Evidence 12: Forget and (Don't) Forgive

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak sulit membayangkan kenapa Revan ingin jadi polisi. Hidup besar di lingkungan buruk membuatnya ingin mendapatkan keadilan. Dan siapa lagi yang memerangi kejahatan selain polisi? Sudah menjadi tugas mereka untuk memberantas kejahatan.

Semua jelas-jelas bermula saat Revan lahir dan dibesarkan. Awalnya dia tidak tahu apa-apa soal latar belakang keluarganya. Dia hanya tahu orangtuanya terlalu sibuk bekerja, sehingga dia sering ditinggal di tempat penitipan anak bersama kakaknya, Nindi. Revan senang bisa ada di sana—banyak teman sebayanya, dan mereka bebas bermain sesuka hati. Bermain musik, kejar-kejaran, hingga berdandan bagi anak-anak perempuan. Revan tidak kesepian, meski orangtua dan kakaknya jarang berada di dekatnya.

Semakin Revan bertumbuh, semakin dia tahu bahwa hidupnya tidak pernah seindah itu. Umurnya tujuh saat dia melihat anak-anak berseragam merah dan putih masuk ke sebuah gedung, diam di sana selama beberapa jam, lalu dijemput orangtua masing-masing. Itu dinamakan sekolah, dan Revan tidak bersekolah. Dia terus-terusan ada di tempat penitipan yang sama, bersenang-senang dengan belajar main gitar dan bermain. Ayahnya, yang dia kira bekerja di tempat penitipan, ternyata adalah seorang kriminal yang mengepalai organisasi kampret. Ibunya, yang dia kira bekerja di restoran, ternyata adalah pelacur yang menjajakan badannya dan beberapa gadis lain di bar. Dan saat Revan menanyakannya pada kakaknya, Nindi berkata bahwa sudah takdir mereka untuk berada di dalam dunia kotor ini.

Revan membenci orangtuanya. Revan membenci Nindi. Revan membenci tempat penitipan itu beserta seluruh isinya. Di atas semuanya, Revan membenci semesta kampret yang memberikan takdir kampret padanya. Seorang anak memang tidak bisa memilih tempat dia dilahirkan dan dibesarkan, tapi ayolah! Di tengah para kriminal? Takdir kampret macam apa itu?

Meski begitu, Revan tidak benar-benar punya pilihan untuk memberontak. Yang membangkang akan dipukuli, yang menolak akan ditendang. Revan akhirnya harus memilih satu dari sekian pekerjaan yang tidak menyenangkan: pengamen, pencopet, tukang pukul, atau pekerja seks. Dia tidak cukup lincah untuk jadi pencopet, tidak cukup kuat untuk jadi tukang pukul, dan, yah, tidak cukup menarik untuk jadi pekerja seks. Satu-satunya bakatnya adalah menyanyi, dan jadilah dia mengamen.

Butuh sepuluh tahun dan entah berapa puluh tonjokan sebelum akhirnya Revan tidak tahan lagi. Rencananya sederhana: melaporkan perbuatan Dadan ke polisi. Hari itu dia mengamen, mengumpulkan uang secukupnya, lalu tidak pulang saat dijemput. Tidak pulang untuk sehari adalah hal yang lumrah asalkan dia sudah izin. Entah di emperan toko mana dia tidur malam itu. Tekadnya bulat. Dia akan pergi ke kantor polisi dan melaporkan kelakuan si bos kampret, ayahnya sendiri.

Setelah diusir dari emperan itu, Revan segera menuju kantor polisi terdekat. Dia melaporkan semua yang dilakukan Dadan pada polisi yang bertugas di sana. Revan bahkan menunjukkan parut di punggung dan perutnya. Melihat polisi muda itu mencatat laporannya dengan tekun memberinya harapan bahwa semua akan baik-baik saja sekarang. Dia bisa bebas dari bos kampret.

Tapi apa yang dia dapatkan? Hanya ucapan seorang sersan buncit yang begitu menyakitkan, mengusirnya meski dengan begitu lembut.

"Sudahlah, Nak, kamu hanya membuang-buang waktumu. Lebih baik kamu pulang dan melanjutkan aktivitas seperti biasa. Anggap saja hari ini nggak pernah terjadi."

Revan bahkan ingat, polisi muda itu pun kehilangan harapan yang dulu terpancar dari matanya. Polisi tidak mampu melindunginya karena mereka bahkan tidak peduli. Bahkan, bisa saja mereka sudah dibungkam.

Dia melarikan diri entah ke mana, bersumpah tidak akan pernah mau berharap lagi. Semesta akan menghancurkan harapannya semudah membalikkan telapak tangan. Semesta tidak akan melepaskannya dari takdir kampret miliknya—takdir yang mengharuskannya menjadi pengamen seumur hidupnya. Semesta jahat, dan apa pun yang Revan lakukan untuk melawan, dia tidak akan menang.

Haruskah dia mati saja?

Revan sempat berpikir untuk bunuh diri dengan menabrakkan dirinya. Dia berpura-pura menunggu di pinggir jalan, menatap setiap mobil yang melaju dengan begitu kencang. Pertama kali dia melakukannya, mobil itu berhasil mengerem. Pengemudinya keluar sambil meminta maaf berulang-ulang. Kedua kalinya dia mencoba, pengemudi mobil mampu menghindarinya. Percobaan ketiga gagal total karena seorang pria sudah menariknya dan mengomelinya.

Revan nyaris saja berhasil di percobaan keempat—kali ini bus itu melaju dengan begitu kencang, tampaknya tidak akan mampu mengerem tepat waktu—jika saja Habib tidak memanggil namanya. Fokus Revan teralihkan dan momen yang dia tunggu-tunggu terlewati. Revan kemudian berlari, mencoba bersembunyi. Yah, dia tidak tahu apakah dia benar-benar siap untuk mati juga, jadi sepertinya ini hal yang baik.

Habib tidak berhasil mengejarnya, sehingga malam itu Revan masih aman. Dia berhasil menghindari anak buah Dadan untuk dua hari. Meski demikian, pada akhirnya dia tertangkap. Bos kampret itu memukulinya habis-habisan, dan setelahnya, Revan tidak pernah lagi berniat kabur. Hingga beberapa minggu yang lalu, ketika Sasha dan Lentera Damai memasuki hidupnya.

Revan tidak tahu apakah ini keputusan yang benar. Jika dia tertangkap lagi, bos kampret itu tidak akan segan-segan memukulinya hingga nyaris mati. Tapi rasa-rasanya, Revan rela menerima risiko apa pun, asalkan dia bisa terbebas dari neraka yang mengungkungnya.

Dia hanya ingin mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Semoga saja, keinginannya itu tidak terlalu banyak untuk diminta.

::::::

Frekuensi kedatangan Sasha di Etimologi memang sepertinya sudah tidak sehat, tapi dia tidak peduli. Kafe yang sekaligus berfungsi sebagai coworking space ini enak digunakan untuk mengerjakan tugas, baik sendirian maupun bersama teman. Suasana yang relatif tenang, terutama pada hari kerja seperti ini, membuat Sasha terus kembali ke sini. Fokusnya memang mudah buyar kalau suasana di sekitarnya terlalu ramai, karena itu Etimologi merupakan pilihan terbaik.

Entah sudah berapa lama Sasha duduk mengerjakan tugas di sana. Yang jelas, saat dia meregangkan badannya, dia terkejut melihat langit sudah berubah gelap. Etimologi sudah sedikit lebih ramai dari saat dia datang. Sasha melirik jam tangannya. Sekarang sudah jam tujuh lewat sedikit. Sudah dua jam dia berada di sini.

Sasha membaca ulang laporan yang baru saja dibuatnya, memastikan sudah tidak ada yang kurang atau salah ketik. Sebaiknya dia segera pulang dan beristirahat. Hari ini dia berjanji pada ibunya untuk makan malam di rumah. Semoga dia tidak terlambat.

"Dari Bang Dirga," kata Revan seraya meletakkan minuman—yang sepertinya adalah lemon tea—di hadapan Sasha.

"Buat lo aja, deh. Gue udah mau balik."

Revan mengangkat bahu, lalu duduk di hadapan Sasha. "Lo rajin amat, deh. Ngerjain tugas dari sore sampai sekarang."

"Kalau nggak rajin, bakal keteteran. Soalnya banyak banget tugasnya." Sasha kemudian berhenti membaca. "Lo tertarik kuliah, nggak?"

"Nggak. Otak gue terlalu lemah."

"Bahkan kuliah musik?"

"Buat apa? Gue udah jago main musik tanpa kuliah."

Sasha mendecak. "Astaga, sombongnya. Omong-omong, lo tertarik, nggak, sama ide Jericho kemarin? Menurut gue, ide itu sangat bisa lo lakukan."

"Gue masih nggak ngerti sama ide itu. Gue juga belum pernah buka... apa tuh, internet?" Revan menggeleng. "Tapi kalau menurut lo itu ide bagus, mungkin gue bisa belajar dulu."

"Mending lo tanya Jericho aja deh soal bikin videonya. Dia suka belajar gituan soalnya." Sasha terdiam beberapa saat selagi membaca laporannya. "Oh ya, gue mau minta maaf kalau kemarin gue salah ngomong. Soal masa lalu lo."

Revan tidak kunjung membalas, membuat Sasha mendongak dari laporannya. Revan terdiam menatap jalan, entah memikirkan apa. Mungkin masa lalunya. Sasha jadi merasa salah bicara. Seharusnya Sasha tidak membahasnya lagi, meski hanya untuk meminta maaf. Sebagaimana tubuh Revan penuh dengan luka, hatinya pun pasti juga dalam kondisi babak belur. Hidup tidak pernah mudah bagi mereka yang ada di jalanan.

"Yah, itu masa lalu, kan?" Revan mengedikkan bahu. "Gue rasa, lo harus bisa ngelupain masa lalu lo untuk bisa terus maju ke depan."

Sasha tercengang mendengar perkataan Revan. Bagi dia yang masa lalunya tidak buruk, agak sulit untuk bisa sepenuhnya mengerti maksud kalimat itu. Walau begitu, Sasha memahaminya.

"Apa itu artinya lo udah bisa maafin masa lalu lo?"

Revan menggeleng. "Melupakan nggak sama dengan memaafkan. Gue akan senang sekali kalau bisa melupakan masa lalu gue tanpa tersisa sedikit pun kenangan. Tapi mungkin selamanya, gue nggak akan pernah bisa memaafkan manusia-manusia kampret itu atas apa yang terjadi dalam hidup gue."

"Tapi, manfaat memaafkan itu buat diri kita sendiri, Van." Sasha menatap Revan lekat. "Memaafkan adalah salah satu cara mencapai kedamaian. Lo nggak lagi menyimpan dendam. Dan dendam itu, meski nggak dipikirkan, akan mempengaruhi hidup lo nantinya."

Belum sempat Revan membalas, Dirga sudah memanggilnya. Sasha ditinggal sendiri untuk membereskan barang-barangnya. Sebelum pulang, Sasha hendak mengembalikan lemon tea itu pada Dirga, tapi tidak menemukannya. Magda, salah satu pegawai Dirga yang saat ini mengambil alih peran Dirga di belakang kasregister, bilang kalau Dirga dan Revan sedang ada di belakang.

Sasha kemudian menyusul. Tanpa tahu kalau dia sedang berjalan menuju bahaya.

::::::

Here's your tragic back story, y'all. Aku baru proses nulis bab 14 nih, jadi harus sabar ya karena aku mau selesaiin bab itu dulu baru post bab 13. :")

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro