36

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menjauhkan wajahku dari sentuhan tangannya dengan hati-hati.

Hanya laki-laki itu lah satu-satunya yang berada di ruangan ini. Aku tak tahu bagaimana keadaan di luar sana. Hal yang bisa aku lakukan adalah tetap berusaha tenang dan mengamati keadaan sekitar yang benar-benar asing dan aneh meskipun aku merasakan ketakutan yang luar biasa.

Daripada aku memberontak dan hanya akan membuang-buang tenaga, lebih baik aku tetap tenang sambil mempelajari apa yang sebenarnya terjadi padaku.

Tak ada siapa pun yang bisa aku percayai di tempat asing ini. Ini terlalu nyata untuk aku katakan sebagai sebuah mimpi yang aneh.

"Saya River," kata laki-laki itu. "Orang yang selalu mengamati kamu di tabung itu selama tiga tahun."

Aku masih saja terkejut karena suaranya membuatku membayangkan bahwa yang baru saja bicara adalah Kaisar versi dewasa. Suara mereka mirip. Aku berharap tudak sendirian dan dia memanglah Kaisar, tetapi wajah mereka berbeda jauh. Laki-laki bernama River itu jelas adalah orang lain.

Kuteliti wajahnya dengan penuh kehati-hatian. Di wajahnya tak ada ekspresi yang bisa aku baca, tapi matanya seolah menjelaskan dia memiliki sebuah rencana.

"Pak Ri ... River?" tanyaku dengan suara pelan dan gemetar. Aku benar-benar takut, tetapi tak bisa berbuat banyak. Dia tak setua itu untuk aku sebut Pak. Sepertinya dia belum berumur 30 tahun, tetapi aku tetap harus menghargainya sebagai orang yang jauh lebih tua dariku. "Saya tiga tahun... di tabung i—ini?"

Dia terdiam sebentar. "Lebih tepatnya, empat tahun. Satu tahun pertama yang mengawasi kamu adalah kakak saya yang sudah mati."

Dia begitu tenang saat mengucap kata mati. Tak ada kesedihan sama sekali di matanya padahal baru saja dia mengatakan bahwa kakaknya telah meninggal.

"Tiga tahun sisanya yang mengawasi kamu adalah saya." Dia berjalan ke sebuah meja berwarna putih dan bersandar di sana sambil menatapku lekat-lekat. "Kamu seperti terjebak di antara ruang dan waktu. Antara ada dan tidak ada. Sepertinya efek samping dari kerusakan mesin waktu yang pernah kamu gunakan."

Aku menggeleng tak mengerti. Lidahku kelu. Aku tak sanggup berkata-kata.

"Kamu bisa segera keluar dari sana dan coba berjalan, lalu apa yang kamu rasakan?" tanyanya.

Ini membuatku frustrasi, tetapi tak ada yang bisa aku lakukan selain mengikuti apa yang dia katakan. Aku keluar dari tabung itu dan merasa biasa saja. "Biasa aja."

Dia terdiam menatap tepat ke mataku. Aku segera memalingkan wajah dan mencengkeram ujung baju yang aku gunakan. Kenapa aku mengalami kondisi yang begitu aneh dan asing? Aku ingin pulang. Aku ingin kembali ke tempat aku berdiri dan bertemu Ivy dan Dena. Aku harap ini hanyalah salah satu mimpi anehku.

Ah, bagaimana pun aku berharap, logikaku sudah menjawab bahwa apa yang aku alami sekarang adalah nyata. Semua terasa nyata. Semua inderaku berjalan dengan baik. Aku benci kenyataan ini.

Kuedarkan pandanganku ke sekitar dan menatap sebuah nama. Profesor River Arche. Dia ... seorang profesor?

Gerakan laki-laki itu membuatku langsung memusatkan perhatianku padanya dengan waspada. Dia melakukan sesuatu di mejanya dan sebuah dinding putih tak jauh dariku terbuka. Terlihat dinding kaca tebal di baliknya yang memperlihatkan suasana di luar tempat ini.

"Apa itu televisi besar?" tanyaku takjub, tetapi rasanya itu mustahil. Sinar matahari menembus kaca itu dan memberikan cahaya tambahan di ruangan ini.

"Bukan," kata Prof. River. "Ini tahun 2130 dan begitulah suasana tahun ini."

Aku membelalak menatapnya. "Apa?"

"Kamu tidak salah dengar. Ini masa depan. Ah, tidak. Ini masa kamu yang sebenarnya."

Aku meneguk ludah. Teringat dengan mimpi-mimpiku sebelumnya. Mimpi-mimpi itu benar-benar adalah ingatan masa laluku? Kudekati dinding kaca itu dan berhenti di dekatnya. Aku berada di sebuah gedung yang tinggi. Ada beberapa kendaraan yang terbang, tetapi berukuran kecil. Itu bukan helikopter yang aku tahu karena tak memiliki baling-baling berukuran besar. Pada salah satu kendaraan yang aku lihat itu di dalamnya hanya ada satu orang dan itu pun yang mengandarainya adalah anak laki-laki yang mungkin masih seusia siswa SMP kelas 1.

Langit tidak seindah langit yang aku lihat terakhir kali. Hanya ada sedikit tumbuhan di bawah sana. Orang-orang berlalu lalang. Berbagai kendaraan asing dan penuh teknologi beterbangan seperti sebuah sihir.

Aku mengingat lagi mimpi tentang sebuah tempat megah di tempat yang tinggi. Negeri yang aku lihat itu apakah tempat gedung ini berdiri sekarang? Kalau ya, berarti lokasi aku berdiri di samping seseorang yang kusebut Papa cukup jauh dari sini. Lokasi yang tak terlihat sekalipun saat ini aku berada di gedung yang tinggi.

Masa ini berbeda jauh dengan masa di mana aku hidup hingga sebesar sekarang. Aku seharusnya tak perlu heran bahwa sekarang aku memanglah berada di tahun 2130.

Bagaimana aku bisa kembali dan bertemu dengan Kaisar dan yang lain lagi?

Aku ingin pulang ke masa di mana aku hidup selama ini.

"Apa kamu penasaran mengenai orang tua kandung kamu?" Prof. River mengatakannya seolah dia tahu semua tentangku.

"Ya...." Barusan adalah jawaban yang tepat. Aku juga penasaran tentang keberadaan kedua orang tua kandungku sementara aku tak tahu apa pun di sini. Untuk saat ini, aku hanya bisa bergantung pada Prof. River.

Aku segera berbalik ketika merasakan dia berada di belakangku.

"Pegang tangan saya," katanya sambil mengulurkan tangannya padaku.

Mau tak mau aku memegang tangannya. Dia lalu menggenggam tanganku. Sebuah hologram muncul dari jam tangan yang dia gunakan. Kurasakan tubuhku seperti tertarik. Aku refleks memejamkan mata dan memegang erat pakaian yang digunakan oleh Prof. River.

"Kita sudah sampai," katanya dengan suara pelan.

Kubuka mataku dengan perlahan sembari menjauhkan diri darinya. Aku melihat sekeliling. Kami baru saja melakukan teleportasi? Aku seharusnya tidak perlu bertanya lagi karena kenyataannya kami memang tak lagi berada di ruang serba putih itu, melainkan di sebuah lorong yang dipenuhi oleh kotak kecil yang banyak dan terdapat foto dan bunga di setiap kotaknya.

"Kamu tidak bisa berkeliaran dengan sembarangan di sini jadi terpaksa saya menggunakan alat teleportasi," kata Prof. River, lalu dia menyentuh sebuah kotak di mana ada bingkai foto satu keluarga kecil di sana. "Tempat ini adalah pemakaman. Dan di foto ini adalah kamu dan keluarga kamu."

Mataku memanas melihat senyuman laki-laki yang tak asing. Senyuman hangat dan menenangkan yang selalu muncul dalam mimpiku. Sekarang, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Papa kandungku.

Kupandangi perempuan yang duduk tepat di samping Papa. Pasti beliau adalah Mama kandungku, kan? Lalu, di samping Papa ada seorang remaja perempuan. Tentu saja dia bukan aku meski aku sadar bahwa kami ada sedikit kemiripan. Mungkin dia adalah kakak perempuanku. Aku terlalu kecil saat itu untuk ingat apa yang kualami dengan jelas. Ada anak kecil di pangkuan Mama kandungku. Anak itu mirip dengan wajah di foto-foto masa kecilku dalam sebuah album khusus diriku yang dibuat oleh Mama.

Anak itu jelas adalah aku.

"Anak kecil itu adalah kamu. Proxima Centauri," kata Prof. River.

"Proxima Centauri," gumamku, tak sadar air mataku menetes di pipi karena mengingat lagi mimpi-mimpi burukku yang ternyata adalah bagian dari ingatan masa lalu. "Auri..."

"Mereka meninggal 4 tahun lalu. Di hari yang sama kamu ditemukan dalam wujud remaja." Prof. River kembali menceritakan apa yang tidak bisa aku ketahui. "Padahal harusnya kamu hanyalah anak kecil berumur 3 tahun saat itu, tapi karena kamu memakai mesin waktu, kamu telah tumbuh besar di abad 21 sebelum akhirnya kembali ke masa asal kamu."

Aku sekarang lebih bisa mengerti.

"Karena itu, kondisi yang kamu alami harus saya dan kakak saya rahasiakan. Kamu harus dinyatakan meninggal daripada hal tentang mesin waktu terbongkar ke orang lain."

Mimpi mengerikan itu membuatku jadi bertanya-tanya. Kutolehkan wajahku pada Prof. River. "Apa yang sebenarnya terjadi saat itu? Kenapa semuanya meninggal?"

Dia tidak langsung menjawab seolah memikirkan jawaban yang tepat agar tak salah bicara. "Apa tidak apa-apa saya jawab?"

Aku meneguk ludah. Apa pun kenyataannya, aku harus tahu. "Iya."

"Keluarga kamu dibunuh."

Tenggorokanku tercekat. "Siapa...?"

"Kamu tidak perlu tahu itu," balasnya. "Karena yang membunuh keluarga kamu berasal dari kalangan atas yang pemerintah saja bahkan tidak berani menyentuhnya. Jadi, kamu tidak akan bisa menuntut keadilan."

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Sadar akan sesuatu, kujauhkan tanganku dari wajah dan kembali menatap Prof. River dengan penuh harapan. "Mesin waktu! Bukannya tadi kita teleportasi? Kita bisa kembali ke empat tahun lalu dan mengubah masa sekarang, kan? Pasti bisa. Kalau pembunuhan itu digagalkan, keluarga saya pasti bisa hidup sampai sekarang, kan?"

"Nggak bisa," katanya dengan cepat. Cara bicaranya juga berubah informal. "Segala hal yang sudah terjadi nggak bisa diubah. Nggak ada yang namanya masa depan yang bisa diubah." Dia pun terdiam sesaat, lalu memalingkan wajahnya. "Itu benar. Setidaknya, untuk hal-hal yang sudah kamu ketahui tidak bisa kamu paksakan untuk ubah. Hasilnya akan tetap sama."

Aku menunduk dalam. Di dunia ini, takdir tak bisa diubah.

"Mesin waktu itu sudah tidak ada lagi," katanya, membuatku segera menatap benda di pergelangan tangan yang dia tunjuk. "Dan alat di pergelangan tangan saya ini adalah alat yang terbuat dari materi yang berasal dari mesin waktu yang pernah kamu gunakan untuk ke abad 21."

Aku tak bisa percaya dengan mudahnya pada siapa pun di masa ini termasuk Prof. River, tapi aku tetap harus berpegangan pada seseorang agar tetap terarah di kondisi mental yang terus-terusan dihantam oleh hal mengejutkan.

Aku tak bisa berbuat apa pun untuk keluarga kandungku. Apalagi yang membunuh keluargaku adalah orang yang katanya tak bisa disentuh. Dan seperti kata Prof. River, mau bagaimana pun aku berusaha untuk mengubah masa depan, hasilnya akan tetap sama. Keluargaku tetap meninggal dalam tragedi. Jika aku tetap keras kepala, maka aku hanya akan terjebak dalam lingkaran setan di mana aku selalu melihat kematian keluargaku.

Jadi, satu-satunya yang aku harapkan sekarang adalah kembali ke masa aku menghilang.

Karena ... jika aku tak pernah kembali, maka Kaisar pasti akan sedih dan terus mencari keberadaanku yang hilang dan tak pernah bisa dia temukan.

*** 


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro