Bab 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pemeriksaan masih berlangsung di sekolah. Beberapa murid yang terlihat dekat dengan Rindu ditanyai satu per satu. Para siswa berkerumun untuk mengetahui informasi apa yang mereka dapatkan, juga siapa dalang dibalik pembunuhan teman mereka.

Pak Rendra menanyai Anres lagi. “Sebelum pulang sekolah, Rindu berbicara dengan siapa saja, Res?”

Anres batal pulang karena Pak Rendra masih ada pertanyaan dengannya.

“Dengan saya dan Echa, Pak.”

“Selain kalian?”

Meskipun hari sudah sore, tapi tidak membuat anak-anak kelas IPA2 langsung pulang. Mereka masih ingin tahu siapa pelaku yang sebenarnya. Mereka masih berada di sekolah untuk mengikuti polisi olah TKP.

“Waktu pagi Rindu ribut dengan Nita,” jawab Anres dengan menunjuk Nita yang tengah asyik mengikir kuku panjangnya menggunakan dagu.

Arah pandangnya diikuti Pak Rendra, ia pun langsung menuju ke Nita yang sebelumnya mengucapkan terima kasih pada Anres.

“Saudari Nita?”

Nita masih terlihat asyik mengikir kukunya sambil menjawab, “Iya, Pak.” Ia pun meniup kukunya, lalu memasukkan kikirannya ke dalam saku tas.

“Bagaimana hubungan anda dengan almarhum Rindu?”

“Baik-baik aja, Pak. Kenapa?”

“Saya mendengar dari saudara Anres, kalian sempat ribut saat sebelum Rindu ditemukan jatuh dari lantai 3?”

“Pak, saya memang selalu Ribut sama Rindu, tapi saya nggak ada niatan buat nyelakain dia, apalagi bunuh dia.”

Polisi yang bernama Asep datang dengan membawa secarik kertas dan bolpoin, lalu membisikkan sesuatu pada Pak Rendra.

Ia pun langsung memperlihatkan kertas yang dibawa Asep pada Nita. “Surat Penahanan. Silakan ikut kami, segala suatu sangkalan bisa diucapkan nanti saat di kantor polisi.” Pak Rendra menarik tangan Nita.

Nita langsung menyingkir untuk menghindari tangan Pak Rendra. “Bukan saya, Pak, yang ngebunuh. Saya emang ribut sama dia waktu pagi, karena dia nggak becus dapet nilai rata-rata di pelajaran olahraga. Selain itu juga kita baik-baik aja, kok.”

“Tolong jangan mempersulit! Segala sesuatunya bisa dikatakan nanti saat di kantor polisi.” Pak Rendra mengedikkan mata meminta bantuan agar Asep bisa menarik Nita keluar dari bangkunya.

Teman-temannya pun hanya bisa melihat, tanpa bisa membantu. Karena yang mereka hadapi adalah polisi, bukan teman sekelasnya. Tidak ada yang menghalangi proses penangkapan Nita meskipun itu adalah Rina ataupun Elsa, sahabatnya.

Nita berpaling menyamping, melihat Rina dan Elsa, ia pun meminta bantuannya. “Rin, El, bantuin gue, dong!” teriak Nita pada sahabatnya.

Meskipun sudah berteriak, kedua temannya tidak berkutik. Mereka terlihat bersalah tidak bisa membantu apa pun. Keduanya menggeleng sebagai jawaban.

Nita dibawa Pak Rendra dan Asep untuk masuk ke dalam mobil polisi. Semua pasang mata tentu melihatnya sebagai tersangka yang telah membuat Rindu jatuh dari lantai 3 hingga meninggal dunia.

Rina dan Elsa hanya membuntuti Nita yang digiring menuruni tangga. Para murid keluar kelas untuk menyaksikan Nita ditangkap.

“Dasar pembunuh, lo!” seru salah satu murid yang ada di kelas IPA1 kemudian diikuti murid lain, hingga Nita Menundukkan mukanya karena kepalanya dilempari kertas yang dibentuk seperti batu.

“Hukum yang lama, Pak!”

“Pembunuh nggak pantes sekolah di sini!”

Dan masih banyak lagi yang memaki Nita dengan sorakan. Pak Rendra dan Asep berusaha menutupi kepala Nita dengan kedua tangan mereka.

Keributan masih terdengar hingga pulang sekolah. Seorang Nita yang terkenal manja dan cerewet pada siapa pun. Mereka tidak menyangka jika dia adalah tersangkanya. Tersangka akan bilang tidak walaupun nyatanya iya, bukan?

“Do, Nita ditangkap tadi.” Anres memberitahu Aldo saat mereka sedang berganti seragam untuk basket.

“Udah tau. Terus kelanjutannya?” Aldo menutup lokernya, lalu berjalan mendekati Anres.

“Gue juga belum tau, sih, gimana kelanjutannya. Ntar gue tanya Om Tian, deh.” Anres bersiap untuk menaruh tasnya untuk segera ke lapangan basket bersama yang lain.

“Gue yakin kalo Echa bukan tersangkanya, Res! Gue tau gimana persahabatan kalian selama ini.” Aldo tiba-tiba mengucapkan hal yang membuat Anres berhenti.

Anres masih membelakangi Aldo. “Teman bisa jadi lawan kalo dalam hal penilaian, Do. Bisa aja diem-diem Echa benci Rindu karena selama ini dia selalu nomer dua dalam mendapatkan nilai.”

“Berarti sama kayak lo yang selalu jadi nomer dua setelah gue, dan gue jadi musuh lo?” Aldo menatap lekat mata Anres yang langsung membalik tubuhnya.

Anres berjalan mendekat. “Itu beda dari kasus ini, Do!” sergahnya penuh penekanan.

“Beda dari mana?” Aldo memegang pundak Anres. “Seharusnya lo percaya sama sahabat lo, bukan percaya sama apa yang lo liat! Karena yang terlihat belum tentu itu yang terjadi.” Aldo langsung menuju ke lapangan basket meninggalkan Anres sendiri.

Anres masih merenung, mengingat apa yang Aldo ucapkan. Ia jadi tidak fokus dalam latihan, hingga mendapat teguran dari Pak Burhan.

Latihan basket diundur menjadi malam hari karena kejadian tadi siang. Hal ini tidak membuat para pebasket kendur semangat karena lomba sebentar lagi.

“Istirahat dulu, semuanya!” Pak Burhan menghampiri Anres yang terlihat lesu. Keringatnya mengucur membasahi bajunya. “Res, Bapak tau kamu lagi sedih mikirin masalah yang terjadi sekarang. Satu sahabat kamu meninggal dunia, kita semua juga sedih. Satu lagi harus menjadi tersangka. Itu memang tidak mudah buat kamu.”

Anres menoleh. “Iya, Pak.”
Pak Burhan memegang pundak Anres dan mengajaknya duduk di tepi, sedikit menjauh dari anak-anak.

“Saat ini, fokus dulu ke basket, masalah Rindu biar polisi yang mengurus. Serahkan saja semuanya pada polisi, mereka pasti akan bekerja dengan maksimal dan segera menemukan pelakunya.”

“Iya, Pak. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk tim.”

“Bagus. Semoga tidak mengurangi semangat kamu dalam lomba nanti, ya! Saya lihat kamu murung dan lesu. Ayo, semangat, Res!” Pak Burhan Menepuk punggung Anres dua kali.

“Siap, Pak.”

“Bagus.” Pak Burhan Lalu menghampiri anak-anak untuk berlatih lagi, diikuti Anres yang langsung menyusul ke tengah lapangan.

Semakin dipikir semakin membuat Anres sesak. Ia sedikit tak acuh dengan ucapan Aldo sesuai dengan apa yang dikatakan Pak Burhan tadi. Semangatnya sedikit meningkat, Pak Burhan mengacungkan kedua jempolnya pada Anres.

Hal itu membuat Aldo memandangi Anres, lalu menarik sudut bibirnya. Ia berpikir jika Anres memikirkan apa yang ia ucapkan tadi di loker. “Baguslah.”

Di Rumah Sakit, Pak Larso terlihat sedang menunggu jenazah Rindu yang akan diautopsi.

“Bapak siapanya jenazah?” tanya salah satu dokter yang menangani jenazah Rindu. Di sisi kiri atas terdapat nama dr.Rosa Andrea. Sp.FM.

“Saya paman Rindu, Dok. Bisa saya menemui jenazah?”

Jenazah sedang menjalani pemeriksaan autopsi. Saat Pak Larso masuk, bau aroma kimia tercium dari hidungnya meskipun tidak terlalu menyengat. Ia melihat sebelah kanan terdapat ruang scan karena ada tulisan di atas pintu.

Dokter Rosa memandu untuk berjalan ke ruang depan, yang berhadapan dengan ruang autopsi. Meja jenazah terjajar rapi, terdapat alat pengukur tinggi, gunting, cairan antiseptik tertata rapi di meja.

“Ini, Pak.” Dokter Rosa membuka selimut jenazah yang membungkus Rindu.

Jenazah yang beberapa jam lalu masih sarapan dengan Pak Larso, masih berpamitan dengannya saat berangkat sekolah, masih mengobrol dengan teman-temannya. Kini, bibir biru, tidak bernapas, dan kaku terbujur di atas brankar. Rindu sudah meninggal dunia.

Tawa Rindu saat bersama sahabatnya terekam jelas di kepala Pak Larso. Saat gadis itu pulang malam karena harus bekerja tengah waktu. Saat kelelahan belajar di ruang depan. Saat Pak Larso dengan beringasnya meminta Rindu memenuhi nafsunya.

Semuanya masih terekam jelas. Bagaimana ia meminta Rindu untuk bercumbu kasih dengannya. Menyuruhnya untuk tidak mengatakan apapun pada siapapun.

Pak Larso menangis, ia memegang pundak Rindu dan menggoyang-goyangkan badannya dengan sedikit membungkuk, tapi percuma. Rindu tidak akan bisa bangun lagi. Ia belum sempat meminta maaf atas kesalahannya selama ini. Dosa yang ia perbuat pada Rindu.

“Maaf, Pak. Luka lebam yang ada di tubuh Rindu, apa dia mengalami kekerasan?” tanya Dokter Rosa untuk memastikan analisanya.

Pak Larso menegakkan tubuhnya, menatap Dokter Rosa sambil menghapus air matanya. Ia tidak menyangka jika akan mendapat pertanyaan seperti ini.

Ia tidak mungkin mengungkap perbuatannya yang tersembunyi pada dokter yang baru ia kenal. Bukankah ini sama aja Pak Larso harus berbohong? Dokter Rosa juga tidak akan tahu jika Pak Larso membohonginya.

“Ini karena dia terlalu capek, Dok. Dia bekerja setelah pulang sekolah.”

Pak Larso rupanya belum tahu jika Rindu bekerja di tempat Dokter Rosa. Hal ini ditanyakan untuk memastikan hasil analisanya tidak salah. Dokter Rosa mengangguk-angguk.

“Dia bekerja di toko roti, Dok. Mungkin di sana, dia harus membantu mengadoni kue atau kerja berat, jadi membuat lebam di tubuhnya. Saat pulang kerja selalu mengeluh capek, tidak betah.”

“Apa Pak Larso tau? Jika dia bekerja di toko kue saya?” Dokter Rosa menegaskan kata toko kue saya dengan menatap mantap mata Pak Larso.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro