86. Happy Ending

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu setengah tahun kemudian...

"Gileee, lulusan kedokteran kok banyak yang cum laude ya? Pada makan apa sih?"

Hechan menatap ke arah layar lebar yang menampilkan satu per satu wisudawan wisudawati dipanggil ke depan. Cowok itu cuma geleng-geleng kepala melihat teman-teman seangkatan Naya yang namanya disebutkan. Gadis mungil yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri itu juga hari ini diwisuda. Naya resmi mendapat gelar S.Ked setelah belajar tiga setengah tahun.

"Eh, Jen. Nama Naya dipanggil, Jen. Anjing! Dia IPK-nya 3.82. Bukan manusia, tai!"

Jeno buru-buru menutup mulut Hechan dengan tangan sebelum umpatannya berlanjut. Cowok itu meminta maaf pada para tamu wisuda yang tidak kebagian jatah kursi tamu undangan, seperti Hechan dan Jeno sekarang, saat melihat ke arah mereka berdua dengan tatapan tajam. Hechan dan Jeno sedang menonton prosesi wisuda dari ruangan umum di lantai satu. Hanya ada dua kursi tamu tiap wisudawan/wati untuk melihat secara langsung berjalannya prosesi wisuda. Tentu saja bagi Naya, dua orang penting itu adalah Bunda dan Mark.

"Bikin malu aja lo," seru Jeno sambil melepas bekapannya. Cowok itu balik badan dan keluar dari ruangan. Naya sudah dipanggil, tidak ada lagi yang perlu ia lihat.

"Tunggu dong, Jen," ucap Hechan sambil menyusul langkah temannya itu.

Bicara mengenai rumah, saat ini Mark sudah menutup bisnis kosannya. Tepatnya ketika Hechan dan Jevin lulus enam bulan yang lalu. Rendra keluar lebih cepat dari pada dua kroco lainnya. Cowok itu cari kos di dekat Sardjito agar lebih mudah untuk pulang saat jaga malam. Iya, Rendra lulus tepat 3.5 tahun dan melanjutkan pendidikan profesinya sebagai koas. Setelah Hechan dan Jevin selesai diwisuda, dua cowok itu kembali ke Jakarta. Cari kerja di tempat asal.

Namun, terlepas dari ketiga cowok tersebut, Jeno adalah orang pertama yang hengkang dari rumah. Ia tidak tahan untuk tinggal bersama Naya setelah mereka memperjelas hubungan rumit yang pernah terjadi diantara keduanya. Jeno bahkan pindah kosan lain saat Naya masih berada di Jakarta dalam masa berkabungnya.

Jeno bukan lari dari kenyataan. Ia hanya bersikap rasional. Terus berada di rumah yang memiliki banyak kenangan manis dengan Naya hanya akan membuatnya makin tersiksa. Pindah adalah salah satu cara terbaik untuk berdamai dengan masa lalu. Yah, walaupun hingga kini Jeno masih belum bisa melenyapkan rasa sayang pada Naya. Selalu timbul perasaan bersalah tiap ingat gadis itu.

"Lo gimana, Jen? Kapan lulus? Nggak malu nih sudah kebalap sama Naya?" tanya Hechan. Cowok itu menepuk bahu Jeno dan duduk melantai di sebelahnya.

"Tunggu pas lima tahun aja," jawab Jeno asal.

Kuliah Jeno memang sedikit terhambat, ada beberapa matkul yang harus ia ambil ulang. Agak nggak niat kuliah kayaknya. Banyak sekali masalah yang menjadi beban pikiran hingga kuliah Jeno terbengkalai.

"Rendra udah ada kabar belum?" tanya Jeno mengalihkan topik pembicaraan.

"Dia nggak bisa ikutan. Lagi sibuk jaga," jawab Hechan. Jeno manggut-manggut.

"Lo kok bisa ke Jogja, sih? Cabut?" kali ini Jeno bertanya karena murni penasaran. Pasalnya, ini hari Kamis, bukan weekend, dan Hechan sudah memiliki pekerjaan.

"Gue rajin ya, anti cabut," tukas Hechan cepat. "Tahu sistem yang namanya cuti? Gue menggunakan hak cuti gue sebagai karyawan dengan baik. Gue dateng jauh-jauh dari Jakarta demi acara keluarga, wisuda adek gue."

Jeno tersenyum miring. Temennya yang paling ajaib ini sudah punya pekerjaan mapan sebagai staff HRD di sebuah perusahaan swasta ternama di Jakarta. Jevin pun sedang dalam masa training di perusahaan keluarganya yang berkecimpung dalam bisnis makanan. Jeno jadi merasa kalah melihat teman-temannya yang telah sukses di jalannya masing-masing.

"Eh, buruan tanya, Jevin sudah dimana? Nanti keburu acara kelar dia belum sampai," ucap Hechan sambil menyikut pinggang Jeno yang malah hanya diam.

"Terakhir bilang sih, pesawatnya baru landing," jawab Jeno. Ia melihat jendela obrolan dirinya dengan Jevin. "Lagi di kereta bandara. Setengah jam lagi sampai. Gitu katanya."

Hechan tersenyum lebar. Ia sudah tak sabar membayangkan raut wajah Naya yang akan terkejut melihat kedatangan mereka. Kurang Rendra sih, tapi nggak papa lah, daripada nggak ada yang datang sama sekali.

Jeno dan Hechan saling bertukar cerita sambil membunuh waktu. Dari masalah kerjaan sampai jodoh, mereka obrolin. Keduanya juga sibuk bernostalgia, terutama Hechan, karena selama enam bulan terakhir ini dia kangen banget sama nasi uduk Palagan. Makanan yang paling sering dia beli karena letak tokonya dekat dengan rumah Mark.

Pembicaraan mereka terhenti oleh ramai orang keluar dari ruangan. Sudah selesai ternyata. Hechan dan Jeno melangkah menuju tangga di bagian barat GSP, tempat bertemu yang telah mereka sepakati dengan Mark.

"Halo, Neng Naya," sapa Hechan begitu melihat kehadiran Naya beserta Bunda dan Mark.

"Tante, apa kabar?" sapa Hechan setelah ibu dari Mark dan Naya tiba di depannya. Hechan dan Jeno menyalami Bunda bergantian.

"Baik," jawab Bunda. "Terima kasih ya sudah datang ke acara wisuda Naya. Pagi ini Naya males-malesan nggak niat make up karena lebih milih tidur. Semoga dia jadi seneng karena nak Hechan sama nak Jeno datang."

"Wah, pasti sih seneng. Iya nggak, Neng?" tanya Hechan pada Naya yang sedari tadi masih tak percaya melihat kedatangan mereka.

"Iya, seneng banget!" ucap Naya sambil mengangguk semangat.

Semua orang tertawa melihat reaksi Naya. Sudah dewasa tapi masih suka bertingkah imut.

"Ya sudah, Bunda tunggu di mobil ya. Mau cari minum," pamit Bunda.

"Mau Kakak antar, Bunda?" tawar Mark.

"Nggak perlu, Kakak temenin Adek aja di sini. Jangan kelamaan ya mainnya, masih harus foto dulu," ucap Bunda pada kedua anaknya.

Sepeninggal Bunda, suasana kembali ramai oleh ocehan Hechan. Cowok itu hanya bisa bersopan-santun di hadapan orang tua saja. Kalau sudah tidak ada, Hechan kembali menjadi mode tidak punya akhlak.

"Selamat ya, Neng. Kak Hechan bangga," ucap Hechan.

"Selamat ya, Naya," ujar Jeno. Ia menampilkan senyum mata bulan sabit termanisnya pada Naya.

Naya tersenyum lebar. "Makasih, Kak Hechan sama Kak Jeno. Aku nggak nyangka bisa reunian kayak gini sama kalian."

Ponsel Mark berdering. Cowok itu meraih gawainya dari saku.

"Nay, Kakak terima telepon dari kantor dulu ya," pamit Mark memotong obrolan mereka. Cowok itu melihat ke arah Hechan dan Jeno. "Titip adek gue sebentar."

"Titip apaan sih? Aku bukan barang," protes Naya sambil memajukan bibirnya setelah Mark berjalan menjauh.

"Nggak ada yang berubah ya. Lo tetep suka ngomel," sahut Jeno tersenyum tipis. Naya hanya meringis menahan malu.

"Oh ya, Neng. Nanti setelah sampai rumah jangan kaget ya. Ada kejutan menarik," ucap Hechan menyela.

Tatapan Naya terarah pada Hechan. Matanya berbinar. "Ada hadiah ya? Ih, padahal aku sempat sedih lho, Kak, waktu lihat kalian datang dengan tangan kosong."

"Jujur banget sih, Neng. Nggak malu apa?" ledek Hechan sambil mencubit pipi Naya pelan.

"Kak Hechan, nanti make up aku rusak!"

"Biarin. Bagusan nggak pakai make up kok," ucap Hechan. Hobi tukang ngalus masih melekat dalam dirinya.

Alhasil, keramaian itu didominasi oleh pertengkaran kecil antara Hechan dan Naya. Sudah lama nggak ketemu, bukannya kangen-kangenan malah adu mulut. Memang Tom and Jerry sejati.

Mark kembali. Ia sudah tidak bicara di telepon, namun matanya tetap terpaku pada layar ponsel. Cowok berbadan kurus itu menghampiri sang adik.

"Nay, pacar kamu mana? Kok belum datang?"

Mendengar kata pacar, Jeno jadi terdiam. Ia lupa kini Naya telah memiliki pendamping di sisinya. Seorang pacar. Hubungan mereka memiliki nama dan jelas, pacaran.

Naya seketika teringat. Ia meraih ponsel dari dalam tas kecilnya.

"Sebentar lagi sampai kok, Kak," ucap Naya sambil senyum-senyum sendiri membaca pesan dari kekasih hati.

Hati Jeno panas. Namun ia tidak berhak marah.

"Shavella Nayana!"

Keempat orang tersebut menengok menuju sumber suara. Itu suara yang mereka kenal. Seorang cowok dengan berpakaian necis ala CEO di drama-drama Korea datang mendekat dengan sebuket bunga di tangan. Saat jalan ia tetap tersenyum lebar. Ketampanannya membuat beberapa orang memandang iri, mengikuti langkah cowok itu, mencari tahu siapa sosok beruntung yang baru saja disapanya.

"Selamat ya, sudah nambah empat huruf di belakang nama," ucap cowok itu sambil menyerahkan buket bunga pada Naya yang masih terpaku di tempat.

Hechan yang sedari tadi kesal dengan cara kedatangan temannya, menoyor kepala orang tersebut dari belakang. Iri bro, diperhatikan sama kaum hawa begitu.

"Hehe, makasih Kak Jevin! Aku suka bunganya!" ucap Naya sambil tersenyum lebar. Ia menciumi buket pemberian Jevin.

"Gaya banget sih pakai setelan begini, nggak panas apa?" tanya Jeno kesal.

"Gue berusaha tampil sebaik mungkin di hari spesial ini," jawab Jevin sambil tetap tersenyum manis. Ia menoleh ke arah Naya di depannya. "Iya, kan Naya?"

Naya hanya manggut-manggut. Dia terlalu senang karena akhirnya mendapat bunga pertamanya. Lumayan untuk properti foto-foto nanti. Biar aura wisudanya terasa.

"Bentar, masih ada satu lagi. Dipakai ya selempangnya," ucap Jevin sambil mengeluarkan kain panjang dari dalam saku jasnya.

Naya membiarkan cowok itu memasang selempang untuknya. Ia menunduk, membaca tulisan yang tertera. "Shavella Nayana, S.Ked"

"Huhu, aku seneng banget. Makasih banyak, Kak Jevin," ucap Naya sambil pura-pura nangis terharu. Nggak bisa nangis beneran karena takut dandanannya rusak.

"Nah, sudah lengkap nih. Kita foto dulu yuk," ajak Mark. Cowok itu memasukkan ponsel ke dalam sakunya, menyingkirkan pekerjaan barang sebentar.

Naya mengiyakan. Ia meminta tolong pada seseorang untuk mengambil gambar mereka berlima. Naya berdiri di tengah, diapit oleh Mark dan Jevin di kanan-kiri. Bahunya dirangkul oleh sang kakak, kelihatan banget protektifnya. Jeno berdiri di samping Jevin, sedangkan Hechan disamping Mark.

"Makasih ya, Rian. Nanti aku nyusul untuk foto bareng seangkatan," ucap Naya pada salah satu temannya yang ikut diwisuda hari itu.

Kelima orang itu asyik mengobrol. Kebanyakan sih topiknya tentang Naya, selaku artis hari ini.

"Naya, maaf aku terlambat," seorang cowok tiba dengan napas terengah-engah. Sepertinya ia datang dengan cara berlari di bawah teriknya matahari siang ini.

Naya yang melihat itu kaget. Ia memberikan buket bunga yang sedari tadi dipeluknya pada sang kakak dan buru-buru menghampiri orang yang baru datang tersebut.

"Lari-lari ya kesini? Padahal nggak usah buru-buru lho, Kak," Naya mengelap peluh di dahi cowok itu dengan tisu. "Aku kan tahu Kakak lagi persiapan ujian profesi. Pasti Bunda sama Kak Mark juga ngerti kok."

Cowok itu malah tersenyum lebar. Hobi senyum. Suara omelan Naya terdengar bagai kicauan burung di pagi hari. Merdu dan bikin tenang.

"Selamat ya, Sayang. Kamu sudah berhasil melewati satu fase kehidupan," ucapnya sambil menyerahkan paper bag besar pada Naya.

Kedua bola mata Naya membesar. Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Hadiah yang ia terima ini pasti buatan tangan, seperti hadiah-hadiah terdahulu. Naya selalu tersentuh oleh ketulusan hati sang pemberi.

"Makasih ya, Kak Julian," ucap Naya sambil meraih tangan cowok itu. Tatapan matanya melembut.

Julian hanya mengangguk. Senyuman manis tetap menghiasi wajah.

"Hei, Bro!" sapa Mark sambil berjalan mendekat. "Gimana kabar?"

"Eh, Mark," sapa Julian balik. Ia tadi terlalu fokus pada Naya. "Baik nih, mental aja yang lagi agak terguncang. UKMPPD sudah di depan mata."

"Jangan ngomong gitu, Kak," ucap Naya memperingatkan dengan kesal. Julian hanya terkekeh.

"Oh ya, Mark. Tolong fotoin ya, sebelum dandanan Naya makin rusak karena kebanyakan ngomel," ucap Julian sambil menyerahkan ponselnya pada Mark.

"Ih, Kakak ngejek aku ya? Katanya aku mau gimana pun bakal keliatan cantik."

"Makin cantik lagi kalau senyum, bukan cemberut gitu," ucap Julian sambil merangkul pinggang Naya agar berdiri lebih dekat dengannya.

"Aku kesel," potong Naya.

Mark meminta tolong Hechan untuk memegangi buket bunga milik Naya. Percuma minta tolong pada Jevin atau Jeno yang berdiri dekat dengannya. Dua orang itu sedang mematung menyaksikan telenovela secara langsung di depan mata.

"Tapi sayang, kan?"

Pipi Naya memerah. Ia mendongak, melihat ke dalam mata Julian dengan hangat. Senyumnya terbit.

"Iya," jawabnya dengan nada manis. "Sayaaanggg banget."

Julian tertawa pelan. Ia mencium kening Naya lembut.

"Aku juga sayang kamu."

"Heh! Jadi foto nggak, nih?" teriak Mark. "Buruan pose yang bener."

Naya dan Julian saling tatap beberapa detik. Tawa keduanya pecah. Mark suka iri sama hubungan manis mereka. Maklum, jomblo.

"Satu, dua, tiga!"

Jepret.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro