40

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak punya tujuan hidup di zaman ini. Semua terlalu berbeda dengan zaman di mana aku hidup.

Kutatap Profesor yang sedang menaruh gelasnya di meja. "Apa kamu mau mengatakan sesuatu ke saya?"

"Di sini ada internet, kan?" tanyaku.

"Tentu," balasnya singkat. "S-162. Bawa dia ke ruangan 5."

Aku menoleh pada sebuah robot yang melangkah ke arahku. Robot itu berhenti di hadapanku, lalu berbalik dan kembali berjalan. Aku menatap Profesor yang tak lagi mengatakan apa-apa. Padahal aku sudah menyiapkan jawaban jika dia bertanya mengapa aku tiba-tiba butuh internet.

Segera kuikuti robot S-162 yang berjalan menuju ruangan yang dimaksud oleh Profesor. Dia berhenti di sebuah ruangan dan membuka pintunya, lalu mempersilakanku untuk masuk. Aku segera memasuki ruangan yang dipenuhi oleh komputer berukuran besar. Aku memilih yang terdekat, lalu duduk sebuah kursi.

Aku tiba-tiba ingin mencari tahu sendiri tentang Profesor River. Mungkin saja dia termasuk orang terkenal dan bisa dengan mudah aku temukan biografinya di internet. Aku ingin memastikan dia orang yang seperti apa sehingga bisa lebih baik dalam menentukan jalan hidupku nantinya.

Aku membuka sebuah peramban. Meski logonya bahkan tak mirip dengan peramban di abad 21 karena teknologi yang semakin maju, tetapi aku cukup bisa menjalankannya karena memiliki fungsi yang sama. Aku mengetik di kolom pencarian. Kumasukkan nama Profesor River dan segala artikel tentangnya muncul. Fotonya dengan berbagai warna kemeja bahkan terpampang paling atas. Senyum angkuhnya selalu muncul di setiap foto. Tak seperti Profesor River yang selama ini aku tahu. Foto-foto itu memberikan atmosfer seorang laki-laki dewasa yang suka bersikap seenaknya.

Aku membaca beberapa artikel tentangnya. Bahkan biografi hidupnya. Profesor River adalah jenius muda yang gila. Dia pernah ingin membuat penemuan di mana dia bisa menghidupkan orang yang sudah mati, tapi gagal karena penelitiannya membuat mayat menjadi mayat hidup yang mengerikan. Untung saja mayat hidup itu segera dibasmikan oleh tentara negara. Aku merinding, tetapi aku harusnya tak perlu heran lagi dengan dunia yang semakin tua dan ambisi manusia semakin tak terduga di tengah teknologi yang semakin maju.

Sebuah artikel mengatakan bahwa empat tahun ini Profesor River tak pernah lagi memunculkan diri di depan media. Padahal Prof. River termasuk orang yang narsis. Orang-orang berpikir bahwa dia tampaknya meneliti sesuatu. Penelitian itu apa alat teleportasi? Dan juga ... aku? Mengingat waktunya tepat empat tahun lalu.

Pemerintah sampai tak berani mengganggu Profesor River, tetapi tentara negara tetap mengawasi sekitar gedung tempat Profesor meneliti karena mereka menakutkan kejadian seperti mayat hidup yang berkeliaran akan terulang lagi.

Meski pemerintah tahu bahwa Profesor River adalah jenius muda yang gila, tetapi mereka tetap membiarkan Profesor River berlaku seenaknya tanpa peduli sifat gila Profesor bisa saja akan membuat negara ini menjadi hancur. Mereka terlalu membiarkan Profesor karena negara ini sudah terlalu banyak menyia-nyiakan orang jenius. Mereka tak ingin Profesor River menjadi anjing negara lain.

Ah, kalimat di artikel itu mengenai anjing negara membuatku tak nyaman membacanya. Apa penulisnya tak memiliki istilah lain? Aku menggeleng dan kembali membaca paragraf berikutnya.

Profesor River tak tertarik pada wanita maupun pria. Artikel ini mengatakan bahwa dia adalah seorang aseksual. Padahal banyak yang antri untuk menjadi kekasihnya. Pemerintah yang ingin membuat River kedua pun tak bisa melakukan cara klasik, yaitu dengan membesarkan anak-anak River dari seorang atau lebih wanita karena kecerdasan seorang anak tidak diturunkan dari Ayah melainkan dari Ibu.

Hal itu membuat pemerintah berencana untuk membuat kloningan River dan mirip dari semua segi. Termasuk kecerdasannya. Untuk saat ini River tak mau dijadikan objek percobaan karena dia tak mau didominasi. Pemerintah tak menunjukkan tanda-tanda pemberontakan dan masih membutuhkan kejeniusan River untuk membangun negara yang semakin maju dan nomor 1 di dunia ini.

Negara ini pernah menjadi negara yang jatuh selama 30 tahun sampai akhirnya
sistem kasta baru terbentuk. Kalangan atas, tengah, dan bawah. Perbedaan kalangan yang terlihat begitu jelas. Para kalangan atas hidup di negeri buatan yang penuh dengan kesejahteraan. Kalangan tengah hidup normal meski sedikit kesusahan dalam memasok apa pun dari kalangan atas.

Kemudian kalangan bawah yang paling mengerikan. Hidup mereka seperti berada dalam neraka dan hidup seperti orang yang barbar dan tak punya etika. Kejahatan terjadi di mana-mana. 80% penduduk di kalangan bawah malnutrisi.

Strata sosial terbagi jelas. Kalangan bawah dihuni oleh keturunan orang-orang buangan yang dulunya memberontak dan akhirnya berkembang biak di sana. Setiap daerah dijaga oleh tentara negara sehingga dari kalangan bawah tak bisa ke kalangan mana pun. Namun, orang dari kalangan atas bisa bebas keluar masuk di daerah kalangan di bawahnya. Jika mereka pergi ke daerah kalangan bawah, biasanya mereka pergi dengan tentara negara karena orang-orang kalangan bawah yang begitu barbar.

Mataku terasa perih. Sepertinya radiasi komputer ini cukup besar. Setidaknya aku sudah cukup tahu tentang dunia ini sedikit demi sedikit. Aku juga bisa tahu bahwa Profesor River menyeramkan saking jeniusnya.

Aku baru saja ingin menutup semua artikel, tetapi pandanganku tertuju pada sebuah foto Profesor River yang berdiri di samping seorang laki-laki berambut merah. Aku yakin laki-laki ini adalah yang aku lihat di sekolah. Aku masih ingat jelas bentuk matanya seperti apa walau saat itu dia memakai masker.

"Ceilo Arche?" gumamku, lalu mengernyit. Nama belakangnya mirip nama Profesor. River Arche. Aku mengetikkan namanya di pencarian, lalu muncul berbagai artikel tentangnya.

Sebuah artikel mengatakan bahwa Ceilo Arche adalah kakak kandung River Arche.

Kenapa dia muncul di sekolahku? Apa dia melakukan perjalanan waktu? Kalau iya, untuk apa? Atau mereka hanya mirip? Namun perawakan mereka bukan lagi mirip, tapi sama. Bahwa dia orangnya. Aku ingat Profesor mengatakan bahwa kakaknya yang sempat menelitiku selama setahun sudah meninggal sehingga Profesor River menggantikan kakaknya untuk menelitiku.

Aku menjambak rambutku yang kembali terasa sakit karena terlalu berpikir keras. Untuk apa juga aku penasaran. Penasaran akan Ceilo Arche yang aku lihat di sekolah—mau itu memang dia atau bukan—tidak ada gunanya juga di hidupku, kan?

Kaisar sudah tidak ada. Bibi juga. Apa aku memohon sekali lagi pada Profesor River untuk membawaku ke abad 21 agar bisa bertemu Dena dan Ivy? Mereka pasti sudah punya kehidupan sendiri. Jika aku hidup di abad 21 dengan kondisiku yang sekarang, maka aku mungkin hanya akan menjadi orang gila yang hidup luntang lantung di jalanan. Kehilangan kewarasan karena ditinggal semua orang yang aku sayangi dan tak juga bisa hidup mandiri karena tak memiliki apa pun termasuk tempat tinggal.

Aku terisak dan menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku tak tahu harus melakukan apa di dunia yang asing ini meski kenyataannya aku lahir di abad ini.

Rasanya .. aku tak punya alasan untuk hidup. Apa aku mengakhiri hidupku saja?

Bisikan barusan membuatku punya rencana yang lebih nekat. Semuanya sudah pergi. Aku bisa menyusul mereka semua dengan cara mengakhiri hidupku sendiri.

Dengan begini, aku bisa menyusul keluarga kandungku maupun keluarga angkatku dengan cepat tanpa perlu terus larut dalam kesedihan.

Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku ke luar dari ruangan itu dan segera mencari dapur. Ada beberapa robot di sini, tetapi aku tidak memedulikan mereka meskipun mereka mungkin saja bingung dengan kehadiranku. Aku melihat sekitar untuk mencari sebuah benda tajam yang bisa mengores nadiku. Pandanganku terhenti di berbagai jenis pisau. Aku melangkah dan mengambil sebuah pisau kecil dan ringan.

Entah kenapa, satu-satunya yang terus berputar di pikiranku adalah mati, mati, dan mati. Aku ingin segera mengakhiri hidupku. Aku terdiam sesaat. Kujatuhkan pisau yang nyaris menggores pergelangan tanganku, lalu aku terduduk dan menangis.

Pikiranku kembali waras. Semua yang sudah pergi tak akan mungkin setuju aku melakukan hal ini, kan? Kenapa aku sampai memilih untuk mengakhiri hidupku sendiri padahal aku yakin mereka juga akan sedih di alam lain jika aku melakukan hal seperti ini.

Aku terus menangis sampai sebuah robot mengamatiku. Terdengar bunyi sensor dari kepalanya. Apa yang ia lakukan? Aku tak tahu dan tak mau tahu. Ketika Profesor River muncul, aku menyimpulkan bahwa yang robot itu lakukan adalah mengirimkan pesan kepada Profesor River mengenai hal mencurigakan yang aku lakukan di dapur.

Dia berjongkok di hadapanku dan memasang ekspresi marah. Baru kali ini aku melihatnya seperti ini. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Kaisar...?" Sepertinya pikiranku kembali tak normal.

Profesor River menangkup wajahku dan menatapku lekat. Sentuhannya mengingakanku akan sentuhan tangan Kaisar.

"Apa kamu mau melupakan semua masa lalu kamu di masa itu? Saya bisa bantu."

"Bagaimana ... caranya?" Oh, dia kan orang jenius.

"Apa kamu bersedia?" tanyanya dengan suara pelan.

"Iya." Ternyata ini jawaban yang aku cari. Aku tak perlu membunuh diriku sendiri, melainkan membunuh ingatan-ingatanku selama ini. Aku mengangguk putus asa. Aku tak akan bisa menolak tawaran Profesor setelah kehilangan berkali-kali.

Jadi, aku harus melupakan semuanya dan tak perlu butuh waktu bertahun-tahun untuk melupakan segala kesedihanku karena kehilangan mereka.

Profesor River memegang kepalaku dengan pelan. "Kita bisa mulai besok. Kamu harus istirahat yang cukup hari ini."

"Apa otak saya akan dibedah?" Membayangkannya sedikit mengerikan.

"Tidak ada operasi. Semuanya akan cepat. Kamu tenang saja dan tidak perlu khawatir," katanya, meyakinkanku.

"Apa saya tidak akan ingat orang-orang di masa lalu saya?" tanyaku lagi. "Mama, Papa, Kaisar, Bibi, orang-orang di abad 21 lainnya, dan segala hal tentang yang saya alami termasuk keluargaku di zaman ini yang sudah meninggal?"

"Benar. Kamu akan melupakan semua kenangan kamu baik itu kenangan baik maupun buruk, tapi kamu masih tetap bisa bicara karena yang hilang di ingatan kamu segala hal tentang manusia. Tidak dengan kosa kata."

"Begitu...." Aku menunduk. Tidak apa. Anggap saja aku menjadi orang baru.

Siapa pun aku nantinya setelah itu dan apa pun yang terjadi padaku, aku ... bukan lah Tiara Lenora lagi.

Akan kurelakan kenanganku pergi bersama orang-orang di hidupku yang sudah pergi lebih dulu dan tak akan pernah kembali lagi.

***

Aku membuka mataku dan melihat pemandangan asing di luar sana. Aroma kamar ini seperti bau minyak esensial aroma terapi favoritku. Kutatap jendela kamar yang memperlihatkan suasana para remaja yang sedang bermain kendaraan terbang.

Kendaraan terbang? Terasa asing, tetapi juga tak asing.

Aku di mana? Namaku adalah Tiara Lenora, tetapi aku tak banyak tahu informasi. Aku masih setengah sadar dan kuangkat tanganku yang terasa ada sesuatu yang melingkar di sana. Sebuah cincin berwarna platinum.

Aku bisa merasakan tangan seseorang yang tiba-tiba memeluknya dari belakang dengan posesif. Pelukan yang terasa tak asing, tapi juga asing sekaligus.

"Kamu sudah bangun?"

Aku segera bangun dan menoleh kaget melihat laki-laki telanjang dada meski dia masih memakai bawahan.

"Nggak terjadi apa-apa. Aku memang terbiasa nggak pakai baju saat tidur."

Aku tak mengerti. Mengapa ada laki-laki di sampingku dan juga ... sebuah cincin? Apakah laki-laki ini adalah suamiku? Dia mengusap matanya seperti bocah laki-laki umur lima tahun yang baru saja bangun tidur. Berbanding terbalik dengan suaranya yang berat.

Ah, tunggu. Rasanya aku de javu.

"Kalaupun terjadi sesuatu nggak masalah karena ini aku. River. Calon suami kamu."

"River...?" tanyaku bingung. "Calon suami aku?"

"Pasti terdengar asing." Dia tersenyum tulus sambil mengusap pipiku dengan lembut. "Panggil aku River di depan orang lain, tapi kalau hanya ada kita berdua seperti sekarang, panggil aku Kaisar."

"Kaisar...," gumamku. Meski aku baru pertama kali mendengar nama itu, tetapi aku seolah merasakan rindu yang mendalam di hatiku.

"Iya, Kaisar." Laki-laki itu terduduk. Dia meraih tanganku, lalu menciumnya sambil menatap mataku lekat. "Melviano Kaisar Alfarian. Calon suami kamu, Tiara Lenora."

*** 



Author's POV Part 35-40 sudah dan hanya tersedia di https://karyakarsa.com/zhkansas

CUPLIKAN:

Cara baca:

thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro