30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hampa.

Itulah yang aku rasakan saat melihat dua gundukan tanah baru yang bersisian.

Aku masih ingin menangis agar rasa sesak di dadaku menghilang, tetapi aku tidak lagi bisa mengeluarkan air mata sejak melihat wajah pucat Mama dan Papa untuk yang terakhir kalinya.

Padahal semalam kami masih berbincang, tertawa, dan saling berpelukan. Aku tidak menyangka kata-kata Mama dan Papa kepada Bibi untuk menjagaku dan Kaisar adalah sebuah amanah sebelum kepergian mereka ke alam yang berbeda.

Ada banyak orang yang datang melayat. Bahkan Dena dan Ivy rela izin sekolah demi menemaniku yang baru saja kehilangan kedua orangtua. Kupandangi makam di samping makam Papa yang merupakan makam mendiang mama Kaisar, lalu pandanganku beralih pada makam Kakek dan Nenek yang sedikit tertutupi oleh orang-orang berpakaian serba hitam.

Pandanganku akhirnya mengabur. Aku bisa merasakan bulir air mata terus mengalir di pipiku.

Kenapa semua pergi begitu cepat?

Kerongkonganku terasa sakit. Aku tidak bisa menahan air mataku yang terus berjatuhan dan terisak dengan kencang. Ivy dan Dena memelukku erat, tetapi aku hanya bisa berdiri dan berusaha untuk tidak terjatuh.

Kutatap Kaisar yang berdiri dengan tatapan datar menatap makam Mama dan Papa. Aku mengusap wajahku yang basah dengan punggung tangan. Keluarga besarnya ikut melayat, tetapi aku bisa melihat tak ada ketulusan dari tindakan tiba-tiba mereka. Para om dan tante Kaisar datang tak sepenuhnya untuk berbelasungkawa, tetapi juga mengambil keuntungan di balik musibah bagi Kaisar. Mereka mulai melancarkan aksi dengan bersikap seolah-olah mereka adalah keluarga yang baik.

Aku mendekati Kaisar yang tak menggubris siapa pun di sekitarnya. Seolah jiwanya sedang tidak berada dalam raganya. Meski tak ada ekspresi di wajahnya, tetapi ada begitu banyak luka di matanya. Baru kali ini aku melihat tatapan Kaisar yang seperti itu. Kaisar tak pernah melihat ibu kandungnya sejak lahir, lalu sekarang dia juga harus kehilangan Papa kandungnya dan juga Mama yang telah merawatnya hingga menginjak usia 17 tahun.

Aku berhenti di samping Kaisar dan kupegang tangannya dengan pelan. Dia menoleh, menatapku yang masih bersimpah air mata. Kugigit bibirku kuat-kuat agar tidak menangis di depannya, tetapi aku gagal dan berakhir memeluk Kaisar dengan menangis terisak.

Tak ada yang bisa aku lakukan selain menangis kencang sambil memeluknya. Kurasakan Kaisar balas memelukku dengan erat. Aku semakin terisak dalam pelukannya.

"Jangan sampai lo juga ninggalin gue," bisik Kaisar dengan suara gemetar.

Aku menggeleng kencang.

Aku juga akan pergi? Itu tidak mungkin terjadi. Tak akan pernah.

Untuk apa aku meninggalkan Kaisar disaat aku sendiri membutuhkan dirinya di sisiku?

***

Ini hari ketiga setelah kepergian Mama dan Papa, tetapi rumah ini rasanya sudah tidak aman. Aku segera keluar kamar setelah mengusap wajahku yang penuh air mata dengan tisu. Kuturuni tangga dengan buru-buru karena mendengar suara berisik di lantai bawah. Langkahku terhenti di anak tangga terakhir. Seorang laki-laki yang usianya tak berbeda jauh dengan Papa sedang mengatai Bibi dengan mulutnya yang tak bisa dia jaga. Dia adalah om Kaisar yang dan merupakan saudara dari mendiang mama Kaisar. Adik ipar almarhum Papa.

Apa yang aku tahu selama ini adalah keluarga dari mendiang mama Kaisar lah yang paling suka mencari ribut.

"Ambilin minum istri saya. Habis itu ganti seprai warna putih."

"Seprai warna putih sudah terpakai semua di kamar lain...."

"Ck, ya cari kek. Beli. Bisa lewat online dan diantar sekarang juga, kan?"

Sial.... Aku ingin memaki-maki laki-laki itu. Aku lupa namanya siapa, tak peduli juga. Dia terlalu bersikap angkuh padahal bukan siapa-siapa di sini. Papa dan Kaisar saja tak pernah bersikap seperti raja pada Bibi.

Lihat istrinya yang sedang merokok di ruang tengah. Benar-benar membuat rumah ini jadi berpolusi. Perempuan itu bertatap mata denganku, membuatku mau tak mau tetap memandangnya daripada tiba-tiba pura-pura tak melihat.

"Ngapain lo ngelihatin gue kayak gitu?" tanyanya dengan alis terangkat tinggi-tinggi.

"Tolong jangan ngerokok di rumah. Papa nggak suka," kataku, berusaha berani. Sejujurnya, aku tidak mau berurusan dengan masalah. Sementara mereka adalah masalahnya. Hanya saja, aku tidak tahan melihat asap rokok beterbangan di ruangan ini. Bibi bahkan sempat batuk karena asap rokoknya.

"Papa...? Rian maksud lo?" Istri dari om Kaisar itu mengisap rokoknya dalam sebelum dia bangkit dari sofa dan melangkah ke arahku. Kini dia berhadapan denganku. Dia lebih tinggi dariku sehingga wajah kami jadi sejajar karena aku yang masih berdiri di anak tangga terakhir.

"Emang lo siapa di rumah ini, hah? Berani-beraninya negur gue," katanya sambil mendorong keningku dengan telunjuknya hingga kepalaku terdorong ke belakang. "Eh, bocah. Mending lo sadar diri kalau nggak mau hidup di jalanan."

Aku tak tahan lagi. "Kamu yang siapa? Datang-datang ngerusuh di rumah orang. Mending kalian pergi sebelum Kaisar pulang. Kalau Kaisar tahu kelakuan kalian, kalian pasti diusir di rumah ini. Dan jangan bikin repot Bibi. Bibi kerja sama Kaisar bukan sama yang lain."

Bibir perempuan itu terkatup rapat, tetapi aku sendiri justru merasakan jantungku berdegup kencang. Gila. Aku benar-benar berani mengutarakan isi pikiranku pada perempuan yang hampir seumuran Mama.

Dia berbalik sambil bicara pada suaminya. "Urus dia. Bikin gue nggak mood aja," katanya, lalu melangkah memasuki kamar tamu.

Dua koper besar di dekat sofa itu membuatku salah fokus. Mereka ... benar-benar akan menginap di sini?

Pandanganku tertuju pada om Kaisar. Dia berhenti di dekatku sambil melihat kanan dan kiri. Aku baru menyadari Bibi sudah pergi entah ke mana. Laki-laki itu tersenyum ke arahku, terlihat tak enak di pandang.

Telunjuknya berada di depan bibirnya. "Ssst, jangan ngelawan istri saya, ya? Kalau dia ngelakuin sesuatu yang menurut kamu nggak sreg, langsung kasih tahu saya saja."

Cara bicaranya berbeda drastis saat bicara dengan Bibi. Aku sudah tahu tabiat om ini. Dia seperti serigala berbulu domba.

"Apa Kaisar sudah tahu Om datang?" tanyaku karena aku tidak yakin Kaisar akan mengizinkan mereka berdua tinggal di sini jika meminta izin terlebih dahulu.

"Enggak, sih." Dia mengusap lenganku dan membuatku segera menghindar karena terkejut. "Anak itu pasti akan jadi sok dewasa. Dia masih butuh wali. Apalagi Kaisar masih remaja, masih butuh penjagaan dari orang yang lebih dewasa bukan? Takutnya dia salah pergaulan."

Dia sok jadi keluarga baik padahal selalu datang jika ada maunya saja. Kaisar juga bukan anak kecil yang harus dijaga. Dan terlebih lagi, dia ingin menjaga Kaisar disaat sikapnya pada orang yang lebih tua saja tidak mencerminkan bahwa dia orang yang baik.

Sudah benar Mama dan Papa memberikan amanah kepada Bibi untuk menjaga kami.

"Oh...," gumamku. "Tapi baiknya Kaisar harus tahu dulu. Ya udah," kataku, lalu berbalik untuk kembali ke kamar. Aku tak punya apa-apa untuk dikatakan lagi. Aku harus segera menghubungi Kaisar.

"Ngomong-ngomong, kamu makin besar jadi makin cantik, ya."

Langkahku memelan sesaat karena perkataannya yang membuatku terkejut. Risi, aku segera melangkah buru-buru menaiki tangga hingga berhasil memasuki kamarku.

Mungkin saja dia hanya mau basa-basi. Iya, kan? Namun, tetap saja aku merasa tidak nyaman. Mungkin, karena dia laki-laki beristri sehingga aku jadi merasa waswas.

Kulangkahkan kakiku menuju jendela. Sudah hampir tengah malam dan Kaisar belum juga pulang. Aku mencoba menelepon Kaisar, tetapi tak diangkat oleh Kaisar. Sepertinya dia dalam perjalanan pulang.

Setelah kepergian Mama dan Papa yang tiba-tiba, Kaisar memang makin menyendiri. Kemarin dia 24 jam di kamar dan hanya makan sekali itu pun hanya sedikit, lalu hari ini dia keluar entah ke mana dan tak kunjung pulang.

Kumatikan lampu kamar, lalu aku menjatuhkan diriku ke tempat tidur dan kembali menangisi kepergian Mama dan Papa yang terlalu tiba-tiba. Sampai aku lelah dan tertidur.

***

Aku meneguk ludah. Baru saja aku terbangun dari tidurku karena mendengar suara pintu yang dibuka. Kesadaranku langsung pulih sepenuhnya. Apa ini mimpi? Tidak. Tidak. Ini terlalu nyata. Aku tidak melihat apa pun. Kamar ini gelap karena aku memang lupa menyalakan lampu tidur di nakas, tetapi telingaku tetap mendengar suara-suara yang membuat jantungku berpacu cepat.

Aku ingin berteriak. Aku juga ingin bangun. Namun, tubuhku tak bisa bergerak seolah membeku. Suara pintu yang ditutup, entah orang itu masuk ke kamarku atau tidak, membuat jantungku semakin berdegup kencang.

Aku mengumpulkan segala keberanianku untuk langsung bangun dan mengambil lampu tidur untuk perlindungan diri. Aku berhasil memegang lampu tidur itu dan segera duduk. Ketika kakiku menyentuh lantai, aku menginjak kaki seseorang dan membuatku hampir berteriak karena mulutku dibekap tiba-tiba.

"Ini gue." Suara Kaisar! Syukurlah! "Ayo tidur di kamar gue."

Aku mengerjap bingung. "Gimana...?"

"Lo harus tidur di kamar gue malam ini," katanya lagi. "Harus."

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro