Mengejar Senja

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ke empat.

Sudah beberapa jam sesi promosi berlangsung. Bagian promosi merupakan bagian tersulit. Di sesi ini tidak hanya pengetahuan lebih tentang identitas komunitas yang dipertaruhkan, namun juga kemampuan dalam bercakap. Tujuannya agar semua orang jatuh hati, sebab promosi merupakan salah satu poin penentu untuk mendapatkan suntikan dana dari panitia. Gamal membiarkan Bang Rifat mengambil bagian ini. Pria tambun itu lebih tahu visi-misi PAS.

Gamal memilih menghilang dari ruangan presentasi. Lama-lama mendengar bualan setiap komunitas yang berusaha mencuri hati panitia demi dana agak membuatnya mual. Terlalu banyak hal yang dilebih-lebihkan. Di depan beranda gedung, Gamal menyandarkan bahu pada salah satu tiang. Sebelah kakinya menyilang pada kaki yang lain.

"Kau pasti bosan kan berada di dalam."

Gamal kaget, lalu menyadari sosok yang kini berada di sampingnya. Buru-buru dia memberikan keramahan. Wanita pirang itu melipat tangannya. Gamal lalu merapikan cara berdiri. "Ya, begitulah. Kau sendiri, kenapa di sini?"

"Mmm, aku sedang ingin mengusir rasa jenuh saja. Mendengar presentasi di dalam membuatku sedikit puyeng."

"O," ucap Gamal pendek. "Eh kita belum melanjutkan obrolan kemarin loh," Gamal berusaha mengingatkan wanita itu.

"Dua hari yang lalu ya? Ya ya ya." Misha mengangguk-angguk.

"Tapi sepertinya kita butuh kopi untuk memperlancar obrolan. Atau..., Barangkali kita butuh sebuah tempat di mana kita dapat tertawa lepas seharian," pancing Gamal. Dia tahu bule ini sepertinya membutuhkan sesuatu yang bisa menghilangkan kejenuhan.

Wanita itu terlihat berpikir sebentar. Tawaran Gamal sepertinya menyenangkan. Lagi pula sepertinya Gamal tidak memiliki niat buruk. Oke, inilah kesempatanku menghibur diri, melupakan sejenak perkara Sia dan Satria, gumul Misha dalam diam.

---

Mereka berdua sepakat jalan-jalan mengelilingi kota. Gamal dan Misha sama-sama antusias merasakan betapa hangatnya sore ini di jantung kota Medan. Mereka kini berada di salah satu trotoar.

"Jadi selain di perkumpulan, kesibukanmu apa?" Gamal mengawali obrolan.

"Paling membantu ayahku mengurusi pekerjaannya di bidang advokasi."

"Wah keren. Berarti kau tahu dong masalah hukum?"

"Tidak terlalu sih. Lagi pula aku hanya membantu seperlunya saja. Ya sekadar mengurusi bagian administrasi. Kalau kamu?"

"Kalau aku sampai saat ini masih sibuk di komunitas. Belum ada rencana lain."

Sepanjang melewati trotoar ini percakapan mereka cukup mengalir. Seperti obrolan kawan lama yang bertemu kembali. Tidak ada canggung, keanehan, atau sikap hati-hati. Segalanya lepas begitu saja.

"Bagaimana dengan pacarmu? Suamimu mungkin?" tanya Gamal iseng.

"Aku belum memiliki keduanya. Aku masih sendiri." Aneh, Misha bahkan tidak protes dengan pertanyaan Gamal. Seolah pertanyaan itu adalah pertanyaan biasa dari seorang sahabat karib. "Mengapa kau bertanya demikian?"

"Hanya iseng saja." Gamal terkekeh.

"Lalu kau?"

Gamal menyetop langkah, lantas berpikir sejenak. Dengan cepat dia menyegerakan dua langkah lebih cepat dan menyalip Misha di depan. "Statusku maksudmu?"

Misha mengangguk.

"Statusku complicated!"

"Akh, jawabanmu mengambang!"

Kini mereka berjalan berhadapan karena Gamal berjalan mundur seirama dengan langkah kaki Misha yang maju ke depan.

Gamal masih mempertahakan jalan mundurnya. "Entahlah, kadang aku merasa masih memiliki pasangan, namun di lain waktu ketika sepanjang malam berkontemplasi aku malah merasa tidak memiliki pasangan."

Misha terenyak mendadak. "Kau galau ya?"

"Bisa jadi. Ya, seperti kau bertemu peri langit yang kau baca di dalam dongeng. Tapi sosok itu tak pernah ada di dunia nyata."

"Aku tidak mengerti maksudmu."

"Hahaha," Gamal tertawa. Pria itu berjalan normal kembali, melangkah beriringan dengan Misha.

"Ok, sekarang tidak usah membahas status atau pasangan, ataupun sejenisnya!" Misha memutuskan. "Hmmm, selanjutnya apa nih yang akan kita lakukan?"

"Bagaimana kalau kita pergi melihat senja."

"Melihat senja?" Misha memicingkan mata. "Tapi kita tak tahu lokasi tempat melihat senja di sini. Aku juga belum pernah mengunjungi satu pantai pun di Medan dan kukira itu jauh dari sini."

"Kita tidak harus ke pantai, ya pintar-pintar kita saja mencari lokasi. Lagi pula aku merasa menemukan senja adalah pengalaman yang menarik, dan ini merupakan pengalaman pertama bagiku."

"Hei, tapi kita sama-sama buta akan kota Medan." Misha bercekak pinggang dan membiarkan Gamal melewatinya.

"Kita kan punya mulut. Kita bisa bertanya sana-sini." Gamal menarik pergelangan tangan Misha. Pria itu dapat merasakan ekspresi kaget dari tubuh Misha ketika tangan-tangan mereka menyatu. "Ayolah tak akan rugi. Yang penting kita bertanya kepada orang yang benar."

Dengan tubuh yang terseret-seret, Misha menuruti pria kekar di hadapannya. Lagian percuma saja dia berdebat, toh dia sadar seberapa pun kuat meladeni, Gamal akan mendominasi percakapan. Tapi dalam posisi tersimpul tangan, Misha merasa waktu seolah-olah melambat. Melambat begitu cantik. Setiap gerakan Gamal seperti rentetan adegan yang direka begitu slow. Bahkan tarikan bibir Gamal ketika mengucapkan 'ayo' di matanya berdurasi mencapai dua puluh detik.

Sementara itu, Gamal semakin berapi-api.

Barangkali inilah yang Misha tunggu-tunggu untuk menghibur diri. Buru-buru wanita itu mempercepat langkah lalu tanpa komando mereka membentuk harmonisasi lari yang seirama, indah dan mengesankan. Lewat tangan-tangan yang masih saling mengunci itu, mereka beradu pandang, dan saling membagi tawa. Ya, ini demi mengejar senja.

***

Alam sedang memutar film klasik di ujung barat langit Medan. Tokoh utamanya adalah raja siang yang menua, berwarna oranye. Namun keuzurannya tersebut membuatnya semakin memikat. Pemain pendukungnya adalah langit yang ikutan menguning, burung-burung kecil yang bermain-main di udara dan beberapa tebaran awan nakal. Siapa yang melewatkan film ini maka akan menyesal, karena alam tidak akan memutar film yang sama dengan tingkat keindahan, waktu, pemain dan figuran yang serupa.

Penonton yang beruntung adalah Gamal dan Misha. Di atas punggung gedung tak terpakai di tengah kota, mereka serius menyaksikan film ini. Di sekitar mereka terdapat dua buah softdrink, dan beberapa camilan. Gamal dan Misha menilai apa yang difilmkan alam ini dengan cara pandang yang kurang lebih mirip, sebab ini bukan masalah logika atau perasaan. Dan mereka sepakat ini menakjubkan. Misha menikmati sambil sesekali memejamkan mata, sebaliknya Gamal menonton film ini tanpa mengedipkan mata satu kali pun.

"Apa yang sedang kau rasakan saat ini," Gamal berbisik.

"Aku merasa damai," jawab Misha. "Dan tubuhku serasa melayang-layang."

"Melayang?" tanya Gamal kaget.

Misha menutup matanya. "Sebagian wanita pasti akan merasakan hal yang sama denganku. Kau tahu, dengan menikmati senja seperti ini aku seolah-olah merasa memiliki sayap. Sayap yang membawaku terbang tinggi melayang di udara. Dan itu rasanya damai sekali." Misha kembali membuka matanya.

"Berarti senja kayak alkohol, bisa memengaruhi otak manusia-"

"Tidak semua orang, tidak semua wanita berpikiran sama denganku," Misha menyela cepat. Wanita itu mengambil camilan dan mengunyah. "Aku ingin bertanya padamu, kau percaya pada kebetulan-kebetulan?"

"Maksudnya? Tolong diperjelas."

"Maksudnya sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan tetapi kejadian. Semisal kau bertemu wanita yang mirip sekali dengan mantan pasanganmu." Misha sedang curhat masalah pribadi melalui cara yang halus. Hah motif apa Misha melakukan ini.

"Oh mungkin seperti yang kau dan aku alami sekarang? Bertemu tanpa sengaja. Tanpa pernah diprediksi?"

"Ya, barangkali seperti itu."

Gamal tersenyum. "Pertemuan kita hanyalah sebuah kebetulan. Seperti pertemuan antara peserta komunitas di dalam sebuah forum. Atau pertemuan tidak sengaja antara dirimu dengan seorang tunawisma di pasar. Tidak ada yang harus diartikan berlebihan dari itu."

"Kau harus tahu, di dunia ini ada pertemuan yang harus berakhir setelah melewatkan beberapa jam bersama. Dan ada juga pertemuan yang sekilas lalu tak lebih dari lima menit. Jika kau perhatikan, di antara keduanya pasti memiliki perbedaan. Dan bagiku pertemuan yang berakhir setelah melewatkan beberapa jam bersama, patut diartikan. Karena itu bukan kebetulan biasa."

"Hahaha, kau bisa saja!" Gamal meraih softdrink dan menenggak. Lantas pria itu menimbang-nimbang pernyataan Misha. Apa pendapatnya benar? Sepertinya begitu, suatu kebetulan tidak selamanya berakhir begitu saja. Barangkali kebetulan bisa menciptakan maknanya sendiri. Memberi sebuah petunjuk tentang hal-hal yang mungkin tak kita sadari.

"Kau lihat itu, burung di sana," Misha menunjuk. "Mereka membuat langit sore semakin semarak."

"Bukannya itu malah mengganggu? Kayak ada bercak-bercak di langit."

"Kau ini!" Misha geregetan.

"Tenanglah aku hanya bergurau."

Saat detik-detik menjelang alam mengakhiri filmnya sore ini, Misha dan Gamal merasa perlu merayakan kebebasan mereka. Tanpa saling komando mereka kompak berteriak-teriak. Berteriak seperti bocah-bocah kecil yang kegirangan menerima permen. Mereka terlihat tidak dewasa sekali. Mereka bahkan meloncat-loncat kayak kanguru, berjoget-joget seperti boneka pegas di dasbor mobil dan sesekali berputar-putar kayak gasing.

Ketika malam benar-benar menurunkan jubah hitamnya, Misha dan Gamal harus rela mengakhiri perjalanan mereka. Misha menjadi capek hingga menenteng sepatunya, dan membiarkan telapak kakinya menyapu lantai dan anak tangga gedung. Sementara Gamal melepas baju sehingga tato sayap yang selama ini hibernasi di balik kemejanya tampak. Kotak-kotak di perutnya kelihatan basah oleh keringat. Gamal merasa sudah lama tak sebebas ini sejak Nala mengubahnya menjadi Jason Momoa.

.....bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro