Chapter 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu nggak balik kerja?"

Hazel balik bertanya. Dia tidak tahu di mana Marvin bekerja sekarang. Tapi jika diihat dari tampilannya siang itu lengkap dengan dasi dan jas, kemungkinan Marvin memang masih bekerja.

"Nanti setelah nganterin kalian," jawab Marvin.

Semua orang di meja itu sudah selesai dengan makanannya. Hazel mengintai Meryl yang juga sedang makan siang bersama klien. Ketika pandangannya kembali kepada Marvin, dia sedang melihat tagihan dan menyerahkan sejumlah uang tunai berikut tip kepada pelayan.

Hazel sedikit penasaran, Marvin bekerja di mana sekarang.

"Aku sudah menetap di Jakarta. Kerja di anak perusahaan papa," kata Marvin seolah bisa membaca pikiran Hazel.

Hazel tidak menyahut. Justru kini dia sibuk membenahi Marvel, menyeka mulutnya dengan tissue. Setelah selesai bersih-bersih di toilet, ternyata Marvin masih menunggu.

"Sudah siap? Aku anter pulang,"

Marvin bahkan sudah mengambil alih Marvel dan Marvel begitu manis dengan berdiri di samping Marvin, menggenggam tangannya, mendongak dan tersenyum sumringah kepada Marvin.

"Ayo Oom."

Hazel menyandangkan tas di bahu. "Bentar. Aku pamit ke mbak Meryl dulu."

***

"Bunda. Tuh liat,"

Celotehan Marvel terdengar setiap menemukan obyek yang menurutnya menarik. Sementara Vio yang duduk di belakang sesekali menimpali. Tapi setelah menerima telepon, Vio malah sibuk mengobrol dengan temannya. Hanya lima menit, dan Vio pun tenggelam dalam kesibukan chatting menggunakan tab miliknya.

Perjalanan pulang bersama Marvin menyisakan perasaan berbeda.

Sedikit lebih tenang.

Marvin mungkin tidak tahu soal hubungannya yang sudah berakhir dengan Aldric. Hazel tidak mungkin mengatakannya, karena dia pun belum berniat kembali kepada Marvin.

Kembali pada Marvin? Kenapa lagi dengan pikirannya?

"Mama nanyain kamu terus. Kalau kamu ada waktu, tolong temuin mama."

"Aku lihat nanti,"

"Kapanpun kamu bersedia, kasih tau ke aku,"

Hazel tidak lagi menyambung topik itu. Sebaliknya dia hanya menggumamkan terimakasih.

Terimakasih karena Marvin sudah berbaik hati mengantar mereka pulang.

***

"Tuh kan Mbak bilang juga apa. Hazel tuh masih nunggu kamu pedekate ke dia,"

Sampai di rumah mama, Meryl langsung menggodanya. Alhasil kini, Marvin jadi obyek candaan mama dan Tristan.

"Gengsi aja tuh, Mbak. Mas, kalo suka tembak aja lagi," kata Tristan diikuti tawa puasnya bersama mama.

"Udah, ya. Anak kecil nggak boleh ikut campur."

"Ya udah. Aku pergi deh. Mau ngerjain tugas kuliah. Daripada eneg lihat tampang mas yang masih ngarep tapi gengsian."

"Tristan!"

Sebelum salah satu bantal kursi melayang kepadanya, Tristan sudah melesat meninggalkan ruang keluarga. Sekarang gantian mama dan Meryl yang tertawa.

"Tinggal nunggu waktu yang tepat aja kan, Marv? Nggak pa-pa. Asal jangan kelamaan ya? Ntar Hazel digebet lagi sama yang lain,"

Komentar Meryl kali ini semakin menambah panas telinga Marvin. Dan hebatnya lagi, mama malah mendukung Meryl.

"Betul kata Meryl. Ayo, Marv. Mama siap bantu kalau kamu nggak maju-maju juga,"

Marvin mendengus. Usianya sudah hampir 34 tahun, tapi mengapa semua orang masih menceramahinya soal keputusan?

Mereka segitu sukanya sama Hazel sampai-sampai harus memotivasinya untuk segera mendekati Hazel lagi?

Percayalah. Hal ini bukan hal yang mudah.

Hal yang dibutuhkannya hanya waktu juga kesiapan mental. Menurutnya, Hazel pun demikian.

***

"Zel. Marvin udah sendiri lagi ya sekarang?"

Mama datang dari arah dapur lalu duduk di dekatnya ketika sedang menemani Marvel menonton.

"Ma..."

"Sayang, Mama kan cuma nanya?"

Sebelum Hazel siap protes, mama sudah memotong ucapannya. Tidak ingin memanaskan suasana. Hazel kini menjadi sensitif jika pembicaraan mereka sudah membahas Marvin. Atau segala sesuatu tentang pernikahan.

"Iya, Ma. Katrin bilang gitu ke Hazel."

"Marvin nggak pernah langsung ngasih tau kamu soal itu?"

"Nggak." Hazel mengambil remote untuk mengganti channel.

"Mm, Marvin tau nggak soal hubungan kamu sama Aldric?"

Hazel menahan diri untuk melesat dari tempat duduknya. Kadang mama, bisa jadi sangat mengesalkan.

"Ma, please. Aku nggak mau ngomongin soal ini lagi. Aku cuma ingin fokus ngebesarin Marvel,"

Marvel mendongak, merasa terpanggil.

"Nda,"

Hazel tersenyum. "Nggak. El nonton aja,"

Mama mendesah. Putri sulungnya itu telah mengalami begitu banyak masalah. Tugasnya hanya mengarahkan Hazel akan pilihan yang dirasanya bisa membahagiakan.

Tapi jika respon Hazel ogah-ogahan seperti itu, rasanya saran darinya hanya akan menjadi hal yang sia-sia.

Sejak Hazel dan Adric sepakat berpisah, kehidupan Hazel tidak banyak berubah. Hazel yang kini tinggal bersama keluarga kecil mereka, malah lebih banyak menghabiskan waktu menjadi arsitek freelance, sambil tetap berusaha meluangkan waktu sebanyak mungkin untuk Marvel.

Mama tidak ingin Hazel sampai mati rasa terhadap cinta.

Jika akhirnya Hazel memutuskan hubungan dengan Aldric, mungkinkah memang hanya Marvin yang diinginkan oleh Hazel?

Lagipula, apa yang salah dengan Marvin? Mantan menantunya itu sudah berubah. Sifat lamanya sebagai seorang playboy juga sudah hilang. Marvin jadi terlihat bertanggungjawab dan penuh perhatian kepada Marvel. Dan sejak dulu, Marvin memang selalu sopan dan baik kepada keluarga mereka.

Alasan-alasan itu rasanya bisa jadi pertimbangan untuk Hazel.

"Mama hanya ingin kamu bahagia, Zel."

"Untuk saat ini, memiliki El dan ngumpul sama papa, mama juga Vio adalah kebahagiaanku, Ma. Aku nggak mau mikirin hal yang lain,"

Untuk kesekian kalinya, mama terpaksa setuju.

Jika ada kesempatan lain, dia akan mencobanya lagi.

***

"Marviiiin. Buka pintunyaaaa,"

Hari minggu pagi, dan Marvin masih betah di atas tempat tidur. Pukul 9, dan ini sudah gedoran pintu yang ke-999 dari mama. Bantal yang ditutupkan ke telinganya sudah tidak ada manfaatnya lagi. Suara gedoran mama menjadi semakin cetar membahana.

Ada apalagi?

"Kamu janji kan mau bawa Hazel sama Marvel hari ini?"

Tepat saat pintu terbuka, Marvin langsung disambut dengan pertanyaan itu. Mama selalu tahu waktu untuk menanyakan apapun, tidak peduli orang yang ditanyai suka atau tidak.

"Kapan aku janji? Mama jangan mulai lagi deh," Marvin membuka pintu dan kembali berjalan menuju ke tempat tidur. Tapi belum lagi tangannya sempat meraih bantal, mama sudah merebutnya. Mengambilkan handuk untuknya.

"Udah mandi sana. Keburu Hazel ada yang pedekate lagi."

Ya Tuhaan. Kenapa semua orang jadi sangat memperhatikan hidupnya?

"Ma, aku capek ngelembur kemarin malam." Marvin bukannya memasang alasan yang dibuat-buat. Dia memang lelah luar binasa. Hanya hari Minggu-lah kesempatan emasnya untuk tidur setidur-tidurnya.

"Untuk memperjuangkan masa depan, nggak boleh ada kata capek. Cepaat! Kamu mau Mama yang mandiin kamu, Hah? Inisiatif dong, Marvin. Umur kamu udah hampir 34 tahun,"

Marvin mendengus.

Dulu, mama yang mendesaknya untuk menikah di usianya yang hampir menginjak kepala tiga. Dan empat tahun kemudian, mama ternyata tidak kapok juga mengulangi hal yang sama.

Tingkah mama saja sudah mengesalkan. Jika Meryl juga ikut turun tangan, bisa dipastikan pagi itu akan jadi salah satu pagi terhoror dalam hidupnya.

"Sabar, Ma. Aku tidur dulu, sejam saja,'

"Nggak bisa. Pokoknya kamu mandi sekarang. Mana kunci mobil kamu? Nanti Mama kasih ke Pak Rori buat manasin mobil. Biar cepet!" Mama sudah terlihat semakin gemas.

"Oke," Marvin terpaksa mengiyakan. Kan nggak lucu, mama menggeretnya ke kamar mandi dan memandikannya seperti balita?

"Nah gitu dong."

Setelah Marvin masuk ke kamar mandi, barulah mama pun keluar dari kamar.

Marvin hanya bisa tertawa jika mengingat lagi semua tingkah mama, Meryl, Tristan, bahkan Rindra.

Segitu inginnya ya keluarganya supaya dia rujuk dengan Hazel?

Ah. Dia "terpaksa" harus membayangkan lagi sang mantan istri yang semakin cantik dan seksi itu.

***

"Zel. Kamu siap-siap ya. Marvin mau jemput kamu sama El,"

Mama tanpa diundang, masuk ke kamarnya dan duduk manis di tepi tempat tidur. Hazel baru saja selesai mandi dan bersiap mengajak Marvel jalan-jalan. Tapi rupanya mama punya rencana sendiri.

"Aku nggak pernah minta dijemput, Ma."

"Tadi Marvin nelepon, nanyain El lagi ngapain. Mama bilang lagi main aja sendiri. Trus dia ngajak kalian ke rumah orangtuanya."

Hazel menggosok rambut basahnya dengan handuk.

"Aku kan nggak bilang mau,"

Mama menatap Hazel. "Marvin udah di jalan lho."

"Ya, nanti El aja yang ke sana. El juga udah mandi."

"Tapi yang mau dijemput kan, kamu sama El?"

Pasti ada lagi yang sedang mengatur siasat.

Tepat saat Hazel mengeringkan rambut dengan hairdryer, Vio memunculkan diri.

"Kak. Udah ditunggu tuh di bawah."

Mama dan Vio saling bertukar senyum.

"Zel, Mama ke bawah dulu. Jangan lama-lama. Dandannya yang cantik ya?"

Mama, mama.

***

"Waah. Akhirnya, kamu datang juga,"

"Mami," Hazel menjadi tidak nyaman ketika mama Marvin memeluknya terlalu erat.

"Duduk sini,"

Hazel menggumam pelan. "Iya, Mi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro