro