Ironi & Hati ala Chef [B]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini Misha tengah asyik mencuci kaca-kaca akuarium. Sebelum dia berhasil mengganti air akuarium, Misha menangkap gemuruh skuter yang nyaring dari luar. Sepertinya suara gemuruh itu berhenti di garasi rumah. Selang beberapa detik pintu utama terdorong. Tampaklah Sia yang masih lengkap mengenakan helm di kepala. Napas Sia terdengar sengal, bahkan batik yang membaluti tubuhnya seolah mencitrakan sebuah ekspresi mendung.

"Kau baik-baik saja kan?" Misha memastikan.

Dengan dada yang masih memburu, Sia melepaskan helm, lalu menanggalkan tas dari punggungnya. Dia memutuskan berhadap-hadapan dengan Misha. "Kau tidak bermimpi apa pun semalam? Sesuatu yang aneh misalnya?"

Pertanyaan Sia mengandung misteri. "Tidak!" jawab Misha seadanya.

"Atau kau merasakan suatu firasat?"

Misha mengerut kening dan menggeleng.

"Benarkah?"

Misha lalu sedikit menaruh curiga, namun tak begitu antusias. Perangai Sia yang kadang tak becus mengurusi diri sendiri membuat Misha kadang hilang kepercayaan kepada wanita kuno ini.

"Kau mungkin akan terkejut setelah mendengar informasi ini," ucap Sia sambil menarik napas. "Tadi selesai kuliah, anak-anak sekelas heboh tetapi kemudian prihatin. Mereka membincangkan Karel."

Misha seketika panas dan merasa diadu oleh sahabatnya. Motif apa Sia menyampaikan informasi tentang pria jahat tak punya hati tersebut. Why, kadang-kadang Sia seperti wanita yang pikun terhadap suasana hati sahabatnya.

"Oh, kau tergesa-gesa pulang hanya untuk menyebut nama pria dursila itu?" Misha tak habis pikir dan dia berancang-ancang pergi ke ruang tengah.

"I didn't mean to hurt you. Please listen to me."

"Sudahlah." Misha beranjak.

"Tunggu." Sia menarik napas dalam-dalam, dan berharap potongan berita yang akan dia sampaikan nanti benar-benar pantas. Di detik ini Sia merasa berada di ujung menara, yang takut turun dan sebaliknya ngeri bertengger di ketinggian. Sembari memperhatikan punggung Misha, Sia ragu berkata, "Karel meninggal semalam!"

Misha membalikkan wajah kemudian. Jujur berita tersebut agak memilukan. Butuh setengah menit Misha mengontrol diri dari kekagetan yang kontan menyerangnya. Pelan-pelan Misha menyeret telapak kakinya mendekati Sia.

Sia menenangkan diri sejenak, sebelum membeberkan penyebab kematian Karel. "Karel tewas dalam perjalanan pulang dari Puncak. Hujan yang mengguyur deras dan suasana malam menjadi penyebab dirinya hilang kendali saat mengemudi. Dia terperosok ke dalam perkebunan milik masyarakat. Mobilnya hancur. Dan bersamanya meninggal pula seorang wanita."

Misha menajamkam indra penglihatan. "Karel pantas mati, pria itu pantas mendapat ganjaran."

"Sejahat itukah kau?"

"Aku?" kata Misha sinis. "Kematiannya tak sebanding dengan derai air mataku dalam sebuah perjalanan paling memilukan saat aku mengenakan gaun cantik, berpoles make-up, dan berharap menjadi bagian terpenting dari seorang pria."

"Tapi—"

"Berhentilah membelanya!"

Sia tahu bagaimanapun kerasnya Misha, wanita itu pasti merasa sedih—setidaknya sedikit. Karena merasa Misha pernah memiliki kisah bersama Karel, Sia akhirnya melanjutkan obrolannya, "Kau tak berniat melayat ke rumah Karel?"

Misha hanya tertegun.

---

Usai berpikir lebih dalam, Misha memutuskan mengikuti saran Sia. Wanita setengah bule itu merasa perlu mengunjungi nisan Karel.

Sore itu Misha mengenakan pakaian serbahitam, lengkap dengan syal, kacamata dan payung hitam. Sementara Sia harus rela menanggalkan batik meski baju hitam yang dikenakan membuatnya sedikit aneh. Wanita Jawa itu menggenggam keranjang bunga dan kendi yang berisi air mawar.

Memasuki area kuburan Misha tak henti menahan dadanya. Apalagi nanti di perhentian nisan yang dituju akan ada sebuah nama yang dia kenal, tertulis dengan huruf kapital, tercetak tegas oleh tinta warna emas dan menyala. Ketika di depan nisan Karel, Misha perlahan terduduk dan langsung diam. Dia menelan ludah, membenarkan letak kacamata dan meniliti detail-detail tanah yang masih basah dan penuh bunga. Sia memegang pundak Misha, mengelus selembut mungkin, sementara sebelah tangannya memayungi tubuh Misha.

"Aku mencintaimu dalam dan dalam," aku Misha spontan. "Seperti penguin yang selalu setia pada pasangannnya. Seperti kilat yang selalu menemani hujan." Misha mengajak obrol nisan Karel. "Aku mengatakan benci padamu, karena sebenarnya aku tak bisa menerima kenyataan bahwa kau meninggalkanku—entah dengan alasan yang hingga saat ini aku tak tahu. Namun biarkanlah hari ini aku berkata jujur di depanmu... karena aku tidak sudi rasa yang kupendam ini, hidup bersamaku sampai tua," Misha menjedakan kalimat. "Aku hancur dan perasaanku menjadi remuk saat kau mendadak memutuskan pertunangan kita. Aku bagaikan perahu yang tak punya tujuan danm kemudian aku merasa seperti korban dari kebohongan pria. Kau tahu hari itu aku telah mengenakan gaun putih yang cantik, high heels-ku bahkan mengilap, dan karena hari itu pula aku bahkan rela menghabiskan lima jam di salon.

Dengan perasaan yang luar biasa bahagia aku keluar rumah, lantas membayangkan sebuah taman yang kau janjikan. Semua berubah, semua berubah kemudian, dan imajinasi tadi menguap di udara.

Kau tahu, taksi menjadi saksi bisu aku menerima panggilan suaramu yang datar itu. Suara yang seketika melenyapkan harapanku. Ya ya ya, aku masih ingat ketika kau memilih tak ingin melanjutkan pertunangan kita detik itu juga. Bisa ditebak apa yang terjadi padaku setelahnya, Karel? Aku menangis sejadi-jadinya. Hatiku kemudian lebur, pecah. Bahkan aku tak habis pikir dengan janji manismu. Walau aku menguatkan hati dengan mengatakan ingin mundur juga, tapi itu adalah pengakuan bohong dariku. Aku sakit, sakit sekali," nada suara Misha penuh emosi.

Sia melihat Misha dengan iba.

"Aku tahu, mungkin kejam aku menceritakan ini padamu. Tapi aku ingin kau mengetahui rasa sakitku, agar aku tak menyesal seumur hidup."

Sia makin mengelus pundak Misha.

"Tenanglah, hari ini ketika aku membeberkan semuanya di depan nisanmu, aku telah memaafkan kesalahanmu Karel," tutur Misha dengan tenang. "Kau boleh tersenyum di sana, karena aku memang masih mencintaimu. Kadarnya berapa? Aku tak tahu pasti, mungkin masih sama saat kita bersama dulu."

Sia bangga tak satupun butiran kristal mengucur di kelopak mata Misha.

"Kau mau kita berdoa sekarang?" Sia melepas payung.

Misha menoleh sesaat. "Yaah, hari sudah semakin senja dan itu tujuanku kemari."

"Oke kita lakukan sekarang!"

Misha dan Sia kompak menengadah tangan. Mata mereka terpejam kemudian dan langsung masuk ke zona khusyuk. Diselingi desahan napas, keduanya merapal doa dan meminta belas kasih atas semua perbuatan almarhum. Semoga Tuhan mendengar suara-suara tulus keduanya.

Kunjungan ke nisan Karel sore itu berakhir dengan menaburkan bunga dan menyirami air mawar ke setiap gundukan tanah.

bersambung.....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro