Path-39 : Wolf Behind The Sheep

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memicingkan mataku. Dari kejauhan, aku menangkap sesosok wanita bersurai hitam sepinggul. Dia berdiri di sana. Aku merasa familisr dengan wajahnya, hingga akhirnya aku menyadari bahwa aku memang mengenalnya. Dia adalah guru sihirku, Miss Ann!

"Miss Ann!!" panggilku keras. Aku segera berlari mendekatinya. Aku tersenyum lega, akhirnya aku bertemu seseorang yang dapat melindungiku.

Miss Ann tersenyum, menatapku dengan sorot hampa.

"Miss Ann!" Aku mengenggam erat tangan Miss Ann, menghela napas lega. "Miss, ayo kita harus cepat pergi! Leon ... Leon adalah pengkhianat!"

Kupikir Miss Ann akan terkejut dan segera membawaku pergi. Namun di luar dugaan, reaksi Miss Ann tetap datar. Dia tersenyum tipis, bersikap tenang, seolah-olah kami tidak berada di tengah bahaya.

"Miss?" panggilku ragu. Aku mengguncang-guncang pelan lengan Miss Ann, namun wanita itu bergeming. Sekelebat perasaan buruk mulai menghantuiku. Aku melangkah mundur, menatap was was sosok Miss Ann di hadapanku.

Kenapa Miss Ann diam saja?

"Kena."

Suara pria yang berat terdengar di pendengaranku. Aku menoleh, dan mendapati Henry berdiri tak jauh dari posisi Miss Ann. Aku terkejut dalam diam, menatap tak mengerti. "Henry? Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanyaku heran. Kali ini, perasaanku benar-benar tak enak.

Henry tersenyum. Kulitnya perlahan mulai terkelupas. Asap hitam pekat menyelimuti dirinya. Sebuah tanduk tumbuh menghiasi kepalanya. Tak lupa sepasang sayap kelelawar yang menggantung di punggungnya.

Henry ... berubah menjadi Leon!

Aku melangkah mundur, ternganga. "L-Leon?" suaraku yang parau mulai bergetar. "B-Bagaimana mungkin? Tadi kamu ada di ..."

"Kau mencariku?"

Aku menoleh ke belakang, melotot tak percaya begitu mendapati sosok Leon berdiri di belakangku. Pupil mataku mengecil karena terlalu terkejut.

Mustahil ... ada dua sosok Leon!?

Leon tertawa, suaranya begitu mengerikan. "Haha, apakah kau tidak tahu, kalau anak Lucifer bisa mencopy tubuhnya menjadi dua bagian? Tentu saja kau tidak tahu." Sosok Leon yang satunya berjalan mendekat ke arah Leon yang saat ini berbicara denganku. Tubuh Leon yang satunya melebur, menyatu menjadi satu tubuh. Kini, sosok Leon tambah menyeramkan. Sayap kelelawar di punggungnya semakin besar, tanduk di kepalanya memanjang, terdapat dari runcing di mulutnya. Leon terkekeh, menatapku begitu sinis. "Tapi, tentu saja ada efek sampingnya. Karena tubuhku ada dua, kekuatanku juga jadi terbagi. Karena itu, kekuatanku sedikit melemah. Namun karena sekarang telah menjadi satu, maka aku dapat menggunakan kekuatan penuhku!"

Leon mengarahkan tangannya kepadaku, melesat cepat. Bahkan sebelum aku menyadarinya, dia sudah mencekik leherku.

Namun belum seperkian detik, Leon melemparku menjauh hingga tubuhku terkapar di atas tanah. Aku terbatuk, memegangi leherku yang terasa nyeri. Tanpa sengaja, pandanganku terjatuh pada gelang pemberian Clyde yang kupakai. Gelang pemberian Clyde bersinar putih redup.

"P-PANAS!" jerit Leon sembari menggenggam tangannya sendiri yang melepuh.

Ah, tidak. Dia bukanlah Leon. Dia pasti Coctyus!

Coctyus menatapku tajam. "Sial! Mengapa ada rune pensucian pada dirimu?!"

Aku tertegun, refleks menatap gelang pemberian Clyde.

"Pasti ini ulah si rambut merah sialan itu!" Coctyus menatap murka.

"Iya, ini ulahku!" Aku refleks menoleh ke sumber suara. Aku terbelalak, sedikit harapan mulai bersinar di dadaku. Sosok Clyde berjalan dan berdiri di hadapanku dengan begitu gagah dan berani. "Maaf aku terlambat, Kena. Sulit mendeteksimu di antara hutan ilusi ini," bisik Clyde penuh penyesalan.

"Clyde?" Aku menatap haru, nyaris saja tangisku pecah. Ada kelegaan di dalam hatiku.

"Aku mencoba mengaktifkan rune untuk mensucikan sekolah kita. Tapi, iblis itu berhasil mengetahuinya. Jadi, aku terpaksa memberikanmu gelang yang sudah diberikan rune suci. Meski efeknya tidak seberapa, tapi syukurlah kau baik-baik saja." Penuturan dari Clyde membuatku mulai mengerti mengapa dia sering menghilang. Aku tahu sejak awal, Clyde memang orang yang baik!

"Cukup basa basinya," Coctyus menatap tak senang. Namun beberapa detik kemudian, seringaian licik terukir di wajahnya. "Jangan senang dulu, kalian belum menang."

Aku beranjak berdiri, sedikit tertatih-tatih. "Apa maksudmu?"

"Karena ...," Coctyus tersenyum miring. Dia menjentikkan jarinya, lalu datang sesosok lelaki bersurai merah yang begitu familiar di mataku. "Pangeran api kini ada di pihakku."

Pupil mataku mengecil, emosi mulai memuncak ke ubun-ubun. Tubuhku sedikit gemetar. Dengan suara parau, aku menjerit, "S-SENA?!"

***

Pintu ruangan terbanting begitu keras. "ROMEO!"

Romeo yang tengah duduk bersama tumpukkan berkas yang menemani terlonjak, nyaris saja jatuh dari tempatnya duduk jika saja Juliet tidak menahannya. Romeo menoleh, menatap kesal. "Bisa tidak ketuk dulu pintunya sebelum masuk?!"

"Ta-tapi ini gawat!" Alice menyentuh dadanya, mencoba mengatur pernapasannya yang menderu tak beraturan.

Juliet yang melihat keanehan pada diri Alice segera berinisiatif memberikan segelas air. "Ini, minumlah. Jangan panik."

Alice mengangguk, lalu menebas habis segelas air. Tak lama setelah itu, Flo, Val dan Hanz datang di belakang Alice, dengan kondisi yang tak jauh berbeda. Maka, Juliet kembali memberikan segelas air lagi.

"Kalian ini kenapa?" tanya Juliet heran. "Kalian tampak panik."

"Gawat!" Alice menggenggam erat bahu Juliet, menatap sungguh-sungguh. "Lizzy ... dia ... terkena racun!"

Juliet dan Romeo tersentak terkejut. "Huh?! Bagaimana bisa?!"

"Aku sudah meneliti," Flo memamerkan sebotol cairan hijau di botol alkemia yang sedari tadi ia genggam. "Lizzy memakan apel pemberian Leon. Maka, aku sudah meneliti apel tersebut. Dan kau tahu apa? Di dalam apel tersebut, ada racun poppy yang sangat langka!"

Romeo beranjak berdiri, "Kenapa Leon memberikan apel beracun kepada Lizzy? Apa tujuannya?"

Flo menunduk, "Sebenarnya, sudah lama sekali aku mencurigai Leon sebagai penyebar sihir hitam. Namun, aku tak memiliki banyak bukti. Jadi aku dan Val mencari bukti sendiri. Apalagi, ketika ada surat misterius berisi daftar tersangka yang muncul di depan pintu ruangan dewan waktu itu."

Val mengangguk, memberikan konfirmasi. Manik ungu kristal lelaki itu menatap begitu serius. "Dan akhir-akhir ini, sikap Leon begitu mencurigakan. Memang, awalnya aku curiga terhadap Clyde, namun setelah kuamati, Clyde tidak mencurigakan sama sekali. Justru, Leon yang mencurigakan. Hanya Leon murid satu-satunya di sekolah ini yang tidak memiliki pixieball. Dan ternyata Clyde juga mencurigai Leon, sama seperti kami."

"Tunggu," kening Romeo mengkerut dalam. "Kalau begitu, kenapa kalian tidak berterus terang padaku?"

"Karena mustahil," Flo mendesah pelan. "Setiap kami ingin memberi tahumu, entah mengapa Leon selalu ada di sekitar kami. Aku khawatir dia curiga bahwa kami sudah sadar."

"Ini ... rumit," Romeo memijat keningnya.

"Tapi, memang kenyataannya seperti ini," timpal Hanz.

"Lalu, dimana Leon? Kita harus menangkapnya segera. Dan lagi, tadi aku sempat melihat Sena--" belum genap Flo selesai bicara, Romeo sudah lebih dulu memotong.

"Eh? Sena sudah sadar?" Romeo menatap tak percaya. "Tapi, kenapa Paman Raven tidak mengabariku?"

"Apakah itu penting sekarang?" Flo balas menatap kesal. "Kita harus mencari Leon, sebelum dia kabur dari sini!"

"Iya, tapi--"

"UHUK!!"

Semua orang terlonjak terkejut, refleks menatap Alice yang terbatuk-batuk. Entah apa yang terjadi pada Alice, Alice merasa kepalanya begitu pening. Seakan baru saja dihantamkan ke baja beribu ton. Kemudian, ada berbagai macam emosi yang masuk ke dalam kepalanya. Emosi-emosi itu terlalu banyak dan mencekam, hingga membuat Alice mual dan memuntahkan isi perutnya. Gadis itu jatuh terduduk di atas lantai. Wajahnya begitu pucat, dan lemas.

Flo mulai panik, "Alice? Ada apa denganmu?!"

"Emosi ...," gumam Alice sembari menyentuh kepalanya.

Hanz yang hendak menyerahkan segelas air kepada Alicepun mengertkan kening. "Huh? Apa maksudmu?"

"A-Aku ...," tubuh Alice bergetar. Matanya mulai mengeluarkan air mata, membuat kacamata yang ia kenakan berembun. "Aku ... bisa merasakan emosi lagi."

"A-apa?!"

Hanz segera menyibak rambut Alice yang menutupi leher gadis itu. Di tempat yang seharusnya terdapat lambang Coctyus, kini sudah menghilang.

Semua orang saling bertatapan. Apa maksudnya ini?

"Bukankah ... segel pada Alice akan menghilang ketika Coctyus menggunakan kekuatan penuh?" Juliet angkat bicara, gadis itu merasa begitu cemas.

"Iya," wajah Romeo memucat. "Aku tidak suka mengakuinya, namun perasaanku tidak enak."

"Alice, apa kamu merasakan sesuatu?" tanya Flo. "Seperti ... sebuah emosi yang aneh."

Alice terdiam, kemudian mengangguk samar. Pupil matanya mengecil. Keringat dingin membanjiri wajahnya. "Ada ... aku merasakan sebuah emosi kemarahan yang begitu pekat. Dan ...," Alice menjeda perkataannya, membuat teman-temannya menunggu tidak sabar, "Aku merasakan ada emosi milik Kena di dekat emosi aneh itu."

Flo melotot. "Jangan katakan ... DIA MENGINCAR KENA?!"

"ROMEO, CEPAT KABARI MISS WANDA!" sahut Hanz sedikit panik. "Flo, cepat panggil Yura, katakan padanya untuk kemari! Dan ... Alice, tolong antarkan kami ke tempat Kena secepatnya!"

Alice mengangguk. "Posisinya tidak terlalu jauh, namun setahuku hutan di pulau ini adalah hutan ilusi. Akan lebih mudah jika kita pergi menggunakan kekuatan teleportasi milik Yura. Katanya, Yura sudah sangat mengenal pulau ini."

"Baiklah, aku sudah mengirimkan pesan kepada Yura," Flo yang baru saja selesai mengirim pesan menggunakan pocket-nya menatap Alice. "Mungkin, beberapa detik lagi, dia sudah ada di sin--"

Cahaya terang muncul di tengah-tengah ruangan. Saat cahaya itu mereda, terlihat sosok Yura masih dengan piyamanya berdiri di sana. "ASTAGA, KENAPA KALIAN TIDAK BILANG DARI AWAL?!" Yura melotot, tampak murka. "AYO CEPAT, KITA PERGI KE TEMPAT KENA!" Gadis itu menyambar tangan Alice dan Flo, lantas memerintahkan Romeo, Val, dan Hanz untuk saling berpegangan tangan dengan Flo dan Alice.

"Tunggu," Romeo mengaktifkan pocket-nya, "Aku akan mengabari Miss Wanda terlebih dahulu. Dan aku akan memerintahkan Ryan untuk menjaga Lizzy di tenda kesehatan."

Yura menatap gemas, tidak sabar. "Sudah belum?"

Romeo mengangguk beberapa saat kemudian, lalu menonaktifkan pocket-nya, lantas menggenggam pergelangan tangan Hanz. "Sudah."

"Baiklah, berpeganganlah dengan erat!" Yura memejamkan matanya, mencoba berkonsentrasi. "Alice, dimana letak Kena?"

"Di sebelah utara, tepat sebelum jurang yang menuju ke laut," jawab Alice dengan yakin.

"Oke, bersiaplah!" Yura mengaktifkan kekuatan teleportasinya. Tubuh mereka mulai diselimuti cahaya putih terang. Detik berikutnya, mereka mulai menghilang, melewati ruang dan waktu.

***

"Yang mulia Raja Raven?" Wanda tampak heran, menatap sosok pria yang sedang terduduk lesu di hadapannya. Wajah yang biasanya menunjukkan kewibawaan di wajah pria paruh baya itu tampak memudar. Kini di mata Wanda, hanya ada sesosok pria berwajah pucat yang begitu sendu. "Ada apa memanggilku secara tiba-tiba seperti ini? Kau tahu 'kan bahwa saat ini ujian kelulusan sedang digelar?"

"Iya," Raven menghela napas berat. Mungkin memang salahnya memanggil Wanda ke kerajaan Timur, sedangkan di sisi lain Wanda sedang mengurusi para muridnya yang sedang melaksakan ujian kelulusan. Namun, ini bukan waktu yang tepat untuk tahu adab dan sopan santun. Raven mengangkat wajahnya, menatap Wanda dengan raut serius. "Ada sesuatu yang sangat penting, dan sepertinya aku harus memberi tahumu."

"Huh?" Kening Wanda terlipat. Wanita itu beranjak duduk di sofa yang menghadap langsung dengan Raven. Saat ini, mereka tengah berada di Taman Istana Kerajaan Timur. Entah ada angin apa yang membuat Raven memanggilnya secara mendadak seperti ini. "Ada apa? Apa yang terjadi?"

"Henry ...," Raven menunduk, tangannya menggepal, hingga keningnya menyentuh kepalan tangannya yang ada di atas meja. "Henry ... dia ... pengkhianat."

Wanda tersentak. "Apa?!"

"Dua hari lalu, Henry mengkhanatiku. Dan Sena ... terkontaminasi dengan sihir hitam. Sena menghilang," jelas Raven, suara beratnya begitu serak dan parau.

"Huh?" Wanda mengerjapkan matanya beberapa kali. Wanita itu mencoba mengingat-ingat, memutar kembali otaknya. "Sena menghilang? Tapi, aku bertemu dengannya kemarin malam di pulau Exanted. Kupikir dia sudah sembuh dan mengikuti ujian kelulusan ..."

Hening sesaat. Baik Raven maupun Wanda mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Suasana begitu mencekam, apalagi langit di luar sudah menggelap.

Wanda terbelalak begitu menyadari apa yang terjadi. Spontan, wanita itu melompat berdiri. "Jangan bilang .... COCTYUS ADA DI PULAU BERSAMA SENA?!"

"Ini gawat!" Raven segera mengaktifkan pocket miliknya, mengirimkan spam message kepada kepala prajurit untuk siaga.

Di saat yang bersamaan, ada pesan masuk di pocket milik Wanda. Wanda segera membukanya, perasaannya tidak enak.

Dan benar saja. Dia mendapatkan pesan dari Romeo.

Miss Wanda, keadaan saat ini darurat! Tolong segera kembali!

-Romeo.

***TBC***

Seriusan, masa kalian nggak sadar sih kalo Leon penyebar sihir hitam?😂😂😂

Padahal itu vara udah nyebar kode dimana-mana, lho!

Banyak kode yang vara sebar, tapi vara akan bahas beberapa kode yang SANGAT KERAS.

1. Leon naik ke kelas Amature dalam sehari, sedangkan Miss Rosseline pernah bilang kalau naik ke kelas Amature dalam waktu sehari itu mustahil, bahkan bila Leon selalu mendapat kelas A.

Lalu, bagaimana caranya Leon naik ke kelas Amature dalam waktu sehari tanpa dicurigai? Jawabannya mudah. Leon menghipnotis beberapa guru agar dia naik ke kelas Amature dengan cepat.

2. Leon tidak punya pixieball. Dan waktu scene Vere sedang berbincang dengan Xia-xia, ITU ADALAH KODENYA WKWK.

3. Clyde pernah membuat rune pas malam-malam di hutan, 'kan? Nah, waktu itu Leon datang ke Clyde dan bilang kalau Clyde punya rencana busuk. Rencana busuk yang dimaksud Leon itu adalah rencana Clyde yang mau melindungi sekolah dengan memasangkan rune suci di sekitar sekolah.

Lagipula, Leon juga beralasan sedang mencari material saat itu. Coba pikir, mana ada orang nyari material malem-malem, kan? :v

4. Surat yang berisi daftar tersangka, itu sebenarnya Leon yang ngasih. Leon yang sengaja meletakkan surat tersebut di depan pintu ruang dewan agar para dewan curiga ke Clyde, bukan ke Leon.

5. Sebenarnya, ini clue paling KERAS. Setiap Leon ketemu sama Kena, kalung Kena pasti selalu bersinar, kan?

Kena ngiranya kalungnya rusak, tapi sebenernya nggak. Setiap kalung Kena bersinar, Leon berusaha membuat Kena tertular sihir hitam, namun sihir hitam tersebut ditangkis oleh kalung penetral yang Kena pakai.

6. Henry itu pengkhianat wkwk. Ini udah Vara kasih kode di ekstra path Sena PoV.

7. Rosseline merasa nggak pernah ngelihat Leon sebelumnya, dan itu nyata. Karena Leon hanya menghipnotis beberapa guru, dan Rosseline bukan salah satunya. Itu mengapa Rosseline tampak asing pada Leon.

8. Miss Ann sudah terkontaminasi oleh sihir hitam oleh Leon. Ketika arc Kena lagi ujian individu Miss Ann bilang, "Dan buatlah para petinggi bangga"

Yang dimaksud para petinggi itu ya Coctyus wkwk.

Wew, udah lumayan banyak tuh clue yang Vara sebar kek keju parut. Kalian aja kali ya yang nggak peka wkwk.

Udah ah, setelah ini silakan tebak alurnya gimana. Karena akan masih ada satu arc lagi~

Yaitu, arc Kena yang kembali ke masa lalu :3

Yap, William pernah bilang bahwa Kena akan kembali ke masa lalu, 'kan? Dan setelah masalah ini, Kena memang akan kembali ke masa lalu.

Jadi, stay tune aja ya!

Ohiya, jangan lupa vote and comment biar Vara semangat ngetik~♡

Dan buat yang kemarin menang main tebak-tebakan, silahkan kirim pesan ke vara apa permintaannya ya wkwk.

Adios~

Big Luv, Vara.
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro