POROSUS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah lima belas ribu kilometer, akhirnya Brown bisa menjejakkan kaki di kota kecil itu. Beruntunglah yayasan tempatnya bekerja memberikan fasilitas penerbangan pribadi. Selain menghemat waktu dan tenaga, penerbangan pribadi memudahkan Brown untuk membawa tim dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam misi kali ini. Satu misi penting yang belum terselesaikan oleh satu orang pun, bahkan setelah sekian tahun berlalu.

"Welcome to our town, Mr. Brown!"

Seorang pria 40 tahunan menyambut Brown saat turun dari pesawat.

"Perkenalkan, saya Rudy." Pria itu mengulurkan tangan yang segera disambut genggaman mantap dari Brown.

"Bagaimana kabar'nya'?" Tanpa basa-basi Brown langsung bertanya kabar sang target.

Rudy sempat terdiam, tapi segera mengerti maksud sang tamu.

"Kabar terakhir dari staf kami, dia sedang berjemur di muara. Lokasi favoritnya," jawab pria itu sembari menjajari langkah besar Brown.

"Sejak kapan?" tanya Brown acuh tak acuh. Dengan cuaca panas seperti ini, seharusnya sang target tidak akan berjemur dalam waktu lama.

"Pukul sembilan pagi."

Brown menghentikan langkah, lalu menyambar pergelangan kiri Rudy. Jarum jam berhenti di angka tiga.

"Sudah terlalu lama. Ada yang salah?"

Rudy menggeleng tak mengerti.

"Yang mana mobilmu? Kita kesana dulu sebelum ke hotel. John! Minta yang lain untuk bergegas. Ini penting!" Brown segera memberikan instruksi kepada Rudy dan rekan timnya.

Hanya butuh dua puluh menit menuju lokasi yang dimaksud. Brown segera melompat dari minibus hitam yang membawanya. Dengan teropong binokular, pria itu segera mencari keberadaan target. Setelah terkunci, ia mulai mendekat. Sepuluh, sembilan, hingga delapan meter dari target, pria itu pun menghentikan langkah. Ia lalu mencangkung sambil mengamati targetnya dengan seksama.

Seperti ordo mereka pada umumnya, sang target asyik membatu, menikmati sinar matahari yang membasuh seluruh tubuhnya. Mulutnya sedikit terbuka dengan mata yang terpejam. Walaupun terlihat lengah, tapi Brown tahu sebenarnya sang target dalam posisi siap siaga.

Tiga, lima, hingga tujuh menit berlalu, hingga John tiba di samping Brown tanpa suara.

"Mau eksekusi buaya itu sekarang?"

Brown menggeleng. "Kita belum siap. Rencana, alat, terutama tenaga. Kita semua lelah. Aku tidak mau rencana berantakan akibat ketergesa-gesaan kita. Sabarlah. Kita tunggu besok, seperti rencana awal. Aku hanya ingin bertemu dengannya sebentar."

John mengangguk paham, lalu beranjak dari samping rekannya. Benar kata Brown, mereka butuh istirahat. Maka pria tiga puluhan itu memilih kembali ke minibus untuk berlindung dari teriknya surya di kota khatulistiwa.

Brown kembali menatap sang target, kali ini dengan teropong. Ia menatap mata yang terpejam itu. Detik berikutnya, kelopak itu terbuka. Sang pria terkejut, segera menyingkirkan teropong demi melihat gambar yang lebih utuh. Namun, tidak ada gerakan lain dari buaya itu.

Brown kembali mengamati lewat teropong. Satu detik, dua detik, hingga detik kelima, kali ini kelopak itu menutup lalu membuka. Menutup, membuka, menutup, membuka, terus berulang hingga tujuh kali. Di kali akhir, pria itu melihat aura sendu terpancar dari mata Crocodylus porosus di hadapannya. Namun, tak berlangsung lama. Si mata sendu segera balik badan dan meluncur ringan di sepanjang aliran muara.

Pertemuan antara keduanya hanya berlangsung beberapa menit. Namun, Brown merasa ada sesuatu yang salah. Waktu berjemur yang tak lazim dan berakhir tak lama sebakda kedatangannya, seolah menyiratkan bahwa reptil itu telah menanti. Brown pun tak bisa melupakan tujuh kedipan mata kuning itu. Melihat mata sendunya seolah membaca kisah yang memilukan.

"Mungkin ia berharap penuh padamu." John berkomentar saat Brown berkisah di penghujung  makan malam.

"Kau tahu, sudah bertahun-tahun ia hidup dalam penderitaan. Tanyakan saja pada Rudy."

Yang dimaksud segera mengangguk setuju.

"Pihak pemprov sudah mendatangkan banyak ahli botani dan satwa liar, bahkan kami juga sudah mengadakan sayembara. Tapi, belum ada yang berhasil. Maka kami menaruh harapan penuh pada Mr. Brown dan tim."

Brown mengangguk. Kepercayaan itu telah disandarkan ke pundaknya. Ia harus berusaha sekuat tenaga.

🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊

Pukul empat pagi, Brown terbangun dengan keringat yang mengucur deras di seluruh tubuh. Mimpi buruk menghampirinya berulang kali. Sang buaya menangis dan memohon padanya. Namun, ia tak mengerti apa yang diminta oleh si mata sendu.

Brown merasa ada yang salah. Ia segera berpakaian dan menuju kamar Rudy. Pria itu bertekad urusan kecil ini tidak perlu melibatkan tim. Mereka masih butuh istirahat. Ia hanya ingin kembali ke muara, berjumpa dengan target yang sore tadi telah menantinya.

Dengan bermotor, Brown dan Rudy menembus gelapnya malam. Fajar masih belum menyapa saat keduanya tiba di lokasi. Pria bertubuh atletis itu meminta yang lain untuk menunggu di motor. Bersiaga jika ada perihal yang mengancam.

Sambil mengarahkan senter, mencari-cari, Brown menyusuri tanah penuh bebatuan. Insting mengarahkannya ke lokasi sore kemarin. Dugaannya benar. Sang target sedang berbaring di atas pasir, tepat di titik yang sama.

[Akhirnya kau datang, Tuan Brown.]

Sebuah suara menembus gendang telinga pria itu.

"Siapa?" Brown berteriak.

"What happen Mr. Brown?" Rudy balik bertanya.

"Kau mendengar sesuatu, Rudy?"

"Mendengar apa? Hanya suara teriakanmu yang terdengar."

[Hanya kau yang bisa mendengarku, Tuan Brown.]

Suara itu kembali terdengar. Brown terkejut, segera menatap sang buaya. Suara itu bersumber darinya.

"Mr. Brown, ada apa? Apakah kau perlu bantuan?" Rudy masih bertanya, setengah berteriak.

"No. Just stay there!"

Brown kembali menyeksamai target yang berjarak lima meter darinya. Jarak mereka lebih dekat dibanding hari sebelumnya.

"Kau bisa bicara? Apa aku bermimpi?" Brown berbisik.

[Jawaban tidak untuk kedua pertanyaanmu.] Suara itu menjawab singkat.

"Omong kosong! Lalu kenapa aku bisa mendengarmu?"

[Jangan pikirkan kenapa dan bagaimana. Cukup dengarkan saja permohonanku. Jika kau berkenan.]

Walaupun masih bingung dengan yang terjadi, Brown tetap bergeming di tempatnya. Ia sungguh penasaran dengan peristiwa di luar nalar itu. Pria itu lalu mengambil posisi mencangkung demi mendengar penuturan sang buaya.

"Oke. Apa yang ingin kau sampaikan?"

[Jangan lepas ban ini dari leherku!]

Brown terbelalak mendengar sebait kalimat itu.

"Apa kau bersungguh-sungguh? Kupikir, kau sudah tidak sabar agar terbebas dari lilitan ban sepeda motor itu."

[Aku serius!]

"Bukankah kau menderita bertahun-tahun karena benda itu?"

[Huh! Kata siapa? Kalian manusia, jangan sok tahu!]

"Kami tidak sok tahu. Secara logika, benda itu akan membuatmu merasa tak nyaman."

[Huh!]

"Aku minta maaf atas nama mereka. Mereka telah berbuat jahat padamu."

[Kau pikir mereka yang menyebabkan ban ini terjerat di tubuhku?]

"Tentu saja."

[Kalian sungguh lucu. Kalian berkata bahwa aku salah mengira ban ini sebagai mangsa. Hingga aku menerkam dan malah terjebak di dalamnya. Kalian pikir kami bodoh? Tidak bisa membedakan mana mangsa dan benda mati tak berharga?]

Brown terpaku mendengar kalimat sang buaya.

[Memang ada spesies yang tidak sengaja memakan sampah-sampah kalian. Atau terpaksa harus memakannya karena tak ada lagi makanan. Namun, itu bukan aku.]

Brown masih membisu.

[Lalu kalian membuat teori lain, yang mungkin lebih masuk akal. Ada yang ingin menangkapku. Mereka menggunakan ban untuk menjaring para buaya. Itu tidak salah. Beberapa kawananku memang tertangkap dengan cara itu. Mereka lalu berakhir sebagai aksesoris di tangan atau kaki kalian. Tapi untuk kasusku, itu salah besar.]

"Lalu? Kau mau bilang bahwa kau masuk dengan sukarela?" Brown menyeringai.

[Ya!]

Satu kata singkat yang membuat Brown terperanjat.

[Aku memerangkapkan diri dengan sukarela. Sebagai bentuk protes kepada spesies manusia. Sungguh, kalian makhluk berotak yang tidak menggunakan otak. Makhluk berhati yang tidak menggunakan hati. Lalu untuk apa kedua organ itu bersemayam di tubuh kalian?]

"Hei, kau tidak boleh berkata seperti itu! Karena kami berotak dan berhati, maka kami berusaha mengeluarkan ban itu dari tubuhmu."

[Lalu, apa yang kalian dapat? Kepuasan karena mampu menyelamatkanku? Nama baik? Penghargaan? Atau apa?]

"Kenapa kau berpikir seperti itu?"

[Jika kalian memang berniat menyelamatkan kami, buaya, reptil, fauna ..., lakukanlah sesuatu yang lebih besar. Lebih bermakna. Kalian lihat sampah-sampah di bumi? Di air dan darat. Sungguh, membuang tenaga untuk membersihkannya akan menyelamatkan lebih banyak nyawa. Bukan hanya milikku.]

Brown kembali terdiam, tak sanggup menjawab.

[Kalian lihat dompet, tas, serta sepatu dari kulit reptil? Berbagai sayembara, serta dana untuk menyelamatkan satu buaya sepertiku, akan lebih bermakna jika digunakan untuk aksi atau kampanye penolakan barang-barang yang menggunakan kulit kami sebagai bahan bakunya. Produksi gila-gilaan yang hampir memusnahkan keberadaan kami.]

Tenggorokan Brown tercekat mendengar ceramah sang buaya.

[Aku sukarela mengenakan ban ini sebagai bentuk protes, agar kalian melihat hal yang lebih luas. Sudah bertahun-tahun aku bertahan. Maka kumohon, jangan rusak usahaku. Jangan lepas ban ini dari leherku. Berpura-puralah bahwa kau gagal menyelesaikan misimu.]

"Buaya! Tahukah kau? Aku adalah ahli reptil terbaik yang pernah dimiliki bumi. Anaconda di Amazon, Penyu Hijau di Pasifik, Komodo di Indonesia, Buaya Siam di Kamboja, Ular Cokelat di Australia, serta deretan reptil lain. Aku pernah menyelamatkan hidup mereka. Bagaimana mungkin aku menghancurkan reputasi dengan memenuhi keinginan bodohmu?"

[Ya. Anggaplah ini keinginan bodoh. Tapi, ini hidupku. Aku berhak melakukan apapun yang kuinginkan.]

"Lalu, sampai kapan kau mau bertahan? Beberapa tahun lagi, ketika tubuhmu makin gempal dan membesar, ban itu akan mencekik lehermu. Kau akan mati karena tak sanggup bernapas. Kau mau berumur pendek?"

[Setidaknya aku akan mati terhormat. Kalian akan menguburku dengan layak. Karena aku adalah bagian dari sejarah. Makhluk purba yang mengukir sejarah. Akhir hidup yang indah, bukan? Aku berharap, sungguh berharap, satu nyawaku akan menyelamatkan puluhan bahkan ribuan reptil lain. Dari sampah dan dari perburuan kalian.]

"Kau yakin aku akan setuju?"

[Aku yakin. Karena kau adalah ahli reptil terbaik yang pernah dimiliki bumi. Kau berotak dan berhati. Kau sangat tahu, kematianku akan memiliki pengaruh besar.]

"Apa kau yakin rencanamu berhasil?"

[Harus ada nyawa yang melayang untuk membuat reformasi. Aku hanya hidup sekali. Kuharap hidupku memberi arti. Jika aku selamat dari ban ini, spesiesmu tidak akan peduli. Mereka akan terus membuang sampah sembarangan. Juga menangkap kami dengan gila-gilaan.]

Brown menghela napas panjang.

"Buaya, bolehkah aku bertanya satu hal?"

[Apapun.]

"Apa kau meminta hal yang sama kepada setiap orang yang ingin menyelamatkanmu?"

[Tidak selalu. Aku punya naluri pada siapa saja yang berpeluang besar dan mau berjuang bersamaku. Pada merekalah aku mau menyambung asa.]

"Ah, buaya. Kau sungguh merepotkan saja."

Brown berbalik arah.

[Aku percaya padamu, Tuan Brown.]

Brown masih mendengar satu kalimat yang menyertai kepergiannya. Pria itu terus melangkah meninggalkan sang buaya sendiri di muara. Mentari di ufuk pun mulai memancarkan cahaya jingganya.

🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊

Pukul dua siang, tim sudah bersiap di muara. Penduduk setempat pun hadir dengan antusias, hendak menyaksikan misi penting pada buaya. Meski kondisi sangat ramai, sang buaya tak terganggu dan tetap menjalankan ritual berjemur di pasir muara.

Setelah menunggu waktu yang tepat, John segera membidik si mata sendu. Tiga jarum suntik khusus telah disiapkan untuk menembus kulit tebal sang hewan purba. Ketiganya mendarat tepat di titik yang telah ditentukan. Setelah sepuluh menit menunggu reaksi, Brown dan timnya segera mendekat untuk melepaskan ban yang selama ini melilit leher sang hewan berdarah dingin.

Dengan heroik, Brown duduk di punggung buaya itu, bersiap memotong ban di sisi kanan. Namun, tanpa diduga tubuh sang buaya tiba-tiba bergerak. Dalam satu hentakan, pria berambut pirang itu terpelanting. Sang buaya menggeliat, lalu lari pontang-panting menuju aliran sungai. Tim Brown yang ada di sekeliling pun terkejut bukan kepalang. Mereka tak percaya dosis bius yang diberikan tak mempan pada reptil berukuran tiga meter itu.

Brown terduduk lama, tampak terpukul. Misi penting mereka hari itu telah gagal. Penduduk bergumam dengan nada kecewa sembari perlahan membubarkan diri. Bahkan ada yang berteriak mempertanyakan gelar ahli reptil terbaiknya.

"It's okey, Bro. Besok kita coba lagi." John menyemangati rekannya. Seluruh tim pun ikut memberi suntikan semangat.

"No problem, Mr. Brown. Yang lain juga mencoba sampai berkali-kali. Walaupun gagal dan gagal lagi. Tenang saja, kami tetap percaya pada kemampuan Mr. Brown dan Tim." Rudy ikut memberi dukungan.

🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊

Tiga hari berikutnya, selama hampir 24 jam, Brown dan tim serta staf dari pemerintah provinsi, berjaga di titik-titik lokasi favorit sang buaya. Namun, buaya berkalung ban itu tidak jua tampak, di muara maupun di sepanjang aliran sungai. Brown akhirnya menyerah. Satu kata yang pantang ia ucapkan sepanjang karir. Pria itu juga meminta agar timnya turut angkat tangan.

"Kami, terutama saya, memohon maaf kepada pihak pemerintah. Kami sudah berupaya. Namun, sepertinya kami harus menyerah pada misi ini. Ini memang mencoreng reputasi kami, tapi mau bagaimana lagi." Brown menggenggam erat tangan Rudy. Sang tuan rumah mengangguk sambil tersenyum getir. Ekspektasinya pada kelompok tersebut ternyata jauh dari kenyataan.

Di perjalanan menuju lapangan terbang, Brown meminta Rudy mengantarnya ke muara. Tempat dimana ia jumpa pertama dengan sang buaya. Dengan teropong binokular, Brown mengedarkan pandangan ke sepanjang aliran sungai.

Tiga menit, lima menit, hingga menit ketujuh, ia akhirnya menemukan sang mata sendu. Hanya kepalanya yang menyembul dari dalam air. Namun, sedikit ban yang tampak membuat Brown yakin dialah buaya yang telah memberinya ceramah. Kali ini mata sang porosus menatap riang. Dengan  ekor dan kepala yang bergerak bersamaan, ia seolah mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam. Brown mengulum senyum, sembari memikirkan alasan kuat untuk disampaikan pada pemilik yayasan. Hanya ia yang tahu, obat bius dalam jarum suntik telah terganti dengan air mineral bercampur pewarna.

🐊🐊🐊🐊🐊🐊🐊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro