81. Tahap Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Katanya, dulu ketua paskib, masa cara pasang dasi gini bisa lupa?" ejek Naya.

Mark malah terkekeh mendengar kalimat yang keluar dari mulut adiknya. "Maklum lah, Nay. Selama kuliah nggak pernah pakai dasi. Waktu pendadaran aja, Kakak minta tolong Lia."

Naya merapikan simpul dasi yang ia buat. Gadis itu tersenyum puas. "Nah, sudah selesai. Sana pergi. Ayah sama Bunda nungguin."

"Kamu bakal nyusul, kan?" tanya Mark.

Naya mengangguk. "Kelas aku selesai jam dua belas. Nanti aku langsung ke GSP."

"Dandan yang cantik ya. Julian juga wisuda lho hari ini," goda Mark.

Naya memukul lengan kakaknya pelan. "Sudah tahu dari orangnya langsung. Sana Kak, pergi."

"Hobinya ngusir orang, ih. Galak," komentar Mark. Namun cowok itu akhirnya pergi juga.

Naya tersenyum senang. Keluarganya bisa berkumpul karena ada momen wisuda sang Kakak. Karena semua kamar di rumah penuh, Ayah dan Bunda lebih memilih tidur di hotel dekat venue tempat diselenggarakannya wisuda. Makanya, pukul lima pagi ini Mark berangkat duluan ke hotel. Kalau Naya sih, dia masih harus ikut kelas dulu.

Pintu kamar Hechan terbuka. Cowok itu menguap lebar. Di antara penghuni rumah lainnya, Hechan adalah orang yang paling bisa bangun pagi. Kalau lagi normal, alias tidak berniat bangun terlambat, dia pasti selalu bangun pukul lima pagi.

"Mark sudah pergi ya, Neng?" tanya Hechan.

Naya mengangguk. "Mau ke hotel dulu. Ketemu Ayah Bunda."

"Selesai acara jam berapa sih? Gue ada kelas tapi mau ikut ngerayain."

"Kalau dari fakultas hukum kan, tinggal ngesot, langsung sampai ke GSP. Nggak perlu nyebrang Jakal dulu," ucap Naya mengomentari.

Hechan terkekeh. Klaster medika, kampus Naya, memang lumayan jauh dari GSP, tempat berlangsungnya wisuda nanti. Namun kampus Mark lebih jauh lagi.

"Jadi selesai acara jam berapa, Neng?" tanya Hechan ulang.

"Jam setengah satu atau satu katanya bakal pindah ke teknik. Ada acara di sana," ucap Naya.

"Nanti lo ke GSP sama siapa?" tanya Hechan. Cowok itu mengekori langkah Naya menuju dapur.

"Naik gojek. Baliknya disuruh bareng Kakak, soalnya mau foto keluarga," jawab Naya. "Kak Hechan mau aku bikinin sarapan juga?"

Hechan tentu tidak menolak. Dia bahkan dengan semangat memberikan satu bungkus roti tawar miliknya yang kemarin baru ia beli. Dasar kurang akhlak. Ditawarin, malah request menu.

"Gue bantu apa, nih?"

"Kak Hechan mau bantuin?" Kedua mata Naya melebar. Hechan kesambet apaan sampai mau kerja di dapur?

Cowok itu mencubit pipi Naya gemas. "Latihan jadi suami yang baik ini, Neng. Masa biarin istri masak sendirian?"

Naya memutar bola matanya jengah. Ia menunjuk tumpukan piring kotor di bak cuci. "Kerjain itu mau?"

Hechan mengangguk. Cowok itu mulai membasahi spons cuci piring dengan air.

Naya sibuk membuka kulkas. Menu pagi ini cukup simpel. Omelet telur dan sayuran rebus untuknya. Kalau Hechan, ditambah dengan roti bakar selai cokelat. Saking seringnya dimintai tolong masak oleh Hechan, Naya sampai hapal menu makanan kesukaan cowok itu.

"Kakak suka jus plum nggak?" tanya Naya.

"Kak Hechan suka sama semua yang Neng Naya suka."

Naya memukul lengan Hechan. "Jawab yang bener."

Hechan meringis. Pedes cuy tabokan Naya!

"Iya, suka kok, Sayang," jawabnya dengan nada manis dibuat-buat.

Tiga puluh menit kemudian sarapan telah siap. Hechan menatap ke atas meja dengan pandangan berbinar. Kalau sama Naya, mah, sudah tidak perlu ragu lagi dengan kemampuan masaknya. Dari segi rasa maupun penampilan selalu menggugah selera.

"Bentar, Neng. Mau gue foto dulu," ucap Hechan ketika Naya sudah mengangkat gelas berisi jusnya.

Hechan kembali tak lama kemudian. Ia mengambil beberapa foto. Kemudian cowok itu sibuk mengetik sesuatu di layar ponselnya.

"Jangan dibikin posting-an di Instagram lho, Kak," ucap Naya memberi peringatan.

"Gue kirim di grup keluarga, kok," ucap Hechan. Cowok itu menurunkan ponselnya. "Mau nunjukin ke orangtua kalau anaknya di sini hidup diurus calon mantu."

Naya memberi reaksi dengan membuat wajah seolah jijik. Hechan tertawa puas. Sempat-sempatnya cowok itu mencubit pipi Naya sebelum mulai menyantap hidangan yang tersaji di hadapannya.

"Kalau besok aku punya cowok, kurang-kurangin gombalnya lho, Kak," ucap Naya sambil memasukkan potongan wortel ke dalam mulut.

"Kenapa?"

Naya mendelik tak percaya. "Ya, biar nggak cemburu lah. Nanti Kak Hechan dicap sebagai pelakor."

"Kan wajar jahilin adek sendiri," kekeuh Hechan.

"Bukan saudara kandung lho kita. Lagian ngalus kayak gitu tuh nggak wajar diomongin ke adik. Incest dikiranya nanti," opini Naya.

"Eh iya ya, gue baru sadar," sahut Hechan. Ia meringis. "Ya gimana, Neng? Dulu kebiasaan ledekin lo kayak gitu cuma buat lihat ekspresi Mark kesel. Eh, malah keterusan. Nggak baper kan tapi?"

Naya menggeleng. "Nggak tuh. Aku biasa aja."

Hechan terkekeh. "Bagus lah."

"Gue jadi bisa lanjut ngalus ke lo tanpa terbebani," lanjut cowok itu dengan wajah tak berdosanya.

"Hati-hati, nanti malah Kak Hechan yang jadi baper," timpal Naya.

Hechan mengeluarkan suara tawa menyebalkan. "Hati gue mah baja banget, Neng. Nggak gampang baper."

Naya mencibir. "Hati baja? Ditinggalin cewek aja nangisnya kejer banget. Hampir bikin malu aku."

"Ya, gimana ya, Neng. Khilaf waktu itu. Imannya belum kuat," balas Hechan absurd.

Naya terkekeh. "Sudah bener-bener move on dari Kak Ratna?"

Hechan mengangguk mantap. "Tahun lalu gue dengan percaya diri datang ke acara wisudanya. Gue kasih bunga dan selamat. Padahal ada Lucas juga di situ."

"Widih, gue keren banget, yak!"

Naya hanya tertawa melihat Hechan yang malah takjub dengan diri sendiri. Ya, gini nih, kalau ngobrol sama Hechan tuh nggak pernah santai orangnya. Namun justru hal itu yang bikin Naya nyaman. Dia nggak perlu banyak bicara, suasana udah ramai.

"Caranya gimana sih, Kak?" tanya Naya.

Hechan menelan kunyahan dulu baru bicara. "Cara apa? Biar jadi keren?"

"Biar bisa move on dengan sepenuh hati."

Hechan terdiam mendengar pertanyaan itu. Naya sampai harus mengetuk piring Hechan hingga berdenting nyaring agar cowok itu tersadar.

"Hehe, maaf, lagi mikir," bohongnya. Hechan meminum jus plum miliknya dan berdeham sebelum bicara. "Gue sih, menyibukkan diri sama hal baru. Ya itu, U-Tube. Gue kan bikin biar bisa punya alasan lain untuk bahagia."

Naya memainkan potongan brokoli di piring. "Langsung berhasil, Kak?"

"Nggak lah, semua butuh proses, Neng," sahut Hechan cepat.

Cowok itu berdeham lagi. "Satu yang paling penting, tapi susah dilakukan. Kunci sukses move on, nih."

"Apa?" Naya mengangkat wajahnya.

Hechan tersenyum. "Ikhlas."

Ucapan Hechan memang benar. Tidak ada yang salah. Namun Naya malah geli mendengar kalimat itu keluar dari mulut Hechan. Apalagi suasana tiba-tiba jadi mellow gini.

"Ih, tumben bener," ejek Naya. Ia berusaha mengembalikan suasana. "Mau nambah nggak, Kak? Mumpung aku lagi baik nih."

"Neng, semangat ya! Gue selalu dukung lo."

Naya meringis. Ia menepuk pelan punggung tangan Hechan yang masih memegangi roti. Gadis itu mengedikkan dagunya ke arah piring Hechan.

"Makan yang banyak ya, Kak Hechan. Biar tetep gembul."

Hechan tidak terima. Ia kembali dalam mode bar-bar lagi. Cowok itu mengerucutkan bibirnya ke depan.

"Gembul, naon? Kasep pisan ieu muka. Sudah terkenal," protes Hechan.

Cowok itu tidak terima. Soalnya, sejak memulai karier sebagai penyanyi di U-Tube, Hechan jadi lebih merawat diri. Mulai dari pakai skincare sampai olahraga biar lemak terbakar. Kalau diet mah, Hechan masih belum ngatur. Kadang lancar, kadang macet.

"Iya, ganteng banget sih, Kak Hechan," puji Naya dengan nada meledek. "Sampai aku nggak mau lihat wajahnya."

Hechan protes. Dia misuh-misuh lagi. Naya hanya tertawa puas karena berhasil menyetir pembicaraan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro