DUA PULUH DELAPAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ratna duduk di tepi ranjang dengan sekotak tisu di pangkuan dan ponsel menempel di telinga. Hidungnya mampat tersumbat lendir. Dia positif tertular flu dari Bayu. Salahkan tindakan bodohnya, berciuman dengan lelaki itu. Beruntung pilek yang dia derita tidak disertai batuk. Ratna paling benci batuk, membuatnya tidak bisa menikmati susu cokelat kesukaannya.

"Maaf, gara-gara aku," ucap Bayu dari corong speaker ponsel dengan nada menyesal. Agaknya lelaki itu merasa bersalah karena telah memindahkan separuh virusnya kepada Ratna, hingga gadis itu jatuh sakit di saat Bayu sudah pulih.

Sudah tiga hari berselang sejak peristiwa di kosan Bayu dan Ratna mendapati dering telepon dari Bayu menjadi rutinitas yang dia nantikan setiap pagi dan malam hari. Tingkah mereka sudah seperti selayaknya sepasang kekasih, meskipun belum official. Mungkin mereka memang tidak membutuhkan deklarasi apa pun. Sebab, jauh di dalam hati, mereka telah menerima satu sama lain sebagai kekasih.

Lagipula, Ratna sudah lelah melawan. Semenjak mengiakan janji Bayu untuk diam dan menunggu, itu berarti dia telah setuju untuk menghentikan semua penyangkalannya. Ratna menyerahkan segalanya pada sang waktu, memasrahkan jalan cerita pada kehendak takdir. Mengikuti alur, meski tak tahu di mana muaranya.

"Istirahat saja di rumah. Aku mintain izin ke Bang Gian," usul Bayu.

"Ada promotion test hari ini. Semua teacher harus nguji langsung, nggak boleh nggak dateng. Kelasnya ... kelas Business English." Ratna mendapati dirinya menghindari menyebut nama Ayu. Rasa bersalah itu tidak akan benar-benar pergi.

"Tapi kamu sakit."

Ratna memindahkan ponsel menempel di telinga kiri. Tangan kanannya mencabut sehelai tisu dan menyeka ingus yang sudah berada di ujung hidung.

"Aku hanya duduk sambil ngawasin ujian, terus lanjut verbal evaluation sebentar. Cuma menyimak anak-anak praktek speaking. Nggak akan menguras energi."

Bayu masih melanjutkan keberatannya, tetapi akhirnya menyerah karena Ratna tidak hendak mengubah keputusan. "Aku ke kontrakan nanti malam," pungkas Bayu dengan nada yang tidak bisa dibantah.

Jadi di sinilah Ratna sekarang, di ruang A.05 gedung Prime English. Gadis itu duduk di kursi guru dengan selembar masker menutup sebagian wajah. Matanya kadang terpejam akibat rasa kantuk sebagai efek samping dari mengkomsumsi obat flu yang dia beli di apotek.

Alarm menyala dari ponselnya, countdown timer yang dia atur telah menunjukkan batas waktu. Ratna membuka mata lebar-lebar, mematikan alarm lalu berjalan ke tengah-tengah ruangan, di antara kursi-kursi peserta tes.

"Time is up. Stop working." Suaranya yang sengau semakin terdengar tak jelas artikulasinya, teredam oleh masker.

Para siswa meletakkan alat tulis dan meninggalkan lembar jawaban di atas meja kecil yang menyatu dengan kursi mereka.

"Wait outside. I will call you one by one for the verbal evaluation," perintah Ratna ketika beberapa siswa mulai beranjak dari tempat duduk.

Verbal evaluation tidak memerlukan waktu lama dan tidak menguras energi. Ratna hanya perlu duduk dan menyimak. Karena para siswa harus mempraktekkan dialog berbahasa Inggris, maka sesi tes ini dilakukan berpasangan. Setiap pasangan dipersilakan mengambil topik secara acak, yang sudah Ratna sediakan di dalam sebuah toples plastik. Lalu mereka akan diberi waktu beberapa menit untuk berpikir sebelum mempraktekkan dialog secara impromtu.

Ratna membuka daftar hadir dan memanggil dua nama yang tertulis paling atas. "Andreas and Baskara," serunya selantang mungkin.

***

Ratna mengembuskan napas panjang ketika pasangan siswa terakhir keluar dari ruang kelas. Selesai juga kewajibannya hari ini. Dia membereskan meja dan menyimpan hasil ujian ke dalam tas, melengkapi berita acara yang akan dilampirkan bersama daftar hadir siswa untuk kemudian diserahkan pada bagian administrasi. Akan tetapi, tugas sederhana seperti itu pun berubah menjadi hal yang merepotkan dalam kondisi tubuh yang tidak fit. Ratna berkali-kali bersin sehingga terpikir olehnya untuk mengunjungi dokter.

Suara ujung runcing high heels yang beradu dengan lantai keramik membuat Ratna menoleh. Tampak Ayu menghampirinya dengan senyum simpatik yang tulus.

"Flu?" Pertanyaan pembuka dari Ayu sebenarnya tak memerlukan jawaban. Masker yang dikenakan Ratna jelas menyatakan seperti apa kondisi kesehatan gadis itu.

"Iya nih. Meler terus."

Ayu menarik sebuah kursi dari baris terdepan dan duduk berhadapan dengan Ratna. "Kamu sakitnya kayak gantian sama Bayu. Dia sembuh, kamu sakit."

Sungguh, Ayu tidak perlu bersikap sepeduli ini. Biar saja Ratna sakit. Itu ganjaran yang pantas baginya karena telah menggunting dalam lipatan pertemanan mereka.

"Namanya juga virus, bisa menular dari mana-mana," kelit Ratna. Matanya tak berani menatap kedua netra Ayu.

"Udah ke dokter?"

"Rencananya sepulang ngajar."

"Diantar Raja?"

Tentu saja Ayu berpikir bahwa sudah tugas Raja sebagai pacar untuk mengantar Ratna ke dokter. Ucapan Ayu sekaligus menjadi pengingat bahwa Ratna perlu berbicara dengan Raja, guna menyelesaikan urusan di antara mereka.

"Oh, nggak. Sendirian aja. Raja sedang UAS di kampusnya."

Ayu tersenyum tipis. "Gimana rasanya pacaran sama berondong?"

Ratna mengedik, sebisa mungkin terlihat cuek. "Biasa aja. Raja itu dewasa kok."

"Kelihatan sih," sahut Ayu setuju. "Padahal kupikir Raja bakal manja. Mungkin cowok itu baru manja kalau udah nikah ya? Kalau masih pacaran gini, mereka sok bersikap ngemong. Bayu tu nggak pernah bermanja-manja sama aku. Nggak tahu deh nanti kalau udah nikah gimana."

"Barangkali memang begitu."

Ratna punya seorang kakak laki-laki dan, ya, kakaknya itu memang sering bermanja-manja dengan sang istri. Makan, minta diambilkan. Kalau sedang sakit, harus disuapin oleh istri. Kok mirip Bayu ya.

Ratna meletakkan pulpen dan menyimpan berita acara ke dalam sebuah stopmap, lalu tiba-tiba dia bersin kencang dua kali sampai ingusnya keluar dan membasahi masker. Virus dari Bayu rupanya sebandel lelaki itu. 

"Tisu, tisu ... hachim!" Ratna bersin lagi sementara tangannya merogoh-rogoh ke dalam tas, mencari sebungkus tisu yang sudah dia siapkan.  dalam kemasan travel pack. Gerakan terburu-buru saat menarik kemasan travel pack tisu membuat buku Memoar Seorang Geisha ikut tertarik dari dalam tas dan jatuh ke lantai.

Oh, sial. Tapi Ratna harus mengurus ingusnya lebih dulu. Dia melepas masker dan mengambil beberapa helai tisu untuk membuang ingus. Ratna melemparkan masker dan tisu yang sudah basah karena lendir hidung ke dalam tempat sampah, kemudian lekas-lekas memakai masker baru.

Saat Ratna kembali memutar tubuhnya ke arah meja. Tubuh Ayu baru saja kembali tegak dari posisi membungkuk dan buku Memoar Seorang Geisha berada di tangan gadis itu. Mendadak, rasa dingin merayap di tulang punggung Ratna. Jantung berdebar sangat kencang dan serasa hendak meledak.

"Tadi jatuh," kata Ayu sembari mengulurkan buku tersebut.

"I-iya, makasih." Ratna menerima buku bersampul abu-abu itu. Tenang, jangan panik berlebihan. Ayu masih tersenyum dan raut wajahnya juga tampak biasa saja. Itu pertanda bagus, artinya Ayu belum sempat melihat tulisan tangan Bayu di halaman soft cover buku itu. Benar, bukan?

***

"Gimana tesnya? Lancar?" Bayu menoleh sekilas ke arah Ayu yang duduk di kursi penumpang di sampingnya. Gadis itu lebih banyak diam sepulang kursus bahasa Inggris di PE.

"Lancar kok." Ayu mengulas senyum. "Menurutmu, sebaiknya aku melanjutkan tingkat berikutnya atau nggak?"

"Kalau kamu merasa ilmu yang didapat bermanfaat, kenapa nggak? Asal jadwalnya cocok dengan jam kerjamu." Bayu sudah kembali menatap lalu lintas. Petang sudah turun. Matahari berubah jingga dan mulai tergelincir ke ufuk barat.

"Tapi mungkin bukan Ratna yang akan ngajar level berikutnya," beritahu Ayu. Bayu melirik jemari Ayu yang meremas-remas tali tas di pangkuan. Seperti ada yang mengayuti pikiran gadis itu.

"Bisa jadi, tapi semua teacher PE punya cara mengajar yang asyik. Aku udah membuktikan waktu pelatihan TOEFL kemarin."

Ayu mengangguk. "Ratna sakit. Kamu udah tahu?"

"Oya? Sakit apa?"

"Flu."

"Oh, lagi musim kayaknya." Bayu menoleh lagi ke arah Ayu, tetapi gadis itu membuang muka ke arah jendela, sibuk mengamati deretan bangunan yang mereka lewati.

"Kamu langsung aku antar pulang saja. Aku bisa naik Gojek dari rumahmu."

Dengan mengantar Ayu pulang ke rumah, setidaknya Bayu telah memastikan gadis itu berada di tempat aman. Paling tidak, Ayu tidak harus mengemudikan mobil dalam keadaan kalut yang bisa saja berisiko bagi keselamatan. Sebab Bayu sudah membulatkan tekad untuk mengakhiri hubungan mereka hari ini juga.

Semakin dekat dengan rumah Ayu, semakin tubuh Bayu diliputi ketegangan. Lelaki itu mencoba merilekskan tubuh yang mendadak kaku diserang gugup. I'm sorry, Yu, but I have to do this.

Bayu memelankan laju kendaraan lalu menekan klakson satu kali saat tiba di depan rumah yang dipagari besi bercat hitam. Seorang perempuan paruh baya berlari kecil dari pintu garasi dan membukakan gerbang. Bayu menurunkan kaca jendela dan mengucapkan terima kasih pada Bude Yati, asisten rumah tangga keluarga Ayu.

Bayu memasukkan mobil ke dalam garasi. Dia lalu turun dan mengitari mobil untuk membukakan pintu penumpang.

"Makasih, udah diantar sampai rumah," ujar Ayu lalu berjalan ke teras depan. Bayu mengekori langkah gadis itu.

"Ayu, aku mau ngomong."

Ayu berhenti melangkah. Dia memutar tubuh kemudian mengangguk setelah membaca ekspresi serius di wajah sang kekasih. "Ngomong aja," katanya sembari mengambil tempat duduk di salah satu kursi rotan yang ada di teras.

Bayu ikut duduk di kursi lain, kursi yang paling jauh jaraknya dari Ayu. Diletakkannya kunci mobil di meja kecil. Bayu menarik napas panjang sebelum berkata.

"Aku minta maaf, tapi sepertinya aku nggak bisa melanjutkan hubungan ini. Kita udahan ya."

Ayu terperangah, tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari lisannya. Hening yang tercipta terasa mencekik. Mengambil seluruh pasokan oksigen yang seharusnya masuk ke paru-paru. "Putus?" tanya Ayu lemah setelah senyap selama beberapa saat.

Bayu mengangguk.

"Kenapa? Kita selama ini baik-baik aja." Suara Ayu mulai bergetar.

"Bukan salahmu. Aku menyukai perempuan lain. Maaf."

Hati Bayu mencelus saat memandang mata Ayu yang terbeliak. Genangan bening mulai terbentuk di pelupuknya.

"Apa dia ... Ratna?"

--------

Dah, ya. Sampai di sini aja, sisanya baca di KBM.































Hahaha, canda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro