PREQUEL: Hujan Tiga Detik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

KIA

Pagi hari setelah hujan, aku duduk duduk di coffee shop dekat kampus untuk sekedar sarapan. Di luar terasa rintik-rintik hujan, sisa hujan semalam pun masih menetes dari genting bangunan coffee shop ini. Kelasku sebenarnya jam sembilan pagi, tapi aku terbiasa datang lebih awal karena takut telat. Tahu sendiri kan jalanan Jakarta seperti apa kalau pagi. Apalagi rumahku jauh dari kampus. Aku menyeruput machiatto dan mataku tertuju pada buku novel yang aku bawa dari rumah. Entah kenapa aku lebih suka membawa novel kalau kuliah pagi. Mungkin karena hanya itu yang tergeletak di meja dan aku butuh bacaan untuk membunuh waktu, dibandingkan bermain ponsel, karena aku harus menghemat baterai ponselku yang boros ini.

Cowok itu lagi! Sudah hampir setengah semester lebih aku senang sekali kalau berpapasan dengan cowok ini, padahal kami tidak pernah saling bicara. Bahkan mungkin tidak saling kenal. Mungkin karena perawakannya yang enak dilihat, mungkin karena rambutnya yang ikal membuatnya berbeda dari cowok lainnya. Rambut ikalnya mungkin hanya sekitar lima senti, sehingga tetap terlihat rapi. Bibirnya tidak terlalu tebal, rahangnya terbentuk sempurna meskipun pipinya tidak tirus. Ia memakai kacamata dengan frame hitam seperti nerds, tetapi justru malah membuatnya terlihat cute.

Berawal dari hari pertama semester enam, aku duduk di barisan tengah, tak lama lelaki yang tingginya kurang lebih 170 sentimeter itu menerobos masuk ke kelas yang sudah cukup lama dimulai. Hari itu ia cukup sederhana. Ia memakai kaos polos warna biru navy dan jaket football ala Finn Hudson di serial Glee serta celana jeans, sepatunya pun sangat kasual, hanya sepatu running biasa berwarna putih dengan list merah. Sederhana, tapi mampu membuatku tertegun sejenak.

Setahuku namanya Ezra. Dia mahasiswa yang satu angkatan denganku. Maklum, saking banyaknya mahasiswa di jurusan kami, maka sulit untuk kami saling kenal dari semester satu. Sampai saat ini aku tidak pernah bicara sepatah kata pun dengan dia. Aku kenal beberapa teman sepermainannya di kelas seperti Arya dan Anisa. Arya adalah teman SMA ku meskipun kami tidak pernah dekat dari SMA. Sedangkan Anisa pernah satu kelompok denganku saat ospek, tapi kami tidak dekat.

Ezra melangkahkan kakinya ke dalam coffee shop ini. Tatapan kami bertubrukan sejenak, sebelum akhirnya aku mengalihkan mataku ke buku. Dia mengenaliku sebagai teman sekelasnya atau tidak? Begitulah kira-kira pertanyaan yang selalu menggelitikku setiap berpapasan dengannya. Mahasiswa di kelas Entrepreneurship cukup banyak dan mahasiswinya juga lumayan banyak. Karena ini adalah mata kuliah wajib untuk setiap anak Fakultas Ekonomi apapun jurusannya. Jadi aku juga tidak tahu, dia ini jurusan apa.

Mungkinkah dia sadar dengan keberadaanku? Ah sudahlah, tidak begitu penting juga sebenarnya dia sadar atau tidak. Aku lebih senang kalau dia tidak mengenaliku, karena aku bisa lebih leluasa memandanginya dari jauh. Lucu juga kalau dipikir-pikir, bagaimana gebetanku tahu kalau aku tertarik padanya jika dilihat olehnya pun aku tidak mau.

Kulihat Ezra berjalan keluar dan duduk di bangku luar. Ngomong-ngomong, tumben sekali dia kesini? Yang kutahu, dia tipe cowok-cowok yang lebih nyaman ngopi di warkop sambil makan indomie dibandingkan duduk-duduk di kedai kopi yang harganya lumayan untuk ukuran kantong mahasiswa. Aku suka sekali gaya-gaya cowok santai sepertinya. Kuperhatikan ia sebentar-sebentar dari balik buku.

***

Aku sedang duduk di kelas sambil menunggu dosen. Sisa-sisa hujan semalam masih terasa, hembusan angin AC terasa seperti menusuk tulang. Aku sibuk bermain aplikasi messenger dengan ponselku,  sampai akhirnya Arya datang dan menyapa Anisa yang sedaritadi sibuk juga dengan ponselnya.

Anisa mencolek bahuku, "Kia, proyek Entre udah mulai dikerjain?"  tanya Anisa.

"Umm, baru papernya aja sih," jawabku seadanya. Kemudian kami sedikit berbincang tentang proyek tersebut.

"Nis, si Ezra mana sih?" tanya Arya pada Anisa yang baru saja selesai bicara denganku. Sejenak rasanya jantungku seperti tersengat listrik mendengar namanya. Aku selalu semangat di kelas hari ini, karena ini adalah satu-satunya kelas yang bisa membuatku bertemu dengan Ezra.

Ezra seringnya telat kalau kelas pagi seperti hari ini. Sekitar limabelas menit kemudian Ezra datang, karena kelas sudah lumayan penuh maka ia 'terpaksa' duduk di kursi kosong sebelah kursiku. Deg! Rasanya seperti ada drum dalam dadaku, kakiku gemetar, bagaimana kalau Ezra lihat tanganku gemetaran saat menulis? Aku sungguh malu sekaligus senang. Aku ingin tersenyum, tapi malu sendiri rasanya.

Sepanjang kuliah isi kepalaku hanya Ezra. Entah kenapa. Aku berusaha untuk terlihat tenang, padahal dalam hati rasanya nervous. Aku berusaha memperhatikan dosen yang sedang cuap-cuap di depan, tetapi rasanya semua kalimat yang diucapkan Pak Dosen terdengar samar-samar karena otakku sedang berusaha mengontrol tubuhku yang gemetar karena Ezra duduk di sebelahku.

Beberapa kali aku hanya menundukkan kepalaku, sok-sok mencatat apa yang ditulis Pak Dosen di papan tulis, agar Ezra tidak melihat wajahku yang mungkin sedikit memerah. Tercium bau parfum yang menyatu di bajunya. Aroma woody bercampur citrus, lavender, dan sedikit tercium seperti wangi bedak. Sesekali kulirik tulisannya. Tulisannya seperti tulisan anak lelaki pada umumnya. Bentuk tiap hurufnya tidak presisi, namun jika huruf-huruf itu sudah digabungkan, posisinya lurus dan cukup rapi. Mengapa ini diam-diam begitu menyenangakan!

***

EZRA

            Siang itu gue baru aja menyelesaikan kelas Statistika yang dosennya super boring dan kolot. Dan gue pun sangat happy membaca SMS dari Bima yang isinya ngajakin main futsal. Gue berjalan menuju parkiran dan... eh, cewek itu lagi! Kenapa akhir-akhir ini sering banget ketemu dia sih di kampus? Gue melihat cewek itu dari balik jendela ruang R123, orang-orang sih biasanya manggil dia Kia. Sepertinya dia sedang presentasi. Dan tanpa sadar ritme kaki gue yang sedang jalan melambat. Nggak tau kenapa mukanya enak aja dilihat, matanya bagus, jernih seperti bercahaya.

            Gue memerhatikan Kia akhir-akhir ini, entah seperti ada magnet dalam dirinya yang membuat gue ingin melihat dia. Matanya mungkin, gue suka banget matanya. Jernih, bercahaya, rasanya teduh. Dan ternyata dia temenan sama Arya dan Anisa, tapi mereka nggak pernah ngomongin Kia depan gue, padahal gue tunggu lho hahaha!

            Awal sadar keberadaan Kia waktu gue mau berangkat ke kampus pagi-pagi naik motor. Hari itu gerimis sisa-sisa hujan semalam dan gue bete banget karena kebasahan dimana-mana. Waktu macet, gue melihat sepasang perempuan dan laki-laki turun dari bus. Mereka dengan santai menerpa gerimis yang turun pagi itu. Kemudian si laki-laki mengadahkan jaketnya di kepala perempuan tersebut. Wajah mereka begitu ceria, terlihat mereka saling menertawakan sesuatu. Padahal sepatu dan jeans mereka terkena cipratan genangan air sekitar halte. Yang ada mereka malah tertawa bersama-sama sambil menunggu bus selanjutnya di tengah rintik hujan dan puluhan manusia yang mengejar angkutan umum, mungkin menertawai obrolan mereka pagi ini.

Ya, perempuan itu Kia. Pakaian Kia pagi itu seperti sudah siap menghadapi badai di perjalanan. Dia memakai jumper yang ada capuchon-nya, jeans hitam dan sneakers.  Begitu santai, cuek, tapi tetap enak dilihat karena jatuh dengan pas di tubuhnya. Gue menyadarinya saat masuk kelas, perempuan tadi ternyata teman sekelas gue. Kejadian itu sangat terekam dalam memori otak gue. Ada sedikit rasa iri dalam benak gue. Mereka seperti tampak menyenangkan satu sama lain.

***

            Gue berjalan menuju ruang R125 membantu Citra membawa maketnya. Hari ini dia presentasi untuk ujiannya. Ya, kasihan juga kalo dia harus bawa sendiri, di tangan dia aja udah ada berapa kertas yang dipersiapkan untuk presentasi.

"Eh, Kia!" seru Fasya, teman sekelas Citra. Ya, pas sekali gue berpapasan dengan Kia. Gue lihat matanya menatap gue. Pupil matanya membesar, seolah terkejut dengan keberadaan gue. Dari matanya terlihat dia seperti mengenali gue. Sial! Jadi awkward gini gara-gara gue seneng liatin matanya!

"Hai, Fasya! Mau kemana? Banyak banget bawaannya?" sapa Kia pada Fasya ramah dan berseri-seri.    

"Iya nih mau presentasi proyek"  

"Hoo begitu, good luck, Sya! Aku duluan dulu ya, ada kelas nih. Bye!" Dan Kia pun melesat pergi menjauh dari kami. Gue rasa dia sadar dan tahu kalo gue teman sekelasnya di kelas Entrepreneurship. Sedikit-sedikit gue menoleh ke arah Kia berjalan tadi. Hampir lupa kalo lagi bawa maket!

***

KIA

            What?!! Bukan cuma Arya dan Anisa saja rupanya yang kenal sama cowok geek itu, tapi Fasya juga! Fasya! Sahabat gue dari SMP! What a small world!

            Gara-gara kejadian tadi, aku semakin penasaran dengan Ezra. Naluri kepo ku mulai bergerak. Yep! I did google him! Dan Google yang super ajaib ini pun menemukan semua akun social media milik Ezra. Mulai dari Facebook, Twitter sampai Instagram. Mudah sekali mencarinya, Ezra terbiasa menggunakan nama lengkapnya di kolom full name dan menggunakan kombinasi inisial nama depan dan nama belakang sebagai username. Sayang dia kurang update di akun-akunnya. Dengan gengsi, tidak mungkin aku add dia di Facebook! Maka informasi yang keluar tidak begitu lengkap. Twitter-nya tidak begitu sering update. Sekali-kalinya update ia hanya retweet akun-akun sepak bola. Tetapi dari sana aku tau bahwa ia menyukai klub Intermilan dan The Beatles. Hampir setiap hari postingan now playing di Path tersambung ke Twitter-nya. Instagram juga tidak terlalu sering update. Sekali-kalinya update, foto tim futsalnya. Susah sekali rasanya punya crush yang jarang nongol di social media, rasanya seperti haus akan informasi akan dirinya.

Tetapi saat aku lihat bagian tag foto, banyak fotonya bersama seorang cewek. Mungkin pacarnya, meski pose-posenya tidak mesra, tetapi dari judul foto-fotonya bisa disimpulkan bahwa cewek tersebut adalah pacarnya—yah, seperti deretan angka yang aku perkirakan adalah tanggal, mungkin tanggal jadian—serta tidak lupa banyak emoji bergambar hati warna merah, pink, hijau, ungu di setiap judul foto bersama cewek tersebut. Fotonya juga belum lama di posting, sekitar 3 weeks ago atau 6 weeks ago. Dari semua foto tersebut bisa aku simpulkan sepertinya ia sudah berpacaran dengan cewek tersebut sekitar dua tahun. Mungkin lebih. Sepertinya aku familiar dengan wajahnya... Ah ya! Itulah mengapa aku berpapasan dengan Ezra dan Fasya hari itu! Tentu saja, teman Fasya satu lagi pacar Ezra. Itulah mengapa Ezra membantu Fasya untuk presentasi proyeknya!

            Pacar Ezra—aku yakin cewek itu pacarnya—terlihat seperti cewek-cewek cantik, gaul, dan cukup mampu selayaknya cewek standar Jakarta. Rambut panjang sepunggung, terlihat bergelombang di bagian bawah (seperti rajin di blow setiap pagi), alis yang terlihat berbentuk sempurna oleh pensil alis lengkap dengan soft lense berwarna hazel yang terang sekali membuat matanya begitu 'hidup'. Sepintas cewek itu mirip dengan artis sinetron Nikita Willy. Tentu saja mana bisa aku iri dengan cewek secantik dan sesempurna itu. Ya, dia calon Arsitek, dan aku mungkin hanya akan jadi cewek kantoran membosankan di balik kubikel nantinya. Cowok yang cukup ganteng seperti Ezra memang cocok dengan cewek seperti dia. Tentu saja cowok yang lumayan punya tampang akan memilih cewek-cewek seperti dia!

Kulihat wajahku di cermin, sebagian diriku mencoba membandingkan dengan cewek tersebut. Biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada apa-apanya dibandingkan cewek itu. Saat foto selfie saja, mungkin hanya bertahan tiga sampai lima kali shoot, setelah itu aku akan menyadari bahwa mau sebagus apapun angle-nya, wajahku akan tetap seperti ini hahahaha. Wait, what? Untuk apa juga aku membandingkan diriku dengan cewek itu? Aku bahkan tidak ingin menjadi pacar Ezra! Iya kan?

****

EZRA

            Seperti hari Rabu biasanya, ini adalah jadwal pulang bareng Citra karena kebetulan kelas kami selesai hampir berbarengan. Sambil menunggu Citra, gue nongkrong bersama beberapa teman di kantin kampus. Ketika gue berjalan menghampiri teman-teman gue, gue lihat cewek bermata indah itu, Kia, sedang duduk tepat di depan bangku yang diduduki teman-teman gue. Kia tidak melihat gue, karena mata indahnya itu sedang menari diantara halaman buku yang berjudul "Seribu Kunang-Kunang..." gue tidak bisa baca lebih jelas lagi karena terlanjur lewat. Yang jelas kalau dilihat dari desain cover bukunya, sepertinya bukan buku-buku pop kebanyakan yang sering terpampang di rak best seller toko-toko buku. Cenderung seperti tipikal buku-buku terbitan jaman dulu atau mungkin penerbit kecil. Telinganya disumpal oleh headset yang tersambung dengan iPod Nano berwarna merah. 

            Gue duduk tepat di belakang Kia, sehingga posisi kami saling bertolak belakang. Terdengar samar-samar lagu I'm Not In Love dari 10cc yang diputarnya saking besarnya volume yang pasang di iPod. Damn... Menerjang hujan, seringkali terlihat sedang baca buku, dan 10cc? What kind of nerds are you?

            Gue kemudian berusaha fokus pada obrolan teman-teman gue yang tidak ada henti-hentinya membicarakan hal absurd disertakan oleh punchline-punchline tolol yang membuat gelak tawa kami pecah. Sampai ketika terdengar suara Kia.

            "Lagu I'm Not In Love itu lucu banget ya liriknya, Dam. Denial abis. Tapi musiknya kayak masuk dunia apaaa gitu? Kayak dunia romansa yang asing dan si tokohnya nggak suka, ingin escape tapi nggak mau buru-buru juga karena dia sendiri udah terlanjur hanyut," terdengar suara Kia yang duduk tepat di belakang gue.

Apa sih dia, deskripsinya dramatisir banget! Tapi kenapa terdengar lucu ya jadinya? Gue jadi membayangkan masuk ke ruang angkasa yang hitam gelap, nggak suka, takut, tapi juga nggak pengin buru-buru keluar karena gue terpana dengan sinar bintang-bintang yang cantik dan menenangkan. Eh, apa sih, kok gue jadi ikutan drama?!

"Coba dengerin?" kali ini yang terdengar suara laki-laki. "Ini kan lagunya Guardians of The Galaxy? Udah nonton?"

Tidak terdengar jawaban.

"Nonton yuk! Seru lho! Kamu pasti suka. Kan ngayal-ngayal gitu ceritanya kayak cerita-cerita kesukaan kamu, terus team-up-nya keren dan lucu abis," kata cowok itu lagi.

"Kamu udah nonton?"

Kamu. Terdengar biasa ketika cewek-cowok menggunakan panggilan seperti itu buat kebanyakan orang di luar Jakarta, terdengar tidak biasa bagi orang Jakarta yang lebih sering gue-elo. Ataukah... Kia ini bukan anak asli Jakarta?

"Udah."

"Nggak pa-pa nonton lagi?"

"Ya nggak pa-pa lah, filmnya juga bagus."

Oh Kia, lo suka yaa film-film yang penuh khayal seperti itu? Sama, gue juga!

            Sayang sekali, suara Kia kemudian tidak terlalu jelas terdengar karena saking berisiknya teman-teman gue. Meski raga gue di antara teman-teman gue, tetapi di otak gue terbayang Kia yang sedang berkhayal dengan lagu 10cc dan penasaran dengan Guardians of The Galaxy dengan matanya yang berbinar. Pasti cantik sekali matanya. Matanya yang jernih berwarna coklat terang yang besar serta bulu matanya yang lentik, memancarkan semangat dari dalam dirinya ketika bercerita, meluap-luap, seperti anak kecil yang menjelaskan khayalannya akan mainan favoritnya.

Andai gue yang bisa menjadi lawan bicaranya saat itu, mungkin gue tidak mampu menahan senyum lagi, seperti yang gue lakukan saat ini. Mungkin Bima melihat gue sedikit tersenyum berbeda. Bukan senyum karena jokes mereka, senyum yang berbeda. Senyum ketika gue membayangkan seorang perempuan yang matanya magical dengan gaya bercerita yang meletup-letup seperti kembang api.

****

KIA

            OMG! Ini bukan kali pertama ketemu Ezra di kantin Kampus A setiap Rabu sore! Sudah beberapa kali aku melihatnya nongkrong disitu bersama teman-temannya. Terakhir aku melihatnya tiba-tiba berjalan dari belakangku.

            "Ki, lo FE kan?" tanya Hanief ketika di mobil di arah jalan pulang.
(Baca: FE = Fakultas Ekonomi)

            "Iya."

            "Kenal Ezra nggak? Ridwan Ezraldi kalau nggak salah namanya?"

            Deg! Kenapa, hai, kenapaaa semua orang di dunia seperti kenal Ezra kecuali aku?!

            "Nggak, tapi tau kayaknya," kujawab berusaha se-cool mungkin. Seolah aku memang tau sekedarnya. "Temen lo?" meski cool, kepo tetap berjalan hehehe.

            "Iya, pacarnya temen SMA gue anak Arsi. Cakep banget, Ki."

            Iya, iya, tahu, Nief...

            "Jadi lo maksudnya mau ngomongin temen lo cakep doang ya, Nief? Siapa, Nief, namanya? Sini gue cari di Instagram, kali aja ada," ujar Adam bercanda. Lalu kemudian mereka membicarakan pacar Ezra itu. Namanya Citra. Andai saja aku bisa bilang bahwa aku sudah jauh lebih dulu tahu Instagram Citra sebelum mereka.

****

EZRA

            Hujan lagi, hujan lagi! Memang sih hari ini gue bawa mobil, tapi jalan ke parkirannya itu becek banget! Gue berjalan ke arah minimarket yang terletak depan kampus. Tetapi langkah gue terhenti ketika akan menyeberang karena tidak sengaja melihat Kia dan seorang cowok di dekat gerobak siomay yang terkenal enak di kampus (dan ngantri panjang kalau mau beli). Gue terpaku, di tengah hujan hanya dengan lindungan hoodie di kepala, terpaku melihat Kia. Lagi-lagi, ia sedang tertawa dengan cowok itu sambil sesekali menatap langit yang turun hujan.

            He can make her laugh. Hal yang gue pikirkan saat itu. Meski matanya sedikit menyipit, tetapi giginya yang rapi serta dagunya yang terlihat memanjang karena otot pipinya yang tertarik karena tertawa membuat wajahnya terlihat lucu. Kemudian jantung gue berdegup kencang dibuatnya. Dengan noraknya otak gue tiba-tiba memainkan bagian intro lagu Fight The Future milik The Trees and The Wild. Liriknya kurang lebih seperti ini, "So much to say but I won't make it quick, I loose my mind each time I look at your eyes, so won't you close them?"

****

KIA

Aku dan Adam berjalan ke luar kampus bersamaan. Hari ini pengin siomay banget-bangetan! Kebetulan siomay di depan kampusku rasanya cukup enak. Meski di luar hujan deras, aku dan Adam tetap berusaha melawannya dengan sepayung berdua. Kini aku menunggu giliran memesan. Memang kalau sore begini siomay kampusku suka ramai anak-anak kampus.

Ku lihat dari kaca gerobak siomay, ada Ezra. Ia berdiri di depan minimarket, nampaknya menunggu hujan. Kucuri-curi pandang untuk melihat Ezra. Pandangannya lurus ke depan. Sambil menunggu siomay, mataku senantiasa melirik kecil kearahnya. Perlahan, diam-diam, seperti mengendap-endap ia menoleh ke arahku, melihatku. Dan aku melihatnya juga! Tatapan kami bertubrukan sejenak. Tiga detik rasanya waktu seperti berhenti. Kemudian ia memalingkan lagi wajahnya ke depan.

"Ki, kamu mau minum apa?" tanya Adam yang membuyarkan pikiranku akan Ezra.  "Teh manis aja," jawabku singkat. Kembali pikiranku berfantasi akan Ezra, seperti cerita-cerita di film atau buku.            

"Yuk, Yang!" ujar pacarnya yang baru saja keluar dari pintu minimarket. Mereka pun beranjak dari tempat itu. Ezra sekali lagi menoleh kearahku, and I was staring at him! Aku merasa malu sekali! Bodoh sekali!

I saw a little smile from his lips. And I think... it was for me. Aku setengah mati ingin tersenyum tapi rasanya bibirku kaku sekali. Aku ingin melompat, teriak, tersenyum, apapun yang dapan mengekspresikan perasaan dalam dadaku ini. Tapi semua terhenti di tenggorokan, aku tak bisa berbuat apa-apa selain tarik nafas yang dalam agar degup jantungku kembali beraturan. Kurasakan wajahku panas, mungkin kini memerah. Semoga Adam tidak melihatnya! Semoga!

Tuhan, apa ini? Aku merasa ada sesuatu dari mata Ezra. Seperti ia mengenalku. Kulihat Adam di sebelahku, ada perasaan bersalah menyelimutiku. Namun aku tidak kuasa menahan degup jantungku setiap aku melihat Ezra. Tiga detik. Waktu berhenti diantara kami. Kemudian waktu kembali berjalan begitu cepat hingga aku tak bisa menangkapnya. Ingin rasanya tiga detik tadi kutangkap dan kusimpan dalam kotak tersembunyi.

***

EZRA

            Hal paling bodoh yang gue lakukan. Tanpa sadar gue tersenyum kecil ke arah Kia, dan dia sadari itu! Gue nggak bisa tahan bibir gue ini waktu gue lihat dia ngeliatin gue. Daritadi gue juga curi-curi pandang ke dia. Gue merasa seperti mengkhianati Citra. Tapi, Kia kan memang teman sekelas? Apa salahnya kan senyumin teman sekelas? Entahlah, gue jadi nggak bisa nilai mana yang salah dan benar.

            Gue nggak tahu ini namanya apa. Mungkin ini sesaat, mungkin juga nggak. Gue nggak tahu harus berbuat apa, gue senang banget liat Kia, tapi masih ada Citra. Tiga detik rasanya waktu berhenti. Kalau gue bisa menangkap tiga detik itu, pasti gue taruh di kotak rahasia tercantik secantik mata Kia. Tapi waktu adalah waktu, yang tidak dapat ditangkap, apalagi diulang. Tetapi mungkin waktu juga yang bisa membuat gue paham akan keanehan ini. Mungkin waktu juga yang bisa menjawab perasaan apa ini sebenarnya.

****

A/N: Ditulis sekitar tahun 2015 pas lagi suka-sukanya sama pemain Glee, Darren Criss! XD

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro