JUARA #RAWSBestfriend - Bagai Kepompong dan Semangkuk Bakso oleh Catsummoner

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cerita pendek berjudul Bagai Kepompong dan Semangkuk Bakso karya Catsummoner dipublikasikan ulang sebagai salah satu pemenang Lomba Cerpen #RAWSBestfriend yang diselenggarakan oleh RAWSCommunity.

***

Ada lagu yang pernah berkata, persahabatan itu bagaikan kepompong. Tanpa memikirkan lebih jauh bagaimana kelanjutan syair lagunya, aku setuju penuh dengan pernyataan itu. Bila memikirkan kepompong, yang pertama terpikir—setidaknya olehku, pasti kupu-kupu.

Kupu-kupu bukanlah sekadar serangga cantik bersayap rapuh, terbang menari di antara bunga-bunga. Bagiku, kupu-kupu adalah makhluk paling cadas ... hard-core ... paling badass yang pernah ada. Coba bayangkan, setelah berminggu-minggu mengumpulkan energi, mereka meleburkan diri menjadi sup dalam kepompongnya untuk membentuk makhluk hidup dengan penampilan yang sama sekali baru.

Persahabatanku dengan—kita sebut saja namanya: Alpha, kupilih secara asal dari kode phonetic—menempaku yang seperti ulat ini hingga memiliki kekuatan yang cukup untuk bangkit kembali sebagai aku yang baru.

Aku tidak melebih-lebihkan. Oke, mungkin sedikit berlebihan di bagian melebur diri sendiri itu. Namun kenyataan bahwa keberadaanku dulu sering dianalogikan sebagai ulat bulat yang tidak bisa banyak bergerak adalah kenyataan.

Masa sekolahku dulu, julukan: Si Lamban, Gentong,Tambun, Bengong, sudah menjadi santapan sehari-hari. Walau sesungguhnya nilai akademisku masuk rata-rata kelas, tetap saja para guru dan orang-orang lain yang berkomunikasi denganku selalu terlihat jengkel.

Hanya satu orang yang bisa mengobrol denganku tanpa harus menggertakkan gigi atau berdecak tak sabar. Ya, ... Si Alpha itu orangnya. Untuk ulat sepertiku saat itu, ada yang mau berbicara denganku di luar urusan tugas sekolah saja aku sudah cukup senang.

***

"Gong, nanti istirahat makan di kantin atau bawa nasi?"

Setelah beberapa hari bolos, begitu masuk dia langsung mendatangiku saat makan siang. Sapaannya saat itu begitu ramah dan riang sampai aku tidak sempat protes dengan caranya memanggilku.

Gong di sini sama sekali tidak ada kaitannya dengan alat musik perkusi besar dari kuningan itu, melainkan kependekan dari: Bagong, salah satu ejekan anak-anak sekelas padaku. Kebetulan mirip dengan nama asliku, jadi para guru tidak ada yang menyadari. Mungkin mereka kira itu sekadar panggilan akrab "teman" sekelas.

"Uhhh...."

Aku masih mengingat-ingat, apakah tadi pagi Emak memasukkan kotak bekal ke dalam tas sekolahku atau menyelipkan uang saku ke kantong seragam, ketika—dengan santainya, Si Alpha melingkarkan lengannya di bahuku. Tanpa sempat memberikan jawaban, tiba-tiba saja aku sudah terseret hingga kantin sekolah.

"Aku lagi ngidam makan baksonya Bu Kantin, nih ... tapi lupa bawa dompet. Kamu bayar duluan, ya? Lain kali kuganti...." Lalu Si Alpha langsung memesan dua mangkuk bakso kuah komplet pada Ibu Kantin.

Seketika wajahku memucat. Aku buru-buru memastikan apakah di saku seragamku ada cukup uang untuk membayar dua mangkuk bakso. Untungnya uang itu ada dan cukup. Tidak untungnya, uang itu seharusnya untuk ongkos pulangku nanti.

Terpekur aku memandang mangkuk bakso di hadapanku, sementara Si Alpha melahap setiap sendoknya dengan nikmat. Bagaimana caraku pulang, nanti—hanya itu yang memenuhi pikiranku saat itu. Sejak aku menghilangkan dompet di sekolah (dua kali), Emak hanya memberikan uang saku harian yang jumlahnya pas. Karena itu selain apa yang tadi ada di saku, aku sudah tidak memegang uang sepeser pun.

"Gong, kenapa ... kok diem?" tanya Si Alpha, di sela-sela suapannya. "Kamu nggak suka bakso?"

Masih tenggelam dalam pikiranku sendiri, aku menggeleng.

"YAAAHHH ... Gimana, sih ... kamu ini? Kalau ga suka, bilang dong dari tadi ... udah terlanjur pesen, juga...."

Kemudian, dia menyambar mangkuk baksoku dan mulai melahapnya. Aku hanya bisa terperangah melihatnya. Padahal maksud gelengan kepalaku saat itu adalah: aku bukannya tidak suka makan bakso, aku hanya sedang memikirkan sesuatu.

"Eh, eh ... a-a-anu ... bukan gitu, maksudku!" seruku panik. "Baksonya-...."

"Nggak usah maksain diri, lah ... Gong. Aku kuat, kok ... ngabisin dua mangkok aja sih, keciiil."

"A-a-aku nggak maksain diri!" seruku makin panik. Kalau kubiarkan, bukan hanya ongkos perjalanan pulang, makan siangku pun bakal habis.

"Sudahlah, Gong ... santai aja. Serahkan pada perut karungku!"

"NGGAK ... AKU MAU MAKAN!"

Aku berani sumpah, setelah teriakanku itu kantin sekolah kami mengalami suasana paling sepi sepanjang sejarah tiga tahun aku bersekolah di situ. Lusinan pasang mata memandang ke arah kami. Walau hanya beberapa detik, semua terdiam.

"Iya, iya ... Gong. Bercanda, kok...," ujarnya seraya mendorong kembali mangkuk bakso padaku. "Kubalikin. Gak usah ngegas gitu, dong...."

Mencoba menghiraukan pandangan mata sekeliling, aku buru-buru menghabiskan isi mangkuk. Mungkin aku akan coba menghubungi paman yang rumahnya searah untuk mengantarkanku pulang nanti. Kalau ternyata tidak bisa, terpaksa aku jalan kaki.

"Ternyata kalau kepaksa, bisa juga, 'kan?"

Gumaman terakhir Si Alpha tidak terlalu kupikirkan saat itu.

Hari itu, aku berhasil pulang dengan selamat berkat kebaikan hati pamanku. Namun omelan Emak, berdurasi dua jam non-stop, harus kuterima juga.

***

Simbiosis adalah hubungan antara dua jenis makhuk hidup yang berbeda untuk memperbesar kemungkinan bertahan hidup. Pelajaran di sekolah mengajarkan, dalam simbiosis ada bermacam-macam jenisnya. Ada yang saling menguntungkan; ada yang satu diuntungkan sementara yang lain tidak dirugikan; dan tidak lupa hubungan berat sebelah, di mana yang satu diuntungkan sementara yang lain dirugikan.

"Kayaknya kamu dimanfaatin sama Si Alpha itu, deh ... Gong!"

Yang bicara adalah ketua kelas kami saat itu. Sebetulnya dia tidak memanggilku Bagong, juga tidak memanggil temanku dengan sebutan Si Alpha, tetapi kutulis begitu saja supaya tidak membingungkan.

Sejak Si Alpha sering menghabiskan waktu di sekolah bersamaku, kasak-kusuk pembicaraan soal hubungan kami yang terlihat bagai tuan dan pelayan mulai terdengar. Namun baru kali ini ada yang bicara langsung kepadaku. Itu juga kali pertama ada orang selain Si Alpha yang membicarakan hal di luar urusan sekolah denganku.

"Tadi dia nyontek PR bahasamu, kan? Pasti karena dia sering tidak masuk jadi cuma bisa mencontek tugas anak lain. Pak Su'eb jadi marah-marah karena karangannya persis."

Terus-terang saat itu aku agak bingung dan bertanya-tanya, mengapa ketua kelas tiba-tiba menemuiku untuk membicarakan soal kemarahan Pak Su'eb. Aku, Si Alpha, dan beberapa anak sekelas yang lain sudah menerima omelan langsung dari Pak Su'eb di kelas tadi. Sebagai hukuman, bukan hanya nilai tugas kami dikurangi, kami juga mendapat tugas mengarang tambahan.

Seumur-umur, baru kali ini aku mendapatkan paket komplet: Dipanggil ke depan kelas; diomeli karena ketahuan saling contek tugas; dan diberi hukuman. Kaget, bingung, ditambah keringat dingin karena ketakutan yang membasahi punggung, semua kurasakan sekaligus. Rasanya jantungku bisa lompat keluar menembus kancing-kancing kemejaku, saking kencangnya berdebar.

Nilaiku biasa-biasa saja jadi selama ini aku selalu cari aman. Ujian maupun tugas sehari-hari selalu kukerjakan sendiri. Lagipula, siapa sih yang mau mengajak ulat lamban dan pengecut, sepertiku untuk saling contek? Kebanyakan dari teman sekelas menganggap aku terlalu bengong untuk diajak melakukan kegiatan ilegal yang membutuhkan keberanian, ketangkasan, dan kecerdikan itu.

Tugas kelompok juga—seandainya tidak dibagi secara acak atas perintah guru, aku termasuk yang dipilih terakhir. Sekadar untuk menggenapi jumlah.

Karena itu, mengerjakan tugas bersama-sama saat istirahat makan siang sebagai hukuman adalah yang pertama bagiku. Isi tugasnya berbeda dengan soal pelajaran biasa. Rasanya kami diminta untuk lebih mengeksplorasi imajinasi dan kemampuan mengarang masing-masing. Saat itu aku tak berani langsung mengakui, tetapi sebetulnya aku cukup menikmati pengalaman hukuman yang kami terima. Waktunya yang terbatas dan batas minimal kata yang harus ditulis, justru membuat tugasnya makin asyik.

"...jadi mulai sekarang, mendingan kamu jauh-jauh dari Si Alpha. Dia itu bukan teman, dia cuma jadi parasit buatmu. Dia doang yang untu-...."

Kalimat ketua kelas terhenti. Wajahnya pias. Sebuah tepukan di bahuku membuatku menoleh.

Di belakangku sudah berdiri Si Alpha. Dia tersenyum lebar. Satu sudut bibirnya lebih naik dari yang lain, di kemudian hari aku baru sadar kalau itu adalah kebiasaannya kalau sedang bersiap untuk membuat ulah.

"Tumben...," ujarnya memulai. "Ketua kelas kita sampai repot-repot ngajak ngomong eks-terhukum. Langka banget, lho!"

"Saya hanya memberi peringatan padanya," sergah ketua kelas kami seraya membetulkan posisi kacamatanya. "Untuk menjauhi pengaruh buruk parasit tukang bolos, sepertimu!"

Kukira dialog semacam itu hanya ada di drama-drama. Melihat langsung bagaimana ketua kelas mendekap erat buku absensi yang dibawanya, sembari sedikit meninggikan dagu ketika berusaha berbicara seformal mungkin kepada Si Alpha membuatku teringat akan sinetron luar negeri yang pernah kutonton.

"Aku ... parasit? Pffft!" Tanggapan Si Alpha dengan ekspresi cenderung mencibir dan lambaian tangan di udara itu membuat lengkap situasi. Kalau situasinya berbeda, mungkin aku akan tertawa geli melihat mereka.

"Semua juga sudah curiga sejak lama. Karena itu guru memintaku untuk menanyakan kondisinya secara langsung pada Gong. Sebagai ketua kelas, aku berkewajiban untuk-...."

"HA! Yakin ... beneran guru yang minta? Bukannya KAMU yang ngusulin?"

Wajah ketua kelas seketika berubah menjadi merah padam mendengar itu.

"Ribet banget, ya ... kamu jadi orang. Penasaraaan, gitu kalau nggak cari muka ke guru?"

"S-s-siapa, yang ... Aku nggak cari muka. Gong yang anak baik-baik sampai kebawa dihukum guru, kan gara-gara pengaruhmu. Kamu udah nyontek PR karangannya, dia yang kena getahnya!"

Si Alpha tidak menjawab. Dia hanya melirik padaku, lalu tersenyum dengan wajah menyiratkan kemenangan. Kami memang baru beberapa bulan berteman, tetapi aku sudah mulai paham bahwa dia menyuruhku untuk menjelaskan sendiri situasinya pada ketua kelas.

"Anu ... maaf?" Takut-takut aku akhirnya mulai bicara. Memindahkan pandangan penuh amarah ketua kelas dari Si Alpha kepadaku.

"Tapi ... dia aslinya memang tidak mencontek PR-ku." Mengacuhkan pandangan kebingungan ketua kelas, aku melanjutkan, "Kami memang ngerjakan bareng ... tapi kami masih ngerjakan sendiri-sendiri, kok. Sampai dengan di bagian karangan, aku...."

"Kamu yang mencontek karangannya?" potong ketua kelas tak sabar.

Aku buru-buru melambaikan kedua tangan, menyangkal.

"Atau kamu yang sukarela memberikan contekan?" kejarnya lagi.

"Bukan begitu...."

"Jadi apaaa???"

Aku menelan ludah, melirik pada Si Alpha—yang langsung pura-pura tidak melihat pandangan meminta bantuanku. Akhirnya setelah menarik nafas dalam-dalam, aku menjawab lirih, "Aku bilang, tema karangannya ngebosenin."

"YAP! Lalu ... setelah ituuu, aku langsung ngusulin ide cemerlang ini!" tukas Si Alpha seraya membusungkan dada. "Aku udah pernah dihukum Pak Su'eb. Kalau marah, emang galaknya minta ampun. Taaapiii, setelah itu hukumannya asyik banget! Mengarang dengan tema unik. Karangan kita juga biasanya dinilai langsung di tempat. Jadi kita dapet masukan bagus."

Perlu diketahui, awalnya aku menolak mentah-mentah ide itu. Apalagi kalau Emakku sampai tahu aku disetrap guru, bisa-bisa ceramah yang harus kuterima bakal memakan habis waktu akhir mingguku. Namun Si Alpha berhasil meyakinkan aku dengan menjamin bahwa hukuman Pak Su'eb tidak akan sampai bocor ke telinga wali murid.

"Aku tahu ... mencontek itu tidak baik. Tapi ... aku penasaran," tambahku lagi.

Setelah mendengarkan pengakuanku ketua kelas mengusap wajahnya dengan frustrasi.

"Tak bisa dipercaya," gumamnya. "Hanya karena alasan tak penting itu, kalian mencemari rekor kelas?"

"Hah ... maksudmu, rekor-MU sebagai ketua kelas ideal, murid teladan kesayangan guru?" cemooh Si Alpha pedas. " Terus, kalau udah tahu kau mau apa? Kau mau laporkan kami? Laporin aja ... Pak Su'eb juga sudah tahu motif kami-kami ini, kok...."

Masih dengan wajah penuh amarah, ketua kelas yang sudah tidak bisa membalas kata-kata Si Alpha berbalik lalu melangkah pergi. Caranya membuang muka yang dramatis nyaris membuatku tertawa.

Saat itu, bisa dibilang Si Alpha menang. Namun sebetulnya aku tidak bisa merasa tenang, karena bagaimanapun juga kami memang bersalah. Bukan kesalahan besar, "hanya" dengan sengaja saling menyalin tugas untuk mendapat hukuman. Bila dilihat dari kacamata lain, memang tidak bisa dibenarkan. Tidak peduli hikmah yang bisa kami petik dari pilihan kami itu.

***

"Gong, kamu tahu nggak ... kalau ada jamur yang bisa necromancy?" celetuk Si Alpha pada suatu waktu. Kami memang sedang belajar Biologi—atau tepatnya: aku mengerjakan soal-soal latihan, sementara Si Alpha tidur-tiduran di karpet perpustakaan kota dengan buku teks Biologi sebagai bantalnya.

"Soal dari Biologi bab berapa, ya ... itu?" Aku balik bertanya, tentu saja sepenuhnya bercanda.

Mendengar itu, Si Alpha mengeluarkan suara seperti bersin—yang merupakan usaha payahnya untuk menahan tawa.

"Coba, lihat ... ulat mungil kita sudah bisa ngasih guyonan, sekarang!" komentarnya dengan nada bangga.

Aku tidak setuju. Mungkin bila dibandingkan dengan si Alpha yang bengal dan berani, aku masih ulat. Namun dari segi ukuran badan, aku sangat jauh dari sebutan: mungil. Apa dia lupa selama ini memanggilku dengan sebutan apa?

"Bukan dari pelajaran sekarang, Gong! Aku pernah baca artikelnya di majalah. Ada jamur yang sporanya bisa masuk ke badan serangga, lalu mempengaruhi perilakunya."

Rasanya aku memang pernah membaca artikel sejenis, tentang zombie semut. Bukan betul-betul mati lalu hidup kembali, tetapi jaringan otak semut itu dalam kendali jamur.

"Serangga yang kemasukan spora jamur itu, bakal meninggalkan sarangnya lalu pergi mencari tempat yang ideal untuk menumbuhkan jamur dalam badannya. Begitu sampai di lokasi, capitnya bakal dia tancepin kuat-kuat ... lalu badannya bakal kaku, jadi kayak pot tempat tumbuhnya jamur sampai dengan dia mati. Cadas banget, nggak ... sih?"

Matanya terlihat berbinar-binar saat menjelaskan semua itu. Bahkan lebih hidup dari saat dia mulai memikirkan ide-ide jahilnya yang biasa. Si Alpha sering tiba-tiba membicarakan topik acak apa pun yang terlintas dalam benaknya. Namun hanya saat membicarakan soal hal serangga dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu sajalah dia terlihat paling bersemangat.

"Aaahhh ... sayang banget pelajaran di sekolah udah nggak ngebahas soal yang asyik seperti ini lagi," keluhnya seraya berguling-guling di karpet perpustakan sembari membawa serta bantal buku biologinya.

Kudengar, sampai dengan SMP nilai-nilai akademis Si Alpha bersaing dengan ketua kelas. Entah apa penyebabnya, suatu hari dia berhenti berjuang mengumpulkan nilai seperti sebelumnya. Aku tidak mungkin mencari tahu lebih lanjut pada sekelompok rekan sekelas yang asyik menggosipkan Si Alpha, seolah-olah aku tidak pernah ada di situ.

"Kamu sendiri, gimana ... Gong? Masih jadi zombie?"

Pertanyaan yang dia cetuskan sambil lalu itu awalnya kuabaikan, tapi kemudian dia berganti posisi menjadi duduk bersila dan mengulang pertanyaannya seraya memandang lurus padaku yang duduk di kursi perpustakaan. Soal-soal biologi yang sedari tadi kukerjakan kemudian menjadi sulit sekali masuk ke dalam kepalaku.

"Selama spora jamurnya tidak kamu enyahkan, semua keputusanmu bakal terus disetir oleh jamur di rumahmu yang galak itu-...."

"Brak!!!"

Kursi perpustakaan terguling. Lalu dengan memecahkan rekor kecepatan gerak selama di sekolah, jemari gemukku tiba-tiba saja sudah mencengkeram kerah kaus polo Si Alpha.

"Jangan pernah ... ngata-ngatain Emak!" geramku dengan nafas memburu.

Berbeda dengan ekspresi wajahku yang sudah berubah jadi seperti Oni merah—sejenis jejadian dari cerita rakyat Jepang di buku dongeng yang pernah kubaca waktu kecil, Si Alpha tetap terlihat tenang. Bahkan tersenyum dengan salah satu sudut bibirnya naik.

"Heh ... siapa yang ngatain emakmu?" timpal Si Alpha seraya menepis cengkeraman tanganku. "Aku justru mengaguminya, tahu! Kau nggak denger omonganku dari tadi? Emakmu itu suuuper cadas!"

Dia ada benarnya juga.

"Aku justru ngata-ngatain KAMU," tambahnya sambil menudingkan telunjuknya ke dadaku. "Patuh sama orang tua, wali, you name it, lah ... itu emang bagus, sih. Tapi kalau cuma nurutin gitu aja, apa bedanya hidupmu dengan zombie semut?

Tanpa menunggu kata-kata balasan dariku, Si Alpha melenggang pergi meninggalkan perpustakaan dengan membawa serta buku-buku dan tasnya.

Tatapan mencela petugas perpustakaan, membuatku merasa tidak enak untuk tetap berada di situ lebih lama lagi. Tidak ada pilihan lain, buru-buru kubereskan barang-barangku. Pada saat itu, aku menemukan ada satu buku milik Si Alpha yang tercampur di antaranya. Sebuah buku ensiklopedia bergambar, tentang serba-serbi serangga.

***

Keesokan harinya, di sekolah sudah ada kabar menghebohkan yang menungguku. Si Alpha berhenti sekolah. Kurang jelas apakah dia sekadar pindah ke sekolah lain, atau betul-betul berhenti sama sekali. Walinya yang datang ke sekolah untuk menyelesaikan urusan administrasi.

Berita simpang-siur mengenai fakta penyebab Si Alpha berhenti terdengar dari segala penjuru sekolah. Tanpa perlu mencari tahu, para ahli gosip itu menyebarkan berbagai informasi terkini yang mereka dapatkan selayaknya minstrel di Eropa zaman medieval.

Ada yang mengatakan kalau Si Alpha dikeluarkan, karena kasus sengaja minta dihukum pada Pak Su'eb—jelas-jelas hoax, karena kasus itu sudah nyaris setahun berlalu. Aneh sekali bila baru diangkat lagi. Apa lagi setelahnya Pak Su'eb tetap bekerja seperti biasa, sama sekali tidak ada sanksi soal itu.

Beberapa mencoba berspekulasi bahwa Si Alpha menerima beasiswa untuk sekolah di luar negeri. Ini masih bisa dimaklumi, karena bukan hanya Bahasa Inggris Si Alpha memang cas-cis-cus. Dia juga pernah beberapa kali mendapat peringkat dalam lomba karya ilmiah yang mengharuskan pesertanya menulis dalam Bahasa Inggris.

Yang paling konyol adalah sekelompok anak yang dengan semangat menggebu-gebu menyebarkan gosip bahwa Si Alpha berhenti sekolah karena harus menikah. Keluarganya pailit, hingga Si Alpha harus menikahi anak orang kaya untuk menyelamatkan bisnis keluarganya. Entah dari sinetron mana mereka mendapat ide gosip itu.

Ajaibnya tidak ada seorang pun dari mereka yang langsung konfirmasi padaku. Mungkin di mata mereka posisiku tak lebih dari sekedar pengikut Si Alpha. Tidak tahu apa-apa tentang urusan majikannya.

Namun tak seorang pun mencegahku ketika melangkahkan kaki besarku meninggalkan kelas, untuk mengejar wali Si Alpha. Buku ensiklopedia serangga miliknya ikut berayun bersama lenganku. Biarpun dengan nafas terengah-engah, akhirnya terkejar juga, sebelum wali si Alpha melintasi gerbang sekolah.

Awalnya perempuan yang terlihat terlalu muda untuk jadi ibunya Si Alpha itu memandangku dengan heran. Apalagi aku masih harus mengatur kembali nafas yang putus-putus karena memaksakan diri berlari. Namun ketika matanya tertuju pada buku ensiklopedia di tanganku, senyumnya merekah.

"Kau pasti sahabat Si Alpha yang sering dia ceritakan itu, ya?" Perempuan muda itu menyapa lebih dulu, tetapi aku lebih heran pada fakta bahwa Si Alpha menceritakan tentang aku pada orang rumahnya.

"Terimakasih sudah menemani Si Alpha selama di sini. Berkat kau, bulan-bulan terakhirnya di sini jadi lebih menyenangkan ... Oh, nyaris saja aku lupa. Dia menitipkan ini padaku, seharusnya kuberikan lewat wali kelas kalian...."

Sembari mengatakan itu, perempuan muda itu meraih tanganku yang tidak memegang buku dan menyerahkan sebuah dompet buatan tangan yang manis. Tidak merasa pernah memiliki benda seperti itu, juga tidak pernah melihat Si Alpha membawanya, aku memandang perempuan muda itu dengan penuh tanda tanya.

"Itu untukmu. Si Alpha yang membuatnya."

Pastinya wajah melongoku terlihat lucu di mata perempuan muda itu karena tawa renyahnya meledak. Bukan meremehkan atau apa, Si Alpha dalam bayangan kami sama sekali tidak cocok dengan kerajinan tangan yang manis. Mencoba membayangkan tampangnya ketika sedang menjahitkan korsase bunga di dompet itu saja sudah membuatku harus mengerahkan segenap kemampuan berimajinasi.

"Mungkin sekarang sulit dibayangkan, tapi anak itu dari dulu suka mengerjakan handycraft semacam ini, lho...," tambah perempuan muda itu di sela-sela tawanya.

"Kenapa malah aku yang dikasih? Eh, bukan. Seharusnya aku datang untuk mengembalikan bukunya yang tertinggal kemarin,"

"Ah, buku itu untukmu juga. Si Alpha berpesan untuk menolakmu kalau kau bersikeras mau mengembalikan buku itu padanya. Anggap saja hadiah perpisahan."

"Jadi ... Si Alpha beneran pindah ke tempat lain, di kota mana? Gimana cara aku bisa menghubunginya lagi, Tante?"

Perlu diingat, ini adalah kisah masa sekolahku dulu, ketika ponsel masih berupa barang mewah dan tidak semua orang memiliki akses untuk memilikinya. Cara untuk mengontak temanmu adalah dengan menghubunginya melalui telepon rumah—bila rumahnya dilengkapi pesawat telepon, atau dengan menulis surat fisik yang dikirim lewat pos.

"Hmm ... susah juga. Dia tidak begitu ingin alamat barunya diketahui oleh orang lain. Ah, tapi kalau mau kau bisa kirim surat ke alamatku saja. Nanti akan kusampaikan pada Si Alpha, bagaimana?"

Ada sedikit rasa pedih dalam benakku karena aku termasuk dalam kelompok "orang lain" bagi Si Alpha. Sempat terbersit keinginan untuk meluapkan kemarahanku melalui perempuan muda itu, walau akhirnya kuputuskan untuk menyetujui tawarannya.

Perempuan muda itu segera mengeluarkan setumpuk post-it warna cerah dari tas tangannya, lalu mencatatkan sebaris alamat, dan namanya sendiri di situ. Dengan satu gerakan cepat, dia menyobeknya dan menyerahkan lembaran teratas padaku.

"Tunggu kabar dari kami, ya!"

Kemudian perempuan muda itu berlalu setelah melambaikan tangan padaku.

***

Setelah itu, tak peduli berapa banyak surat yang kukirim pada alamat yang diberikan oleh wali Si Alpha, balasan yang kuterima hanyalah selembar kartu pos bergambar. Tidak ada pesan apa pun. Hanya nama pengirim, dengan alamat yang sama dengan alamat surat.

Setiap kartu pos selalu ada gambar serangga, kesukaan Si Alpha. Aku bahkan sudah mendapat seri lengkap foto metamorphosis ulat yang berubah menjadi kupu-kupu. Setiap kartu pos yang kuterima, kusimpan baik-baik dalam album foto supaya bisa kulihat-lihat gambarnya di waktu luang.

Kadang, kekesalanku memuncak dan mengirimkan surat penuh makian pada Si Alpha. Kukira dia akan marah dan akhirnya berhenti mengirim kartu pos balasan. Aku sudah pesimis, tetapi rasa penasaran membuatku tetap membuka kotak surat. Di situ aku menemukan kartu pos bergambarnya, seperti biasa.

Pertengahan tahun berikutnya aku pun lulus sekolah, tetapi tidak mengambil ujian masuk perguruan tinggi nasional. Walau Emakku keberatan, beberapa bulan sebelumnya aku nekad mencoba mengambil program beasiswa ke Belanda. Siapa yang sangka aku lolos, biarpun nilaiku peringkat ketiga terbawah. Yang lebih mencengangkan lagi, Emak bersedia memberiku modal untuk berangkat ke sana.

Bukan hal yang mudah memang. Perlu usaha keras untuk meyakinkan Emak, dengan cucuran keringat, darah dan air mata—secara harfiah, karena Emak begitu emosi hingga tidak sengaja melemparkan inhaler oksigennya hingga membuat dahiku lecet. Setelahnya beliau meminta maaf dan membantu mengobati lukaku, tetapi peristiwa itu cukup membuatku terpukul.

Para paman dan bibiku sampai harus turun tangan hingga akhirnya Emak luluh.

Alasan selama ini aku tak berani membantah apa pun yang dikatakan Emak, adalah karena penyakit asma kronis yang diderita oleh beliau. Bila emosinya memuncak atau kondisi tubuhnya menurun, seringkali sesak nafasnya kambuh. Karena itu aku selalu sekuat tenaga untuk berhati-hati dalam bertindak.

Emak yang bersedia menerimaku yang bukan anak kandungnya sendiri ini adalah segalanya bagiku saat itu. Ketakutanku suatu saat akan dibuang oleh beliau, membuatku selalu mengiyakan segala kemauannya. Sekolah pilihan, jurusan studi, buku-buku yang kubaca, makanan, bahkan pakaianku di rumah 100% selera Emak. Biarpun perutku sudah penuh, bila Emak menyuruhku tambah, dengan patuh aku akan mengambil seporsi lagi.

Aku sungguh menyayangi Emak, bukan hanya karena beliau bersedia membagi uang pensiunnya untuk menghidupiku melainkan juga karena Emak memberikan aku kasih dan perhatian yang tidak bisa kudapat dari orang tua kandungku. Namun bila tidak diingatkan oleh Si Alpha, aku akan berakhir sebagai zombie yang tidak memiliki hidup dan keinginan sendiri.

Bila suatu saat Emak pergi mendahuluiku, mungkin aku tidak akan tahu bagaimana harus meneruskan hidup.

***

Dua puluh tahun berlalu sejak Si Alpha menghilang. Aku kembali ke tanah air. Seperti biasa hari itu aku menulis surat pada Si Alpha untuk menyampaikan kabarku. Sudah tahun ke lima sejak aku bekerja sebagai koresponden lepas blog resmi dari sebuah channel ilmu pengetahuan alam yang berbasis di Amerika Utara. Berkat itu aku bisa lebih sering di rumah untuk menemani Emak hingga saat-saat terakhirnya.

Semua kartu pos balasan Si Alpha dikirim ulang oleh bibiku yang kembali tinggal bersama Emak selama aku sekolah di Belanda. Entah kenapa, Si Alpha tidak pernah mengirimkan kartu posnya langsung ke alamat asramaku di sana.

"Gong ... ada pos, nih!" panggil Bibiku.

Aku mengernyitkan kening. Untuk balasan kartu pos Si Alpha, terlalu cepat. Aku bahkan belum mengirimkan suratku. Bibiku kembali memanggil, hingga dengan berat hati kuletakkan pena di tangan untuk mendatanginya.

Yang kuterima bukanlah kartu pos bergambar yang biasa, melainkan sebuah amplop cokelat yang terlihat sangat tebal. Alamat pengirim nya sama dengan kartu-kartu pos yang kuterima selama ini. Alih-alih nama perempuan muda yang menjadi walinya, tercantum nama lengkap Si Alpha juga di situ.

Jantungku berdebar, ada gelenyar perasaan aneh bercokol dalam perutku.

Buru-buru kubuka amplop cokelat itu. Isinya adalah beberapa buku yang terlihat seperti jurnal harian. Selembar demi selembar kubalik halamannya, mencoba membaca secepat mungkin tulisan tangan yang ada di dalamnya. Semua adalah tulisan tangan Si Alpha.

Isi jurnal yang kuterima adalah catatan harian Si Alpha selama ini hingga saat-saat terakhirnya dirawat di rumah sakit. Da didiagnosa mengalami kelainan pada sistem imunnya. Sejak menjelang tahun pertama SMA, Si Alpha mulai sering bolak-balik mengunjungi dokter karena berbagai keluhan yang tidak jelas penyebabnya.

Orang tuanya bahkan mulai menganggap keluhan Si Alpha hanyalah semacam usahanya untuk mencari perhatian, karena dokter manapun yang mereka datangi tidak bisa dengan pasti menemukan penyebab gejala penyakit yang dia derita.sepertinya saat itu juga Si Alpha mulai terang-terangan menunjukkan sikap memberontak dan mulai bertingkah sesukanya.

Mungkin karena tidak mau dianggap lemah, Si Alpha bersikeras tidak mau memberitahu seorang pun di sekolah tentang penyakit yang dia derita. Semacam kebanggaanya yang terakhir.

Mataku memanas. Bercak-bercak noda mengembang karena tetesan air asin, buru-buru kukeringkan dengan kertas tisu. Aku tidak ingin pesan terakhir satu-satunya sahabatku di sekolah dulu jadi tidak terbaca.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro