Path-43 : Search

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku datang ke dua puluh lima tahun lalu.

Masa lalu, jauh lebih indah dari yang pernah kubayangkan. Dimana heaven creatures dilepas bebas, berkembang biak secara alami. Magic plant tumbuh subur sepanjang mata memandang. Meski teknologi belum semaju pada masa depan, namun pemandangan alam di sini jauh lebih mengesankan.

Aku berjalan menelusuri sekitar desa Heavenica yang ramai dilalui masyarakat. Penduduk setempat sibuk bekerja, entah itu membajak sawah, berjualan ramuan atau buah-buahan, dan lain sebagainya. Posisi rumah di tetap sama seperti saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sini. Bedanya, bentuknya masih sangat tradisional.

Yah, bisa dibilang, kehidupan di zaman ini tak jauh berbeda seperti kehidupan di dimensi manusia.

Aku berjalan pelan, menikmati suasana pedesaan, sembari mencari rumah milik Lita--atau milik Lisa pada zaman ini. Aku melewati daerah pasar, deretan penjual terlihat sepanjang mata memandang.

"Jimat! Ayo silakan dipilih jimatnya! Sangat ampuh!"

Aku menghentikan langkahku, menoleh kepada seorang pria yang sedang menjual berbagai macam jimat yang sangat berkilau.

Pria itu tersenyum senang begitu aku melangkah mendekati kiosnya. "Ayo, silakan dipilih, Nona. Jimat pelindungku sangat ampuh!"

Ah, mungkin melihat-lihat sebentar tidak masalah. Lagi pula, kapan lagi aku bisa melihat-lihat masa lalu selain sekarang?

Perhatianku terpaku pada sebuah jimat berwarna biru samudra, terlihat berkilau begitu diterpa cahaya matahari. Indah sekali!

"Berapa harga jimat yang itu?" Seorang gadis asing menunjuk jimat yang sedari tadi kutatap. Aku melirik gadis itu, dia memakai tudung merah gelap yang menutupi nyaris setengah wajahnya. Aku jadi tidak bisa melihat wajahnya.

"Hanya tiga ratus poin!"

"Hee, mahal sekali!" protes gadis itu. "Dua ratus lima puluh poin saja, ya! Akan aku beli, deh!"

"Tidak bisa, dik. Harganya sudah pas!"

"Kumohon! Dua ratus lima puluh poin, ya!!"

Aku mengerutkan kening, menahan tawa melihat sang gadis yang berusaha keras menawar.

Si pria penjual jimat menghela napas, akhirnya mengalah. "Baiklah! Tapi sebagai gantinya, kamu harus bilang ke teman-temanmu untuk membeli jimat di sini!"

"Oke!" Gadis itu berseru girang. Mereka segera melakukan transaksi, sebelum akhirnya jimat biru samudra itu berpindah tangan kepada si gadis.

Saat di gadis membuka tas kecilnya, hendak memasukkan jimat ke dalam tasnya, tiba-tiba ada seorang lelaki yang berlari cepat menyambar tas gadis tersebut. Lelaki itu berlari, membawa pergi tas si gadis.

Si gadis berseru panik. "TASKU!!"

Gadis itu berlari mengejar, dan secara inisiatif aku ikut mengejar pencuri itu. Karena sering berlatih bersama Master Joule, lariku jauh lebih cepat dari si pencuri, dan dengan mudah aku berhasil mengejarnya.

Aku mengayunkan kakiku ke arah betisnya, membiarkan lelaki pencuri itu terjerembab ke atas tanah. Lelaki itu mengaduh, namun dengan cepat hendak berlari lagi. Huh, ternyata dia pantang menyerah.

"Hei, jangan kabur!" Si gadis bertudung merah mengulurkan tangannya ke arah si lelaki. Semburan es keluar dari tangan gadis itu, nyaris mengenai si lelaki, meski nyatanya meleset. Tas si gadis terjatuh ke tanah, namun si lelaki pencuri berhasil kabur.

Ah, sudah lah. Biarkan saja pencuri itu pergi.

Si gadis sepertinya berpikiran hal yang sama denganku. Buktinya, dia tidak mengejar lelaki itu. Gadis itu meraih tasnya, lantas berjalan mendekatiku. Gadis itu tersenyum, kemudian menyibak tudung yang menutupi separuh wajahnya, menampilkan wajah yang sedang tersenyum kepadaku.

DEG!

Aku membeku di tempat. Tubuhku gemetar, jantungku berpacu begitu cepat. Ada suatu rasa yang tak bisa kudefinisikan bergejolak di dalam dadaku. Sesak, namun begitu hangat dan meluap. Kutatap lekat-lekat wajah gadis di hadapanku itu. Tidak salah lagi, gadis itu adalah ...

"Terima kasih ya sudah menolongku!" Dia tersenyum lebar. "Tadi larimu hebat sekali! Ah, iya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Annatasha, siapa namamu?"

Aku menegup air liurku dengan susah payah. Aku tidak mungkin salah mengenali. Bahwa gadis yang berdiri di hadapanku ini adalah Ibu.

Ibu ... aku ... bertemu dengan Ibu?

Rasanya aku ingin menangis dan memeluknya. Namun aku tahu, dia tidak mengenaliku.

"Aku harus pergi," ujarku lirih, membuang muka dan memutar tubuh.

"T-Tunggu," gadis itu menahan tanganku. "Apa harus secepat ini? Aku ingin berterima kasih padamu!"

"Maaf, aku sibuk." Aku tak mau menatap wajah Ibu. Karena aku tahu, jika aku menatapnya, maka aku akan menangis.

Bahkan sekarangpun, aku sedang menangis tanpa suara.

"S-Setidaknya tolong beri tahu namamu!" ujarnya keras kepala. Ah, ternyata sifat keras kepalaku ini menurutn dari Ibu. "Hei, katakan sesuatu! Jangan diam saja!"

"Namaku Kena," jawabku lirih. Aku menoleh kecil, menatap sosok Ibu saat ini dan tersenyum hangat. "Dan aku hanya ingin kau tahu, bahwa sampai kapanpun, aku akan selalu menyayangimu. Tolong katakan juga pada Ayah jika kalian sudah bersama, ya! Aku akan selalu menyayangi kalian."

Gadis itu terdiam, menatapku tidak mengerti.

Tepat setelah aku mengatakan hal itu, aku berlari pergi menjauh. Aku tak kuat jika harus berada di sisi Ibu lebih lama. Bisa-bisa, aku menangis semakin menjadi.

Langkah kakiku terhenti begitu aku tiba di tepi sungai―entah bagaimana caranya aku bisa sampai di sini. Aku duduk di tepi, mencelupkan kakiku ke air sungai yang mengalir deras.

Aku terisak dalam diam. Tidak, aku tidak menangis karena sedih. Tapi, aku menangis karena aku bahagia.

Akhirnya setelah bertahun-tahun aku tidak melihat wajah orangtuaku, aku bisa bertemu dengan Ibu.

Aku ... bahagia. Aku benar-benar bahagia.

Beban yang berkumpul di dadaku meluap, terasa lebih ringan. Akhirnya, aku bisa mengatakan bahwa aku menyayangi Ibu secara langsung.

Aku tersenyum, menatap pantulan diriku dari air jernih sungai.

Bahagia itu sederhana. Tak perlu berkarung-karung emas untuk mewujudkannya. Hanya dengan bertemu orang-orang terkasih, kebahagiaan bisa datang.

Setelah aku puas menangis, aku melompat berdiri, menarik napas panjang dan menghelanya. Baiklah, sudah cukup. Sekarang, saatnya aku melaksanakan misi.

Aku kembali berkeliling desa, mencari rumah Lisa. Memakan waktu lumayan lama untuk menemukannya. Hingga tepat saat matahari nyaris tenggelam, aku tiba di depan rumah yang kuyakini adalah rumah milik Lisa pada zaman ini.

Setelah membulatkan tekad, aku mengetuk pintu rumah tersebut.

Tok. Tok. Tok.

Klek.

Jantungku berderu begitu cepat saat pintu rumah terbuka. Terlihat sosok seorang gadis kecil  yang membuka pintu, membuatku merasa deja vu.

Wajah gadis kecil itu tampak familiar di mataku. Kulitnya pucat pasi, dan tatapannya begitu hampa. Dia menatapku datar. "Siapa?"

Aku mengerjap beberapa kali, kemudian segera mengulum sebuah senyum ramah. "Apa Lisa ada di rumah?"

Gadis itu terdiam sesaat. "Ada."

"Boleh aku bertemu dengannya?"

"Sebentar." Gadis itu kembali masuk ke dalam. Tak lama kemudian, seorang wanita muncul dari balik pintu. Ia tersenyum begitu melihatku. "Kudengar, kamu mencariku. Apa benar?"

"I-Iya," jawabku gugup. "Ada sesuatu yang harus aku bicarakan denganmu. B-Boleh?"

"Tentu saja boleh," dia tersenyum hangat. "Ayo, silahkan masuk. Anggap saja rumah sendiri."

Aku mengangguk sopan, kemudian melangkah memasuki rumah kayu ini. Pemandangan di dalam tak jauh berbeda saat terakhir kali aku datang ke sini. Masih sama persis. Mungkin, hanya saja ada satu atau dua posisi barang yang berbeda.

"Lita, apa kamu bisa buatkan minuman untuk tamu kita?" pinta wanita itu kepada gadis kecil yang tadi membukakanku pintu.

Aku tersentak pelan. Tadi nama gadis itu Lita? Ah, benar juga ya. Aku datang ke 25 tahun yang lalu. Berarti saat ini, Lita memanglah masih kecil. Seharusnya aku tak boleh terkejut.

"Iya, Ibu," jawab gadis kecil itu patuh.

"Jadi, ada perlu apa kamu datang ke mari?" tanya Lisa ramah.

Aku menggigit bibir bagian bawah, memainkan jemariku. "Um ... Lisa--ah maksudku Nona Lisa. Sebenarnya, ada hal yang ingin kuminta darimu," kataku pelan.

"Apa itu?"

Aku meluruskan pandanganku, menatap serius. "Apa kamu memiliki permata penghancur?"

Wanita yang tak lain adalah Lisa itu terlonjak. "Bagaimana kamu bisa tahu bahwa aku memiliki permata itu?!"

"Bagaimana cara menjelaskannya, ya?" Aku menggaruk tengkukku. "Lita yang memberi tahuku."

"Lita?" Kedua alis Lisa bertaut menjadi satu. "Lita bahkan tidak pernah keluar rumah karena penyakit yang dideritanya!"

Kali ini, giliran aku yang dibuat mengerutkan kening. "P-Penyakit?"

Lisa menghela napas lemas. "Iya, Lita anakku, menderita penyakit yang cukup langka. Bahkan healer sekalipun tak bisa menyembuhkannya. Tidak ada ramuan yang dapat menetralisir virus yang ada di dalam tubuhnya. Jangankan berinteraksi dengan orang lain, ke luar rumah pun dia nyaris tidak pernah."

Aku tertegun. "Tapi ... Lita di masa depan tampak sehat."

Lisa mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu, Nona?"

"Panggil saja aku Kena," pintaku. "Nona Lisa, sebenarnya ... aku datang jauh dari sini."

"Jauh? Kamu dari Kerajaan yang jauh, ya? Utara? Barat?"

"Bukan," aku menggeleng. "Lebih jauh. Jauh sekali."

Lisa menunggu.

"Aku ... berasal dari masa depan."

"A-Apa?!"

"Aku tidak memaksamu untuk mempercayaiku, itu terserah padamu. Yang terpenting, aku telah berkata jujur."

"Tapi ... apakah mungkin?" Kening Lisa tertekuk dalam. "Tidak ada yang bisa memutar waktu, semua orang tahu itu. Lalu bagaimana caranya kamu ...."

"Waktu terus berjalan, tidak ada yang tahu apa yang bisa terjadi di masa depan. Kenyataannya, di masa depan, memang ada kekuatan semacam itu." Aku tersenyum kecil. "Jadi, apakah kamu mau mempercayaiku?"

Lisa terdiam. "Apa yang ingin kamu lakukan dengan permata penghancur?"

"Aku membutuhkannya untuk menyelamatkan teman-temanku," jawabku sungguh-sungguh. "Aku memohon padamu. Nyawa teman-temanku ada pada keputusanmu. Hanya itu satu-satunya cara."

Hening beberapa saat, menyisakan suasana yang mencekam. Hingga beberapa saat, akhirnya Lisa menghela napas panjang. "Baiklah. Permata penghancur masih dalam proses pembuatan. Kamu bisa menunggu dan tinggal di sini untuk sementara waktu hingga permata itu jadi. Aku dan suamiku akan mempercepat prosesnya."

Mataku berbinar cerah. "Sungguh?"

Lisa mengangguk. "Iya."

Aku beranjak berdiri dari tempatku duduk, lantas memeluk Lisa. "Terima kasih, Lisa. Terima kasih!"

"Sama-sama."

***TBC***

Mood menulis Vara lagi jelek :(
Jadi maap kalo misalkan diksi sama kata-katanya garing :'

Kayaknya beneran tembus 50 chapter deh :((

Sebenernya bisa aja sih Vara tamatin secepetnya, tapi nanti alurnya maksa dan ngegantung. Yang ada Vara di demo wkawkawkakkk :v

/kaboor.

Eh, iya maap. Lama ga update :(

Aduh, malah jadi update sebulan sekali masa. Mood Vara ke cerita ini lagi kurang bagus.

Lagi hobi bikin cerpen, ga tau kenapa.

Oh iya, sebenernya ada satu lagi sih alasan kenapa Vara jarang update, tapi Vara jelasin di extra chapter aja :3

CIEEE YANG DAPET EKSTRA CHAPTER. UHUY, SILAKAN MENIKMATI.

Big Luv, Vara.
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro