Chapter Two

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gerald ‘Ed’ Charbonnet memang sosok ayah yang baik. Martha sangat tahu itu.

Namun, Martha juga sangat tahu bahwa sikap ayahnya akan menjadi sangat menyebalkan jika sedang berhadapan teman lelakinya, apalagi dengan Matteo yang datang ke rumah sebagai pacarnya.

Hal itulah yang membuat Martha panik dan segera berganti pakaian selepas kepergian Margareth. Dikenakannya pakaian yang tertutup---sesuai perintah ibunya---dan berjalan keluar kamar sambil menyeret koper yang tadi telah disiapkannya.

Kedua kaki Martha melangkah cepat menyusuri lorong untuk mencapai tangga menuju lantai bawah. Namun saat dirinya melewati sebuah pintu cokelat kusam, tubunya membeku saat angin dingin menerpa wajahnya, dan samar tapi jelas sebuah suara tertangkap indra pendengarannya.

Martha ....

Martha mencoba menenangkan laju napasnya yang mendadak berburu cepat. Dipejam kedua matanya sambil menggeleng kuat-kuat.

Tidak. Jangan sekarang, batin Martha merana.

Martha, aku ingin bermain denganmu sekarang ... ayo segera masuk ke sini ....

Tanpa harus mengeceknya, Martha tahu bahwa suara itu berasal dari balik pintu cokelat di sampingnya. Bulu halus di pundaknya meremang, kulit tipis di bibirnya mongering dengan cepat. Sensasi ini sudah sering Martha alami ketika mahluk tak kasat mata mencoba menganggunya.

Aku sudah lama ingin bermain denganmu Martha ...

Suara di balik pintu kembali berkata disertai ketukan pelan. Martha tentu mengenali suara itu, suara adiknya yang telah meninggal belasan tahun lalu tak mungkin Martha salah kenali. Namun, Martha juga sama tahunya bahwa suara itu bukanlah berasal dari adiknya.

“Kau bukan adikku,” bisik Martha tajam ke arah ruangan dengan pintu itu. Kebencian yang selama bertahun-tahun dipendamnya kini berkobar riang. “Kau hanya mahluk hina yang kini menjadi tawanan keluargaku.”

Reaksi dari ucapan Martha terasa begitu cepat. Suara anak kecil yang sempat terdengar berubah menjadi geraman rendah nan dalam. Sekonyong-konyong, ketukan di balik pintu itu berubah menjadi dobrakan keras.

Brak!

DASAR KAU WANITA JALANG SIALAN! LEPASKAN KURUNGAN INI DAN AKAN KUBUNUH KAU! AKAN KUBUNUH KAU DAN SELURUH KELUARGAMU SEPERTI AKU YANG TELAH MENCABIK-CABIK ADIK TOLOLMU DULU!!!

Martha segera berlari menjauh dari amarah mahluk dalam rungan itu. Hatinya dipenuhi rasa sakit setiap mengingat kematian adiknya yang disebabkan kesalahannya dulu.

Tiba di lantai bawah, Martha mencoba menenangkan diri sebelum bergabung dengan yang lain. Martha tak bisa membiarkan kedua orangtuanya melihat dirinya dengan kondisi seperti itu, kalau tidak, segala usahanya untuk meyakinkan keduanya agar membiarkan Martha pergi menjalani misi akan jadi sia-sia belaka.

Ketika Martha memasuki ruang tamu, ketiga orang yang sedang duduk di sofa langsung menyadari keberadaanya.

“Hei, kau sudah siap untuk berangkat?” tanya pria yang anehnya tampak nyaman berada satu ruangan dengan kedua orangtuanya. Matteo sudah nyaris setahun jadi kekasih yang selama ini menemani masa-masa perkuliahan Martha.

Berkulit putih, mata hijau dan rambut hitam kecokelatan, Martha sempat khawatir jika pacarnya itu tak bisa berbaur dengan mudah bersama keluarganya yang berwarna merah menyala. Melihat kenyataannya sekarang, sepertinya kekhawatiran Martha sudah tak diperlukan lagi.

“Aku sudah siap,”  jawab Martha, lalu ditatap ayahnya. “Apa ayah dan ibu jadi mengantarkan kami ke bandara?”

“Tentu saja, Sayang,” timpal Gerald singkat. Pria berbadan besar itu bangkit berdiri dan berjalan menuju kamarnya untuk bersiap yang disusul oleh istrinya kemudian.

Selepas kedua orangtuanya meninggalkan ruangan, Martha dengan cepat mendekati sang pacar. “Jadi, apa saja yang tadi kau obrolkan dengan ayahku?”

Matteo mengusap dengan lembut puncak kepala Martha. “Banyak hal. Dia menanyai soal keluargaku dan lainnya, ayahmu juga menawariku jika aku mau mewarnai rambutku menjadi merah, dan ternyata kami menggemari grup football yang sama, kau tahu?”

“Hmm, aku tak tahu soal itu. Dan kau tak perlu mengubah warna rambutmu agar bisa terlihat cocok bersama kami. Ayah dan Ibuku tidak merepotkanmu kan?”

“Tidak, kurasa tidak. Tenang saja, aku kan sudah bilang aku pasti bisa menaklukan hati orang tuamu.”

Martha memutar bola matanya mendengar kepercayaan diri Matteo yang kadang-kadang memang benar adanya itu. “Baguslah, kalau begitu kau tak sulit untuk meyakinkan mereka mengapa kau harus ikut bersamaku, kan?”

“Hmm,” gumam Matteo sebagai jawaban. Diraihnya satu tangan Martha dan menekan telapak tangan yang lembut itu ke bibirnya.

Tanpa disadari Matteo, Martha tersipu malu. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya berpacaran, jantung Martha berdegup kencang setiap kali bersentuhan kulit dengan pacarnya ini.

Kedatangan Gerald dan Margareth membuat Matteo dan Martha harus rela melepaskan pegangan tangan. Setidaknya sebentar lagi, hubungan mereka berdua takkan lagi berada dalam pengawasan.

Karena mengejar jadwal keberangkatan pesawat, mereka semua berangkat tanpa menunggu lama.

Jarak antara rumah keluarga Charbonnet ke Bandar Udara Nasional Tusacloosa cukup jauh, memakan waktu nyaris tiga puluh menit untuk sampai ke sana.

Ketika sampai, jadwal penerbangan yang sudah dipesan akan terlewat beberapa menit lagi, membuat Martha tak bisa lama-lama mengucap kata perpisahan pada orangtuanya.

“Pokoknya kau harus berjanji akan menyusul kami ke Florida setelah misimu selesai di California, oke, Sayang?” ucap Gerald di detik-detik perpisahan mereka. Martha akhirnya terpaksa mengucapkan janji itu sebelum pergi memasuki kabin pesawat yang akan terbang beberapa saat lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro