Path 37 : Exanted Island (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku berjalan menelusuri hutan, bersama Flo di sampingku. Aku dan Flo kebetulan mendapat tugas mencari kayu bakar, sedangkan Yura, Juliet, dan Sora mendapat tugas di bagian konsumsi. Sebenarnya, Lizzy juga mendapat bagian mengumpulkan kayu bakar. Namun, gadis itu menolak saat kuajak mencari bersama.

"Kamu sedang banyak pikiran, ya?"

Sejujurnya, aku sedikit terkejut Flo menanyakan hal itu secara tiba-tiba. Aku memaksakan seulas senyum, lalu menggeleng pelan. "Tidak, kok. Aku hanya sedang berpikir ... malam ini cerah sekali, purnamanya bagus. Haha," aku tertawa hambar.

Flo menatapku insten, "Tapi sekarang bukan malam purnama, lho."

Tawaku tersumpal. Aku meringis pelan, menggaruk tengkukku yang tidak gatal.

"Kalau mau berbohong, lihat situasi dulu," Flo mendengus. "Aku tahu kamu sedang banyak pikiran. Kamu jadi sering melamun dan mendadak pendiam. Memang, banyak sekali hal yang terjadi belakangan ini."

"Iya," aku menyorot sendu, berjalan sembari menendang kerikil bercahaya yang ada di sekitarku. Hutan di pulau ini begitu indah. Kerikil-kerikil yang bertebaran di tanahnya bercahaya begitu diterpa cahaya bulan. "Sena juga masih sakit. Sayang sekali ya, dia jadi tidak bisa ikut ujian kelulusan."

"Eh?" Flo mengerjap, menatapku bingung. "Bukannya Sena sudah sembuh, ya?"

"Hah?" Aku balas menatap heran, penuh tanda tanya. "Bicara apa kau? Sena masih sa--" mulutku langsung tersumpal begitu melihat siluet seseorang dari kejauhan. Langkahku refleks terhenti. Cahaya lembut bulan yang membanjiri sekitar sehingga membuat kerikil-kerikil semakin bercahaya terang. Aku memicingkan mata, menajamkan penglihatan. Hingga akhirnya aku mengenali wajah lelaki yang berdiri tak jauh dari tempatku berpijak.

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, mengusapnya, lalu kembali menatapnya. Pupil mataku mengecil, begitu terkejut akan kehadiran lelaki itu. Surai merahnya terlihat menyala di bawah sinar rembulan. Mata emerald-nya begitu menyorot tajam, seakan siap membakar apapun yang ada di dekatnya.

Tanganku bergetar, rasa sesak kembali menyerbu dadaku. "S-Sena?"

Sang pemilik nama hanya menatapku sekilas, lalu ia berlalu begitu saja meninggalkanku.

Aku hendak mengejar, namun sesuatu dalam diriku mencegahku untuk melakukannya. Entah mengapa, seakan jika aku mengejarnya, akan ada hal buruk yang menimpaku. Firasatku berubah tak enak. Namun, itu tak menutup kemungkinan bahwa saat ini aku sangat senang melihat bahwa Sena sudah sembuh, apalagi dia ada di sini. Itu berarti ikut ujian kelulusan, bukan?

"Sena sudah sembuh!" kataku dengan mata berbinar. Aku menoleh, menatap Flo yang masih menyorot tempat terakhir Sena berdiri. "Flo, Sena benar-benar sudah sembuh!"

"Ya ...," raut wajah Flo seakan mengeras, "Tadi aku bertemu dengannya di Kereta terbang. Dia duduk di belakangku."

"Wah, bagus kalau begitu!" Aku tersenyum lebar. "Lalu bagaimana? Kau menanyakan kondisinya? Bagaimana kabarnya? Apakah dia sudah bisa sekolah sepertì biasa?"

"Tidak, aku tidak bertanya."

"Eh? Kenapa?"

"Karena dia terlihat aneh," gumam Flo begitu lirih, sampai-sampai aku tidak mendengarnya dengan jelas.

"Karena ... apa? Bisa kamu ulangi?" tanyaku bingung.

"Ah, tidak," Flo tersenyum, menggeleng pelan. "Aku hanya tidak mau mengganggunya. Itu saja. Oh iya, sebaiknya kita segera mencari kayu bakar dan kembali. Malam semakin larut, nanti kita bisa dimarahi oleh Miss Rosseline." Gadis bersurai hitam legam itu menarik tanganku, mengajakku kembali melangkah. "Ayo!"

Meski merasakan sesuatu yang mengganjal pada diri Flo, aku tidak bertanya. Aku tahu, Flo pasti menyembunyikan sesuatu. Tapi aku yakin, Flo akan memberi tahuku dengan sendirinya, dan sekarang bukanlah saatnya.

***

"Kau yakin aku boleh ikut?" Alice bertanya dengan nada cemas. Gadis bersurai hitam panjang berkepang itu menatap sang ketua dewan. "Bukankah berbahaya? Bagaimana jika yang lain tertular sihir hitam yang ada pada diriku?"

"Aku yakin, percayalah," jawab Romeo sembari menulis sesuatu di atas perkamen tebal. "Lagipula, yang lainnya sudah memakai kalung penetral, dan Miss Wanda yang memintaku untuk mengajakmu."

Sebelah alis Alice terangkat. "Kenapa?"

Romeo merapatkan bibir, terlihat ragu. "Sebelum aku menjawab, tolong rahasiakan hal ini dari yang lainnya."

"Baik, akan aku rahasiakan," kata Alice.

"Kemarin, William mengabari Miss Wanda. Katanya, akan terjadi sesuatu yang mengerikan di tempat ini. Dan di sini, kau lah yang menjadi kunci permasalahannya."

Alice tersentak, dia nyaris menahan napasnya. "Aku?" Gadis itu menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah tak percaya.

"Iya," tangan Romeo berhenti menulis. Dia beranjak berdiri dari tempatnya duduk, berjalan menuju pintu ruangan yang tertutup rapat. "Kau akan sekamar dengan Kena, Yura, Lizzy, dan Flo. Aku sengaja membuat daftarnya seperti itu. Tugasmu hanyalah mengamati sekitar. Jika ada hal yang janggal terjadi, segera lapor padaku."

"B-Baik!" Alice mengangguk ragu. "Aku ... akan melakukan yang terbaik."

"Bagus," Romeo membuka pintu. Dia tampak sedikit terkejut begitu melihat Hanz berdiri di hadapannya tepat setelah pintu terbuka. "Ah, Hanz."

"Ah," Hanz juga tampak terkejut, tangannya terangkat hendak mengetuk pintu. Sepertinya sebelum ia mengetuk pintu, Romeo sudah lebih dulu membukanya. "Hampir saja aku mengetuk wajahmu."

Romeo menatap datar. "Dan jika hal itu terjadi, aku akan balas mengetukmu."

Hanz tertawa.

"Jadi, ada perlu apa?"

"Aku hanya ingin memberi tahu sesuatu ...," Hanz melirik sosok Alice yang berdiri di belakang Romeo, "Tapi empat mata. Ini sangat penting."

Romeo mengangguk, "Aku mengerti." Lelaki itu menoleh, "Alice, bisa keluar sebentar? Aku dan Hanz harus membicarakan sesuatu."

"B-Baik!" Alice berjalan cepat keluar ruangan. "S-sampai nanti," bisiknya pelan.

Hanz tersenyum tipis. "Sampai nanti."

"Ehem," Romeo berdeham, membuat perhatian Hanz kembali tertuju pada Romeo. "Jadi, mau membicarakan apa?"

"Kau sudah tahu tentang kabar dari William?" tanya Hanz.

"Sudah, memangnya kenapa?"

"Kapan kejadian yang dilihat William terjadi?"

"Kata William, dia tidak tahu. Dia hanya melihat lokasinya. Sedangkan waktunya terlihat samar," jawab Romeo. Entah mengapa, raut wajahnya terlihat mengeras. "Aku tak suka kondisi seperti ini."

"Tidak ada yang menyukainya," Hanz menghela napas pelan. "Ya sudah, lebih baik kita kumpul ke lapangan. Sebentar lagi, jam makan malam akan segera tiba."

"Aku tidak lapar. Aku mau menyelesaikan data-data kemungkinan pelaku sihir hitam terlebih dahulu," tolak Romeo.

Hanz mengangguk mengerti. "Baiklah, aku akan meminta Juliet untuk mengantarkan makan malam ke sini."

"Hm," Romeo kembali duduk di atas kursi kayu. Dia mengibas-ngibaskan tangannya, mengusir Hanz pergi tanpa suara.

"Kalau kau menemukan sesuatu, panggil aku, ya!"

"Iya, iya."

***

"Alice!" aku berseru gembira begitu mendapati sosok gadis berkacamata yang begitu familiar di mataku. Tanpa berbasa-basi, aku segera berlari dan memeluknya. "Ya ampun! Aku senang sekali kamu ada di sini!"

Alice tertawa, dia balas memelukku. Seakan, kami baru saja bertemu dalam jangka waktu yang sangat lama. "Aku juga senang bisa melihat kalian!"

"Astaga, bagaimana kamu bisa berada di sini?" tanya Yura seraya menarik tanganku, memintaku untuk bergantian memeluk Alice. Aku mengalah, dan melepas pelukanku meski aku masih ingin memeluk Alice lebih lama. "Aku senang sekali melihatmu!"

"Haha, aku juga."

"Jadi, bagaimana kamu bisa berada di sini?" Flo mengangkat sebelah alisnya. Gadis itu duduk di tepi salah satu ranjang yang ada di kamar. Ya, kami memang sekamar. Dan ini adalah kebetulan yang menyenangkan.

"Ehm, entahlah, aku juga tidak tahu," Alice tersenyum misterius. "Tapi yang pasti, aku di sini bukan untuk ujian. Hanya untuk bantu-bantu saja."

"Oh," aku menghela napas kecewa. "Tapi, tidak apa-apa! Yang terpenting, kita bisa bersama selama tiga hari ini!"

"Oh iya, aku baru teringat sesuatu," Alice membetulkan letak kacamatanya. "Dimana Lizzy? Kita sekamar, 'kan?"

"Ah, anu ... itu ..."

Kriet.

"Lizzy!" Alice terlihat senang, dia menatap tepat ke arah Lizzy yang baru saja membuka pintu. Sosok gadis itu terlihat berantakan, wajahnya begitu pucat.

"Ya?" Lizzy menatap tak tertarik. "Ada urusan apa?"

"Eh?" Alice mengerjap tidak mengerti.

"Kalau tidak ada sesuatu yang penting, lebih baik tidak usah bicara," gadis bersurai ungu pudar itu berjalan lesu, lantas menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang kosong. "Huh, melelahkan."

"H-Hei," Flo menyikutku, "Ada apa dengannya?" tanyanya lirih.

"Iya, ada apa dengan Lizzy?" bisik Alice dengan nada cemas.

Aku dan Yura saling berpandangan, lalu kompak menghela napas berat. "Besok pagi saja ceritanya, hari ini kita istirahat dulu."

Seharusnya, tidur di penginapan yang hangat bisa membuatku terlelap dengan nyenyak. Namun malam ini, sepertinya aku akan insomnia. Banyak sekali hal yang membanjiri pikiranku.

***

Hari kedua ujian kelulusan, dan di pagi buta kami sudah melakukan tes fisik.

Kami diminta untuk melawan robot penyerang yang akan menjadi musuh kami, tanpa menggunakan sihir ataupun kekuatan. Ini merupakan tes yang menguji kekebalan fisik, dan seberapa mahirnya kami dalam pertarungan jarak dekat.

Tentu aku bisa menyelesaikannya dengan mudah. Aku sering berlatih berpedang dengan Master Joule, maka ini bukanlah hal berat untukku.

Hingga siang, aku sudah beberapa kali berpapasan dengan Sena. Rasanya sangat canggung, mengingat dia menyatakan perasaannya padaku bulan lalu. Namun, aku ingin kecanggungan ini berakhir. Rasanya tidak sama tanpa seharipun bicara dengannya.

Akan tetapi ... sebenarnya aku merasa sedikit aneh. Sena yang kutemui, tidak seperti Sena kukenal sebelumnya. Tatapannya begitu dingin, sorotannya tajam dan hampa. Saat berpapasan, dia tidak pernah menatap mataku, hanya berlalu begitu saja seakan aku adalah orang asing baginya.

Aku menggenggam erat kalung penetral yang kupakai. Apakah dia marah padaku? Apa karena saat itu aku tidak langsung menjawabnya?

"Hei, jangan melamun!" teguran dari Yura membuat kesadaranku kembali ke dunia nyata. "Ayo cepat, kita harus segera mencapai puncak! Atau, kita tidak akan lulus ujian kali ini!"

"Ah," aku mengerjapkan mataku beberapa kali, lalu mengangguk. "Maaf, ayo kita lanjutkan!"

Aku dan Yura kembali berlari melesati hutan. Terlalu banyak berpikir membuatku lupa bahwa saat ini aku tengah melaksanakan ujian kelompok. Aku berpasangan dengan Yura, dan kami harus mencapai puncak bukit dalam kurung waktu yang telah ditentukan. Jelas, di sepanjang perjalanan akan ada hambatan seperti robot penyerang, hellbeast, serta peserta ujian yang lainnya. Mungkin saat ini, keberuntungan berada di pihak kami, karena kami berhasil sampai di puncak bukit tanpa ada hambatan yang berarti.

Aku berkecak pinggang, napasku menderu. Sejak pagi sampai sekarang, sudah dites dengan berbagai macam hal. Meski begitu, ini memang tidak seberapa jika dibandingkan dengan ujian kelas Amature dulu.

Aku menengadahkan kepalaku, menatap langit siang yang sangat cerah. Matahari bersinar begitu terik, hingga peluh membanjiri tubuhku.

Sehabis ini, ujian apalagi yang harus kami lewati?

***

Srek, srek, srek.

Clyde mengais-ngais tanah, menggambar sesuatu di atas sana. Lexy sebagai wakilnya hanya bisa berdiri dan memperhatikan kelakuan sang ketua badan kesehatan. Tidak punya kuasa untuk menghentikan apapun yang sedang gadis itu lakukan.

"Sudah?" Lexy bersidekap tangan, bersender ke salah satu batang pohon besar. Sebelah alisnya terangkat, menatap rune sihir yang telah terukir di atas tanah dengan sempurna.

"Yup!" Clyde melompat berdiri, berkecak pinggang, tersenyum cerah. "Nah, bagian timur sudah. Sekarang, ayo pergi ke bagian selatan! Kita harus mengelilingi sekeliling pulau ini menggunakan rune sihir. Untung saja pulau ini tidak terlalu besar, jadi cukup memudahkan kita."

"Tapi, bagaimana kalau ada yang curiga?" tanya Lexy, sedikit cemas. "Kita tidak berada di tenda kesehatan sejak pagi. Pasti ini akan memunculkan kecurigaan dari yang lainnya."

"Ya sudah, kalau begitu, kau saja yang kembali." Clyde meraih tasnya yang tadi ia gantung di salah satu ranting, lantas memasukkan stela yang tadi ia gunakkan untuk mengukir rune di atas tanah. "Katakan saja pada mereka, aku sibuk."

Lexy mendecak, "Apa kau sadar? Kau sudah banyak dicurigai!"

"Tidak masalah," Clyde tersenyum simpul. "Semua orang mengenalku sebagai gadis yang baik hati. Tidak mungkin aku dituduh semudah itu. Yah ... kecuali satu orang," sorot mata gadis bersurai merah menyala itu terlihat menajam. "Satu orang ... yang sudah menggagalkan misiku sebelumnya. Sialan. Karena dia, aku jadi harus melakukan hal semerepotkan seperti ini."

"Huft, sudahlah. Aku kembali dulu. Kau hati-hati, dan ...," Lexy menepuk bahu Clyde, "Jangan sampai tertangkap."

"Tenang saja," Clyde tersenyum miring. "Aku yakin, malam ini, dia akan terbakar!"

***

"Kau tidak ikut ujian?"

Lizzy melirik sekilas, lalu kembali menatap hamparan danau yang terlihat berkilau diterpa cahaya terik matahari siang. Dia memeluk lututnya, tangannya meraba-raba sekitar, mencari batu untuk dilempar ke tengah-tengah danau. "Tidak," jawabnya singkat.

"Kenapa?" lelaki bersurai hitam kelam itu beranjak duduk di samping Lizzy, ikut menatap danau.

"Hanya ... tidak tertarik," balasnya malas.

"Oh," lelaki itu mengangguk-angguk takzim, "Kupikir karena kau sedang patah hati."

"Uhuk," Lizzy tersedak air liurnya sendiri. Ia menatap tajam sosok lelaki di sampingnya dengan tangan yang sedang menggenggam batu terangkat, mengancam akan melemparinya dengan batu. "Ini bukan urusanmu, Leon!"

Leon tertawa. "Ternyata benar, padahal aku hanya menebak."

"Cih," Lizzy membuang muka, melempar batu ke arah danau.

"Kau tahu, Lizzy? Kata Ibu pantiku dulu, kalau sedang patah hati, paling menyenangkan jika kita memakan buah apel."

"Huh? Omong kosong macam apa itu?"

"Eh, aku serius," Leon tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya yang bersih. "Kalau makan buah apel, nanti hati kita akan menjadi lebih tenang. Apel itu buah ajaib, bisa membuat hati yang patah menjadi seperti baru."

"Kau pikir hati itu barang? Bisa diperbaiki?" Lizzy tersenyum kecil, merasa sedikit terhibur. "Terima kasih," gumamnya.

"Untuk?"

"Sudah menghiburku," gadis itu menjeda, "Padahal selama ini kita tidak terlalu dekat. Tapi, kamu justru menghiburku. Terima kasih, ya, Leon."

"Sama-sama," Leon beranjak berdiri. "Aku harus kembali, ada ujian yang harus diselesaikan. Oh, dan satu lagi," Leon menyerahkan sebuah apel merah kepada Lizzy. "Ini, agar kau merasa lebih baik!"

Lizzy menerimanya, sekali lagi tersenyum. "Terima kasih."

"Sama-sama!" Leon melambai, "Kalau sudah baikkan, ikut ujian lagi, ya. Sangat disayangkan jika orang sehebat dirimu tidak lulus."

"Haha, iya," Lizzy balas melambai. "Sampai nanti."

Mereka saling berlambai tangan, terlalu asyik dalam pembicaraan barusan tanpa menyadari ada seseorang yang mengintip dari balik pohon.

***

"Hah?! Aku dapat tugas bagian memasak?!" Aku melotot begitu melihat namaku berada di barisan kelompok bagian konsumsi di layar transparan. "T-Tunggu dulu! Ini pasti kesalahan!"

Yura dan Juliet saling bertatapan, lalu menghela napas berat. "Ini pasti kesalahan," kukuh Yura. Keringat dingin mulai meluncur di wajahnya. "Jangan sampai Kena memasak. Jangan sampai Kena memasak. Jangan sampai Kena memasak. Jangan sampai Kena memasak," Yura terus merapalkan doa dalam hati.

"Eh?" Alice mengerjap-ngerjapkan matanya. "Memangnya kenapa kalau Kechan memasak?"

"Kau tidak tahu?" Juliet memijat keningnya. "Terakhir kali dia memasak di dapur Asrama, dia hampir membakar satu dapur!"

"U-Uwah, mengerikan!"

"Aneh, kok kita semua bisa sama-sama mendapatkan tugas konsumsi?" Aku berpikir sesaat. "Hm, ini pasti kesalahan!"

"Kechan, sudahlah. Terima saja kalau kau mendapat tugas konsumsi," Alice menepuk bahuku, membuatku menatapnya histeris.

Memasak? Aku bahkan tidak bisa tahu caranya menyalakan kompor!

"Hai semua!" sapa Flo dengan ceria. Dia berlari kecil menghampiri kami dari keramaian lautan manusia. "Ada apa? Tugas untuk makan siang sudah dibagikan?"

"Iya," jawab Juliet, sedangkan Yura masih merapalkan doa. "Kena mendapat bagian komsumsi."

"HAH?!" Flo melotot, "Jangan! Bagaimana jika kita semua keracunan setelah memakan masakannya?!"

"Itu masalahnya!" Yura menunjuk, sepertinya dia sudah selesai berdoa. "Bahaya jika Kena yang memasak! Siapa sih yang sudah mendata pembagian tugas ini? Romeo? Mana Romeo?! Biar aku protes padanya!"

"Tenang, tenang," Alice mencoba meredakan. "Bagaimana jika Kechan tetap di bagian komsumsi, tapi dia tidak ikut memasak. Hanya melihat saja," usul Alice.

Aku menjentikkan jari. "Setuju!" seruku girang. Aku sangat bahagia karena tidak perlu memasak.

"Hm, baiklah," Yura mengangguk. "Jangan sampai menyentuh bahan masakan ya, Kena. Atau ... kita semua akan mati keracunan."

"Hei! Aku ini bukan virus, tahu!"

"Bercanda."

Kami semua tertawa, kemudian segera menuju tenda dapur umum untuk mulai membuat masakan. Setiap jam makan, kami akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Satu, tim mencari kayu bakar, tugasnya mencari kayu bakar untuk menyalakan kompor. Dua, tim konsumsi, tugasnya memasak makanan untuk semua murid. Dan ketiga, tim bersih-bersih, tugasnya membereskan sekitar setelah acara makan selesai.

Karena aku ini sama sekali tidak bisa masak, dan sialnya kali ini justru mendapat tugas di bagian konsumsi, jadi aku hanya duduk manis sambil memperhatikan teman-temanku bekerja.

Aku duduk di bawah pohon rindang, menyaksikan orang-orang di sekitarku sibuk bekerja sedangkan aku justru bersantai di sini.

Menu makan siang kali ini adalah pastry daging. Masaknya harus dipanggang, dan Yura secara khusus meminta--atau mengusir--ku untuk menjauh dari tenda dapur umum.

Aku bersender, menghela napas. Ternyata menunggu itu membosankan juga, ya. Kutatap sekitarku, hingga menangkap sosok Flo yang muncul dari dalam hutan, terlihat terburu-buru. Dia berlari kecil, hampir melewatiku, jika saja aku tidak menahannya. "Hei, Flo! Kau sedang apa?"

"Eh?" Flo menggenggam sekeranjang buah apel berwarna jingga, sedangkan tangannya menggenggam sebuah apel merah. "Aku baru saja mengumpulkan apel di hutan. Kenapa?"

"Huh? Bukankah menu hari tidak ada buah apelnya?" tanyaku bingung.

"Menunya diganti," jawab Flo cepat. "Sudah ya, aku mau kembali dulu! Yang lain pasti sudah menunggu, bye!" sahutnya, sebelum akhirnya kembali berlari kecil berlalu meninggalkanku.

Aku terdiam, lalu mengedik. Sudahlah, lebih baik saat ini aku tidur sembari menunggu makanan selesai.

***TBC***

Wahahahahahhaaa, cepet kan apdetnya???

Tadinya mau gas terus sampe Kena *ehem* sama Sena, tapi apa daya, udah 2600+ words. Kalo dilanjutin ntar kepanjangan :v

Yaudah, next chap aja, dijadiin satu sama konfliknya Lizzy. Next chap, semuanya terungkap. Dan 1 pesan dari Vara....

TOLONG SIAPIN MENTAL KALIAN YA, SOALNYA BAKAL ADA PLOT TWIST NANTI WKWKWKWK. VARA PUAS BANGET TUH.

Oya, jangan lupa vote ya! Terus komen dong, jangan pelit-pelit mwuehehehee.

Kayaknya chapter selanjutnya bakalan sedikit panjang, DAN JUJUR BIKIN VARA DEG DEGAN WKWK. ABISNYA YAA.... WKWKWK
/apasi gaje.

Yaudah, udah yaw. Papayyyy!!!

Adios~

Big Luv, Vara.
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro