Bab 2 - Interaksi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Mo, aku udah dijemput sama pak Abdi. Aku duluan, ya. Kamu hati-hati,” ujar Geisha berpamitan kepada Morena. Gadis itu sempat melambaikan tangannya kepada Morena sebelum dia naik ke atas motor milik pak Abdi, orang yang biasanya mengantar jemput Geisha ke sekolah.

Selepas kepergian Geisha, Morena lalu berjalan ke luar gerbang sekolah. Langkah kecilnya membawa Morena ke halte di depan sekolah. Morena mendaratkan bokongnya di atas kursi panjang itu. Tidak ada orang lainnya yang duduk di sana, selain Morena seorang. Sembari menunggu opelet datang, Morena melirik ke arah gerbang sekolah. Melihat satu per satu teman satu sekolahnya yang mulai dijemput oleh orang tua mereka. Atau, ada juga yang pulang bersama kekasih mereka.

Beda halnya dengan Morena yang lebih suka menaiki kendaraan umum saat berangkat maupun pulang sekolah. Meski papanya telah berulang kali menawarkan untuk mencarikan seorang sopir yang akan mengantarkan Morena ke mana pun Morena hendak pergi, namun gadis itu selalu menolak. Alasannya klise. Morena hanya ingin mengurangi polusi udara dengan menambah satu kendaraan yang akan berlalu-lalang di jalanan.

Melihat opelet berwarna biru yang kini berjalan mengarah ke arahnya, Morena segera berdiri dan melambaikan tangannya, bermaksud untuk memberhentikan opelet tersebut. Setelah oplet berhenti tepat di hadapannya, Morena dengan segera melangkah masuk ke dalamnya.

Hari ini, opelet tidak terlalu ramai. Hanya ada lima penumpang—termasuk Morena—di dalamnya. Dua orang anak berseragam yang sama dengannya, yakni seragam putih abu, juga seorang ibu dan anak laki-lakinya yang duduk di seberang Morena.

Tak lama setelah itu, opelet kembali berjalan. Tubuh Morena sempat oleng sesaat ketika opelet dengan tiba-tiba berjalan yang membuatnya terkaget.

Tidak. Bukan sepenuhnya salah pengemudi opelet itu, melainkan salahnya juga yang terlalu fokus memperhatikan interaksi antara anak laki-laki dan ibunya tadi.

“Ibu, kita mau ke mana sekarang?” tanya anak laki-laki yang diperkirakan usianya tidak lebih dari sepuluh tahun. Suaranya cukup lantang menyapa telinga Morena, mengingat kondisi opelet yang sepi.

Wanita yang dipanggil ibu itu menatap wajah anaknya yang kini mendongak ke arahnya. Dia mengelus puncak kepala anaknya, kemudian menjawab, “Kita mau ke rumah nenek. Adit mau ketemu nenek, kan?”

Anak laki-laki yang akhirnya Morena ketahui namanya Adit itu menganggukkan kepalanya. “Mau, Bu. Adit udah lama nggak ketemu sama nenek,” ucapnya.

“Tapi, kita tetap jadi beli buku cerita, kan, Bu? Kan, kemarin ibu udah janji mau beliin Adit buku cerita hari ini,” lanjut Adit terdengar penuh harap.

Ibunya tersenyum dan kembali menganggukkan kepalanya. “Jadi, dong. Coba bilang sama ibu, Adit mau beli buku cerita apa?”

“Adit mau beli buku cerita tentang power rangers, Bu. Keren banget. Mereka bisa berubah,” jawab Adit dengan antusiasnya.

Cukup lama Morena memerhatikan interaksi antara ibu dan anaknya itu, hingga dia tak sadar bila opelet telah berhenti. Dua orang siswi SMA yang tadi duduk bersebelahan dengan Morena turun dari opelet.

Mata Morena mengikuti pergerakan mereka, lalu menatap ke luar jendela. Morena baru sadar, bila opelet ini berhenti tepat di depan perumahannya. Mau tak mau, Morena harus segera turun dari opelet. Walau sebenarnya, dia masih ingin menikmati interaksi antara Adit dan ibunya tadi.

“Ini, Pak, uangnya,” ujar Morena sembari memberikan uang kepada sopir opelet.

“Terima kasih, ya, Neng.”

Setelah membayar uang opelet tadi, Morena kembali melanjutkan langkahnya untuk melewati gerbang perumahannya. Rumah Morena bernomor 10. Itu artinya dia harus melewati setidaknya 9 rumah terlebih dahulu untuk dapat tiba di rumahnya.

Selagi berjalan, pikiran Morena menerawang kembali saat dia berada di opelet tadi. Interaksi antara Adit dan ibunya itu membuat Morena tidak bisa menahan senyumnya untuk mengembang. Begitu hangat dan menyenangkan.

“Seandainya aja, aku dan mama bisa kayak gitu,” gumam Morena yang tak lebih keras dari suara angin yang menyapu pepohonan.

***

Morena Adsila, gadis yang selalu meraih juara kelas sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Otak yang cerdas adalah anugerah kedua yang diberikan oleh Tuhan di luar parasnya yang cantik.

Karena kecerdasan otaknya, Morena banyak disukai oleh guru-guru. Sayangnya, teman sekelasnya malah tidak menyukainya.  Mungkin, itu ialah hal lumrah yang harus dirasakan oleh murid-murid berotak cerdas. Dibenci, padahal mereka sama sekali tidak berbuat apa-apa.

Sejak lulus dari bangku SMP, Morena berprinsip untuk tidak menjadi "sang juara pertama" di kelasnya. Cukup masuk lima besar saja, Morena sudah merasa oke. Sebab, pengalaman dibenci oleh banyak temannya membuatnya merasa seolah dia adalah manusia yang jahat. Jika dulu keseharian Morena hanya belajar dan belajar, maka sekarang tidak. Meski Morena tidak sepenuhnya meninggalkan kewajibannya sebagai pelajar, namun gadis itu sudah tidak seambisius dulu saat belajar.

Bagi sebagian orang, tentunya opsi yang dipilih oleh Morena akan menjadi hal yang dianggap kekanakan. Tapi, Morena tetap akan berpijak pada prinsipnya. Setidaknya, dia masih menjalankan kehidupan sebagai pelajarnya dengan baik, berusaha menyeimbangkan antara pelajaran dan pertemanan.

Walau begitu, sedari dulu—tepatnya sejak SMP—Morena hanya memiliki satu orang teman yang dipercayainya, yaitu Geisha. Morena juga tidak tahu sejak kapan pastinya, yang jelas Geisha telah menjadi bagian dari hidupnya. Geisha adalah satu-satunya teman yang tidak pernah memandangnya dengan tatapan sinis, di saat semua teman sekelasnya dulu memandangnya begitu.

Suara deru mobil yang terdengar dari luar sana membuat Morena dengan cepat membalik kain jendelanya. Itu mobil Edwin, papa Morena.

Hari ini, Edwin memang izin pulang sedikit lebih malam—tidak seperti biasanya—dikarenakan ada banyak hal yang harus laki-laki itu urus di kantor. Morena tentunya tidak marah. Sebab, gadis itu tahu, papanya bekerja keras untuknya. Untuk membiayai pendidikannya, juga untuk memberikannya kehidupan yang layak.

Dengan segera, Morena turun ke bawah untuk membukakan pintu untuk Edwin.

“Papa udah pulang?” tanya Morena yang kedengarannya klise. Tapi, pertanyaan itulah yang selalu dilontarkan Morena ketika Edwin pulang.

Dengan memberi elusan kecil kepada puncak kepala Morena, Edwin mengangguk. “Udah, Sayang.”

Morena memiringkan sedikit tubuhnya untuk memberikan jalan untuk dilewati Edwin, kemudian menutup kembali pintu utama rumahnya.

“Pa, Papa belum makan malam, kan?” tanya Morena, sebelum dia kembali melanjutkan, “Kita makan bareng, yuk? Morena udah masakin sup ayam kesukaan Papa, lho!”

Morena dengan cepat menyambar tangan Edwin dan menuntunnya berjalan ke ruang makan. Saat Morena membuka tudung saji yang terbuat dari rotan itu, seketika semangkuk sup dengan wangi yang menggugah selera tampak di sana.

Edwin memajukan kepalanya untuk mengendus aroma sup itu. “Wanginya bikin laper. Ini kamu yang masak? Memangnya, bibi nggak masak hari ini?”

“Ada, Pa. Cuma tadi siang, sayurnya udah dihabisin sama Morena. Pas bibi mau masak lagi, Morena bilang nggak usah, karena hari ini, Morena mau masakin makanan yang spesial untuk Papa,” jawabnya dengan antusias.

Di rumah ini, memang ada asisten rumah tangga yang dipekerjakan oleh Edwin untuk memasak dan membersihkan rumah. Namun, asisten rumah tangga itu hanya bekerja dari pagi hingga sore. Setelahnya, dia dipersilakan untuk pulang.

“Morena ambilin nasi sebentar, ya, Pa,” kata Morena kemudian berjalan setengah berlari ke arah dapur. Tak berselang lama, gadis itu kembali dengan dua buah piring berisi nasi.

“Papa udah lama banget nggak makan sup ayam buatan anak Papa,” ujar Edwin tersenyum dengan tangan yang mulai mengaduk sup. Secara bergantian, Edwin dan Morena menuangkan sup ke atas nasi mereka, lalu menyuapkannya ke mulut masing-masing.

Suapan pertama, Morena memakannya dengan perasaan yang senang. Begitu pula dengan suapan kedua. Tetapi, saat gadis itu hendak menyuapkan suapan ketiga ke dalam mulutnya, mendadak ada sesuatu hal yang memenuhi pikirannya.

Setelah menghilangkan semua keraguan, Morena berdeham lantas berbicara kepada Edwin.

“Pa, kita udah lama nggak nemuin mama. Morena kangen banget sama mama. Kapan kita bisa pergi nemuin mama lagi?”

***

1.209 words
©vallenciazhng_

11 Mei 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro