22. Jedong makin cintroong!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nay, udah bangun belum?" tanya Mark sambil mengetuk pintu kamar adiknya.

Di dalam sana, Naya menguap lebar. Matanya mengerjap-erjap menyesuaikan cahaya matahari pagi yang masuk lewat jendela. Semalam saat pulang dari jalan-jalan, Naya lupa menutup gorden, hanya filtrasenya saja yang menutupi.

"Ada apa, Kak?" teriak Naya. Ia malas membuka pintu.

Mark muncul di ambang pintu. Cowok itu berdiri sembari berkacak pinggang. Raut wajahnya ditekuk, kepalanya menggeleng.

"Semalam pulang jam berapa?" tanya Mark dengan nada tegas.

Naya mengernyitkan dahi. Ia masih belum sadar penuh. "Sepuluh? Sebelas? Lupa, Kak."

Mark mendengus kesal. Ia menghampiri sang adik yang masih duduk dengan mata terpejam. Cowok itu mengguncang bahu Naya, memaksanya agar membuka mata.

"Coba diinget dulu, Nay," paksa Mark.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Mark duduk di ruang tengah dengan gugup. Ponselnya yang sedari tadi ia gunakan untuk menelepon sang adik, tidak berguna sama sekali. Ponsel Naya mati, tak bisa dihubungi.

Pukul setengah sebelas, mobil Jevin masuk halaman rumah. Mark langsung bergegas keluar mendengar bunyi mesin itu. Ia menunggu hingga para penumpangnya keluar. Namun Jevin malah mengunci pintu mobilnya saat melihat Mark sudah berdiri murka.

Rendra karena masih waras membuka paksa pintu mobil dan keluar. Ia langsung mendapat tatapan nyalang Mark.

"Tenang, Kak. Kita cuma main di mall, kok. Terus baliknya mampir ke alun-alun," ucap Rendra menjelaskan.

"Terus kenapa nggak ada yang bilang gue?" tekan Mark.

"Naya yang minta," jawab Rendra. "Anaknya udah tidur tuh di dalam. Baik-baik aja kok."

Mark menunduk, berusaha mengintip ke dalam mobil. Cowok itu menghela napas panjang lega.

"Nggak kalian kasih macem-macem, kan?" desak Mark.

Hechan akhirnya keluar. Dia merasa bersalah karena dirinya yang memberi ide untuk main malam ini. Cowok itu nggak tahu kalau Naya punya jam malam khusus dari Mark.

"Cuma dikasih makan popcorn sama wedhang ronde," jawab Hechan santai. "Gue bahkan nggak nyebat demi dia."

"Udahan dulu marahnya, Kak," ucap Rendra menenangkan. "Naya cuma mau protes aja karena nggak lu perhatiin. Dia sengaja kuliah disini biar bisa dekat sama lu lagi, eh malah ditinggal pacaran mulu. Kesel anaknya."

Jevin turun dari mobil. Ia membuka pintu di samping Naya dan melihat Naya yang tidur pulas seperti tidak terganggu apapun oleh suara berisik di luar. Tangan Jevin terulur menepuk-nepuk pipi Naya lembut.

"Naya, bangun. Sudah sampai rumah," ucap Jevin lembut.

Naya melenguh kecil. Ia membuka matanya. Hal pertama yang dilihat gadis itu adalah wajah Jevin yang terlalu dekat. Sontak Naya berteriak dan mendorong bahu Jevin.

"Waa!!"

Hechan, Rendra , dan Mark langsung menoleh. Sang kakak buru-buru mengitari mobil dan mendorong Jevin menjauh. Dirinya menunduk melihat ke dalam mobil.

"Ada apa, Nay?" Tanya Mark panik.

Naya menggeleng, "Cuma kaget." Ia mendorong bahu kakaknya pelan agar menyingkir dari pintu keluar.

Naya dengan bingung melihat secara bergantian satu per satu wajah yang ada disana. Tangannya terangkat menutupi mulutnya yang menguap. Ia melihat Mark sekilas sebelum balik badan dan masuk ke dalam rumah.

Mark bergegas masuk mengikuti langkah Naya. Cowok itu memberondongnya dengan pertanyaan. Namun sang adik tetap diam. Pintu kamarnya menjeblak dibanting tertutup, membuat Mark enggan ikut masuk.

Rendra, Hechan, dan Jevin saling pandang tanpa suara. Lagi-lagi mereka menjadi saksi keributan kecil kakak-beradik adik itu.

"Gue kira Mark bukan tipe kakak protektif. Serem kalau marah," seloroh Hechan.

Jevin garuk-garuk kepala belakangnya yang tidak gatal. "Tau gitu gue nggak mau ikutin cara mainnya Naya."

Rendra menghela napas. "Sudahlah, udah terjadi juga."

Naya ingat. Ia menatap Mark dengan kesal. Gadis itu meraih kacamatanya di atas nakas dan keluar kamar. Lagi-lagi, pintu kamar mandi menjeblak tertutup.

"World War III, ini mah," ucap Hechan yang mendengar keributan itu dari ruang tengah.

"Gue nggak mau ikut campur dulu deh," komentar Jevin masih sibuk memasukkan kentang goreng ke dalam mulut.

Jeno mengerutkan dahi. "Ada apaan sih?"

"Tumben lu pengin tahu," jawab Rendra.

"Berantem lagi. Mark-Naya," jelas Hechan singkat.

"Karena?"

Hechan angkat bahu sebagai jawaban. Rendra dan Jevin memilih diam. Jeno hanya dapat mendengus kesal karena tak mendapat jawaban.

Terdengar langkah kaki menuruni tangga. Naya sudah berada di dapur. Ketika gadis itu sudah akan membuka laci penyimpanan barang-barang, Mark menahan dengan tangannya.

"Apaan sih, Kak? Minggir," usir Naya.

"Nggak usah masak. Kakak ajak sarapan di luar aja," ucap Mark tegas. "Cepet ganti baju."

"Aku mau di rumah aja," tolak Naya. Gadis itu beralih ke kulkas.

Mark lagi-lagi menahan pintu kulkas dengan satu tangan hingga Naya tidak bisa membukanya. "Kakak bilang di luar, ya di luar. Nurut sama Kakak!"

"Nggak mau!"

Suasana di ruang keluarga hening. Teriakan Mark dan Naya membuat mereka terdiam. Pertengkaran antara adik-kakak itu sudah biasa terjadi, namun kali ini sepertinya alasan Mark untuk marah memang benar. Dia tidak suka adik perempuannya kelayapan sampai larut malam.

"Harus mau!" Ngotot Mark. "Kalau gitu, kita berangkatnya gini aja. Ambil helm kamu."

"Mau kemana, sih?!" protes Naya tak mau kalah. "Aku capek tahu, Kak."

"Ke Sunmor," jawab Mark. "Minggu lalu mau ke Sunmor belum jadi, kan? Ayo Kakak temenin."

Naya diam sejenak. Dirinya ingin berkata tidak pada tawaran Mark karena gengsi, namun dirinya yang lain ingin ikut karena Mark menawarkan hal yang ia suka. Andaikan saat ini mereka sedang tidak berantem, pasti Naya sudah langsung menjawab tanpa perlu berpikir panjang.

"Tung... tunggu. Tungguin aku ganti baju dulu," ucap Naya akhirnya. Gadis itu buru-buru naik kembali ke kamarnya.

--

Sunmor adalah singkatan dari kata Sunday morning, sebuah pasar dadakan di daerah kampus UGM, tepatnya di daerah lembah. Mulai dari makanan hingga kebutuhan sehari-hari ada disana. Jangan sebut diri sendiri sudah jadi mahasiswa kampus kerakyatan kalau belum pernah kesana.

Naya berjalan pelan melihat berbagai toko yang berjejer. Karena ramai dan jalanan sempit, Mark berjalan tepat di belakang Naya. Sesekali cowok itu menarik lengan sang adik agar tidak berjalan terlalu jauh.

"Masih mau lihat-lihat?" tanya Mark ketika Naya memilih menepi menjauhi kerumunan.

Gadis itu menggeleng. "Sarapan dulu deh, Kak. Habis itu jalan lagi."

"Kamu mau sarapan apa?" tanya Mark. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Apa aja," jawab Naya.

"Sate Padang ya? Mau?" tawar Mark. Naya mengangguk.

Naya duduk di trotoar, menunggu sang kakak kembali dengan dua piring sate padang di tangan. Jangan bayangkan akan ada kemewahan di Sunmor. Makan sambil duduk di pinggir jalan seperti ini ada kenikmatan tersendiri. Maka dari itu banyak orang yang nggak bisa move on setelah selesai berkuliah di kota Gudeg yang kental dengan kesederhanaannya.

Lumayan lama Mark mengantri. Naya menunggunya dengan sabar sembari mengamati kegiatan jual-beli di toko pernak-pernik seberang jalan. Gadis itu jadi ingin menghias kamarnya.

"Nih, Nay," ucap Mark sambil menyodorkan piring milik Naya. Cowok itu duduk di samping sang adik.

Tanpa banyak bicara, Naya memindahkan setengah isi piring miliknya ke atas piring Mark. Mark hanya menerima. Ia sudah kenal betul dengan kebiasaan sang adik. Nggak pernah makan berat sebagai menu sarapan. Jadi, ya, nggak papa lah perut melar dikit demi adek.

Mereka makan dengan tenang. Tidak ada yang mengajak ngobrol terlebih dahulu. Hingga seorang banci mendekat sambil bernyanyi nyaring, membuat Naya takut dan merapatkan duduknya ke arah sang kakak.

Mark melirik sekilas. Dari sekian banyak orang, kenapa nih manusia jadi-jadian nyamperin kita? batin Mark keki. Cowok itu mengeluarkan uang dua ribu dari saku celananya, yang rencananya untuk bayar parkir, dan menyerahkan pada si banci tanpa bicara. Ia kembali makan.

"Tararengkyu, Mas," ucapnya menggelikan. Ia mengerling pada Naya yang masih memeluk lengan Mark kuat-kuat. "Ih, pecongannya cucok meong. Nempel-nempel. Ajria adinda, dong!"

Mark melirik ke arah Naya yang masih ketakutan. Ia bicara pada si banci. "Adek saya ini. Jangan diganggu."

"Yeus, tekotek samsara adinda?" tanya banci itu. Ia kini berani mencolek tangan Naya.

"Kakak!" rengek Naya sambil mengguncang lengan Mark.

Mark mendengus kesal. Ia membuka dompet dan menyodorkan uang lima ribu rupiah ke arah banci. Cowok itu mengibaskannya pelan, menyuruh agar makhluk planet lain itu segera pergi.

"Unch, jedong makin cintroong," ucapnya sebelum pergi. Ia mengerling genit pada Mark dan memberikan flying kiss pada cowok itu.

"Sudah pergi tuh," ucap Mark menenangkan. "Ayo habisin dulu makannya. Keburu datang yang lain."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro