24. Alat Kesehatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kak Rendra," panggil Naya.

Rendra menoleh. Naya berdiri di samping sofa yang ia duduki. Di tangan gadis itu terdapat selembar kertas kecil dan pensil mekanik.

"Ada apa?" Respon Rendra.

"Aku mau tanya," jawab Naya ragu. Ia melirik kertas dan buku yang menumpuk di sebelah cowok itu. "Ganggu nggak?"

"Sebentar aja gapapa sih," jawab Rendra. Ia menyingkirkan peralatan belajarnya dari atas sofa dan meletakkan di lantai. "Sini duduk," ajak Rendra sambil menepuk-nepuk kursi di sebelahnya yang kosong.

Naya duduk di samping Rendra sambil melihat kembali tulisan di atas kertas yang ia pegang. Jeno yang sedang berada di sana hanya melirik, ia ikut menegakkan telinga. Hechan tak peduli, ia tetap sibuk dengan camilan dan ponsel di tangannya.

"Kak Rendra beli peralatan kesehatan nggak, Kak?" tanya Naya. "Dari pihak skilllabs, anak-anak disuruh beli. Katanya bakal dipakai juga kalau nanti sudah praktek."

Rendra mengangguk. "Gue beli, kok. Lu mau pinjem?"

"Bukan gitu, Kak. Aku juga mau beli, tapi yang paling dibutuhkan dulu," jawab Naya. Ia menyodorkan kertas pada Rendra. "Kira-kira yang aku tulis disini masih ada yang kurang nggak?"

Rendra membaca tulisan tangan Naya. "Beli alat TTV aja dulu. Tongue spatula nanti aja, malah nggak dipakai kayaknya. Oh ya, tambahin penlight sama reflex hammer, deh."

Naya mencoret-coret isi kertasnya. "Kalau Pulse oxymetry butuh nggak, kak?"

"Waktu Koas sih katanya bakal dipakai," jawab Rendra sedikit tidak yakin.

Naya mengangguk mengerti. "Nah, terus aku mau tanya lagi," Naya meneliti tulisan di dalam kertasnya. "Tapi agak panjang nih, Kak. Mending beli alat tensi yang mana? Tipenya apa? Mereknya apa?"

Rendra menjelaskan satu per satu spesifikasi barang yang dimaksud. Ia bahkan sampai membuka ponsel untuk menunjukkan benda yang dimaksud. Naya menulis dengan cermat, sampai-sampai kertasnya tidak muat.

Rendra melirik. Ia tersenyum kecil melihat gadis di sebelahnya kebingungan mau menulis dimana. Naya sampai membenahi letak kacamatanya dan menulis kecil-kecil di ujung kertas.

"Mau beli kapan?" tanya Rendra.

"Rencananya besok, Kak," jawab Naya. Ia menoleh ke arah Rendra cepat. "Oh iya, beli dimana ya, Kak? Temen-temen juga pada belum tahu, nih."

"Di Sumber Mas Medika, Jalan Herman Yohanes. Tahu nggak?" tanya Rendra.

Naya menggeleng lucu. Tangannya bergerak untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia mengetik nama toko yang Rendra maksud.

Setelah menemukannya, Naya beringsut mendekat. Ia menunjukkan maps pada Rendra. Cowok itu menahan napas. Baginya, Naya terlalu dekat. Ia sampai menahan napas karena pening dapat mencium wangi sampo yang dikenakan Naya.

"Lewat jalan ini? Terus, kesini ya, Kak?" tanya Naya sambil menunjuk-nunjuk jalan menggunakan jarinya.

"Itu jalan satu arah," jawab Rendra. Perlahan ia beringsut menjauh, membuat Hechan yang sedari tadi hanya diam duduk di sampingnya, misuh-misuh karena terganggu.

"Besok pulang jam berapa?" tanya Rendra cepat.

Naya menegakkan punggungnya. Ia melihat ke arah Rendra dengan tatapan bertanya. Kali ini Rendra dapat bernapas lega. Naya sudah sedikit menjauh darinya.

"Jam tiga kuliah sudah selesai," jawab Naya.

"Gue antar aja kesana," sela Rendra. "Gue sore kosong, kok. Tungguin gue sampai jam tiga, ya? Besok ada praktikum soalnya."

Naya terlihat sangsi. "Aku sih nggak masalah disuruh nunggu. Aku malah nggak enak sama Kak Rendra. Kakak kan mau kejar materi untuk tes asdos."

"Masih ada waktu, kok," jawab Rendra menenangkan. "Masuk kuliah jam berapa?"

"Delapan," jawab Naya.

"Besok pagi kita berangkat bareng aja kalau gitu," ucap Rendra. "Biar pakai satu motor aja."

"Seriusan nggak ngerepotin, nih?" tanya Naya masih tidak yakin.

Rendra mengangguk. "Iya. Ikut gue aja. Sekalian gue bantu lu pilih barang. Lu masih bingung, kan?"

"Iya, hehe," jawab Naya sambil meringis. "Okay, deh. Makasih, Kak Rendra. Sampai ketemu besok pagi!"

Naya lalu berdiri. Pandangannya bertemu dengan mata Jeno yang sedari tadi mengamatinya. Naya tidak peduli. Ia justru bergerak ke arah Hechan.

"Halo, lho. Nonton apaan?" tanya Naya berusaha mengintip ke layar ponsel Hechan. Aneh aja lihat Hechan dari tadi bisa diam.

"Ih, apaan sih! Hampir jatuh nih hape gue," rutuk Hechan.

Naya terkekeh kecil. "Bobo, Kak. Biasanya jam 11 juga udah molor."

"Gue besok kuliah siang. Dosen yang pagi izin. Jadi bisa tidur subuh aja," jawab Hechan sambil tetap main ponsel.

"Ya udah, aku ke atas dulu, ya. Dadah semua!" seru Naya.

"Dah," jawab Rendra sambil tersenyum.

"Bye," balas Hechan tanpa melihat.

Jeno hanya melihat ke arah Naya, tanpa berniat menjawab sedikit pun. Dalam hati, Naya meledek cowok itu. Dasar limbad, untung ganteng.

--

"Cari yang untuk manset dewasa, Mbak," ucap Rendra pada petugas toko.

Naya berdiri di samping. Ia benar-benar terbantu oleh kehadiran Rendra. Cowok itu bahkan turun tangan secara langsung memilih barang, termasuk mengeceknya. Naya tinggal pilih warna dan sebagai eksekutor akhir.

"Coba lihat, lu butuh apa lagi?" tanya Rendra pada Naya.

Gadis itu melihat satu per satu barang yang sudah dipilihkan Rendra untuknya. Naya kemudian mendongak. Ia mengangguk.

"Sudah semua kayaknya, Kak."

"Okay," jawab Rendra. Ia kembali bicara pada petugas toko. "Tolong dibuat notanya ya, Mbak."

"Pembayarannya pakai apa, Mas?"

"Pakai kartu," jawab Naya. "Debit Mandiri."

Si pelayan melihat Naya bingung. Ia bergantian melihat ke arah Rendra dan Naya. Dia pikir Rendra mungkin yang mau beli, Naya hanya menemani.

"Tolong segera diurus ya, Mbak," ucap Rendra sopan ketika si mbak masih diam.

"Oh iya, mohon tunggu sebentar," ucapnya sambil bergerak menjauh untuk mengambil buku nota.

Rendra mengetuk-ngetuk kaca etalase pelan sambil menunggu. Matanya berjalan kesana-kemari mengamati tiap barang dipajang. Ia mengubek memori otaknya, berpikir apakah ada hal yang ia butuhkan juga disini.

"Makasih ya, Kak," ucap Naya tulus.

Rendra menoleh. Ia mengangguk dan tersenyum. "Habis ini langsung pulang?"

Naya mengangguk. Ia masih ingat perjanjiannya dengan sang kakak. Tadi Naya hanya meminta izin untuk pergi membeli alat-alat kesehatan bersama Rendra.

"Sudah baikan sama Kak Mark, ya?" tanya Rendra.

Naya meringis. Lagi-lagi ia mengangguk. "Bener, Kak. Ternyata Kak Mark cuma cemburu aja. Soalnya aku tiba-tiba jadi punya banyak Kakak yang lebih dekat daripada dia."

Rendra mendengus geli. Ia masih ingat sikap Naya yang kaku dan cuek ketika pertama kali menginjakkan kakinya di rumah. Sekian waktu berlalu, gadis ini sudah nyaman dengan sendirinya. Bahkan tidak ada rasa canggung lagi.

"Terus, udah jujur juga? Kalau lu kangen sama dia?"

Naya menggeleng. "Kak Mark udah berusaha bagi waktunya untuk aku, udah cukup kok. Dia juga kemarin ngajak jalan-jalan weekend ini, tapi aku yang sibuk sama acara di kampus."

"Oh ya? Ada acara apa memang?" tanya Rendra. Seingatnya tidak ada apa-apa.

"LDK, Latihan Dasar Kepemimpinan. Semua anak semester satu wajib ikut," jawab Naya.

"Permisi Mas, ini notanya," seru pelayan yang kembali dengan selembar kertas.

Rendra menerima sambil tersenyum. Naya langsung menyambarnya dengan keki. Dari tadi si mbak ngomongnya ke Rendra mulu, padahal yang beli kan Naya. Jadi kesel.

"Bayar dimana, Mbak?" tanya Naya ketus.

Rendra mengerutkan dahinya. Senyum manis gadis itu menghilang. Ice Queen kembali hadir.

Lima menit kemudian, Naya sudah kembali di sisi Rendra. Ditangannya terdapat satu kantung plastik besar. Rendra segera mengambil dan membawanya.

"Pulang?" tanya Rendra sambil menahan pintu agar Naya bisa keluar terlebih dahulu.

"Iya," jawab Naya singkat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro