56. Emosi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jevin," Jeno muncul dengan wajah tak karuan di ruang IGD. Cowok itu mengangguk sopan pada ibu RT dan Mbak Hala yang terlihat sedang menunggui saudaranya tersebut. Pandangannya berputar, mencari sosok Naya yang tadi memberinya kabar bahwa Jevin sedang dirawat di IGD rumah sakit terdekat.

"Nak Jeno, sudah datang," sapa seorang ibu berjilbab ungu. "Nak Jevin masih istirahat. Sekarang sudah lebih stabil. Untung sampai disini tepat waktu, soalnya tadi sempat sesak napas."

"Sesak napas, Bu?" tanya Jeno bingung. Ia pikir Jevin menderita kecelakaan parah karena ngeyel pergi sendiri dalam keadaan patah hati. Jeno melirik ke arah kasur, Jevin tampak tenang tertidur, tidak ada luka satu pun.

"Iya, kata Naya dia alergi rajungan," jawab Mbak Hala.

Jeno menoleh. "Sekarang Naya dimana, Mbak?"

"Lagi pulang sebentar. Tadi karena buru-buru, lupa belum bawa kartu identitas Jevin. Setelah lewat masa kritis, Naya akhirnya balik ke rumah untuk ambil semua peralatan. Jevin harus dirawat inap sehari untuk observasi," jelas Mbak Hala.

Rajungan? Kenapa Jevin bisa makan itu padahal tahu kalau ia harus menghindarinya? Jeno hanya geleng-geleng kepala tidak habis pikir.

"Makasih ya Bu, Mbak, sudah nolongin saudara saya," ucap Jeno sambil mengangguk sopan.

"Iya, nggak papa. Sudah seharusnya kita saling membantu," ucap Bu RT.

"Saya bisa jaga Jevin. Kebetulan kuliah saya sudah selesai," ucap Jeno lagi.

Bu RT dan Mbak Hala saling bertukar pandang. Akhirnya keduanya memutuskan untuk berpamitan pulang. Jeno mengantar dua wanita itu hingga pintu keluar IGD. Ia tak henti-hentinya mengucap kata terima kasih.

Jeno duduk di sebuah kursi yang sengaja disiapkan di samping kasur Jevin. Tangannya bergerak meraih ponsel. Ia menelepon nomor Naya. Hanya ada nada sambung, tidak diangkat.

"Kak Jeno," panggil Naya. Gadis itu tersenyum lega. Ia meletakkan tas jinjing yang ia bawa ke lantai dan bergegas menghampiri Jeno.

Jeno berdiri. Naya langsung menubruk tubuhnya begitu saja. Bahu gadis itu bergetar. Ia menangis karena lega.

"Jangan nangis, nanti Jevin bangun," bisik Jeno sambil menjauhkan tubuh Naya dari dirinya. Ia melirik ke arah Jevin, untung saja saudaranya itu masih terlelap.

"Aku takut banget, Kak," ucap Naya. Ia berusaha menahan tangis dan membersihkan jejak air mata dari pipi. "Aku takut Kak Jevin pergi."

"Jevin baik-baik aja, kok," ucap Jeno menenangkan. Ia melihat tangan Naya yang masih bergetar. Cewek itu pasti sangat terkejut dan bingung menghadapi kondisi emergensi seperti tadi seorang diri.

Jeno mendudukkan Naya di kursi yang tadi ia gunakan. Cowok itu meminta kartu pengenal milik Jevin yang dibawa Naya. Jeno berlalu menuju meja pendaftaran.

Naya memandang Jevin. Matanya kembali berkaca-kaca. Gadis itu buru-buru mengelapnya sebelum jatuh menjadi air mata.

Dengan tangannya yang gemetaran, Naya meraih tangan kiri Jevin dan menggenggamnya pelan. Ia masih ingat bagaimana rupa cowok itu yang kesulitan menarik napas. Naya merasa sangat bodoh karena dirinya memaksa Jevin untuk makan bersamanya, bahkan ia tidak memberi kesempatan pada cowok itu untuk menolak.

Naya menatap Jevin selama beberapa lama. Nafasnya teratur, Jevin bahkan sedikit mendengkur. Ia terlihat benar-benar pulas. Naya jadi merasa sangat lega saat ini.

Tak berapa lama kemudian Jeno datang. Cowok itu memandangi tangan Naya yang menggenggam tangan Jevin hati-hati. Tatapan gadis itu campur aduk antara perasaan bersalah dan tak mau kehilangan.

"Naya," panggil Jeno. "Jevin mau dibawa ke ruang perawatan."

Naya menoleh. Ia mengangguk sebagai jawaban. Gadis itu bangkit berdiri.

"Aku ke toilet dulu ya, Kak."

Jeno memandangi punggung Naya hingga gadis itu berjalan menjauh. Pandangannya beralih pada Jevin. Jeno menghela napas panjang. Mengapa dirinya harus merasakan hal ini? Jeno terjebak di antara kedua orang itu.

--

"Kakak pulang aja," paksa Naya mendorong Mark menjauh. "Besok kan kuliah. Lagipula Kak Jevin cuma perlu dirawat malam ini aja, kok."

"Kamu juga kemarin kurang istirahat karena mau ujian. Masa sekarang nunggu orang sakit. Capek lho," ucap Mark lagi.

Naya menggeleng. "Aku nggak capek. Orang-orang di rumah juga pada masuk kuliah semua besok. Cuma aku yang free."

"Gue cabut kuliah aja biar bisa nemenin Jevin," usul Jeno.

"Nggak. Nggak boleh ada yang bolos kuliah," putus Naya cepat. Ia memberikan tatapan dingin pada Jeno.

Jeno tak mau kalah. Ia membalas tatapan mata Naya tanpa gentar. "Lo ngelakuin ini semua cuma karena merasa bersalah, kan? Lo hampir buat Jevin celaka."

"Jeno!" Jevin memotong pertengkaran itu dengan suara seraknya.

"Sudah, sudah," lerai Hechan yang dari tadi hanya diam. Cowok itu berdiri di antara Naya dan Jeno yang masih saling memberikan tatapan membunuh. "Besok gue cuma ada satu mata kuliah. Habis kuliah pagi, gue langsung kesini untuk nemenin Naya."

"Kok bisa pas gini, sih. Rendra ujian, yang lain juga pada kuliah pagi," keluh Mark sambil menyisir rambutnya ke belakang.

Hechan menarik Naya menjauh. Ia membawa gadis itu keluar ruangan. Jangan biarkan Naya dan Jeno bertengkar di rumah sakit, itu misinya saat ini.

"Duduk," perintah Hechan sambil membimbing gadis itu untuk duduk di sofa lobi ruang rawat inap.

Naya menurut. Ia menghela napas panjang sambil memejamkan matanya. Dia harus mampu mengendalikan diri.

"Minum, Neng," ucap Hechan yang kini datang membawa satu cangkir plastik berisi air mineral. Ia mengambilnya dari dispenser yang memang disediakan di sana.

Naya menerimanya. Ia menghabiskan air minum dalam satu tarikan napas. Gadis itu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.

Hechan ikut duduk di samping gadis itu. Ia hanya diam. Tidak berani buka suara.

"Kata-kata Kak Jeno memang bener, aku bikin Kak Jevin celaka," ucap Naya. Ia menarik napas panjang. "Tapi aku ngelakuin ini sebagai bentuk tanggung jawab. Aku nggak sejahat yang dituduh Kak Jeno."

"Jeno kalau lagi emosi memang gitu. Nggak bisa filter mulut. Maklum aja ya, Naya."

Naya mengangguk. Jeno pasti juga cemas melihat saudaranya terbaring di rumah sakit seperti ini. Naya berusaha memahami dari kacamata Jeno.

"Jangan-jangan, Kak Jeno nggak percaya sama aku?" tanya Naya pada Hechan. "Dia takut aku bakal bikin Kak Jevin celaka lagi."

Hechan terkekeh. Ia mencubit pipi Naya. Gadis itu jadi manyun sambil mengelus pipinya.

"Memangnya sinetron? Masa calon dokter gini mau nyelakain orang?" hibur Hechan. "Lagian, lo itu orang yang pertama kali nyelamatin Jevin. Lo juga khawatir banget sama kondisi dia. Nggak mungkin lah lo bakal berbuat jahat gitu."

Naya mendengus kesal. "Terus kenapa Kak Jeno kayak gitu?"

"Lagi ketutupan awan jahat," jawab Hechan ngaco. "Sebagai orang yang waras, Neng nggak boleh ikut-ikutan emosi. Nanti gue bantu ngomong ke Jeno."

Naya hanya mengangguk pasrah. Ia memejamkan matanya lagi. Setelah semua mulai mendapat titik terang, gadis itu baru merasa bahwa tubuhnya butuh istirahat. Tenaganya sudah terkuras untuk ujian, emosinya juga terkuras karena insiden ini.

"Kalau sudah tenang, balik ke kamar lagi, yuk. Mark pasti sudah nenangin Jeno juga," ajak Hechan.

Naya menggeleng. "Aku ke sana kalau jam besuk kalian sudah selesai aja. Aku masih nggak mau ketemu sama Kak Jeno."

Hechan geleng-geleng kepala. "Ya sudah. Gue temenin disini."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro