Orientasi Atensi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Persis seperti angkasa malam yang selalu dirajai rembulan, Diba selalu menjadi pusat sorotan di antara kelam. Gadis saliha yang—kabarnya—dapat predikat mutqin di hafalan 7 juz selama perantauan di pesantren sana. Manis, anggun, elegan, yang dihiasi berjuta torehan prestasi, juga kemuliaan akhlak dan tingkah laku. Tampaknya, keseluruhan penduduk Cibangun akan sepakat bahwa Diba adalah definisi dari kesempurnaan.

Dalam diam, Rasi mengamati pantulan bayangan dirinya sendiri yang tak lebih dari gemintang redup dan teredam. Layaknya bumi dan langit. Sejauh itu perbedaan di antara keduanya.

Baru saja memenuhi pikiran Rasi, sang rembulan pun menampakkan diri dari balik bingkai pintu masjid, akhirnya. Bibir Diba bergerak pelan, menggumamkan kalimat yang tak dapat diterka Rasi. Doa masuk masjid, mungkin? Ah, Rasi saja lupa bagaimana bunyinya. Tak lama, suara halus yang tak dibuat-buat itu mengudara di langit-langit masjid. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh!" Tanpa sadar, sudut bibir Rasi menekuk ke bawah. Diliriknya Dirga di sampingnya yang menjawab salam dengan kelewat semangat. Mata Dirga terpancang kuat pada sosok yang baru saja masuk masjid, tak lekang satu senti pun. Rasi mendengkus malas. Sejak kapan Dirga jadi penjaga pintu masjid yang mengamati setiap orang masuk, selekat itu? Mau tak mau, Rasi jadi turut memperhatikan Diba.

Mukena biru-abu membalut badan, hingga menyisakan wajah bulat menggemaskan yang porsi komponennya sangat pas. Dua alis tipis bagai guratan terindah dari Sang Maha Pencipta, netra cokelat madu sendu yang bikin memupuk rindu, juga lesung pipi imut yang merekah bersamaan dengan senyum manisnya. Itu Diba, Adiba Haura Purnama, yang setiap langkahnya seolah mampu merebakkan wangi bunga-bunga di musim semi.

Beberapa anak lelaki curi-curi pandang sambil mesem tidak jelas, sementara Diba hanya membiarkan tatapannya menyusuri ubin masjid. Diba mendekap Al-Qur'an mini di tangannya lebih erat. Detik berikutnya, lampu 24 watt yang bertengger di langit-langit masjid mendadak saja terasa mengobarkan api biru yang paling panas di alam semesta. Semua itu karena Diba memilih untuk duduk manis persis di sebelah kiri Rasi. Perbedaan kontras semakin terlihat mencuat di antara keduanya. Rasi menahan gelegak kekesalan di dalam hati. Hareudang! Padahal kipas angin sudah berputar cepat, sejak tadi.

Beberapa anak perempuan yang belum lulus SD malah berebutan untuk menghambur ke pelukan Diba, sambil berulang kali mengelu-elukan nama gadis itu. Cuitan pujian kembali terlontar dengan deras.

"Marhaban bik, Diba. Bagaimana di pesantren? In syaa Allah barokah, ya. Hafalannya lancar?"

Diba tersenyum simpul. "Alhamdulillah, Ustadz."

"Alhamdulillah .... Kalau begitu, yuk, sekarang giliran Diba yang mengaji."

Kedua mata Rasi membola, hampir saja keluar dari tempatnya. "Ta-tapi Ustadz, ini bagian Rasi."

"Sekali-kali, Rasi. Khusus malam ini untuk menyambut Diba, ya. Malam berikutnya, kita akan bergilir seperti biasa," jawab Ustadz Ali, tanpa melepaskan senyuman dari bibirnya.

Ustadz pilih kasih! Mau berapa kali pun Rasi bicara, pasti Diba yang diperhatikan!

Dengan kikuk, Diba meraih mikrofon yang diserahkan Rasi secara ogah-ogahan. Kalam Ilahi pun mengalun indah dari bibir tipis Diba, mengangkasa di awan-awan Kampung Cibangun. Lantunan ayatnya menari-nari di sudut hati, memancing kelopak mata untuk menjatuhkan tangis penghambaan di hadapan-Nya. Anak Darussalam sampai terdiam semua. Beberapa penduduk tertarik, mulai mengintip dari celah-celah jendela masjid yang dibuka.

Seorang Adiba Haura Purnama telah kembali. Ya, rembulan yang selalu menjadi sorotan itu.

•   •   •

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro