04

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Meski pandanganku terfokus pada sepasang mata Kak Davi, tetapi aku masih bisa melihat cowok-cowok di meja itu sedang menatapku juga.

Terutama pandangan dari seseorang yang terasa menusuk.

Aku tersenyum kecil pada Kak Davi yang sedang menaikkan sebelah alisnya. Kuarahkan tanganku yang memegang tas kertas berisi snack dan juga sebotol minuman kepadanya.

"Kak Davi, ya?" tanyaku. Dia mengangguk, masih terlihat bingung. "Ini buat Kak Davi dari temen saya. Katanya dia malu buat ngasihnya."

Cowok-cowok di dekat Kak Davi tertawa dan menggoda Kak Davi. Aku juga mendengar suara samar-samar Ivy yang menyebut namaku dengan geram.

"Siapa yang ngasih? Apa salah satu yang ada di sana?" tanya Kak Davi, mengarahkan pandangannya ke pintu kantin.

Aku menoleh dan melihat punggung Ivy dan Denallie yang buru-buru kabur karena ketahuan Kak Davi. Hehe, mampus kalian!

Kutatap Kak Davi sekali lagi. "Boleh diambil aja, Kak? Semua ini diambil dari kantin dan tersegel. Nggak dimasukin racun atau semacamnya."

Kak Davi tidak menerimanya. Dia malah bersandar di kursi sambil melipat kedua tangan di dada. "Ini beneran dari temen lo. Bukan lo?"

Aku mengangguk dengan mantap.

"Kenapa nggak dia sendiri yang nemuin gue?"

"Dia malu, Kakak," balasku, tersenyum sampai pipiku terasa pegal.

"Anjir, lo dipanggil Kakak, Dav." Seorang cowok mencelutuk, membuatku merasa rencanaku untuk pergi dengan cepat akan gagal.

"Iya, nih." Kak Davi tertawa sambil memandangku. "Emang kita adik kakak?"

Ah, astagaaa. Kakak aku itu yang ada di samping lo sekarang!

Bisa-bisa aku kencing di sini.

"Diterima, ya, Kak?" Aku tidak bisa menaruh barang-barang ini ke meja dan langsung kabur seperti yang sedang aku bayangkan. Itu tidak sopan. Bisa-bisa aku akan bermasalah dengan senior nantinya.

"Nggak mau, ah?"

Apa aku salah target? Dia suka bercanda, ya? Harusnya Kak Davi langsung menerimanya saja.

"Ada juga loh alesannya dari temen gue, tapi aslinya dari dia sendiri yang ngasih." Cowok lain mencelutuk, membuatku jadi frustrasi. Kenapa dia berpikir seenak jidat begitu? Memangnya ada kejadian yang seperti dia katakan?

"Kak, tolong diambil, ya? Temenku nungguin soal—"

Ucapanku terhenti. Semua barang di tanganku dirampas oleh seseorang yang tiba-tiba berdiri. Dia menaruh makanan itu ke atas meja Kak Davi. Aku tak sengaja melihat pelakunya sampai akhirnya aku tak bisa menghindari tatapannya.

Kaisar. Dia menatapku dengan sorot dingin. "Lo bisa pergi sekarang."

Mampus aku.

Berusaha tidak kenal.

Berusaha tidak kenal.

Berusaha tidak kenal!

"Ma—makasih...." Aku menunduk dalam-dalam, lalu melebarkan langkahku menuju pintu keluar.

Aku mendengar suara percakapan seorang dari mereka. "Astaga, Kai. Lo sinis banget ya sama cewek-cewek? Selalu aja lo bikin kayak gitu."

"Yah, Kai. Padahal masih pengin gue isengin. Kenapa malah lo usir, sih?" Itu suara Kak Davi.

Argh. Entah apa yang akan terjadi di rumah nanti, tatapi toh dengan alasan bahwa aku terpaksa karena teman, harusnya dia mengerti, kan?

Aku berhasil keluar dari kantin itu dan langsung mendapatkan caci maki dari Ivy dan Denallie.

"Kenapaaa!" Ivy menggoyang-goyangkan kedua bahuku. Aku menerimanya dengan pasrah. "Kenapa lo pake alasan 'temen gue'. Nanti kalau mereka mikir gue gimana?"

"Kalau gue juga gimana?!" teriak Denallie.

"Hehe." Aku melepaskan tangan Ivy dari bahuku, lalu berlari menjauh sekencang-kencangnya.

Ivy berteriak sambil mengejarku. "TIARAAA! SINI LO!"

***

Aku sengaja tidak menerima tawaran Ivy dan Dena untuk hang out karena hari ini Papa sudah pulang. Mama mengatakan lewat pesan bahwa Papa baru saja tiba dan aku baru saja turun dari mobil driver saat pesan itu masuk. Aku berlari memasuki rumah besar itu dengan hati riang.

Kaisar tak mungkin ada di rumah sekarang karena biasanya cowok itu menghabiskan waktunya di sekolah atau di tempat lain bersama teman-temannya di ekskul basket.

"PAPA!" panggilku pada Papa yang tengah berbincang bersama mama di sofa terpisah ruang keluarga itu. Kulompati punggung sofa dan berakhir di samping papa. Aku memeluknya dengan senang.

Yes! Aku tak sabar dengan hadiah apa yang akan Papa berikan. Aku suka hadiah!

Meskipun aku bukan anak kandung Papa, tetapi perlakuan Papa padaku dan pada Kaisar sejak kecil tak pernah berbeda. Sesibuk-sibuknya Papa, Papa selalu menyempatkan waktunya untuk kamo.

"Tiara. Jaga sikap, Sayang. Papa kamu baru pulang itu," tegur Mama.

"Nggak apa, kok." Papa mengusap rambutku. "Kok nggak pulang bareng Kaisar aja? Padahal sampainya hampir barengan."

Hm? Kupandangi Papa dengan heran. Barengan?

Perasaanku tak enak. Seperti ada predator yang sedang memandangku dari jauh.

Aku menatap asal aura menyeramkan itu dan menemukan Kaisar berjalan ke arah kami. Kenapa dia di rumah? Harusnya dia di sekolah, kan! Apakah dia sengaja cepat pulang dari biasanya? Karena aku naik mobil dan dia naik motor sehingga dia bisa menghindari kemamcetan?

Sepertinya dia sudah sampai duluan dan tadi dia memasukkan motornya ke garasi? Begitu?

Aku tak bisa berpikir dengan baik. Menjadi kalem adalah keharusan. Aku tidak bisa untuk tidak menjaga sikap dari jangkauan matanya di rumah ini.

Papa memberikan sebuah tas belanja berlogo brand perhiasan yang membuat jantungku berdegup kencang. Aku tahu ini! Global ambbassador-nya adalah idolaku. Jichuuu Hitam Merah Muda!

Ini sudah pasti mahal dan terlalu mahal untuk sekadar hadiah, untukku. Aku selalu menyadari posisiku di rumah ini sebagai pendatang, tetapi aku tidak mau jika menolak kasih sayang yang aku butuhkan dari Papa sejak kecil.

Kaisar, dia tidak pernah mendapatkan apa-apa sekarang karena tak menginginkan yang namanya hadiah, tetapi papa selalu memberikannya kebutuhan dengan harga fantastis. Meskipun bagi Kaisar apa yang diberikan papanya adalah hadiah, tetapi Kaisar tak mau mengakui itu melainkan berpikir bahwa yang papa berikan kepadanya adalah sebuah kebutuhan. Dia sama sekali tak mau mendapatkan perlakuan yang sama seperti apa yang Papa lakukan padaku.

Aku tidak mau membukanya di sini meski aku sudah tak sabar. Tanganku harus dicuci bersih. Tak boleh ada kuman dan bakteri.

"Makasiii, Papa!" Aku memeluk Papa dengan kencang, terlalu senang sampai lupa masih ada Kaisar di ruangan ini. Cowok itu datang dan duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa yang aku duduki. Meski aku tak melihatnya secara langsung, tetapi ekor mataku menangkap pemandangan demikian.

Bahkan meski aku tak tahu dia melihat aku atau Papa, tetapi merasa dia menatapku sekarang. Apa dia benar-benar marah karena kejadian di sekolah tadi? Atau Apa karena aku merebut kasih sayang papanya? Atau dua-duanya?

Aku tak mau membuat seorang anak kandung jadi cemburu seperti ini.

Aku menjauh dari Papa untuk menjaga sikap. Sejak dulu, tiap aku dan Papa dekat seperti ini, dia akan memberikan tatapan kebenciannya.

Ponsel Papa berdering, membuatnya pamit ke halaman samping untuk menerima panggilan penting itu. Papa memanglah orang yang sibuk. Kupandangi Mama sambil melemparkan senyum bahagia. Aku penasaran Mama mendapatkan apa dari Papa, tetapi aku tak mau mengintip sekecil apa pun privasi Mama dan Papa yang saling berkaitan.

"Kaisar? Tiara?" panggil Mama, membuatku dan Kaisar menatap ke arah Mama. "Mau bantuin mama bikin kue bolu kesukaan kalian?"

"Aku ada PR." Aku beralasan. Bagaimana jika Kaisar ikut nantinya? Beberapa kali kami membantu Mama membuat kue bolu yang kebetulan adalah kue kesukaanku dan Kaisar dan aku selalu merasa tertekan setiap kali membuatnya di samping cowok itu.

"Aku juga enggak," balas Kaisar.

"Kalau gitu, Mama ke dapur dulu, ya? Kalian berdua mandi, ganti baju, terus makan." Mama kemudian pergi, meninggalkan aku dan Kaisar berdua di ruangan ini.

Aku juga tidak berniat pergi lebih cepat karena harus meluruskan apa yang terjadi di sekolah. "Soal tadi—"

"Nggak usah alesan."

???

Ucapan dan tatapannya semakin tajam saja, membuatku juga semakin menciut.

Aku bahkan dilarang untuk bicara.

Dia bangun dari sofa, lalu melewatiku sambil mengatakan sesuatu yang menusuk dadaku. "Gue kan udah bilang jangan muncul di sekitar gue. Apalagi sampe mikir buat caper ke temen-temen gue."

Cari perhatian? Apakah aku memang terlihat seperti itu?

Perkataannya itu jauh lebih menyakitkan dibanding saat dia melarangku untuk muncul di hadapannya saat di sekolah.

Harusnya dia bisa mengerti kan? Apa dia tidak mendengar bahwa aku memberikan makanan itu kepada Kak Davi bukan karena aku, tetapi karena temanku? Meskipun aku berbohong, tetapi yang dia tahu kan "makanan dari temanku" bukan "dari aku"! Harusnya dengan alasan yang seperti itu dia tak perlu mempermasalahkan ini, kan?

Kenapa dia menjengkelkan!

Apa jika kami tak sengaja berpapasan di sekolah, dia juga akan menyalahkanku?

Aku ingin mengatakan semua itu, tetapi suaraku tercekat. AKU INGIN MELEMPARNYA DENGAN BANTAL SOFA SAKING KESALNYA!

Kuangkat tubuhku untuk berdiri, lalu memandangnya yang masih berjalan. Setan di sampingku terlalu pandai merayu. Bantal sofa yang tak tahu apa-apa itu aku ambil dan kulemparkan tepat ke kepala Kaisar.

Lemparanku tepat mengenai sasaran. Dia berhenti berjalan.

Mampus lo!

Mampus juga buat gue.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro