34

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku membuka mataku dan memandang jendela kamar yang bukan jendela kamarku.

Ini kamar Kaisar!

Mataku langsung segar ketika menyadari lengan yang memelukku dari belakang. Aku menyentuh punggung tangan Kaisar yang sedang memegang erat bajuku.

Semalam, aku ketiduran di tempat tidur Kaisar dan mimpi buruk lagi sehingga Kaisar tak membiarkanku pergi dari kamarnya. Ini adalah kedua kalinya kami tidur bersama setelah malam di mana aku menangis karena mimpi buruk yang sama dengan semalam.

Entah ini sebuah hal baik atau sebaliknya, Kaisar tak mau jauh dariku sejak dia mengutarakan perasaannya padaku. Namun, aku menyadari satu hal bahwa kami rupanya tidak berpacaran. Kaisar hanya mengatakan keinginannya untuk menikahiku ketika kami lulus nanti. Kaisar bahkan mengatakan jika bukan karena peraturan sekolah yang mana siswa tak boleh menikah, maka dia sudah menikahiku sehari setelah mengatakan keinginannya untuk menikahiku.

Ketika di sekolah, kami masih bersikap seperti biasa. Di luar sekolah selain di rumah, Kaisar selalu memperlakukanku seperti pacarnya. Makan malam, berkencan, ke tempat-tempat yang menyenangkan seperti tempat wisata. Lalu saat di rumah, Kaisar selalu menyuruhku untuk di kamarnya—tentu saja dengan pintu yang terbuka lebar agar Bibi tak salah paham—, kecuali saat makan atau melakukan kegiatan yang bersifat privasi seperti mandi dan berganti pakaian.

Selain itu aku selalu di kamarnya. Entah itu belajar, membaca buku, atau bermalas-malasan. Di tempat tidurnya, di sofa, atau bahkan berbaring malas di lantai. Sementara Kaisar duduk di kursi belajarnya atau berbaring di sofa membaca teori pelajaran yang tak membutuhkan cakaran. Dia belajar dan terus belajar karena dia mempunyai mimpi untuk memasuki universitas nomor 1 di Indonesia.

Aku akan mengikuti ke mana Kaisar pergi. Jika tujuannya adalah universitas nomor 1 itu, maka aku akan mendaftarkan diri di sana pada jurusan apa pun karena secara pribadi aku tak punya pelajaran khusus yang aku minati.

Aku memang setidakterarah itu pada hal yang berkaitan dengan cita-cita. Aku akan jadi apa di masa depan? Istri Kaisar? Ibu rumah tangga yang baik seperti Mama yang mengurus anak-anak?

Belum apa-apa, aku sudah membayangkan masa depan yang belum pasti.

Kurasakan lengan Kaisar bergerak di pinggangku. "Kamu udah bangun?" tanyaku.

Dia hanya bergumam tak jelas.

Aku berusha menyingkirkan tangan Kaisar sambil melihat ke celah jendela kaca. Cahaya matahari sedikit demi sedikit mulai menyinari bumi. "Aku mau ke kamar. Sebelum Bibi lihat aku keluar dari kamar ini dan malah salah paham."

"Bibi nggak mungkin ke lantai 2 sepagi ini," bisiknya.

Aku segera bangkit dengan paksa sehingga Kaisar akhirnya tak lagi memegang bajuku. Ketika aku menoleh untuk menatapnya, dia sedang mengusap matanya dengan punggung tangan.

Ada yang lebih membuatku malu lagi. Dia tidak memakai baju! Meski masih memakai celana—tentu saja tak mungkin dia telanjang bulat—, tetapi aku selalu geli melihat cowok yang telanjang dada.

"Kenapa kamu nggak pakai baju?!" seruku dengan pelan.

Dia masih mengusap matanya seperti bocah lima tahun yang baru bangun tidur. "Aku memang udah terbiasa nggak pakai baju kalau tidur."

Dia bangkit dan mencari-cari sesuatu, lalu dia menunduk memungut bajunya di lantai dan langsung memakainya. Dia lalu memandangku dengan mata yang mengantuk tanpa mengatakan apa-apa, lalu tiba-tiba dia mendekat dan mengurungku dalam pelukannya.

"Lima menit," katanya sambil menjatuhkan diri kami ke tempat tidur.

Kaisar jadi semakin tak terduga.

"Ki—kita terlalu berlebihan nggak, sih?" tanyaku, gugup.

"Beberapa bulan lagi kan kita nikah," katanya dengan yakin seolah menikah bersamaku beberapa bulan lagi adalah sebuah hal yang sudah pasti. "Jadi, biasain dari sekarang kalau kamu akan selalu bangun tidur di samping aku."

"Kaisar!"

"Kamu nggak mau?"

"Tapi kita kan intinya belum nikah."

"Nanti aku tanya kepala sekolah apa boleh nikahin kamu besok."

"APA?" Aku refleks menutup mulutku karena berteriak. "Hei..., kalau kamu masih belum bangun sepenuhnya makanya ngomong ngelantur, sekarang ayo bangun!" seruku sambil mencubit pipi Kaisar dengan keras, tetapi dia tidak kesakitan sama sekali. Benar-benar kulit badak.

"Ayo, siap-siap ke sekolah," katanya setelah aku menyerah menyiksa pipinya.

Aku menunggu Kaisar bangun lebih dulu karena aku sendiri tak bisa keluar dari pelukan Kaisar yang seperti sebuah tali pengikat, tetapi Kaisar tidak bergerak sama sekali.

"Aku nggak bisa bangun," bisikku.

"Bentar." Pelukannya semakin erat dan kurasakan dia mencium puncak kepalaku.

Aku membisu. Dalam keheningan di mana aku tak tahu harus memikirkan apa, aku tiba-tiba menangis karena teringat Mama dan Papa.

"Kenapa?" tanya Kaisar pelan.

Aku menggeleng. Jika mereka masih ada, maka yang aku lakukan sekarang adalah bangun tidur. Bersiap-siap untuk berangkat sekolah, lalu buru-buru turun menghampiri meja makan untuk sarapan bersama Mama, Papa, dan juga Kaisar.

Aku tak ingin mengatakan bahwa aku menangis karena merindukan Mama dan Papa, khawatir jika saja Kaisar kembali sedih memikirkan kepergian Mama dan Papa. Walau aku tak tahu bagaimana hati Kaisar yang sebenarnya, tapi belakangan ini Kaisar terlihat sudah bisa menerima kepergian mereka.

Kami harus tetap bisa melanjutkan hidup seperti biasanya walau tanpa kehadiran Mama dan Papa.

***

"Hari Jum'at tanggal merah. Jum'at, Sabtu, Minggu! Kita punya waktu tiga hari untuk liburan! Dan berangkat Kamis sore supaya kita punya waktu lebih banyak!" seru Ivy setelah melihat kalender di ponselnya. "Gimana kalau kita Jogja?" Ivy menggenggam kedua tanganku, tetapi tatapannya tertuju pada Dena. "Gue udah terlalu sering ke Bali. Pengin ke Jogja aja."

"Gue juga kepikiran itu tahu!" seru Dena.

Ngomong-ngomong, kami sedang mengobrol di koridor depan kelas Dena. Dena memang sudah tidak sekelas dengan aku dan Ivy sementara aku dan Ivy menjadi teman sebangku di kelas yang sama.

Dena menoleh padaku. "Gimana menurut lo?"

Mulutku berhenti mengunyah snack. Yogyakarta adalah kota yang menjadi letak universitas tujuan Kaisar. "Mau banget, dong!"

Kapan, ya, terakhir aku ke Jogja? SMP saat study tour. Itu sudah terlalu lama. Sekitar enam tahun lalu.

Senyum lebar Dena merekah sempurna. Dia menggenggam tanganku dan berjingkrak. "Kita harus bikin daftar bakalan ke mana aja supaya ke sana nanti nggak bingung. Gue bawa mobil aja."

"Jangan!" seruku cepat. "Naik kereta aja. Kalau lo bawa mobil, nanti lo capek. Lo doang kan di antara kita yang bisa bawa mobil dan udah punya SIM. Nggak bisa gantian."

"Bener kata Tiara. Lo juga belum pernah bawa mobil untuk perjalanan jauh. Jangan." Ivy menggeleng kencang. "Lebih baik nanti kita di sana sewa sopir yang selama tiga hari."

Aku mengangguk setuju. Dena tampak berpikir, lalu pada akhirnya dia mengangguk.

"Masih ada dua hari untuk persiapan ke sana." Ivy kembali bicara dan terus membahas tentang Jogja.

Kuambil ponselku yang bergetar di tangan. Sebuah pesan dari Kaisar yang menyuruhku untuk bertemu di taman.

"Eh, bentar, ya. Gue ada urusan," kataku sambil melambaikan tangan dan segera menjauh dari mereka sebelum diintrogasi.

Aku berlari kencang menuju taman agar waktu bicaraku bersama Kaisar lebih lama karena waktu istirahat semakin menipis. Sebagian waktu sudah aku habiskan makan bersama Dena dan Ivy di kantin.

Setibanya di taman, kulihat Kaisar sedang duduk di bangku beton sambil menatapku. Aku menghampirinya, lalu duduk di samping Kaisar.

"Aku barusan ngomong sama Kepala Sekolah," katanya tepat saat aku duduk. Aku mengarahkan ke mulutku sedotan dari minuman yang sejak tadi aku pegang. Rasanya haus setelah berlari cukup kencang. "Tentang aku yang pengin nikah dalam waktu dekat."

"Uhhuk!" Gila! Untung saja minumanku sudah sampai ke lambung sehingga aku tak sampai batuk parah. "Kamu ... soal pagi tadi?"

Aku tak menyangka Kaisar akan senekat ini.

"Pak KepSek mikir aku bercanda," katanya dengan wajah datar.

"Iya, lah!" seruku. Siapa juga yang percaya dengan omongan tentang pernikahan dari mulut seorang anak SMA?

"Dan mikir aku habis ngehamilin anak orang makanya nanya soal ginian," lanjutnya, kali ini dengan ekspresi kecewa. "Jadi, kita nikahnya sehari setelah lulus aja. Aku nggak mau orang mikir buruk tentang kamu."

Aaa, dia terus mengatakan nikah nikah nikah.

"Tapi, kita nunda punya anak dulu dan fokus—"

Aku menutup mulut Kaisar sambil melihat sekeliling. Astaga. Aku terlalu fokus bicara pada Kaisar seolah-olah hanya ada kami berdua di sini. Padahal ada beberapa siswi yang ada di taman. Aku jadi resah. Mereka tidak mendengarkan percakapan kami, kan? Tatapan mereka kentara sekali sedang pura-pura tidak menguping.

Kutatap Kaisar yang mulutnya masih aku tutup dengan tangan. Aku segera menarik tanganku, tetapi tetap menatap Kaisar dari dekat. "Lo terlalu berisik...."

Alis Kaisar bertaut. "Lo?"

"Maksud aku, kamu," bisikku. "Nggak ada yang tahu hubungan kita bahkan Ivy dan Dena. Jadi, kalau kamu ngomong jangan terlalu keras. Okey?"

"Memang hubungan kita kayak apa?"

Eh. Dia memancingku? Aku juga tak tahu pasti apa nama dari hubungan kami. Tunangan? Kami bahkan tidak bertukar cincin. Jawaban pastinya aku tak tahu. "Menurut kamu?"

"Kamu calon istri aku."

Aku langsung menutup mulut Kaisar lagi, tetapi akhirnya aku kembali menarik tanganku. Dia memang mengatakan kalimat itu dengan intonasi suara normal, tetapi justru itu menarik perhatian yang lain. Harusnya dia berbisik saja.

"Kamu ... sengaja mancing-mancing orang ya buat bikin rumor baru?" tanyaku heran.

"Iya," balasnya dengan ekspresi tanpa dosa.

Aku tak tahu apa yang ada di pikiran cowok ini. Aku harus segera mengalihkan pembahasan sebelum Kaisar berbuat ulah dengan tema pembicaraan mengenai pernikahan.

"Aku mau ke Jogja bareng Dena dan Ivy."

"Ngapain?"

"Liburan." Kutatap sepasang mata Kaisar yang penasaran. "Aku pergi, ya?"

"Aku ikut. Aku yang jadi sopir buat nganterin kalian ke mana-mana kalau udah di sana."

"Nggak." Kenapa semua ingin mengemudi mobil, sih? Kaisar memang bisa menyetir mobil, tetapi aku tidak mau dia mengemudi dalam waktu lama apalagi di kota orang. "Kami udah ada rencana sewa sopir buat anterin ke mana-mana. Orang sana yang udah pengalaman tentunya."

Kaisar terdiam sesaat dan tak pernah berpaling dariku. "Kalau aku ikut, ganggu waktu liburan kalian, ya?"

"Bukan gitu...."

"Nggak apa-apa, kok. Kalian nggak apa-apa pergi bertiga asal saling jaga," katanya. Kupikir dia sedang merajuk, tapi ekspresi wajahnya terlalu serius. Sepertinya dia memang tak mau mengganggu waktu liburan para cewek.

"TIARA!"

Aku menoleh ketika mendengar suara Ivy dan melihat Dena dan Ivy berlari kecil ke arahku.

"Tuh, kan! Di taman! Apa gue bilang?" Ivy menarik Dena dan berhenti di dekatku dan Kaisar. "Ehm. Hai, Kai."

"Kalian mau pergi ke Jogja bertiga, doang?" tanya Kaisar langsung.

"Kalau lo mau ikut nggak apa-apa, kok!" seru Dena tiba-tiba dan langsung dihadiahi sikukan di perut dari Ivy.

Ivy menatap Kaisar. "Iya, cuma bertiga doang. Kalau ada lo, nanti nggak nyaman tahu. Semua mata akan tertuju ke lo."

Ivy sudah tahu tentang hubunganku yang sebenarnya dengan Kaisar yag merupakan suaudara tiri dan tak sedarah. Dena yang membocorkannya. Lagipula, aku tak mungkin merahasiakan ini dari temanku. Kaisar juga sudah tidak semarah dulu sehingga aku tak punya alasan untuk merahasiakannya ke orang-orang terdekatku.

Dena juga bahkan mengatakan kepada Ivy tentang alasan mendekati Kaisar selama ini sehingga tak ada hal yang tertutupi lagi di antara kami dan membuat hati mengganjal, kecuali—tentu saja—mengenai hubungan "percintaan"ku dengan Kaisar. Aku masih bingung bagaimana menceritakan hal ini kepada mereka. Pasti mereka akan shock berat.

"Ya udah. Gue nggak ikut, tapi gue titip Tiara ke kalian berdua," kata Kaisar yang membuatku malu pada Dena dan Ivy karena merasa seperti anak kecil yang harus dijaga. "Dan soal sopir nanti, cari yang perempuan."

Aku harus segera pergi dari sini sebelum Kaisar mengatakan macam-macam hal. Aku segera berdiri di dekat Ivy dan Dena, tetapi tiba-tiba saja Dena memelukku disusul oleh Ivy di sisi lainnya. Mereka memelukku erat sampai aku sulit bernapas.

"Bakalan kami jagain, kok. Tiara memang masih bayi jadi nggak boleh lepas dari pengawasan," kata Dena, yang membuatku memutar bola mata sambil menghela napas panjang. Bel tanda istirahat berakhir akhirnya berbunyi. "Udah bel. Cepetan ke kelas! Yang masuk guru killer."

"Bye bye." Aku melambaikan tanganku pada Kaisar dan turun dari area beton. Dena dan Ivy sudah berlari duluan. Tanganku tiba-tiba dipegang oleh Kaisar dan membuatku berhenti melangkah. Kutatap Kaisar yang masih duduk di bangku.

"Aku agak telat pulang," katanya. "Sekitar sepuluh menit ada rapat. Tunggu bentar, ya?"

"Iyaaa, nggak apa-apa, kok." Kulambaikan tanganku pada Kaisar setelah lepas darinya, aku segera berlari mengejar Ivy dan Dena.

Ketika tiba di belakang mereka yang malah berjalan santai, pandanganku tak sengaja melihat sesuatu yang terlalu menarik perhatian. Aku menoleh dan terkejut melihat seorang laki-laki berambut merah dan setengah wajahnya yang tertutupi oleh masker. Aku lebih terkejut lagi karena dia menatapku. Aku segera memalingkan wajah.

"Hei." Suaraku terlalu pelan sehingga Dena dan Ivy yang sibuk menyebutkan tempat-tempat wisata di Jogja tak mendengarkanku sama sekali, tapi ini lebih baik karena jika aku mengatakan apa yang aku lihat mereka pasti heboh sekalipun aku menyuruh mereka untuk melihat laki-laki itu tidak secara terang-terangan.

Tak seharusnya aku sepenasaran ini. Aku berjongkok untuk pura-pura mengikat tali sepatuku agar ekor mataku masih bisa menangkap laki-laki itu. Sejak kapan ada orang yang yang penampilannya terlalu mencolok muncul di sekolah ini? Aku sudah berusaha melihat secara tidak langsung, tetapi tak menemukan laki-laki itu.

Akhirnya aku melihat dengan jelas tempat itu, tetapi tak ada siapa-siapa di sana.

Mungkin dia sudah pergi?

Ah, sudahlah. Untuk apa juga aku pensaran untuk hal yang tidak ada urusannya dalam hidupku? Aku segera mengejar Dena dan Ivy yang baru saja berbelok ke koridor lain.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro