Menuju Sebuah Perjalanan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bekerja di bawah schedule superpadat kadang-kadang membuat Alia kelabakan. Walau menggunakan jasa manajer namun dia sangat perlu bantuan Gamal, sekadar memberi masukan, menyediakan sebagian kebutuhan atau juga bertugas sebagai sopir pribadi. Sebagai tunangan yang baik, Gamal berusaha menjadi pria yang paling dekat menyediakan kebutuhan Alia.

Malam ini ketika mendapat telepon dari Alia yang mengabarkan ban mobilnya kempis, Gamal langsung berinisiatif menjemput tunangannya tersebut. Pria itu terpaksa mengorbankan waktu istirahat, padahal dia tahu di luar hujan sangat lebat. Dengan segenap tenaga, Gamal menembus serangan air langit demi menjangkau lokasi shooting Alia. Bukan perkara mudah menjangkau lokasi shooting, sebab jarak yang ditempuh menuju Pluit memakan beberapa jam, apalagi melewati genangan-genangan air di beberapa tempat. Perlahan Gamal mulai menggigil.

Akhirnya Gamal tiba juga di sebuah rumah yang dijadikan lokasi shooting. Pria itu berlari menghindari hujan dari tempat parkir. Dia sempat melirik mobil Alia yang berada di parkiran.

Di dalam rumah, Gamal menemukan kru-kru dari perusahaan advertising, orang-orang dari salah satu produk makanan, sejumlah perangkat peralatan shooting dan dapur yang telah diset. Alia memang sedang shooting iklan produk makanan. Di salah satu kursi, Gamal bisa melihat Alia. Wanita itu sedang sibuk mengobrol dengan seorang pria berkacamata. Pria itu mengenakan baju pegawai Nusantara Televisi, stasiun televisi yang menaungi cooking programme yang diasuh Alia. Dari bahasa tubuh mereka, Gamal bisa memprediksi kalau mereka sedang merundingkan sesuatu yang serius, barangkali soal ide, inovasi masak atau sesuatu yang menyangkut jadwal Alia.

Alia yang tersadar dengan kehadiran Gamal langsung memanggil, "Honey, kemarilah."

Gamal mulai menggenjot langkah menuju tempat duduk tunangannya. Jujur Gamal sedikit merasa bangga ketika Alia memanggilnya dengan sebutan demikian. Biarkan, biarkan semua orang di lokasi ini tahu bahwa dialah satu-satunya pria yang menjadi belahan jiwa celebrity chef yang sedang jadi pusat perhatian masyarakat ini. Dan benar saja, begitu Gamal berhadapan dengan Alia, mata-mata kagum langsung memusat padanya. Sebagian orang tak segan-segan mengangguk kepala kepada Gamal.

Alia memperhatikan baju Gamal. "Kau kehujanan ya?"

"Sedikit sih, tapi tidak apa-apa!"

Alia menyilangkan lengannya ke dalam lengan Gamal. "Ini produserku, Cakra!" Alia mengenalkan pria yang menggunakan atribut Nusantara Televisi di sampingnya.

Gamal langsung memberikan senyum kepada Cakra. Wajahnya yang masih sangat muda membuat Gamal tidak percaya kalau Cakra adalah seorang produser. "Wah, semuda ini sudah sukses ya?" Gamal menyodorkan tangan. "Aku Gamal!"

Mereka berjabat.

Cakra membenarkan letak kacamata. "Ini tunangan Alia?" katanya sembari memberikan senyum ramah. "Alia banyak cerita tentang dirimu loh!"

"Lebih banyak cerita baiknya atau buruknya?" gurau Gamal.

Cakra terkekeh lantas menuju salah satu meja. Di sana dia mengambil map dan sebuah kunci. Cakra kembali dengan memegang kunci. "Sudah larut aku pulang duluan."

Alia dan Gamal membolehkan.

"Aku pinjam dulu mobilnya ya," sebut Cakra sembari mengangkat kunci lalu melesat ke ujung teras.

Kunci? Kunci Mobil? Gamal tercengang. Yang dipegang Cakra itu? Buru-buru Gamal menyegerakan diri ke teras. Dari tempat itu, dia melihat Cakra menyelinap ke dalam mobil milik Alia dan menggerakkan kendaraan tersebut dari parkiran. Air muka Gamal berubah kecewa seperti atlet yang kalah dalam duel final. Gamal kembali ke dalam dengan wajah kurang sedap.

Alia menghampiri Gamal. Wanita itu tahu pasti kondisi Gamal.

Gamal terbakar kesal, "Kau bilang banmu kempis. Tapi yang kulihat tadi itu apa?"

"Aku...." Alia memandang sekeliling. Orang-orang memperhatikan mereka. Sadar memancing perhatian, Alia membawa Gamal menjauh ke ujung teras sehingga aman dari kru-kru. "Ya, aku berbohong padamu!"

"Duh Alia!"

"Jangan berpikir buruk dulu."

Gamal meremas-remas jari. "Lalu aku harus berpikir apa yang kau lakukan ini, baik?"

"Aku tahu kau melawan hujan, kau juga basah. Apalagi kau harus bersusah payah menempuh jarak Cipedak - Pluit yang tidak dekat. Masalahnya aku takut pulang sendirian, makanya aku-"

"Tapi kau sudah berbohong!"

"Aku sudah mengakuinya."

"Aku juga agak merasa aneh, masa produser acaramu, ikut mencampuri urusan iklanmu?" Tampaknya kekacauan masa lalu masih memberi pengaruh cukup hebat kepada Gamal.

"Kami sementara membahas Beauty Bench yang akan shooting beberapa hari di luar kota kok. Lagian aku berniat baik pada produserku, daripada dia naik taksi, mending dia pakai mobil aku," jelas Alia. "Paling-paling besok dia sudah mengembalikan mobilku."

Gamal mengendalikan kesal.

"Kau cemburu?" Alia mengetes.

Ding! Gamal tersengat listrik. Jangan-jangan tebakan Alia benar. Pria mana yang enteng-enteng saja jika berada di posisi Gamal? Dia cukup merasa terancam. Puncak karier Alia sedang berada di atas angin, dan itu rentan godaan. Jika sepuluh pria berderet-deret di hadapan Alia dalam temu jodoh, mungkin sepuluh orang akan langsung mempersuntingnya. Dan Gamal bisa jadi orang ke sebelas yang gagal sebelum masuk top ten.

Pada akhirnya Gamal mengunci mulut dan membiarkan pertanyaan tersebut menggantung-gantung.

***

Mendengarkan Benny menggesek-gesekkan biola, wanita mana yang sanggup menolak terlena? Misha yang terduduk manja di sofa bahkan puas menonton kepiawaian Benny. Dia merasa sedang menghadiri pertunjukan orkestra terbaik. Setiap kali mendengarkan Benny bermain biola Misha selalu merasa ada getaran indah di dadanya. Raganya kerap kali ingin menari ketika suara biola Benny semakin kencang. Saat ini ketika Benny makin lama menunjukkan kemahirannya, Misha mulai berimajinasi sebagai penari tunggal di konser tunggal pula.

Hingga gesekan Benny memelan, Misha tak sadarkan diri. Dia seolah-olah berada di taman Eden.

"Tuh kan kau berimajinasi lagi," Benny coba buyarkan lamunan Misha.

Misha kaget, "Sudah selesai? Kupikir masih panjang permainanmu."

Benny ikutan mendaratkan bokong di sofa. "Bagaimana dengan melodinya, bagus kan? Ini sengaja kuciptakan untukmu."

"Pantas, aku baru pertama kali mendengarnya. Indah sekali."

Benny meletakkan biola dan busurnya, dia terlihat sedang menyimpan bongkahan niat. Dari ekor matanya, dia sepenuh hati menatap Misha lalu spontan menyampirkan sebagian rambut Misha yang jatuh ke belakang kuping.

"Aku ingin hubungan kita lebih serius," Benny mulai bongkar bongkahan niatnya. "Sesuatu yang lebih indah tentunya."

Misha tersipu-sipu, merah di kedua rona pipinya menggelembung seakan paham alur obrolan Benny. "Apa aku tidak salah dengar?"

Benny tersenyum. "Tidak sayang."

"Trus?"

"Aku ingin mengajakmu menikah. Dan sudah saatnya kau memberi tahu orangtuamu tentang hubungan kita."

Misha tampak berdiskusi dengan hatinya sebentar. Pria Belanda ini tidak main-main dan dia tahu benar biasanya pria yang membicarakan menikah dan orangtua adalah pria yang patut dipegang omongannya. Sesaat Misha ingin menangis, dia terharu. Telah banyak kisah rumit merenggut kebahagiaannya soal pria, cinta dan pilihan, dan di detik ini segalanya seolah terbayar lewat pangeran kincir angin yang mengajaknya ke singgasana.

Benny berbisik di telinga Misha, "Bagaimana kalau sekarang kau menelepon mereka."

"Sekarang yaaa," Misha menimbang. Sebelum Benny berbicara lagi, dia sudah berlarian ke kamar. Cepat sekali Misha mengambil ponsel, lalu memencet nama Papa di phonebook.

Misha luar biasa gemetaran, sampai bunyi tut... panjang terpotong dan sebuah suara di ujung ponsel terdengar menyapa. Misha sulit meredam buncah di dada.

"Halo, Misha?" suara di ujung telepon.

"Ya Pah? Aku diajak menikah!" tembak Misha langsung tanpa membalas sapaan. Agak kurang sopan justru, namun kebahagiannya rewel dibendung.

"Menikah?"

Mendadak kaget menyergap Misha, Benny dari belakang merebut ponsel darinya. Sejak kapan pacarnya itu berada di belakang punggungnya?

Dengan wajah kemenangan Benny melebarkan tangannya. Pria itu kemudian menunjuk-nunjuk ponsel yang terebut dengan sebelah tangan yang lain, "Papamu?" Usai mendapat kejelasan tentang siapa di balik suara, Benny menantang Misha, "Biarkan aku yang bicara. Biasanya obrolan antar lelaki itu selalu menemukan sepakat!"

"Tapi-"

Sebelum Misha menyambung kalimatnya Benny sudah menghilang dari kamar. Melalui Inggris-nya yang fasih dia enteng menjamu ayah Misha lewat percakapan-percakapan pria dewasa. Semoga Benny mampu meluluhkan Papi Mister dan memanfaatkan ikatan Eropa sebagai pemulus langkahnya.

Misha jadi tak menentu di kamar. Wanita itu mengelilingi ruangan tanpa henti. Menggerakkan jemari, lengan dan kepala tak beraturan. Bagaimana kalau Benny gagal? Bagaimana jika Papi Mister malah marah besar, bagaimana kalau... Mama ikutan nimbrung di telepon seluler lalu mencecar. Misha tak tenang, sebab bagaimana kalau beranak pinak menjadi seribu pertanyaan baru.

Misha berhenti gelisah setelah Benny kembali memenuhi kamar. Jarak keduanya yang saling hadang membuat Misha sedikit tertekan.

Ragu-ragu Misha bertanya, "Kalian mengobrol dengan baik kan?"

Benny menunduk, rautnya berat untuk membincangkan apa pun.

"Jangan buat aku takut!"

Sekali lagi Benny membisu.

"Papaku setuju?"

Akhirnya Benny harus menuturi kenyataannya, "Setuju! Yeyyy!" Benny meloncat kegirangan.

Misha hampir lemas di ujung napas. Akting Benny mengalahkan bintang hollywood. Rupanya pacarnya bisa diandalkan, dia dapat meyakinkan Papi Mister dalam negoisasi yang tak kurang dari 360 detik. Misha mengepalkan tangan. "Kau hampir saja membunuhku tadi."

Benny berjingkrak, lalu memeluk Misha dari belakang. Tangannya melingkari pinggang Misha. "Kau tahu apa yang kunjanjikan untuk Papamu?"

Misha mendongakkan kepala, dia bisa melihat dagu Benny. "Apa?"

"Aku menjanjikan tiga minggu lagi pernikahan kita akan terlaksana."

"Wow!" Misha amat terkejut. "Kau serius?"

"Dan sepertinya aku harus berjuang semalaman menciptakan beberapa nada untuk acara pernikahan kita."

Astaga ini terlalu cepat sepertinya. Misha berpikir sebentar, mungkin beberapa orang Eropa memang suka sesuatu yang lebih cepat tanpa embel-embel tradisi yang justru me-ribet-kan sakralnya pernikahan. Apa pun itu, yang pasti kini Misha luar biasa bahagia dan tak mampu melukiskan perasaannya.

"Aku ada pentas di kampus nanti," Benny mengganti topik. "Kuharap kau mau menonton."

Misha menggeleng.

"Ayolah," bujuk Benny. "Kapan lagi kau melihatku bermain biola di depan banyak orang. Aku juga ingin kau mendengar riuh tepuk tangan penonton untukku."

Misha berubah pikiran, "Oke deh!"

***

Gamal berhasil membawa pulang satu paper bag dari sebuah butik siang ini. Di dalam paper bag yang dia tenteng terdapat dua potong baju yang sedianya akan dihadiahi kepada Alia. Gamal sendiri lupa, kapan kali terakhir dia memanjakan Alia dengan membeli barang-barang, atau memang selama ini belum pernah. Tipe anti hedonis seperti Gamal memang pantang menghamburkan duit kepada sang pacar. Lagi pula Alia sendiri jarang menuntut surprise dari Gamal. Memiliki penghasilan sendiri membuatnya cukup mampu memenuhi kebiasaannya yang luar biasa shopaholic.

Dari butik, Gamal menyempatkan diri ke kedai makanan, dia membeli satu paket makanan.

Berbekal paket makanan serta paper bag, Gamal melajukan mobil ke Nusantara Televisi. Di sana Alia sedang menyelesaikan shooting beberapa episode di salah satu studio. Gamal yang tiba di studio langsung memilih berjubel di kursi penonton. Dari tempat duduknya Gamal dapat memperhatikan bagaimana Alia mengolah makanan bersama tamu-tamu selebriti yang juga ikut memegang spatula. Gamal terpesona ketika Alia menjelaskan step by step proses memasak, sosok dewi Aphrodite benar-benar terpancar darinya. Tangannya lihai meracik dan kesabarannya menjelaskan membuat dia sangat terlihat santun di layar kaca.

Setelah proses shooting selesai, Gamal menemui Alia di ruang make-up.

"Kenapa tidak memberi tahu aku dulu sebelum kemari," kata Alia sambil membereskan riasan wajah di pipi.

"Hmm... karena aku penasaran melihatmu memasak secara langsung," jawab Gamal, dia masih menenteng paper bag dan paket makanan.

Dari pintu Cakra nongol, pria itu langsung memanggil Alia agar segera meeting di ruangan lain. Mbak Dian-manajer Alia yang sejak tadi berada di ruangan yang sama ikut memaksa Alia supaya lekas bergegas. Cakra lantas bermohon pamit.

Alia bangkit dari kursi sembari menatap Gamal dengan kuyu. "Aku tidak bisa lama-lama. Aku harus-"

Gamal menyela, "Apa kita tidak bisa bicara lima menit lagi?"

Alia hampir lolos di pintu.

"Dua menit saja deh!" tawar Gamal.

Mbak Dian menyaksikan muram di balik wajah Gamal, namun apa daya dia cuma bisa menyulam senyum lalu membuntuti sang chef dari belakang.

"Aku akan meeting, membahas proses shooting di luar kota beberapa hari. Nanti kalau ada yang penting kita bicarakan di rumah."

Gamal turut keluar dari ruang make-up. "Sebenarnya tidak ada yang penting. Cuman aku pengin-"

Alia membalikkan badan lantas memotong, "Syukurlah tidak ada yang penting. Nanti di rumah ya?"

Di menit ini rasanya Gamal ditendang Alia secara halus. Kata-katanya bahkan dipotong dan segala nafsu bicaranya dibungkam. Dia terhenti di sudut paling mengecewakan. Barang-barang yang ditentengnya rasa-rasanya sama sekali tak bernilai hari ini. Mbak Dian lantas mundur menghampiri Gamal. Mereka berhadap-hadapan, sedang Alia telah menghilang dari lorong entah menuju ke mana.

"Maafkan Alia," pinta Mbak Dian.

Gamal sebisanya mengerti. "Apa Alia sesibuk itu?" tanyanya lesu.

"Alia memang sibuk," jawab Mbak Dian. "Dan rapat hari ini sangat penting karena kami akan membahas soal persiapan menuju Bandung. Kami berencana akan melakukan proses shooting di sana dan beberapa lokasi di daerah mulai lusa ini. Rencananya selama seminggu."

Harusnya Gamal paham Alia bukan milik dirinya saja. Alia bertanggung jawab kepada pekerjaannya, Nusantara Televisi dan publik. Maka susah memprioritaskan pekerjaan atau pasangan.

"Biar kuberikan barang-barang itu," Mbak Dian seolah mengerti apa yang dipegang Gamal.

"Tidak, ini bukan untuk Alia," tutur Gamal yakin.

Manajer Alia menepuk-nepuk pundak Gamal. "Cobalah mengerti keadaan Alia," ucapnya kemudian dan melengos pergi meninggalkan Gamal.

Hadiah-hadiah ini rasanya percuma. Gamal diserang sesal. Dia menyesal telah bersusah payah mengitari butik dan singgah di kedai makanan. Andai kakinya tidak pernah mendarat di sini, andai pikiran memanjakan Alia tidak mendengung-dengung. Andai... Akh, penyesalan selalu menyusul dari belakang.

Gamal berjalan dengan gontai seolah sepasang kakinya terpasung batu sekilo. Dia terseret-seret. Di belokan lorong, Gamal membuka tong sampah, dia lantas menjatuhkan satu paket makanan tadi. Seorang wanita muda yang kebetulan berada di belakangnya, langsung ditodong, "Ini buat kamu." Gamal menyerahkan paper bag. Wanita itu terheran-heran sekaligus takut-takut menerima.

---

Sorenya Gamal berusaha melupakan kejadian tadi. Pria itu menjernihkan pikiran dengan bercengkerama dengan enam ekor ikan-yang lumayan mengerti bagaimana caranya membuatnya tersenyum. Minimal enam oranda ini tak pernah sibuk atau mengabaikannya. Kapan pun Gamal butuh mereka siap menghibur. Gamal lantas menghamburkan butiran pelet, dan pecahlah pesta di dalam air, ikan-ikan tersebut berebutan memakan butir-butir pelet.

Belum selesai menaburi pelet, pesan singkat dari Alia masuk di ponsel.

Aku jadi ke Bandung. Demo masak sekaligus shooting.

Gamal meletakkan ponsel.

Dua menit selanjutnya handphone-nya bergetar-getar. Nama Alia kedip-kedip di sana. Gamal membiarkan telepon genggamnya bernyanyi-nyayi. Nafsu bicaranya menguap. Jujur efek pertemuan tadi siang masih memberi bekas walau dirinya mencoba berbaik sangka.

Beberapa menit selanjutnya, pesan singkat Alia muncul lagi di layar ponselnya.

Kau tidak merespons pesan dan teleponku, kau marah padaku? kuharap jangan lama-lama ya? J Lokasi shootingku kali ini di Bandung, kau boleh datang melihatku. Alamatnya nanti kukirim. I love you honey....

***

Kemajuan teknologi membuat segalanya terasa mudah. Dengan sekali menelepon, Misha mengobrol banyak hal dan langsung menyerahkan segala persiapan kepada orangtuanya di Pekanbaru. Di sana mereka akan mengurusi segala ihwal pernikahan, mulai dari gedung, wali, baju, catering, dan segala tetek bengek-nya. Meski demikian Misha dan Benny merasa perlu mengurusi masalah undangan.

---

Perjalanan menuju Bandung...

"Apa penting membawa ikan-ikan ini?" tanya Benny. Dia memangku bejana dan meneliti dua makhluk air di dalamnya.

"Aku di Bandung tidak cuman satu hari kan?" Misha menggoyang setir. Mereka sedang melewati tol Cipularang. Pengetahuan jalan yang dimiliki Benny amat minim sehingga Misha yang mengambil alih kemudi. "Jadi kuputuskan membawa mereka. Kasihan kalau ditinggal."

"Betul juga itu. Kalau ditinggal bisa mati kelaparan ikan-ikan ini." Benny mengelus bejana. "Di Amsterdam banyak tempat ikan hias. Waktu di sana kalau kau bilang, kita bisa pelihara ikan hias."

"Kemarin pengin juga sih, tapi aku belum pernah merawat ikan bule, hehehe," seru Misha separuh bercanda.

"Menurutmu kapan kita akan ke Pekanbaru?" Benny mengubah alur obrolan. Tampaknya keseriusan terhadap janjinya kepada Papi Mister benar-benar dia tunjukan.

Misha sempat memainkan bibir dan berpikir-pikir sebentar. Gerbang pernikahan sebentar lagi akan menjemputnya. "Terserah kau. Tenggat waktunya kita kan kurang dari tiga minggu lagi."

"Apa setelah pementasanku? Aku bisa meminta cuti beberapa waktu."

Misha anggut-anggut. "Lebih cepat, lebih baik."

Mobil yang dikemudi Misha masih terus membelah tol. Misha mulai berangan-angan, sebentar lagi nyonya Schuyler akan tersandang di nama belakangnya. Lalu dia akan menjelma sebagai putri kerajaan lewat akad nikah yang khidmat. Mengenakan kebaya putih yang penuh bling bling, penuh riasan cantik, dan akan menjadi pusat perhatian di hari bahagia tersebut. Misha yakin Benny-lah kiriman Tuhan padanya. Pernah kesal di nisan Karel dan menelan pil pahit ketika cintanya patah di Singapura sudah cukup mengiris hati. Saat Tuhan menitipkan Benny dalam kesendiriannya di negeri orang, Misha percaya pria inilah yang akan membuat hari-harinya diselimuti kebahagiaan.

.....bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro