Evidence 19: A Better Plan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sori nih ye, lu dilarang ngamen di sini."

Sang kondektur langsung menahan Revan yang baru saja melompat menaiki bus ini. Revan bahkan tidak tahu ke mana bus ini mengarah. Dia hanya asal naik untuk menghindari Dirga yang menawarkan bantuan padanya, sama seperti Sasha. Bantuan yang, sayangnya, harus Revan tolak demi kebaikan bersama.

Sasha dan Dirga memang sepertinya sudah gila. Tidak mungkin ada orang sebaik mereka. Antara mereka sudah gila, atau Revan yang sudah hilang akal. Bagaimana mungkin mereka sangat ingin menolong Revan sampai mengabaikan bahaya yang bisa menimpa mereka? Hanya orang yang sudah gila yang bisa berpikir seperti itu. Orang waras akan melindungi diri sendiri sebisa mereka.

Jika mau jujur, tentu saja Revan sangat ingin menerima bantuan itu. Dia sudah muak dengan semua yang dilakukan si bos kampret itu. Revan akan mengambil kesempatan apa pun untuk bisa melarikan diri sejauh mungkin, bahkan ke luar pulau pun dia mau. Asalkan si bos kampret tidak akan bisa menemukannya. Biar bagaimanapun, si bos kampret hanya punya kekuasaan di daerah tertentu.

Revan tahu perangai si bos kampret. Dia bisa bertingkah begitu mengintimidasi jika ada di ruangannya, tapi sebenarnya dia pengecut. Konon dia pernah mengacau di daerah kekuasaan orang lain, dan nyaris mati karena dihajar habis-habisan oleh penguasa daerah itu. Sejak saat itu, dia tidak pernah berani mengurusi apa pun yang ada di luar daerah kekuasaannya.

Andai saja dia betulan mati. Revan tidak perlu lahir. Semua ini tidak perlu terjadi.

"Heh, malah ngelamun, lu."

Sepertinya Revan terlalu lama terdiam. Ekspresi si kondektur sudah begitu jelek. Revan buru-buru menjawab sebelum dia didorong dari bus yang melaju cepat, "Gue nggak berniat ngamen."

"Mau ke mana lu?"

"Gue turun di perhentian lo berikutnya."

Dengan begitu, si kondektur jadi lebih tenang. Revan membayar sekadarnya. Untung dia sudah mengamen di tempat lain sebelumnya. Setidaknya dia punya sedikit uang dalam kantongnya.

Si bos kampret sekarang menyuruhnya mengamen di beberapa tempat sekaligus. Mungkin supaya tidak mudah dilacak oleh orang-orang dari Lentera Damai. Urutan tempatnya juga tidak pernah jelas. Tahu-tahu saja dia dijemput dan diturunkan di tempat lain. Si bos kampret juga menyuruhnya mengamen di angkot, yang biasanya tidak pernah dia lakukan karena para penumpang pasti jadi senewen. Pasti supaya Revan bergerak dan keberadaannya jadi sulit dilacak.

Juga mungkin supaya dia terlalu lelah untuk berpikir atau melakukan apa pun seperti membuat rencana kabur yang lebih bagus. Tujuan itu berhasil, karena setelah Revan menyerahkan uang hasil mengamennya, dia langsung tidur nyenyak sampai besok pagi. Kampret memang.

"Loh, Mas Revan?"

Revan menoleh pada orang yang memanggilnya. Supir bus ini terlihat familier, tapi Revan masih belum bisa mengingat siapa. Dia pasti terlihat sangat bingung, karena supir bus itu tertawa.

"Saya Joko, yang sempet ketemu di Lentera Damai."

Ah, benar. Jangan bilang Joko dikirim juga oleh Pak Tim atau Sasha untuk membujuknya kembali ke Lentera Damai. Tapi jika itu benar, apa mungkin Revan bisa melompat ke bus yang dikendarai Joko? Kemungkinan tidak. Semua ini terlalu kebetulan untuk direncanakan.

"Ohh, iya," balas Revan, tidak tahu harus bilang apa.

"Apa kabar, Mas e? Saya udah lama ndak liat di kosan."

"Gue udah nggak tinggal di situ." Bagaimana cara menjelaskan pada Joko kalau Revan sudah diseret balik ke organisasi jahat yang saking jahatnya membuat Revan berusaha kabur dan tiba di Lentera Damai pada mulanya? Entahlah.

"Owalah, gitu.... Masih ngamen di jalanan toh? Perasaan Mas e udah dapet kerja di kafe gitu?"

Tiba-tiba lidah Revan terasa pahit. "Nggak cocok."

Bus berhenti di lampu merah. Revan melihat ke jalanan dan menyadari kalau dia tidak begitu mengenali daerah ini. Setelah merasakan kepanikan sesaat, Revan mendapatkan pencerahan—mungkin dia bisa membeli tiket bus dan pergi ke luar kota. Entah ke mana, Revan masih tidak bisa menentukan. Tapi rencana ini bisa berhasil.

"Pak," Revan memanggil Joko, "bus lo bisa pergi ke mana aja?"

"Maksud e gimana, Mas?" tanya Joko bingung. "Kalau saya cuma di Jakarta Barat aja."

"Maksud gue, ada bus yang pergi ke luar Jakarta, nggak? Kalau iya, ke mana aja?"

"Owalah, sek." Joko berpikir sejenak. "Kayak e ke semua Jawa bisa kok, Mas. Kemarin aja Mas Arga sempet mudik ke Malang, ke tempat saudaranya. Katanya ada loncing (re: launching) lagu gitu."

"Ada apa?"

Joko fokus menyetir, tapi Revan yakin pria itu tampak sedikit malu. "Eh, itu lho, Mas, ada orang bikin lagu terus bikin konser buat ngasih tahu orang soal lagunya. Saya ndak begitu paham juga."

"Emang saudaranya Arga penyanyi?"

"Katanya sih punya tempat buat merekam lagu gitu."

Perusahaan rekaman. Revan teringat lagi pada mimpinya: menjadi penyanyi terkenal. Menciptakan lagu-lagu yang viral dan disukai seluruh penduduk Indonesia. Bernyanyi dengan hati senang karena tidak perlu dibayang-bayangi oleh bos kampret. Jadi idola banyak orang. Kalau Revan bisa jadi penyanyi sukses, dia bisa berkendara dengan mobil ke mana-mana. Mungkin dia bahkan tidak perlu menyetir—orang lain akan menyetir untuknya. Dia akan tertawa di dalam mobil. Dia akan memberikan banyak uang pada pengamen yang mendekatinya. Hidup tidak akan kampret lagi.

Revan jadi berpikir-pikir. Rencananya harus dimatangkan dulu sebelum dia berani bertindak, tapi sebuah gambaran mulai muncul.

"Pak, gue minta nomor lo, boleh?" tanya Revan kemudian. "Sama nomornya Arga."

"Boleh, boleh," kata Joko sambil mengangguk. "Sek, tak cari kertas sama bolpen dulu."

Bus berhenti di sebuah halte kecil. Revan turun setelah membayar pada si kondektur bermuka masam. Dia mendekati sisi pengemudi, dan Joko terlihat sedang menuliskan dua nomor di secarik kertas. Revan memang tidak punya ponsel, tapi dia pasti bisa mencari cara lain untuk menelepon.

"Makasih, Pak. Nanti gue hubungi kalau gue pengin pesen tiket bus."

Joko mengangguk. "Oke, Mas. Mau pergi ke mana, emang?"

Revan mengedikkan bahu sambil menyeringai. "Belum tahu. Tapi, siapa tahu gue pengin jalan-jalan."

::::::

Hari ini berjalan cukup baik. Revan berhasil mencapai target dan melebihinya sedikit. Hari si bos kampret juga pasti berjalan bagus karena dia tidak berkomentar banyak. Untunglah. Kaki Revan berasa remuk karena dia harus berjalan cukup jauh, jadi yang dia inginkan hanyalah mandi dan tidur. Revan butuh waktu cukup lama untuk menemukan kembali jalan yang jelas-jelas dilewati angkot si bos kampret.

Baru saja Revan membaringkan badan di atas kasur, pintu kamarnya diketuk. Suara Leah yang memanggilnya membuat Revan beranjak dan membukakan pintu. Leah tersenyum, membawa nampan berisi segelas susu dan setangkup roti. Sebelum dipersilakan, Leah sudah masuk ke dalam.

"Kamu udah makan malem, belum? Belum kan? Cuma ada roti, nggak apa-apa, ya. Itu rotinya diolesin selai kacang kok. Sama ada susu kalau masih laper."

Revan kemudian menutup pintu. Perutnya tiba-tiba berkerucuk. "Nggak apa-apa, kok."

Leah berbalik menghadapnya. Tangannya kemudian mengusap luka gores di pipinya yang sudah mulai mengering. Dua hari lalu Revan ditampar si bos kampret akibat beradu argumen. "Udah kering. Untunglah. Kamu enggak dipukulin lagi, kan?"

"Enggak." Revan menggeleng. Di hadapan Leah, apa lagi Leah yang sekarang memberikan perhatian ekstra padanya, rasanya Revan ingin bertingkah seperti anak kecil lagi. "Semoga."

"Jangan, deh. Aku sedih liat kamu babak belur gitu. Ganteng-ganteng gini kok...."

Wajah Revan memanas. Baru kali ini dia dibilang ganteng. Memang sih, yang bilang seperti itu Leah. Rasa-rasanya semua ibu pasti menganggap anaknya sendiri ganteng. Meski begitu, untuk Revan, ini pertama kalinya dia dipuji seperti itu. Lucu bagaimana dia baru merasakan menjadi anak pada umumnya di usianya yang sudah di atas 20 tahun.

"Omong-omong," ujar Leah kemudian, saat Revan sudah mulai menyantap rotinya, "di bawah piring ada uang. Cuma 50 ribu aja. Itu uang tips dari klien yang aku sisihkan sebagian. Disimpen baik-baik ya. Buat bekal kamu kabur."

Revan berusaha membalas dengan mulut penuh, tapi karena Leah meliriknya tajam, Revan menelan makanannya dulu. "Emangnya udah aman untuk kabur lagi?"

"Menurutku belum. Kamu harus bikin rencana dulu. Tapi kamu harus nabung dulu biar kalau rencanamu udah siap, kamu bisa langsung pergi."

"Aku berpikir untuk pergi sejauh mungkin. Keluar dari wilayah kekuasaan organisasi. Kira-kira, wilayah kekuasaan organisasi sampai ke mana aja?"

Leah berpikir sebentar. "Kalau wilayah organisasi Dadan sih, cuma di Jakarta aja. Tapi kayaknya dia kerja sama dengan banyak organisasi lain. Kalau kabur, mending keluar dari Jabodetabek aja deh."

"Malang aman, kan?"

"Aman." Leah memicingkan mata. "Jangan-jangan kamu udah punya rencana?"

"Udah mulai kebentuk, sih. Tapi belum tahu mau gimana."

Untuk sesaat, mereka hanya terdiam. Revan tahu, rencananya harus benar-benar matang sebelum dia bisa menjalankannya—dia juga masih harus mencari uang. Mungkin butuh beberapa minggu. Jantung Revan berdetak begitu kuatnya membayangkan kemungkinan dirinya melarikan diri.

"Coba aku bisa ikut kamu, ya." Leah tersenyum tipis. "Kita baru baikan beberapa minggu. Aku harusnya mulai memperhatikan kamu lebih awal. Maaf, ya. Kamu nggak seharusnya hidup seperti ini."

Leher Revan terasa tercekik mendengarnya. Revan punya banyak penyesalan yang sama akhir-akhir ini. Mungkin dia seharusnya lebih banyak berbicara pada Leah, satu-satunya orang yang bisa dia andalkan di lingkungan ini. Jika saja mereka menjadi akrab dengan lebih cepat. Mungkin hidup tidak akan terasa sebegitu pahit, dan semesta tidak akan terdengar sebegitu kampret.

"Ikut aja," usul Revan, sebelum otaknya bisa berpikir lebih lanjut. "Caranya tinggal dipikir nanti-nanti. Tapi mending..., uh, mending Ibu ikut aja."

Leah terdiam. Revan bisa melihat matanya berkaca-kaca. Kata itu masih aneh diucapkan, tapi Revan merasa Leah sudah layak dia panggil Ibu. Leah sudah menjadi ibunya beberapa minggu terakhir. Sudah sepantasnya Revan menghormati Leah dengan memanggilnya dengan sebutan yang layak.

"Kamu pasti masih laper, makanya nggak bisa mikir waras," kata Leah sambil beranjak. "Udah, habisin aja dulu. Kalau perlu nambah, kamu cari aku di dapur, ya."

Sebelum Leah berjalan lebih jauh, Revan memeluknya dari belakang. Dia bisa merasakan air matanya menggenang. "Aku serius. Aku nggak mau pisah dari Ibu."

Tangis Leah sudah mulai deras. Dia berbalik memeluk Revan. "Dasar kamu. Jangan pikirin aku, oke? Pikirkan dirimu sendiri dulu."

Leah mencium pipi Revan sebelum melepaskan pelukannya dan pergi secepat kilat. Tekad Revan justru semakin membulat. Dia akan kabur dari sini. Dan dia akan membawa Leah bersamanya.

::::::

jangan kasih tau siapa-siapa ya Revan mau ke mana :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro