Bab 3.b

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah ribut dengan Nita, Rindu mengajak Echa untuk istirahat di perpustakaan. Ia tidak ingin kebencian Nita semakin menjadi karena intesitas pertemuan mereka.

Lo ngajak gue ke sini buat ngehindar dari Nita, kan? Pengecut banget, sih, lo. Jangan jadi cewek lemah, bakal ditindas mulu kalo lemah, tuh, sengit Echa dengan emosi sudah di ubun-ubun.

Rindu menundukkan kepalanya di meja. Ia ingin masalah menjadi panjang karena kelemahannya. Gue emang lemah, gue pengecut, Cha. Gue nggak punya siapa-siapa yang bisa gue jadiin pegangan. Gue udah kehilangan nyokap gue. Gue nggak mau kehilangan kalian juga. Tetesan air jatuh dari mata Rindu. Ia sudah menahannya sejak di kelas tadi.

Echa menarik pundak Rindu dengan kedua tangannya hingga duduk menghadapnya. Diusapnya air yang meleleh dari mata itu seperti lava yang keluar dari gunung merapi. Lo ada gue, ada Anres. Lo anggep apa kami? Kita udah temenan dari SMP, Rin. Udah lima tahun lebih itu udah cukup bukti kalo kita selalu sama-sama dalam keadaan apapun. Lo ngerti?

Rindu langsung menghapus air matanya. Ia duduk menghadap depan, dengan tegak. Makasih. Kalian emang keluarga gue. Echa memberikan tisu.

Rindu mengelap air matanya. Lo mau tau lebam yang gue alamin dua tahun belakangan ini? Menoleh ke Echa yang masih menatapnya. Dia pun mengangguk.

Ntar aja, deh, pulang sekolah. Kita nongkrong dulu di depan kelas, gimana?

Oh, lo mau ngeliatin Aldo main basket, ya? Jari telunjuk Echa menggoda Rindu hingga membuatnya tersipu malu.

Dengan wajah malu-malu, Rindu langsung membuka bukunya untuk menghindari godaan dari sahabatnya.

Ruang perpustakaan yang luas membuat beberapa murid nyaman di sini, untuk sekedar duduk-duduk atau berteduh dari panasnya matahari karena ruangan ini berpendingin.

Rindu kenapa nangis? Nih, gue bawain makan siang. Gue tau kalian nggak bakal ke kantin. Anres sudah berdiri di depan mereka sambil meletakkan dua bungkus roti serta minuman.

Tau aja, nih, anak dokter. Echa langsung mengambil rotinya, dan memberikan pada Rindu setelah membukanya. Nih, lo makan dulu!

Makasih.

Kenapa? Gue ketinggalan berita, nih. Anres duduk dan mengambil buku yang ada di depan Echa dan membuka botol minumnya.

Echa menatap Rindu lagi. Selama ini lo sembunyiin dari kita, lo kesakitan sendiri tanpa ngasih tau ke kita—.

Lebam Rindu? itu yang ngelakuin Pak Larso? Atau lo punya cowok yang kita belum tau kabarnya?

Dia naksir Aldo, BTW. Hehehe.... Rindu langsung membungkam mulut Echa. Ia tidak mau jika masalah ini bisa tersebar.

Di perpustakaan masih banyak orang. Ada murid dari kelas IPA2, Rindu takut jika masalah ini tersebar, maka orang yang menyukai Aldo akan bertindak untuk merundungnya. Terutama Nita. Cewek yang selalu merundungnya itu dikenal sudah menyukai Aldo kelas satu, tapi tidak ditanggapi oleh Aldo.

Oke-oke, gue diem. Echa masih tersenyum lebar, ia mendapatkan ide untuk bicara Anres. Ia pun mengatakannya saat Rindu membaca bukunya lagi. Res, jangan lupa bilang ke Aldo soal perasaan Rindu. pancing-pancing aja, kali nyangkut, bisik Echa ke telinga Anres dengan badan naik ke atas meja.

Anres terlihat menatap Echa, kemudian menatap Rindu sambil tersenyum usil. Emang bener, Rin? Sejak kapan?

Rindu yang tidak tahu menaikkan kedua alisnya. Apaan?

Mata Echa langsung melotot menatap Anres. Gue udah bilang diem-diem malah ngomong sama Rindu. Gimana, sih, lo. Echa langsung memandang Rindu menunggu jawabannya.

Itu yang masalah Aldo.

Tepat saat itu, bel berbunyi membuat mereka harus kembali ke kelas. Rindu belum sempat menjawabnya.

Udah bel, tuh. Yuk, masuk! Ntar, pulang sekolah, kita ngobrol di depan kelas, gimana? ajak Rindu sambil memastikan Anres tidak ada latihan. Ini juga satu alasan agar Rindu tidak menjawab pertanyaannya.

Cowok satu itu dekat dengan Aldo, bagaimana jika nanti dia akan mengatakannya pada Aldo? Apa tidak malu sebagai cewek mengatakan kata suka terlebih dahulu pada cowok? Rindu menghindari itu karena ia paham jika dirinya bukan siapa-siapa. Ia tidak memiliki keluarga yang utuh.

Lagi pula, Cowok dengan tinggi sepuluh senti dari tinggi Rindu dan Echa itu selalu latihan saat pulang sekolah. Setiap hari kegiatannya selalu latihan hingga sore hari. Maklum, kapten basket, jadi harus memberikan sepenuh hati dan seluruh jiwanya untuk basket karena itu adalah hobinya.

Echa berharap jika Anres mau menemani mereka mengobrol, dan mendengarkan keluh kesah Rindu selama ini. Karena dulu, Rindu anak yang ceria. Pastinya sebelum kedua orang tuanya meninggal.

Gue nggak bisa. Bentar lagi, kan, ada tanding sama sekolah sebelah. Jadi, harus latihan ekstra biar menang.

Echa langsung merangkul Anres dan Rindu. Mereka berjalan bersama setelah keluar dari perpustakaan. Lo latihan aja, nggak apa-apa. Gue yang bakal nemenin Rindu nanti.

Oke. Setidaknya ada satu temen yang bakal nemenin kalo yang lain lagi nggak bisa.

Pelajaran dimulai, membuat semua terfokuskan pada guru yang mengajar di depan. Bu Niken, guru Biologi. Ini adalah jadwal Echa membawa pot kecil untuk presentasi di depan kelas.

Bagaimana, Echa? Bawa pot tidak hari ini? Bu Niken berjalan ke depan papan tulis.

Bawa, Bu. Echa pun bersiap-siap membawa potnya ke depan dan mempresentasikan pot yang ia bawa.

Semangat. Tangan Rindu mengepal ke atas memberikan semangat untuk sahabatnya.

Tumben-tumbenan Rindu menyemangatinya hanya untuk presentasi di depan. Biasanya dia hanya akan tersenyum melihat Echa maju ke depan untuk presentasi tugas apapun itu.

Echa membalas dengan senyuman dan berkata OKE pada Rindu.

Echa mempresentasikan tanaman pot yang ia bawa. Dengan bentuk daun seperti hati berwarna corak-corak putih kemerahan pada ruas daunnya.

Tanaman apa yang akan kamu presentasikan, Cha? tanya Bu Niken, untuk memulai presentasinya.

Piper Ornatum atau Celebes Pepper, Bu. Kalo di Indonesia namanya Sirih Merah. Echa bersiap untuk berdiri di depan papan tulis.

Ya, silakan! Bu Niken kembali ke mejanya dan mulai menilai presentasi Echa.

Selamat siang teman-teman. Di sini, saya akan mempresentasikan tanaman yang saya bawa. Tanaman ini bernama Piper Ornatum atau nama lainnya Celebes Pepper. Tanaman ini hanya ada di Indonesia saja, orang Indonesia biasa menyebutnya Sirih Merah. Pada tahu, dong, tanaman yang saya bawa? Tanaman ini berasal dari Peru, Amerika.

Res, Lo jangan bilang sama Aldo soal tadi di perpus! Rindu menoleh ke belakang setelah memundurkan kursinya hingga mentok ke meja Anres.

Anres memajukan badannya hingga mentok ke meja. Emang kenapa? Kalo sama Aldo nggak usah gengsi, dia juga suka sama lo kayaknya.

Lo jangan gila, ya! Nggak usah bohong. Gue nggak mau dikira ngejar-ngejar dia. ;o tau sendiri Nita juga suka sama Aldo.

Gue nggak boong. Dia pernah nanyain lo waktu ketemu lo kerja di toko gue. Bukan cuma itu, sih, dia juga pernah jangan sampe gue buat lo kecapekan kerja di sana.

Rindu membelalakkan matanya. Ia terkejut mendengar penuturan sahabatnya. Terus terus ... gimana lagi? tanyanya penuh semangat. Ia lupa jika sahabatnya sedang presentasi di depan. Tidak mendengarkan karena asyik dengan ucapan Anres.

Woy ... dengerin depan, noh! Sahabat lo lagi presentasi! tegas Nita. Tidak suka jika melihat Rindu bahagia barang sedetik.

Rindu pun langsung melihat, tapi masih menyandarkan tubuhnya di punggung kursi sehingga masih bisa mendengar ucapan Anres.

Ntar lagi aja. Ada yang sewot.

Rindu hanya bisa menunggu saat pulang sekolah Anres akan menceritakan padanya tentang Aldo.

Hingga bel pulang berbunyi. Rindu tampak semangat menggandeng lengan Anres untuk menceritakan apa yang ia ketahui tentang Aldo.

Gimana?

Apaan, Rin? tanya Echa penasaran. Ia tidak tahu apa yang dimaksud Rindu. Apa, sih? Tumben banget Rindu sampe gandeng-gandeng tangan lo, Res? Ia menatap Anres meminta penjelasan.

Suasana kelas sudah sepi. Hanya tersisa Nita dan gengnya yang sudah berada di depan pintu kelas.

Kenapa baru sekarang bilangnya? Tuh, Nita masih di depan. Pelanin suara lo! Anres melepaskan tangan Rindu dan menyuruhnya duduk di kursinya. Anres pun ikut duduk di kursinya, diikuti Echa.

Oh, masalah Aldo?

Hem. Rindu tampak malu-malu sambil melebarkan senyumnya menjawab pertanyaan Rindu.

Waktu itu dia langsung ngirim WA ke gue, waktu ketemu sama lo. Terus pas latihan basket dia bilang jangan sampe bikin lo kecapekan, apalagi sampe sakit. Makanya, gue selalu ngasih izin kalo lo nggak bisa masuk atau ada keperluan. Dan lo inget nggak? Yang waktu gue beliin lo makan siang minggu lalu? Itu dia yang beliin.

Jangan bilang kalo tadi siang juga? tebak Echa sambil menaruh telunjuknya di dagu. Seperti peramal yang tepat akan ramalannya.

Itu tau. Tapi, roti lo gue yang beliin. Ya kali, Aldo beliin lo juga.

Pelit banget. Echa memasang wajah cemberut berbanding terbalik dengan wajah Rindu yang sumringah mendengar penuturan cowok yang duduk di depannya.

Rindu masih terus tersenyum saat Aldo mengobrol dengan Nita di depan pintu. Ia tidak menyadari jika sosok yang ia sukai sudah berada di dekatnya.

Echa langsung mengedipkan mata pada Anres, memberi kode jika sosok yang dikagumi sahabatnya ada di sini.

Anres ada, Nit?

Merapikan seragam dan rambutnya, Nita senyum-senyum menjawab pertanyaan Aldo. Ada, Al. Di dalem sama Rindu sama Echa.

Boleh gue masuk? Lo ngalangin jalan. Menarik sudut bibirnya, Senyum Aldo menampilkan lesung pipit yang membuat Nita makin melebarkan senyumnya.

Nita langsung minggir, memberi jalan Aldo agar bisa masuk. Oh, boleh, dong. Tangannya saling menggenggam, memberikan senyuman terbaiknya untuk cowok yang baru saja masuk. Ya ampun ... senyumnya bikin meleleh.

Udah, yuk, ah, pulang! Gue mau pergi sama kakak gue, ajak Rina pada Nita yang masih mengawasi Aldo.

Iya, nih, gue juga mau pergi sama cowok gue. Udah dijemput di depan. Elsa menarik lengan Nita hingga membuat Nita berpaling dari pandangannya.

Kalian bisa nggak, sih, ngeliat seneng dikit barang semenit aja. Kayaknya kalo sohibnya bahagia itu lo-lo pada keganggu banget. Nita dengan pasrah mengikuti langkah Elsa dan Rina. Meninggalkan pemandangan indah yang Tuhan ciptakan untuk dapat dinikmati olehnya.

Saat melihat Nita dan sekawannya sudah meninggalkan ruang kelas, Anres menyapa Aldo lebih dulu. Gimana, Bro? Jadi latian?

Jadi, dong. Gue udah siap, nih. Aldo sudah memakai baju basket dan juga membawa bola basketnya. Eh, ada Rindu. Kalian mau nonton atau pulang?

Gue mau nonton Anres.

Gue mau kerja.

Rindu dan Echa menjawabnya bersamaan dengan jawaban yang berbeda membuat Anres dan Aldo tersenyum.

Yaudah, gue kasih izin lagi. Kalian nonton kita main basket aja, gimana? tanya Anres melihat Rindu kemudian ke Echa meminta pembelaan dengan menaikkan kedua alisnya.

Iya, Rin. Jarang-jarang nonton basket orang keren kek Anres. Ia menyengir kuda. Puji dikit biar melayang.

Nih, buat lo. Bisa dateng, kan? Aldo memberikan dua tiket untuk Rindu dan Echa.

Wuih ... pasti bisa, dong. Mereka pengen liat kapten basket, katanya. Anres terlihat bersemangat saat mengatakannya.

Aldo tersenyum pada Rindu. Gue tunggu, ya. Jangan lupa dateng minggu depan!

Oke. Rindu terlihat malu-malu sambil memegang tiketnya.

Yuk, kita latian! ajak Anres sambil merangkul pundak Aldo.

Rindu masih melihat-lihat tiket basketnya sambil tersenyum. Tak lama langsung diambil Echa tiketnya. Jangan senyum-senyum terus, minggu depan jangan lupa dateng! Dandan yang cantik buat calon cowok lo, goda Echa sambil mengembalikan satu tiket milik Rindu.

Lo bisa aja. Rindu memasukkan tiketnya ke dalam tas.

Rin, jadi cerita tentang lebam lo? tanya Echa berhati-hati.

Rindu menatap Echa sedikit ragu. Emmm ... Jadi. Tapi lo jangan cerita ke siapa-siapa, ya!

Lo kayak nggak tau gue aja gimana pake ngomong begitu segala.

Kita ke depan kelas aja, yuk! Duduk di sana.

Rindu merapikan mejanya, memasukkan semua bukunya ke dalam tas lalu berjalan mengikuti Echa keluar kelas dan duduk di sana.

Menikmati pemandangan cowok-cowok sekolahnya yang sedang latihan basket untuk pertandingan minggu depan melawan sekolah Garuda. Cowok-cowok itu latihan di ruang outdoor bukan di indoor.

Melihat pemandangan cowok main basket buat mata segar, bukan? Itu yang Echa alami, terlebih Rindu. ia sangat bahagia mendapat tiket dari Aldo untuk menontonnya tanding basket.

Seneng, ya, dapet tiket dari cowok yang lo suka? Echa masih memperhatikan Anres menggiring bola ke gawang lawan.

Seneng yang pasti. Nggak tau kenapa gue bahagia banget.

Mereka masih melihat ke bawah, cowok-cowok bertanding basket.

Eh, Rin, gue ke toilet bentar, ya. Ceritanya ntar dulu seabis gue dari toilet. Echa langsung berlari meninggalkan tasnya di bangku.

Rindu pun memutuskan untuk duduk dan memainkan ponselnya membuka laman sosial media. Senyum itu masih terus mengembang di bibirnya.

Saat Echa memasuki toilet, dia berpapasan dengan Nita. Ia mengira Nita sudah pulang dari tadi. Kirain udah pulang.

Emang kenapa kalo belum pulang? Gue mau nonton cowok gue main basket, nggak salah, dong, kalo gue dandan dulu.

Echa mengabaikan ucapannya dan langsung masuk ke dalam toilet. Ia hanya geleng-geleng mendengar penuturan Nita untuk melihat Aldo, cowok yang dia sukai. Sudah jelas jika Aldo selalu mengharapkan perhatian dari Rindu bukan Nita.

Tidak lama, ia mendengar teriakan yang sangat kencang yang memanggil nama Rindu. Hal itu membuat Echa deg-degan. Ia langsung buru-buru keluar toilet dan berlari ke ke depan kelas dan mencari Rindu.

Ia pun melihat ke bawah, Rindu sudah tergeletak di bawah sana. Darah segar telah memenuhi sekitar kepala. Echa menutup mulutnya. Rindu, teriak Echa. Yang di bawah pun melihat ke atas, terkejut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro