Evidence 4: Over the Limit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Revan mengumpat saat malam sudah semakin larut, dan kebanyakan penjual warung makan tempatnya berkeliling sudah membereskan tenda mereka. Entah sedang sial atau apa, seminggu terakhir dia tidak bisa memenuhi target. Kampret, memang.

Revan sudah ingin mempercayai semesta kampret saat gadis bernama Sasha itu datang memberinya makanan. Mungkin semesta sedang lelah berbuat jahat. Tapi nyatanya, satu kebaikan itu harus dibayar dengan seminggu tanpa bisa memenuhi target sama sekali. Sialan. Satu-satunya hari penghasilannya lumayan adalah saat dia bertemu dengan Sasha, yang kembali menawarinya masuk organisasinya.

Semesta sepertinya suka bercanda. Revan dikasih kesialan yang melimpah ruah, sementara Sasha diberi keberuntungan yang tidak ada habisnya. Cewek itu sepertinya punya segalanya—dia terlihat mapan, berpendidikan, juga paras yang lumayan. Dia tidak butuh apa pun! Beda dengan Revan, yang butuh segalanya yang dimiliki cewek itu. Apa sih, yang semesta pikirkan, saat dia sedang bagi-bagi takdir?

Revan menaiki tangga rusun dengan muka kusut. Nindi, yang setiap kali Revan pulang sudah ongkang-ongkang kaki sambil membaca majalah, tertawa begitu puas. Cewek itu memang aneh. Dia sepertinya senang sekali kalau Revan gagal memenuhi target dan dihukum. Memang, tidak ada orang di sini yang layak disebut keluarga, meski keluarga biologis Revan semuanya ada di sini.

"Kusut amat," ujar Nindi. "Lagi sepi? Udah, ngecopet aja."

Dulu, Revan sempat diajari mencopet juga. Anak-anak laki-laki di sini pasti diajari mencopet atau mengamen—beberapa yang punya paras lumayan disuruh ikut menjajakan diri di Virginia's Bar, dan sebagian yang punya kemampuan fisik bagus disuruh jadi penjaga atau tukang pukul. Revan beruntung, karena dia punya suara yang bagus. Dia benci mencopet.

"Bacot, lo," gerutu Revan. "Mending lo urusin cewek-cewek si bos kampret."

"Idih, ngambek, nih? Omong-omong soal si bos, lo udah dicariin sedari tadi."

Revan sudah tahu itu. Pasti si bos kampret hendak mengomelinya karena tidak bisa memenuhi target seminggu ini. Satu hari buruk masih ditoleransi. Seminggu? Bisa keluar dari ruangan si bos dengan satu tonjokan di mata saja bisa dibilang sudah sangat beruntung. Entah apa yang akan dilakukan si bos kampret itu.

Saat Revan membuka pintu, Dadan sedang berbicara pada seorang wanita. Revan mengenalinya sebagai Leah, ibu kandungnya, wanita yang dipercaya mengurus klien dan jadwal para Virginia's Angels. Dia tidak bisa sepenuhnya menyebut Leah sekampret Dadan—Leah hanya menuruti perkataan Dadan tanpa bisa memberikan pendapat apa pun. Tetap saja, dia bukan ibu yang baik karena tidak bisa membela anaknya.

Nindi turut masuk dan menutup pintu di belakang Revan.

"Apaan, nih? Reuni keluarga?" tanya Revan sembari melemparkan tasnya.

Dadan tidak segera membalas. Dia membuka tas Revan dan menghitung isinya. Leah ikut melongok, ingin tahu seberapa mengenaskan nasib Revan malam ini.

"Apa-apaan ini!" Dadan membanting tas kosong Revan. "Kurang dari target lagi. Yang becus dong, kalau kerja! Memenuhi target aja nggak bisa!"

Revan menggertakkan gigi. Dia tidak ingin membalas. Dadan benci dibalas, dan membuatnya marah bukanlah langkah terbaik yang bisa dilakukan Revan. Setidaknya, itulah yang sedari tadi akal sehatnya ucapkan.

Dadan berdiri dengan kasar. Kursinya terdorong jatuh, membuat Leah menyingkir. Revan tetap diam saja, menatap apa pun selain Dadan. Nindi terdengar tersenyum, entah apa yang membuatnya sedemikian puas—sepertinya dia begitu senang membayangkan Revan dipukuli.

Kampret. Semesta kampret. Takdir kampret. Revan membenci hidupnya. Dia benci segalanya.

"Lo ngapain aja, hah?" Dadan merenggut wajah Revan dengan tangannya, memaksa Revan menatapnya. "Semingguan ini pasti cuma leha-leha, kan? Nggak kerja kan lo?"

"Kerja, kok," sahut Revan.

"Kerja apaan? Hasil kayak gini kerja?" Dengan kasar, Dadan melepaskan Revan. "Nggak becus!"

Revan terhuyung, nyaris jatuh. Untung saja dia berhasil menahan tubuhnya agar tidak jatuh dengan menyedihkan. Harga dirinya terluka sejadi-jadinya. Meski demikian, Leah hanya menatapnya iba tanpa berniat membantu, dan Nindi justru tersenyum melihatnya. Keluarga kampret.

"Seminggu ini emang lagi nggak bagus," sahut Revan, mengusap pipinya yang nyut-nyutan. "Gue udah berusaha."

"Berarti usaha lo nggak cukup! Kalau kurang, lo harus usaha lebih, ngerti nggak?! Gue nggak asal ngasih lo target! Percuma suara lo bagus tapi lo nggak bisa ngamen!"

"Percuma suara gue bagus tapi gue cuma ngamen!" balas Revan. Sudah sejak lama dia ingin mengatakannya, tapi selama ini dia terlalu sayang pada badannya. Sekarang, dia tidak ingin peduli lagi. Dia tidak peduli lagi apa yang dikatakan akal sehatnya. Jika semesta ingin dia dihajar, biarlah itu terjadi. Revan sudah lelah terus-terusan diam.

"Mulai berani, ya?"

Dadan melayangkan sebuah tinju pada Revan, tepat mengenai pipi kanannya. Leah menjerit saat tubuh Revan menghantam lantai. Rahangnya terasa begitu sakit. Revan berdiri, tanpa ragu menantang Dadan. Ekspresi bos kampret itu begitu kesal. Di sudut matanya, Nindi bersandar pada pintu, menonton perkelahian ini dengan senyum lebar.

"Mungkin lo bisa coba ngamen suatu hari nanti. Lo rasain sendiri gimana susahnya menuhin target gila lo," ujar Revan. "Biar lo nggak cuma ongkang-ongkang kaki seenaknya di sini, di ruangan dingin lo ini."

Dadan mengepalkan tangannya kesal. Sebelum dia melakukan apa pun, dia berkata, "Leah, Nindi, masuk."

Nindi hendak memprotes, tapi dia menurut. Bersama dengan Leah yang terlihat pucat, mereka masuk ke dalam kamar di sebelah. Revan yakin, dia akan dihajar habis-habisan. Dia jadi sedikit menyesali keputusannya melawan bos kampret itu, tapi sudah tidak mungkin lagi dia mengubah keputusannya.

Dadan menghajar Revan di wajah lagi, begitu kerasnya hingga Revan terjatuh lagi.

"Ini karena gagal memenuhi target," ujarnya. "Dan ini," katanya selagi menendang Revan hingga Revan menabrak dinding, "karena bersikap sebagai anak kurang ajar."

Revan meludah, mengeluarkan cairan merah yang dia yakini adalah darah. Sialan. Seluruh bagian tubuhnya mengirimkan sinyal kesakitan. Dadan sepertinya belum puas, karena dia mencengkeram kaos Revan dan menariknya berdiri. Dadan sempat mendaratkan sebuah tinju lagi. Entah berapa tonjokan yang akan diterima Revan jika dia tidak sempat menahan tangan Dadan dengan sisa tenaga yang masih dia miliki.

"Kenapa, udah nggak kuat?" ledek Dadan. Dia lalu melepaskan Revan begitu saja. "Itu pelajaran buat properti yang kurang ajar. Ngerti?"

Kepala Revan berputar, membuatnya tidak mampu membalas. Dia hanya berbaring di lantai tanpa bergerak—melakukan sedikit saja gerakan langsung melipatgandakan rasa sakit yang sekarang dia rasakan. Semoga tulang-tulangnya tidak ada yang patah.

Astaga, betapa inginnya Revan langsung mati saja. Hidup tersiksa seperti ini, lalu apa gunanya dia hidup lebih lama lagi? Lebih baik mati. Semuanya selalu lebih mudah diselesaikan dengan kematian. Tapi, itulah yang membuat Revan tidak boleh mati. Mati itu mudah. Terlalu mudah. Dan Revan tidak pernah diberkati dengan kemudahan.

Dadan memanggil beberapa anak buahnya masuk. Dua laki-laki bertubuh kekar itu mengangkat Revan, mengeluarkannya dari ruangan. Revan dikembalikan ke kamarnya sendiri, sebuah ruangan sempit yang hanya berisi kasur, lemari baju, dan nakas kecil yang bobrok. Gitarnya dilemparkan seenaknya ke lantai—semoga saja gitar itu tidak rusak. Setelahnya, ruangan dikunci dari luar. Revan dilarang makan, mandi, dan melakukan apa pun sebagai hukuman untuknya, hingga entah berapa lama.

Revan menghela napas saat dia berhasil merebahkan badan di atas kasur. Rahangnya berdenyut parah, mulutnya terasa tidak enak—dia sempat-sempatnya meludahkan darah tiga kali sebelum mulutnya terasa lebih baik—dan perutnya melilit. Dia lapar, dan tubuhnya babak belur. Rasanya, skenario masuk akal dari kejadian ini adalah mati dalam tidur, entah karena dia kehabisan oksigen, mengalami pendarahan hebat, kelaparan, atau ketiganya.

Tapi, tidak, Revan terlalu sial untuk mati. Karenanya, dia masih terus hidup.

Di tengah-tengah kondisinya yang kacau balau, Revan sempat teringat akan kartu nama yang dia kantongi. Dengan tenaga yang tersisa, dia meraihnya. Kartu nama itu sudah lecek—tertekuk dan berminyak, saking seringnya Revan memainkannya. Meski begitu, Revan masih dapat membaca dengan jelas setiap tulisan yang tertera di sana. Sasha Widjanarko. Mahasiswi Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran. Relawan. Lentera Damai. Nomor yang bisa dihubungi. Alamat kantor Lentera Damai.

Kesadarannya menipis—dia terlalu mengantuk, lelah, dan kesakitan untuk berpikir—tapi Revan masih sempat merancang rencana kasar. Besok, saat dia sudah boleh keluar dari kamar dan mengamen, dia akan kabur. Dia akan pergi, menemui Sasha Widjanarko, dan meminta bantuannya. Entah apa yang bisa dilakukan Sasha untuk menolongnya, tapi ini layak dicoba.

Toh, sejauh ini semesta hanya baik pada Revan melalui Sasha, kan? Mungkin semesta mulai bosan mendengar seruan kejengkelan Revan dan umpatannya, sehingga ia menunjukkan belas kasihan dengan memberikan jalan. Revan benar-benar berharap dia bisa diselamatkan setelah ini.

Bolehkah dia mengharapkan itu? Revan memejamkan mata sambil merapalkan doa dalam hati. Menyerah pada kelelahan dan keputusasaan, Revan berdoa sekuat tenaga.

Semesta, tolong jangan bersikap kampret, sekali ini saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro