06

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepertinya, misi balas dendam itu menguras tenagaku. Aura negatif juga mengikutiku ke mana-mana.

Itu melelahkan. Pantas saja Mama selalu membiasakanku untuk selalu menebarkan kebaikan dan hal-hal yang bersifat positif.

Lupakan tentang balas dendam itu. Semua hanya akan menjadi buang-buang waktu dan menguras tenaga. Lebih baik aku melakukan semuanya dengan tulus. Pada dasarnya aku memang ingin dekat dengan Kaisar. Peringatan Kaisar lah yang membuatku menjaga jarak darinya hingga timbul rasa segan selama bertahun-tahun sementara pada dasarnya aku ingin dekat dengannya.

Kugoreskan penaku di sebuah kertas kosong halaman belakang buku catatan Matematika.

di rumah: jadi adik yang imut dan perhatian.

di sekolah: jadi fans berat.

Dua kepriadian yang bertolak belakang. Ini menarik! Lagipula, sejak dulu aku kan tidak tahu bagaimana rasanya punya saudara. Aku ingin jadi diriku sendiri, yaitu menjadi adik yang imut dan perhatian. Hehe. Aku memang imut dan perhatian, kok.

Karena aku menghargai keputusan Kaisar untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun bahwa kami bersaudara, maka aku tidak akan melakukan itu. Aku juga hanya akan rugi jika orang-orang tahu bahwa kami bersaudara. Para cewek akan mendekatiku hanya untuk bertanya segala hal tentang Kaisar dan bersikap baik padaku dengan tidak tulus. Belum lagi aku akan menghadapi Denallie dan Ivy. Membayangkannya saja sudah mengerikan.

Di sekolah ini, aku akan menjadi pengagum berat Kaisar. Jika dulu dia tak tahu aku menganguminya sebagai seorang pemain basket yang hebat, maka kali ini aku akan menjadi pengagumnya secara terang-terangan.

Di depannya langsung? Siapa takut.

Keinginan untuk balas dendam kemarin ternyata tak berlangsung lama. Sepertinya karena yang aku rasakan kemarin adalah kekesalan yang memang akan hilang dengan sendirinya.

"TIARA!"

Aku yang sedang berguling-guling malas di lantai kelas yang sudah kubersihkan jadi terganggu oleh teriakan duo maut itu. Dena dan Ivy melangkah ke arahku, lalu keduanya menarik masing-masing tanganku agar berdiri dari rebahan yang menyenangkan ini.

"Ayo!" Dena memeluk tubuhku yang seperti belut. "Ayo, kita triple date."

Aku langsung berdiri. "Date? Triple? Di antara kita bertiga, gue nggak punya cowok, loh."

"Maka dari itu!" Denallie menggenggam kedua tanganku. "Gue udah ngomongin ini ke Kak Juno. Kak Juno punya temen yang lagi pengin kenalan sama cewek juga dan Kak Juno cerita tentang lo ke cowok itu. Terus dia tertarik, deh. Pengin ketemu sekalian triple date!"

Ivy mengangguk. "Mana tahu lo cocok. Kan kenalan dulu gitu. Enak tahu pacaran sama cowok beda sekolah. Di sekolah ini gue bisa selingkuh sama kalian berdua."

"Ganteng, loh," kata Dena, membuat telingaku rasanya bergerak. "Katanya dia juga tipe yang setia gitu. Gue yakin dia bakalan kepincut sama lo."

Aku juga ingin punya pacar....

Akan tetapi, apa definisi dari triple date? Bukankah kencan untuk tiga pasangan? Aku kan tidak  punya pasangan di sini. Double date dan satu pasangan kencan buta?

Kencan buta! Itu terdengar menyenangkan. "Kapan?" tanyaku penuh harap.

"Malam ini juga!" seru Ivy. "Kita nggak pulang sampai larut malam, kok. Tenang aja. Nyokap lo pasti ngizinin. Kalau nggak, biar gue ke rumah lo dan jemput—"

Aku menutup mulut Ivy sebelum dia menyampaikan ide menyeramkan itu. "Tenang. Bisa gue atasi!"

"Kaisar lagi di lapangan basket! Lagi main bareng yang lain, tuh!" Denallie berteriak di pintu. Sejak kapan dia di sana?

Kutarik tangan Ivy dan kami berlari keluar dari ruangan ini. Saatnya menjalankan aksi! Menjadi seorang pengagum berat Kaisar dengan terang-terangan di depan cowok itu.

Kami bertiga berlari menuju lapangan di mana Kaisar dan teman-temannya yang lain sedang berada di lapangan. Sepertinya mereka baru saja pulang dari pertandingan basket. Tepi lapangan tak pernah sepi jika ada Kaisar yang bermain di lapangan itu. Tak jarang anggota tim basket lain menjadi cemburu karena Kaisar mengambil sebagian besar sorotan.

Aku, Dena, dan juga Ivy berteriak dengan serentak tanpa adanya aba-aba. Seolah jiwa kami telah bersatu. "KAISAAAR!"

Lalu, cowok itu berhenti dan menatap ke arahku. Bagaimana aku tahu?

Karena matanya langsung tertuju padaku.

Masa bodo, lah. Ayo menjadi pengagum berat dan lupakan tentang status kami yang tercantum di kartu keluarga. Di sekolah, kami adalah sebatas pengagum dan idola.

"SEMANGAT!" Aku berteriak sambil melemparkan senyum paling ceria.

Kaisar lalu melempar bola ke ring, tetapi bolanya mengenai luar kotak pada papan hingga membuat bola itu tak bisa masuk ke ring. Papan sampai bergetar hebat. Bola basket memantul berkali-kali di atas lapangan saking kerasnya lemparannya itu. Setelah itu dia keluar dari lapangan.

Semua orang menatapnya bingung. Apalagi aku.

Dia marah.

***

Kami bertiga memutuskan untuk pulang dengan cepat demi mempersiapkan pakaian terbaik untuk kencan.

Aku tidak melihat Kaisar di rumah. Pasti dia tidak pulang cepat seperti kemarin karena ada urusan lebih penting di luar sana. Kalau tidak, mana mungkin Kaisar tidak mendatangiku dengan cepat karena telah membuatnya marah. Aku sudah menyiapkan berbagai alasan untuk meredakan kemarahannya nanti sekaligus berharap agar Kaisar bisa mengerti.

Entah apa yang akan Kaisar lakukan padaku. Bukan itu yang penting untuk aku pikirkan sekarang. Aku harus memakai baju apa?

Kubuka seragamku, menyisakan tank top hitam dan celana pendek. Tak lupa bra yang menyesakkan ini juga ikut ku lempar ke atas tempat tidur.

Aku berdiri di depan lemari tiga pintu yang kubuka lebar-lebar. Kuambil sebuah celana dan baju yang warnanya menarik mataku. Aku lalu berkaca dan menaruh baju dan celana itu di depan tubuhku. Ada yang kurang. Aku membuangnya ke tempat tidur dan lanjut mencari baju yang paling cocok.

Argh! Aku pusing. Apa karena semua pakaian di dalam sana sudah pernah aku pakai makanya terasa tak ada yang cocok?

Sepertinya, aku harus membeli baju baru.

Pintu kamarku diketuk. Aku langsung berlari membukanya sebelum Mama berteriak menyebut namaku. Pintu itu akhirnya kubuka sambil tersenyum lebar. Aku ingin minta ditemani untuk belanja.

Namun, yang berdiri bukan Mama, tetapi Kaisar.

Dia bahkan masih mengenakan seragamnya. Tas ranselnya masih tersampir di satu bahu. Dia pulang langsung menghampiri kamarku.

Matanya segera berpaling, tak mau menatapku. "Ngapain lo teriak-teriak kayak gitu lagi? Bahkan terang-terangan. Sengaja?"

"Emang nggak boleh?" Aku menanti situasi ini dari tadi. "Gue kan nggak ngasih tahu ke orang-orang tentang hubungan kita."

Hubungan kita....

Kedengarannya agak ambigu, ya.

"Emangnya gue juga nggak boleh jadi fans lo di luar sana? Itu hak gue kan?" lanjutku.

Dia melirikku. "Fans...?"

"Iya. Siapa sih yang nggak ngefans sama lo? Apa gue juga nggak boleh kayak gitu?" Aku bicara dari hatiku. Percakapan kali ini membuatku merasa tak melihat pembatas di antara kami. Mungkin karena beberapa hal terjadi belakangan ini karena perbuatan nekatku.

Aku segera menambahkan alasan lainnya. "Kalau gue beda dari cewek-cewek lain di sekolah, nanti malah curiga, ya, kan? Kenapa Tiara nggak tertarik sama Kaisar. Kenapa Tiara nggak kayak cewek-cewek lain. Justru dengan tindakan gue yang kayak yang lain itu lebih bagus, kan?"

Sebenarnya, aku sudah tahu mengapa Kaisar melarangku muncul di hadapannya. Jawabannya hanya satu, yaitu karena dia membenciku. Alasan yang aku utarakan barusan memang tidak selaras dengan alasan Kaisar melarangku muncul di hadapannya saat di sekolah. Justru alasanku ini akan semakin membuatnya kesal karena menjadi pengagumnya dan berteriak-teriak memanggil namanya hanya akan menaikkan tensinya itu.

Aku sengaja memancingnya. Toh, aku juga telah menyiapkan jawaban lain.

Gue berhak ngelakuin apa pun sebagaimana lo berhak ngelakuin apa pun. Gue akan ngehargai keinginan lo untuk nggak bongkar kalau kita ini saudara karena kalau orang-orang tahu kita saudara, gue juga yang akan rugi. Adil, kan?

Ya, aku tak sabar mengatakan kalimat itu. Namun, dia diam saja sampai akhirnya berkata, "terserah, lah. Awas aja bikin masalah."

"Ya, enggak. Ngapain juga bikin masalah dari hal itu?" balasku.

"Hah...." Dia menatapku dengan sorot aneh. "Lain kali jangan pakai pakaian kayak gini. Sekalipun itu di kamar, doang. Ngerti?"

Cowok itu pergi, membuka pintunya dan membantingnya saat dia sudah masuk di kamarnya. Aku ingin teriak. Kenapa? Kenapa dia menjengkelkan?

Aku segera menutup pintu. Suasana hatiku jadi buruk karena perkataannya. Pandanganku berhenti pada sesuatu di atas tempat tidur.

Braku....

Aku baru menyadari, saat ini, bahkan saat berdiri di hadapan Kaisar, aku ... tidak memakai bra sama sekali.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro