Theory 2: A Bad World

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cukup tau tanam dalam diri, tak usah ku dekatimu lagi. Ku tak mau lagi, tak mau lagi bersamamu kasih...

Pemilik mobil itu tidak bergeming. Revan cukup tahu untuk menjauh setelah lima detik jika pengemudi atau penumpang mobil itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan mencari uang receh. Revan berpindah ke mobil belakangnya, berharap lebih beruntung.

Jakarta begitu panas, meski sedari tadi langit agak berawan. Revan sudah mandi keringat. Kulitnya makin terbakar saja, membuatnya semakin tidak nyaman. Sialan. Kenapa juga Revan pakai baju warna hitam tadi pagi? Pulang nanti, dia pasti sudah matang, siap disantap dengan nasi putih hangat dan kecap manis.

Mobil-mobil sudah mulai bergerak maju. Revan menoleh. Lampu sudah berubah hijau. Cepat-cepat dia menyingkir dari jalan, menaiki pembatas jalan hitam-putih. Tali gitarnya menggesek kulit sedikit terlalu kencang saat dia menurunkan gitar dan berjalan ke depan perempatan. Sudah siang dan dia belum mendapatkan uang banyak. Semoga hari ini masih cukup baik dan dia bisa mencapai target.

:::::

Matahari sudah hampir terbenam. Dari tempatnya berdiri, Revan bisa melihat cahaya matahari perlahan-lahan tenggelam ditelan garis langit Jakarta. Dia menghitung jumlah uang di kantongnya. Hanya 50 ribu lebih sedikit. Kampret, memang. Sudah merelakan diri dipanggang seharian, target hariannya belum tercapai—masih jauh, bahkan.

Ah, tapi sudah tertebak. Mengamen di jalanan memang tidak menghasilkan terlalu banyak uang. Biasanya Revan panen hasil saat mengamen di warung-warung tenda, berputar dari satu tempat ke tempat lain dan kembali ke tempat awal. Begitu terus sampai dia mencapai target harian. Tanpa peduli dia babak belur, gemetar kelaparan, menggigil kehujanan, atau mengipasi diri kepanasan.

Perutnya berbunyi. Sejak pagi, dia belum makan. Sepertinya dia harus membeli roti, baru lanjut mengamen di warung-warung pinggir jalan.

Hidup di jalanan sungguh keras, dan Revan mengutuk semua orang yang menjerumuskannya dalam hidup seperti ini. Bajingan kampret seperti bosnya tidak harus melakukan apa pun—cukup ongkang-ongkang kaki menunggu suruhannya datang mempersembahkan uang. Sok-sokan peduli pada bakat menyanyi dan bermain gitarnya, padahal memanfaatkan bakat itu dengan licik.

Revan berhenti di dekat stan kecil di pinggir jalan yang menjual roti-rotian dan minuman oplosan. Dia benci minuman-minuman seperti itu. Tenggorokannya terasa terbakar dan dia tidak bisa bernyanyi seminggu, kehilangan kesempatan mencari uang. Setelahnya, Revan bersumpah dia tidak akan pernah menyentuh minuman semacam itu. Bos bisa membuat hidupnya lebih mengerikan lagi daripada sekarang, padahal Revan sudah merasa seperti hidup di dalam neraka.

Sial, mungkin memang sekarang Revan ada di neraka. Di kehidupan lalu dia sebejat apa, sih, sampai harus disiksa seperti ini?

Setelah membeli roti termurah yang bisa dia temukan—roti seukuran kurang dari genggaman tangannya itu harganya lima ribu, sungguh kampret—Revan bergegas menggigitnya sambil berjalan ke warung-warung makan. Dia harus segera mengamen, supaya bisa mendapat lebih banyak uang.

Warung pertama menjual mi ayam dan bakso. Penjualnya adalah bapak-bapak sinis yang selalu melirik Revan dengan ketidaksetujuan di matanya setiap kali Revan menjejakkan kaki di dalam warung. Revan memilih mengabaikannya dan lanjut mengamen. Dia dapat lumayan di sini, berhubung ada seorang anak kecil yang malah minta dinyanyikan lagu ulang tahun.

Warung berikutnya menjual nasi goreng jawa. Baunya selalu sukses membuat perut Revan melilit, tapi dia menahan diri. Pemilik warungnya sedikit lebih tua dari Revan dan selalu menyapanya setiap kali dia memasuki warung, sesekali juga menawari sesendok dari apa yang sedang dimasaknya. Meski tidak berniat memanfaatkan, tawaran sebaik itu tidak boleh disia-siakan.

"Hei, mi nyemek jawanya barusan jadi nih, mau nyobain, nggak?" Bayu menyapa Revan. "Enak, lho."

"Masakannya Mas Bayu nggak mungkin nggak enak, sih," balas Revan sambil nyengir. "Boleh, Mas."

Tentu saja, Bayu tidak sebaik itu. Setiap minggu, dia selalu meminta jatah sepuluh ribu untuk mengamen di warungnya, juga untuk suapan makanan yang Revan terima. Mana ada orang yang betulan baik di dunia ini. Revan ingin menolak, tapi menolak berarti kehilangan satu warung tempat panen uang, jadinya dia membiarkan Bayu memalaknya. Lagi pula, sepuluh ribu seringkali bukan jumlah yang banyak dibandingkan dengan penghasilannya minggu itu.

Setelah menyuap mi nyemek itu—yang betulan enak meski penjualnya kampret—Revan melanjutkan pekerjaannya.

Beragam warung menjadikan jalanan ini tempatnya berjualan—jalan penuh kuliner ini jadi salah satu penyelamat bagi pengamen yang dikejar target harian seperti Revan. Di sini, dia akan menghasilkan begitu banyak, seringkali melebihi targetnya. Rasanya Revan ingin sekali hanya mengamen di sini, tidak perlu menyiksa diri di bawah sinar terik matahari, tapi dia tidak bisa ketahuan bermalas-malasan.

Dia menghasilkan lumayan sekali. Mungkin cukup dua atau tiga putaran lagi untuk mencapai target yang dia punya. Revan menyimpan uang yang sudah dia hitung ke dalam tas kecil yang dia punya. Tepat saat dia hendak kembali ke warung bapak sinis, seseorang menyambar tas itu dan lari membawanya.

Sialan, dia dicopet!

"HOI!" seru Revan. "BALIKIN TAS GUE!"

Dia buru-buru mengejar si pencopet. Dari postur tubuhnya, sepertinya itu Habib, salah satu pencopet yang bergabung ke dalam organisasinya. Bajingan licik itu memang seringkali mencapai target dengan mencuri hasil anggota organisasi lain, seperti hari ini. Kalau Revan kalah cepat, dia pasti akan dipukuli habis-habisan oleh Bos. Dia tidak mau kerja kerasnya hari ini sia-sia.

Dengan gesit Habib berlari melewati kerumunan orang. Setiap pencopet di organisasi pasti telah dilatih berlari secepat kilat, sebisa mungkin memilih rute pelarian yang membuatnya mustahil dikejar. Gitar yang bergelantung di punggung Revan membatasi pergerakannya, tapi dia tidak bisa menitipkannya di suatu tempat. Setelah tasnya dicuri, dia tidak mungkin mengambil risiko gitarnya ikut dicuri.

Meski begitu, Revan tahu kelemahan Habib. Cowok itu tidak bisa berlari cepat lebih lama dari sepuluh menit—setelahnya, kecepatannya akan menurun, dan lima menit kemudian dia pasti sudah kelelahan. Jadi, meski tertinggal agak jauh, Revan masih bertahan dan mengejar Habib. Selama Habib masih dalam pandangan, Revan tidak akan menyerah.

"Permisi," gumam Revan, berusaha sopan pada para pejalan kaki. "Permisi, saya mau ngejar—PERMISI, ADA YANG MENCURI TAS SAYA."

Untungnya, orang-orang sudah pada menyingkir saat Habib pertama kali melewati mereka, jadi Revan tidak kesulitan mengejarnya. Habib, yang berada kira-kira sepuluh meter di depan Revan, terus-terusan menoleh ke belakang, mengecek apakah Revan masih mengejarnya.

Berlari cepat sepuluh menit sangat menguras tenaga—belum lagi Revan harus kembali untuk mengamen lagi, mengumpulkan sisa target yang belum terpenuhi. Bajingan kampret seperti Habib memang pantas mendapatkan tonjokan di wajah, tapi demi menghemat energi, Revan memutuskan untuk tidak melakukannya.

Setelah sepuluh menit, Habib mulai melambat. Dengan mudah Revan menangkap bajingan kampret itu, menjatuhkan Habib ke tanah. Dirampasnya kembali tasnya dan mengecek uangnya. Tampaknya Habib belum sempat mengambil atau mengeluarkan apa pun.

"Dasar bajingan," gerutu Revan. "Bajingan rendahan."

"Antara lo atau gue," balas Habib, merujuk pada siapa yang akan dihukum jika tidak memenuhi target Bos. "Anjir, susah banget dapet mangsa."

"Seharusnya lo cukup tau buat nggak ngejerumusin gue juga. Gue nggak serendah itu sampai bikin temen gue celaka."

Habib tidak membalas.

Revan meninggalkannya, kembali menuju tempatnya mengamen semula. Perutnya keroncongan dan tenaganya habis. Sialan, waktunya terbuang sia-sia, dan sekarang dia harus mengisi perutnya dengan sesuatu. Kampret.

:::::

Sebuah angkot menjemput Revan, membawanya ke sebuah rusun kumuh yang masih tersisa di kota metropolitan elite ini. Gedung-gedung pencakar langit yang anggun tidak mampu menutupi jejak kekotoran Jakarta—selamanya menjadi noda yang tidak bisa hilang meski sudah dicuci berkali-kali. Sudut ini termasuk yang paling kotor. Sudut yang mendapatkan kehidupan dari dosa-dosa manusia bejat.

Virginia's Bar masih ramai jam segini. Dari luar, tempat itu memang terlihat seperti diskotik murahan yang meladeni masyarakat miskin di saat sedang kelebihan duit. Namun Revan tahu lebih dari itu. Di dalam bar kumuh itu, ratusan transaksi terlarang sudah dilakukan, mulai dari narkoba hingga tubuh wanita. Semuanya demi uang haram, dan semuanya dikelola oleh atasan Revan.

Manusia paling kotor di muka bumi ini pastilah Dadan. Tidak perlu diragukan lagi.

Revan bergegas menaiki tangga rusun. Nindi sudah menanti di atas, duduk manis di sofa bulukan sambil membaca majalah usang.

"Lama juga lo pergi," ujar Nindi tanpa berpaling dari majalahnya. "Lo udah ditungguin, tuh."

Revan tidak repot-repot membalas Nindi. Dia bergegas melewati cewek itu, berjalan menuju kantor Dadan di belakang. Dia harus menyetorkan uang yang dia kumpulkan hari ini.

"Oh, nggak pengin nyapa kakak lo ini?"

"Emang lo butuh disapa?" tanya Revan dingin.

Entah apa balasan Nindi selanjutnya. Revan mengetuk pintu kantor Dadan, lalu masuk tanpa menunggu balasan. Di dalam, Dadan terlihat sedang menciumi seorang gadis manis. Pemandangan yang sudah sering Revan lihat. Dia sudah melewati rasa muak—lebih kepada mengasihani perempuan-perempuan yang mau-mau saja dibodohi pria paling kampret sedunia itu.

"Oh, shi—memangnya lo nggak tau cara mengetuk pintu, hah?" tanya Dadan seraya mendorong gadis itu menjauh dengan perlahan.

Revan menatap gadis itu. Sepertinya dia adalah salah satu Virginia's Angels, alias pelacur yang meladeni pria-pria bernafsu yang datang tiap malam ke sana. Gadis itu menatap Revan malu-malu. Usianya seharusnya tidak lebih dari 17 tahun. Dadan kampret.

"Sayang, masuklah dulu ke kamar," perintah Dadan lembut. "Aku ke sana sebentar lagi."

Gadis itu menurut. Dia bergegas memasuki kamar Dadan, melesap di balik pintu.

"Nah, karena lo ganggu momen luar biasa, sebaiknya lo berhasil memenuhi target."

Revan melemparkan tasnya ke atas meja. Dadan menghitung isinya dan bersiul. Untung saja insiden dengan Habib tidak lantas membuat penghasilan Revan menurun.

"Luar biasa. Nah, beristirahatlah. Besok lo masih harus kerja menghasilkan uang."

Revan berbalik, berjalan menuju pintu.

"Nggak sia-sia lo lahir," ujar Dadan sesaat sebelum Revan mencapai pintu. "Keturunan gue emang nggak pernah mengecewakan."

Revan membanting pintu. Dia sangat membenci fakta bahwa Dadan adalah ayah biologisnya. Revan punya darah manusia kampret itu mengalir dalam tubuhnya. Bukankah itu menjadikannya kampret juga?

Semesta memang jahat. Revan sudah lama mengutuk kenyataan itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro