Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hanya sebagian murid yang tidak menyukai pelajaran olahraga, terlebih Rindu. ia sangat lemah dalam pelajaran ini. Nilainya selalu di bawah rata-rata. Hal itu membuat Pak Burhan, guru olahraga, membencinya.

Seharusnya, sebagai seorang guru tidak boleh membenci murid yang kurang pandai dalam mata pelajaran yang diajarkan, bukan? Sebagai guru, harus bisa memberikan contoh yang baik agar para muridnya bisa mencontoh yang baik pula.

“Rindu, kamu ngulang lagi olahraga minggu depan! Nilai di bawah rata-rata terus.” Pak Burhan mengomel dengan tatapan tidak sukanya.

“Baik, Pak.” Rindu sudah pasrah jika nilai olahraganya terendah dari murid yang lain. Ia memang tidak bisa dan tidak menyukai olahraga.

Echa langsung menggandeng Rindu ke sisi tepi. “Lo latihan aja pulang sekolah sama Anres. Dia jago olahraga, apalagi kapten basket, ‘kan? Ntar gue temenin, gimana?” cewek berambut lurus sepinggang itu menaikkan kedua alisnya minta persetujuan.

Matahari bersinar terang, namun tidak seterang Rindu dalam pelajaran olahraganya. Membuat cewek berumur delapan belas tahun itu menyipitkan mata karena terpapar sinarnya. Tangannya dinaikkan ke dahi guna menutupi silaunya mentari. “Boleh. Tapi, emang Anres mau?”

“Apa, sih, yang enggak buat sahabat? Nanti kita ngomong sama Anres. Ganti baju, yuk! Udah gerah.”

Pelajaran olahraga telah usai, membuat para murid berganti seragam. Semua cewek berganti ke toilet, sedangkan cowok cukup berganti di kelas. Katanya, cowok itu enggak ribet. Enggak kayak cewek.

Di dunia ini, sebenarnya yang ribet itu bukan hanya cewek. Cowok pun demikian. Saat bermain game dan kalah, pasti uring-uringan melebihi cewek kalau datang bulan. Apalagi saat cowok pertama kali kencan, pasti bingung mau bawa apa sebagai bingkisan buat ceweknya.

Ngomong-ngomong soal bingkisan, Echa lupa jika dirinya disuruh Bu Niken—guru Biologi—membawa tanaman dalam pot, karena minggu ini adalah tugasnya.

“Eh, Rin, gue lupa nggak bawa pot, gimana ini? Ntar nilai gue berkurang nggak, ya?” Echa terlihat tergesa-gesa memakai seragamnya, ia buru-buru memasukkan bajunya ke dalam rok, hingga lupa belum direseleting.

“Emang kelompok sekarang yang bawa lo doang?” Rindu sudah berdiri di depan wastafel toilet. Merapikan rambutnya.

“Gue duluan, ya? Bye.” Echa sangat buru-buru meninggalkan toilet hingga bajunya tertinggal di sini.
“Dasar pelupa. Baju olahraga aja sampe ketinggalan.” Rindu menggelengkan kepala sambil melipat seragam olahraga Echa.

Segerombol geng Nita datang. Nita adalah teman sekelas Rindu yang tidak menyukai dirinya.

Sambil mengunyah permen karet, Nita melirik pada Rindu dan berjalan melewatinya. Dia membasuh wajahnya di wastafel depannya, lalu berkaca sambil menyisir rambutnya dikuncir kuda lagi.

“Lo bego banget, sih, pelajaran olahraga?” Rindu menoleh, menatap Nita dengan kedua alis naik. “Bisa, kan, latihan dulu sama Anres juga Echa sebelum olahraga? Jangan buat Pak Burhan marah, deh.” Selesai menguncir rambutnya, Nita menatap Rindu yang masih menatapnya.

Meskipun tingginya kurang dari Nita, Rindu tidak takut ataupun gemetar. Satu tangannya berada di pinggang. “Gue emang nggak jago olahraga, setidaknya gue udah berusaha biar nggak remed tiap kali pengambilan nilai.” Ia langsung menghadap ke cermin.

“Yang namanya berusaha itu nggak bakalan remed kayak lo.” Nita langsung pergi, pundaknya dengan sengaja menyenggol pundak Rindu dengan keras hingga Rindu mengaduh.

Rindu mengaduh, ia memegang pundaknya. Rasanya seperti tersengat listrik. Dengan pelan ia mengusap pundaknya, lalu berjalan menuju kelas sambil membawa baju olahraga Echa.

Guru pelajaran Biologi sudah ada di kelas. Rindu mengetuk pintu membuat Bu Niken melihatnya lalu menyuruhnya masuk.

“Nih, seragam lo. Lain kali diinget apa yang belum lo bawa!” Rindu duduk di kursi belakang Rindu.

“Makasih. Gue tadi juga lupa ngereseleting rok gue. Pas di luar diingetin sama Diana.”

“Bagus. Setidaknya ada yang masih baik sama lo. Bu Niken gimana? Diomelin nggak?” Rindu mengeluarkan bukunya sambil menatap depan.

“Ehehe... Enggak. Minggu depan katanya. Eh, gue udah bilang Anres. Ntar pulang sekolah gimana?” Echa menegapkan duduknya ke punggung kursi agar Rindu mendengar suaranya.

Rindu bertumpu dengan kedua tangan berada di meja.“Lo tau sendiri gue kerja. Tapi, gue bisa izin, sih.”

“Yaudah. Lo izin aja kerjanya. Demi nilai lo.”

Mereka menghentikan obrolan saat Bu Niken sudah berdeham dan melihat pada Rindu dan juga Echa. Daripada mendapat teguran yang membuat keduanya mendapatnya hukuman, lebih baik diam.

Setiap murid duduk dengan kursi tunggal. Rindu dan teman-temannya sekitar 25 murid duduk di kelas 12 IPA2. Tempat Rindu dan Echa menuntut ilmu di tahun terakhir di SMA Mentari.

SMA swasta itu memiliki gedung utama berlantai tiga. Lantai satu untuk ruang guru juga sebagian kelas 10, sedangkan lantai 2 untuk ruang praktik dan sebagian kelas 10. Lantai 3 untuk kelas 11 dan 12.

Gedung sebelah adalah gedung untuk olahraga. Hampir semua olahraga memiliki tempat masing-masing. Sepak bola mini, basket dalam ruangan serta kolam renang yang berada di lantai yang berbeda.

Lantai dua khusus untuk olahraga Basket, Voli, juga badminton.

Rindu telah menelepon Bosnya tidak masuk hari ini, bahkan untuk beberapa hari ke depan karena akan fokus pada pelajaran yang mulai menyita banyak waktunya. Bosnya pun mengizinkan karena tak lain adalah orang tua Anres sebagai pemilik tokonya.

Di sinilah mereka berada. Rindu, Echa dan Anres. Mereka berada di lantai 2, tempat lapangan basket berada. Sebelum melakukan olahraga, Anres mengajak untuk pemanasan terlebih dahulu. Lalu mereka memulai dengan menggiring bola menuju ring, Rindu sangat gugup dan merasa sedikit gemetar. Ia merasa tidak bisa melakukan gerakan yang menguras keringat berlebih.

“Gue nggak bisa.” Rindu berhenti dengan napas tersengal. Ingin rasanya menyudahi latihan ini, tapi bagaimana dengan nilai olahraganya? Ia tidak mau menjadi bahan olok-olok teman-temannya.

Anres dan Echa menyusulnya dari belakang dengan bola di tangan. “Setidaknya jangan sampe remed lagi, Rin! Tau sendiri Pak Burhan gimana ke elo.”

“Bener apa yang dibilang Anres, Rin. Semangat, My Bestie. Lo pasti sanggup melalui semua ini.” Echa memberikan pelukan hangatnya pada Rindu guna menenangkan sahabatnya.

“Boleh istirahat dulu, nggak? gue beneran capek.”
Echa langsung menarik tangan Rindu. “Boleh lah. Nggak diawasin guru ini. Ya, nggak, Res?” Echa langsung menatap Anres sebagai cowok satu-satunya di sini.

Karena lapangan basket di depan gedung utama sedang buat latihan kelas 10 dan 11 makanya Anres mengajak Echa dan Rindu ke sini. Mereka berjalan ke tepi lapangan, tempat tas mereka berada.

“Boleh. Kalian udah bawa minum belum? Gue mau beli minum, nih.” Anres mengambil handuk kecilnya di tas dan berdiri di depan Echa.

“Mau, dong, gue nggak bawa minum.” Echa duduk di sebelah Rindu.

Melihat temannya selalu mengibaskan rambut, Echa berinisiatif untuk menguncirkan rambutnya.

“Sini, gue kuncirin rambut lo.” Echa langsung memegang rambut Rindu.

“Eh, nggak usah. Biarin aja.”

Meskipun sudah dibilang tidak, tapi Echa tetaplah Echa yang tidak mendengar kata tidak dari cewek yang duduk di sebelahnya.

BTW, nih, ya. kuciran rambut lo perasaan ini mulu yang dibawa? Nggak punya yang lain?Udah buluk tau.” Echa melihat kucir rambut Rindu sudah berubah warna, dan sedikit longgar jika dipakai.

Rindu membalik badan, tidak membiarkan Echa menyelesaikannya lebih dulu dengan mengambil kucir rambut yang ada di genggamannya.“Ini, tuh, pemberian dari nyokap gue. Dan ini, satu-satunya peninggalan beliau yang bisa deket sama diri gue.” Rindu menghadap depan lagi dan memberikan kucir rambutnya pada Echa. “Nih, kuncirin gue lagi!”

Echa mengangguk. Ia tidak mau merusak suasana dengan mengingatkan Rindu pada peristiwa di mana dia kehilangan kedua orang tuanya untuk selama-lamanya.

“Rin, leher lo kenapa? Kok, merah? Sakit?” Echa melihat tanda merah di leher Rindu. Ia mau memegang, tapi tangannya di tahan Rindu. Bukan hanya sekali dua kali, namun ia sudah sering melihat memar di lengan atau tubuh Rindu yang lain.

“Nih, minuman kalian!” Anres tiba dengan membawa dua botol minum isotonik. Ia duduk bersila di depan Rindu dan Echa.

#TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro