---Dua---

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Panas sinar matahari yang menyengat kulit menyambut Dira saat turun dari pesawat. Ia sudah diberitahu banyak orang bahwa udara Kalimantan itu lebih panas dari Jawa karena lebih dekat ke khatulistiwa. Bahkan salah satu kota di tetangga provinsi dilalui titik nol garis lintang khatulistiwa, yaitu Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Ternyata benar. Kulit Dira yang putih terasa panas dan mulai memerah.

Tidak ada bus penjemputan untuk mengantar penumpang ke terminal kedatangan karena jaraknya yang dekat. Cukup berjalan kaki tidak sampai lima menit, mereka sudah berada di teras terminal.

Sambil melangkah sepanjang aspal landasan menuju ruang pengambilan bagasi, pandangan Dira tak henti-hentinya meneliti kondisi sekitar. Ternyata seperti ini Palangka Raya, ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Kesan pertama adalah ....

Senyap?!

Di tepian bandara masih ditumbuhi hutan kecil dan padang ilalang. Bandara Tjilik Riwut—yang namanya diambil dari nama gubernur pertama provinsi ini—lebih kecil dari Bandara Ahmad Yani Semarang, dan jauh lebih sepi. Yang berada di tempat ini hanya pesawat yang Dira tumpangi.

Barangkali jumlah penerbangannya sedikit. Tapi suasana senyap ini ... aku suka!

Bagi penghuni Jakarta yang sehari-hari menerima polusi udara dan polusi suara di sepanjang jalan, perjalanan kali ini terasa mewah bagi Dira. Bebas polusi dan bebas bising.

Dira mengikuti arus orang-orang menuju tempat pengambilan bagasi. Tempat itu sederhana, hanya terdapat dua ban berjalan. Di depan ban berjalan terdapat pintu keluar yang telah terbuka lebar. Dira mengamati orang-orang yang berjubel di dekat pintu, mencari keberadaan penjemputnya.

Seorang perempuan muda berwajah bulat dan bertubuh mungil menyeruak dari kerumunan sambil melambaikan tangan.

"Dira!" Suara renyah yang tak asing itu langsung melengking. Ika melambaikan tangan di ambang pintu keluar.

Dira bergegas ke pintu untuk menjumpai Ika, sahabatnya, lalu melepas kangen dengan memeluknya.

"Hai! Udah lama nunggu?" sapanya sembari mengulurkan tas berisi oleh-oleh. Pandangan Dira beralih ke sosok jangkung yang berada di belakang Ika. "Halo, Mas Arif. Baru keluar dari hutan, nih, ceritanya?"

"Iya, nih. Demi jemput kamu," sahut Arif sambil melempar senyum manis. Dira telah mengenal suami Ika sejak mereka kuliah di Semarang.

Mata Dira kontan melebar saat melihat balita yang belum genap berusia dua tahu dalam gendongan Arif, suami Ika. "Iiiiiih! Ini Jalu, ya? Halo, kenalan dulu sama Tante Dira, dong?" Dira mengulurkan tangan ke arah anak kecil yang wajahnya cetakan wajah sang ibu.

"Jalu, ayo kasih salam sama Tante Dira!" ucap Ika. Jalu mengulurkan tangan mungilnya sambil menatap heran pada Dira. Gadis itu segera menyalami Jalu dan mencolek pipinya yang tambun.

Dira senang mendapati Ika yang segar dan bahagia dengan keluarga kecilnya. Ika adalah teman satu regu Koas saat kuliah dulu, satu dari sedikit orang yang benar-benar ia percaya. Ia terpisah dari Ika setelah lulus karena Ika sempat mengambil cuti melahirkan di saat-saat akhir siklus Koasnya. Selanjutnya, mereka hanya berkomunikasi lewat telepon dan sosial media.

Setelah menyapa Ika dan keluarganya, mata Dira celingukan mencari seseorang. Seketika ia kecewa. Sosok lelaki kerempeng, berwajah rupawan dengan hidung mancung, sorot mata lembut dan bibir kemerahan itu tidak ditemukan di mana pun.

Kaka nggak datang?

"Kaka tadi telepon aku, Ra," kata Ika seperti tahu kegelisahan hatinya. "Dia nggak bisa datang karena tempatnya jauh banget."

"Oh," sahut Dira singkat tanpa menutupi rasa kecewa.

"Kasihan Ra, dia harus naik kelotok, lalu jalan darat lagi. Kalau ditotal sekitar enam atau tujuh jam untuk sampai di sini," ucap Ika, lalu menjelaskan dengan detail betapa jauh perjalanan yang harus ditempuh Kaka bila datang ke bandara ini. "Ntar kalau kamu berangkat ke sana, kamu bisa merasakan sendiri."

Dira menjawab dengan senyuman. Ika sudah hafal sikapnya itu.

"Ra, jangan terlalu keras, dong, nanti semua cowok kabur!" goda Ika.

Bagi Ika, Dira tidak ada duanya. Bila hanya melihat fisik saja, orang akan menyangka sedang berhadapan dengan artis yang tengah menyamar tanpa mekap. Memang Dira secantik itu. Wajahnya mungil, dihiasi sepasang mata besar berbulu mata lentik. Kulitnya putih bersih, dengan badan ramping nan gesit. Gerak-geriknya anggun dan sekilas terkesan lembut feminin. Jangan salah. Dira sama sekali bukan tipe lemah lembut. Ia mendominasi, sangat mendominasi.

"Idih! Aku datang belum lima menit, tapi kamu udah pidato aneh-aneh, Ka!" Senyum lebar Dira terkembang sangat manis.

"Oh ya, Ra, nanti jangan buru-buru ke lokasi. Kamu udah persiapan untuk tinggal di pedalaman?" tanya Ika lagi.

"Perlu persiapan, Ka? Maksudmu persiapan apa?" tanya Dira sambil memperhatikan pasangan suami istri di depannya itu saling tatap sambil tertawa kecil.

"Kamu belum tanya Kaka? Kamu kepingin satu Puskesmas dengan dia di Pegatan, kan?"

Dira menggeleng. "Nggak sempat mikir itu."

Kok, Kaka enggak kasih tahu aku, sih?

"Waduuuh! Hidup di pedalaman itu jangan dipikir seperti di kota. Emang Kaka nggak bilang apa-apa sama kamu?"

Dira kembali menggeleng. Tatapan kecewa itu segera membuat Ika paham. Ia menyesal bertanya seperti itu.

"Ya udah. Kalau begitu, besok aja lapor ke Dinkes. Hari ini aku ajak keliling buat cari perbekalan," saran Ika.

☆☆☆

Akhirnya, siang itu Dira membuntuti Ika di swalayan terdekat. Sahabatnya itu menyarankan membeli beberapa barang.

"Mumpung di sini, kamu stok barang-barang pribadi favoritmu, siapa tahu di sana tidak ada yang jual."

"Aku udah ada, Ka. Lagi pula aku bisa pakai apa aja," jawab Dira santai.

Ika berpikir sejenak. "Mungkin kamu perlu kompor, panci, wajan, spatula, pisau ...."

Dira terkekeh. "Kamu dulu juga bawa bekal begituan ke tempatmu?"

"Enggak, sih. Sebelum aku datang, Arif sudah siapkan."

Dira melirik Arif yang cuma senyum-senyum.

Enak juga punya suami, ya.

Sekedar informasi, suami Ika itu memimpin perusahaan kontraktor yang punya beberapa proyek di provinsi ini. Salah satunya membangun infrastruktur perkebunan sawit dan pabrik pengolahannya. Mereka punya kamp di pedalaman Kabupaten Katingan. Itulah alasan mengapa Ika memilih kontrak di Katingan. Puskesmas Ika terletak di ibukota kabupaten, yaitu Kasongan.

"Dulu Mas Arif membeli perlengkapan untuk rumah Ika di mana?" tanya Dira pada Arif.

"Sebentar, aku tanyakan anak buahku ya, Ra. Soalnya dulu aku cuma titip uang, lalu mereka mengurus semuanya," tutur Arif.

Duh, duh! Ika, Ika, enak sekali hidupmu, Sobat! Tanpa sengaja, Dira teringat Kaka. Apa dia juga memikirkan aku sejauh itu?

"Ra, yang penting bawa uang untuk bekal hidup tiga bulan," sambung Ika. "ATM-mu bank apa?"

Dira menyebutkan salah jika nama bank swasta.

"Kayaknya di sana nggak ada. Yang ada cuma BPK[2]."

"Lalu?"

Ika menatapnya dengan pandangan gemas. "Kamu nggak mau menempuh perjalanan empat belas jam pulang-pergi hanya untuk mengambil uang di ATM, kan?" Ika melanjutkan, "Aku dulu harus menunggu tiga bulan sebelum mendapat gaji."

"Ya, ampun. Segitunya, Ka?"

Sejoli di depannya itu tertawa bersama. Dira merasa iri pada mereka. Kedua insan itu terlihat kompak. Saling memahami walau tanpa kata-kata. Begitukah rasanya pernikahan? Atau karena mereka pasangan muda, sehingga masih membara dalam gelombang asmara? Apa jadinya saat usia pernikahan mereka telah menua?

Dira membuang pandangan. Ia tahu betul seperti apa pernikahan yang sebaliknya. Menyesakkan dada.

___________________

[1] BPK = Bank Pembangunan Kalimantan Tengah 

Note:

Cerita ini akan update sewaktu-waktu.  Tapi jangan khawatir, udah tamat kok di KBM App.
Semoga suka.
Jangan lupa, follow akunku dan dukung dengan vote dan komen.
❤️
frd

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro