Merapi tak Pernah Terprediksi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tante Erin yang memegang botol selai tampak memperhatikan Alia di sudut meja ruang tengah. Sepertinya Alia sangat menikmati aktivitasnya memberikan pelet kepada ikan-ikan yang dia rawat.

"Alia, ikut sarapan yuk?" ajak Tante Erin.

"Sebentar lagi Tan. Aku belum selesai memberi makan ikan-ikan ini," jawab Alia tanpa menoleh. "Nanti aku menyusul."

"Tapi jangan sampai lupa ya?" Sebelum ke meja makan, Tante Erin bertanya. "Gamal di mana, kok tidak kelihatan?"

"Gamal sudah pergi pagi-pagi sekali. Katanya ada urusan di PAS."

"Kau tidak ikut?"

"Tadinya pengin ikut sih, tapi—" Alia menjedakan kalimat dan berpikir sebentar. Selang beberapa detik kemudian dia memaraton kaki menuju kamar. Alia buru-buru mengacak laci meja dan meraih benda segi empat bertombol banyak. Setelah menemui nama Gamal di phonebook, Alia melakukan panggilan.

***

Akhir-akhir ini Gamal memang sedang disibukkan dengan hal-hal yang berhubungan keberangkatannya menuju medan. Dia yang tak mau mengecewakan Bang Rifat terlihat bekerja dengan sunguh-sungguh. Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan, siang itu Gamal memutuskan untuk minum kopi bersama Dunno di ruang divisi menulis.

Mereka mengobrol banyak hal. Gamal lantas bertanya separuh iseng, "Sekarang coba ceritakan tentang... wanita pujaanmu."

Dunno tertegun lantas mencoba untuk tertawa. "Sebenarnya bingung mau cerita apa. Tapi mudah-mudahan wanita yang kusukai ini lebih baik dari tunanganmu." Kekehan Dunno makin membesar.

"Kau yakin?"

"Sepertinya sih. Meski kuakui seleramu mungkin jauh lebih baik dariku." Ketika Gamal makin banyak menderetkan beberapa pertanyaan lain, Dunno menjawab dengan sedikit guyonan agar pria itu tak bertanya lanjut soal identitas wanita yang dipujanya. Menyedihkan jika Gamal tahu kalau bidadari yang dinanti-nanti itu selalu buta akan keberadaannya. "Kau beruntung kawan," Dunno menyampaikan salut dengan nada pentar.

"Untuk?"

Dunno bingung harus jujur bahwa sahabatnya itu lebih beruntung soal cinta. "Untuk kepergianmu nanti ke Medan," Dunno berbohong.

"Kupikir kau akan memuji aku karena memiliki Alia."

Memang, aku tadi ingin memujimu karena kau memiliki Alia. Kau tahu, bahkan Nala pun jatuh hati padamu, sendu Dunno dalam sepi.

Selang sekian menit bunyi ketukan terdengar di luar pintu. Nala kemudian muncul dengan gurat wajah yang terkesan setengah bimbang. Wanita itu menyungging senyum beberapa kali dan mencoba menyamarkan tarikan napasnya yang berantakan. Namun sepertinya sepatu hak yang tinggi membuatnya terlihat miring. Posisinya beberapa kali oleng seperti orang mabuk.

Gamal dan Dunno menaikkan kening secara bersamaan.

Nala tidak berkata apa-apa. Dia terlihat jelas menyimpan bongkahan keinginan. Lengannya terlihat gemetaran memegang tas mungil yang beratnya tak lebih dari 10 gram. Sheath dress yang dikenakannya amat ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuh, namun sayang, dia tampak kurang nyaman. Binar matanya menyala-nyala dan senyumnya terlalu centil untuk ukuran wanita dewasa. Di detik ini Gamal dan Dunno sepakat bahwa Nala benar-benar kehilangan kesederhanaannya. Tapi mereka tak dapat memungkiri kulit Nala yang bersinar mulus serta rambutnya yang indah membuatnya semakin memesona.

Nala menghela napas dan perlahan menyadari saat ini dia mirip maneken lilin.

Dunno yang kaget langsung memberikan ledekan, "Hahaha, itik tak pernah akan berubah menjadi putri."

Gamal menahan komentarnya, dia hanya memandang bingung ke arah Nala. Penampilan macam apa yang disuguhkan Nala siang ini! Dia begitu kurang percaya diri dan terlalu dipaksakan. "Kau kenapa, Nal?"

Nala tidak menjawab. Dia lebih tertartik merapikan sheath dress miliknya. Setelah mengatur napas dengan baik, dia menyejajarkan diri di samping Dunno. "Dun, bisakah aku bicara berdua saja dengan Gamal?"

Dunno langsung terserang panik. Radarnya mengendus sesuatu yang lain. Mendapati reaksi Gamal yang lempeng membuat Dunno sedikit ingin meninju perut pria itu. Tak ingin seperti 'diusir' Dunno cepat-cepat mengambil smartphone di saku celana, lantas berpura-pura mengetik sesuatu. Pelan-pelan dia menjangkau daun pintu dan keluar tanpa mengucapkan satu kata pun kepada Gamal maupun Nala.

***

Nala benar-benar bimbang. Dia mirip orang yang tersesat. Teperangkap ke dalam sebuah permainan yang telah dia gulirkan sepuluh menit yang lalu. Meski dia tahu jalan cerita hidupnya akan ditentukan sesaat lagi, tapi sampai saat ini dia belum menemukan kalimat yang pas untuk membuka obrolan.

Nala ingat semalam ketika menghadap cermin dia tak setegang ini. Di depan cermin itu dia menemukan wajahnya yang kusam, mungkin terlalu banyak diterpa asap kompor dan uap air. Bahkan dia dapat melihat jelas tangannya yang sebagian tak mulus karena goresan pisau dapur dan bekas lepuh wajan. Tetapi lewat cermin itu pula dia menemukan dorongan untuk berbuat sedikit nekat hari ini.

Sesuai rencana Nala berhasil membawa Gamal ke rooftop kantor. Dari ketinggian itu mereka dapat melihat apa saja. Bahkan mereka sama-sama menikmati tiupan angin yang memukul-mukul. Sialnya, jarak antara mereka yang tak kurang dari sepuluh senti sukses menciptakan sesak di dada Nala.

"Kau tampak aneh sekali hari ini." ucap Gamal sambil mengacak-acak rambut Nala.

"Masa sih?" Nala memperhatikan dirinya. "Apa penampilanku terlihat buruk?"

"Sedikit!" Gamal menghapus keringat di dahinya. "Dan kurasa ini bukan Nala yang kukenal!"

"Aku berdandan seperti ini demi kau—eh, maksudku demi terlihat lebih bagus. Aku bosan menggunakan apron melulu."

"Usaha yang patut dihargai. Tapi serpertinya kau tidak berhasil."

Nala memainkan jarinya. "Bolehkah aku bertanya padamu?" Pelan-pelan sekujur tubuhnya gemetaran.

"Boleh, tapi... jangan susah-susah ya seperti soal ujian," Gamal setengah bergurau.

"Apakah wanita bisa mendahului pria?"

"Soal kematian maksudmu?" canda Gamal, lalu menyadari omongannya benar-benar tidak lucu. "Wanita bisa kok mendahului pria. Sekarang kan zaman emansipasi."

"Bahkan untuk semua urusan?"

Gamal setengah mengangguk.

"Juga soal cinta?" Nala memastikan lagi.

"Tentu saja!"

Nala menarik napas. Dia lumayan lega mendengar pendapat Gamal. Sejenak wanita itu mengenang hari-hari yang dia lewatkan bersama pria itu. Satu demi satu gambar Gamal memutar slide di kepala. Gambar kocak, lucu, menawan, cuek, perlente, gagah dan sesekali konyol. Nala begitu nyaman mengikuti setiap perpindahan-perpindahan gambar Gamal di memori kepala. "Sekarang, bolehkah wanita ini mendahului pria yang berdiri di hadapannya?" Nala yakin sekali berkata demikian.

"Maksudmu?" tanya Gamal penasaran.

"Aku ingin mendahuluimu untuk mengatakan—" Nala sulit menyempurnakan kalimatnya. Dia lantas merenung sesaat. "Kau tahu, dengan kebersamaan kita selama ini, aku merasa cukup banyak mengenalmu. Meski kuakui proses pengenalan kita mungkin terlalu singkat. Tapi, aku selalu meyakinkan diri, bahwa dirimulah orang yang paling tepat. Paling tepat untuk kujadikan sandaran hidup, sekarang dan mungkin selamanya," Nala menenangkan diri sejenak.

"Kau menembakku?"

Nala menatap bola mata Gamal dengan saksama. Lama. "Gamal, aku ingin sekali menjadi pasangan hidupmu," katanya setengah berbisik.

Gamal bingung. Tak ada jawaban yang keluar. Namun pelan-pelan dia mengerti kenapa Nala bertanya soal pantaskah wanita dapat mendahului pria. Pria itu lantas mengusap-usap telapak tangannya. Nala, harus kuakui.... aku memang terpesona padamu. Tapi haruskah aku mengatakan aku sudah memiliki cinta yang lain?

"Jadi apa jawabanmu?" tanya Nala hati-hati.

Gamal membisu.

Yakinkan aku Tuhan keputusanku benar hari ini, tutur Nala dalam hati. Dia bahkan menyesali diri karena telah melakukan pengakuan paling blakblakan seumur hidup. Nala menjadi tak sabar menunggu. Sayang, ekspresi Gamal tetap tertegun dengan sorot mata yang sulit ditebak maknanya.

---

Sudah lima belas menit yang lalu Alia berada di kantor PAS. Dengan penuh semangat dia mencari Gamal di setiap ruang divisi. Sialnya, dia tak menemukan pria itu dimana pun. Begitu berhadapan dengan anak tangga di lantai dua, keinginan mencari Gamal langsung menggiringnya menuju rooftop.

---

"Wah wah, kau kelihatan senang ya bermain drama dengan tunanganku."

Suara itu terdengar tajam. Nala dan Gamal kompak terkejut. Mereka tak mengira kalimat itu melayang dari arah belakang.

"Tunangan? Alia?" pekik Nala pelan. Sejak kapan wanita itu berada di sana. Pelan-pelan Nala mendekatkan jaraknya dengan tubuh Gamal, "Apa benar kau dan Alia bertunangan?" tanya Nala lirih. Ia masih tak percaya. Tak mendapat reaksi dari Gamal, wanita itu langsung terkulai lemas.

Dari belakang Alia melangkahkan kaki dengan cepat. Ketukan sepatunya bahkan terdengar jelas. Matanya berapi-api. Tak ingin dicundangi oleh Nala, Alia segera berdiri di antara mereka. Dia sengaja melakukannya untuk membuat jarak antara wanita itu dengan tunangannya.

Nala tahu dia berada di posisi yang sulit. "Maaf, aku tak berniat menggoda tunanganmu," Nala membela diri.

"Kau bohong, aku mendengar semua percakapan kalian," Alia mencecar.

Nala tergeragap sebentar. "Selama ini aku tak pernah tahu kalau Gamal sudah bertunangan. Apalagi mengetahui bahwa kau tunangannya Gamal."

"Kau pandai mencari alasan. Mana mungkin selama ini kau tak tahu status Gamal! Hanya orang piciklah yang menghalalkan segala cara demi merebut kekasih orang. Untunglah aku tak bodoh membiarkan kau lebih lama memengaruhi tunanganku, di sini!"

Nala tersungkur dalam pedih. Dia kehilangan kata-kata.

Gamal yang menahan emosi akhirnya angkat bicara. "Sudah puas kau menuduh Nala?" Dia memegang tangan Alia yang gemetaran. "Kau tak pantas menyalahkannya."

"Lepaskan aku." Alia berusaha meloloskan tangannya dari cekalan Gamal. "Asal kau tahu, wanita dengan modus seperti dia kini makin banyak!"

"Tolong jangan samakan Nala dengan wanita-wanita yang kau kenal di metropolitan!" Gamal mengingatkan.

"Kok kamu malah membela Nala? Lihat dia kampungan sekali." Alia akhirnya menunjukkan sifat aslinya—monster fish. "Make-up dan selera fashion-nya sangat memalukan. Bahkan tak ada yang patut dibanggakan dari kebiasaannya di dapur."

Nala mengepalkan tangan. Perdebatan antara Gamal dan Alia semakin menyuduti keberadaannya di sini. Disinggung masalah fashion, membuat apa yang dia kenakan hari ini terasa percuma. Nala melepas high heels lalu spontan melemparkan tas ke lantai hingga benda itu terpantul jatuh, menjangkau halaman parkir kantor. Dengan sempoyongan Nala memundurkan langkah kaki, satu per satu. Dia benar-benar tak nyaman berada satu area dengan kasta-kasta tinggi metropolitan.

Gamal menatap Alia. "Kenapa kau selalu mengukur orang dengan apa yang mereka kenakan?" Gamal coba memelankan suara.

"Kau menyalahkan aku?"

Gamal tertawa sinis. "Kau sangat kekanak-kanakan hari ini." Gamal berjalan di belakang tubuh Alia. "Mungkin kau tak akan pernah tahu betapa bersalahnya Nala dalam posisi tadi!"

"Aku hanya ingin menyelamatkan hubungan kita!"

"Namun caramu salah!" Gamal menekan kata-katanya. "Empat tahun, hari ini hubungan kita terasa sia-sia. Tampaknya aku harus memikirkan ulang pertunangan kita." Gamal mulai beringsut, menjauh dari Alia.

"Kau ingin mengakhiri hubungan kita?"

"Sepertinya," Gamal berhenti sebentar.

Alia kaget seketika. Mengetahui Gamal semakin menjauh, wanita itu cepat-cepat menginterogasi, "Kau mau kemana?"

"Mengejar Nala. Aku harus meluruskan semuanya," teriak Gamal di ujung pintu menuju tangga turun.

"Pergilah, kejar saja wanita itu!" balas Alia tak kalah kencang.

Gamal tak peduli, dia menuruni anak-anak tangga. Dan hilang dari rooftop.

---

Alia kini sendirian di rooftop. Dia tampak tertunduk.

"Asal kau tahu, aku muak denganmu, dengan kehidupanmu yang aneh ini. Gamal kau tak berselera," Alia bicara sendiri. Suaranya membahana di rooftop. Kesan sedih sungguh tak tersirat di wajahnya. "Hahahaha, kau keliru mengejar Nala, apa yang kau harapkan dari wanita bau asap itu?" Alia menertawakan pilihan tunangannya. "Gamal kau bodoh! Bodoh sekali, kau bahkan tak pernah tahu aku sudah tidur dengan Dunno."

"Sayangnya aku mendengar apa yang kau ucapkan." Gamal kembali di anak tangga paling atas.

Alia terkejut setengah mati. Tawa-tawanya langsung beterbangan di udara. Pria yang dia puja selama empat tahun, tahu bukti kejahatan yang dia lakukan. Alia menegang takut. Wajahnya kalut dan penuh dosa. Sesaat bibirnya kelu, sulit melakukan pembelaan di hadapan tunangannya.

Gamal kemudian membalikkan badan dan kembali menuruni anak tangga. Langkah-langkahnya loyo dan tidak bersemangat.

***

"Matamu bengkak, kau habis nangis?" ucap Dunno kaget. Dia mendapati Nala di depan pintu rumah.

Wanita itu terlihat berantakan. Sheath dress yang dikenakannya kini lusuh. Beberapa bagian terdapat lipatan-lipatan acak, jelek sekali. Hidungnya memerah dan desahan napasnya terdengar buruk. Sambil menekuk kepala, dia meremas-remas jari. Meski sedikit menggigil anehnya Nala betah membiarkan kakinya tanpa alas kaki.

"Masuklah," tawar Dunno.

"Tidak, aku ingin di sini saja," tolak Nala.

Dunno membuka kancing kemeja, satu per satu. Dia tak keberatan hanya mengenakan singlet. Pelan-pelan dia menyampirkan kemeja di pundak Nala. Mereka akhirnya memutuskan duduk di halaman depan dengan menekuk lutut. Dunno ikut-ikutan menanggalkan sandal. Di bawah langit yang penuh bintang, mereka berbahasa dalam hening. Dunno ingin sekali bertanya namun bengkak di mata Nala membuatnya mengurungkan niat. Dunno iba. Andai dirinya dapat menjelma sebagai misbah setidaknya hanya untuk menerangi duka Nala malam ini.

Lama terdiam Dunno merasa perlu membelai rambut Nala. Tetapi ia tak cukup punya nyali. Begitu siap mencoba mengangkat tangan, keberaniannya ciut kembali. Beberapa kali mencoba hasilnya tetap gagal. Begitu seterusnya hingga tak sengaja Nala memergoki tangan Dunno. "Kau mau apa?"

"Maafkan aku. Aku kasihan padamu," jawab Dunno setengah kikuk. "Bolehkah aku membelai rambutmu?"

Nala heran.

"Jangan salah sangka. Aku hanya ingin menghibur," jelas Dunno takut-takut.

"Silakan, saat ini aku memang butuh sandaran."

"Tidak, aku memilih batal saja!" Dunno meletakkan telapak tangannya di dasar halaman. Dunno mengutuk dirinya sendiri. Bukankah ini kesempatan yang dia tunggu sejak dulu? Mengapa menolak membelai rambut Rapunzel dari negeri timur ini? Oh Tuhan, urusan belai-membelai rambut tak sesederhana yang dipikirkan, aku akan terlihat seperti pencari untung yang menari di atas duka orang lain.

"Kenapa kau tak pernah bilang, kalau Gamal sudah bertunangan?" akhirnya Nala mengeluarkan pertanyaan itu.

Dunno mencoba santai. "Aku—"

"Kau sengaja menyembunyikan hal ini dariku?"

"Kau tak pernah bertanya padaku. Lagi pula kurasa itu tak baik untukmu!"

"Tak baik untukku?"

"Ya, karena mungkin saja, kau menyukai Gamal. Sehingga kurasa memberi tahu akan membuatmu patah hati."

Nala terdiam sesaat. "Kau benar dan kini aku mengalaminya."

Dunno lantas merogoh ponsel di saku celana. Dia mencari aplikasi twitter, lalu menulis sebuah kalimat, ....sepertinya tadi siang, kenyataan telah menyapanya. Setelah sukses mem-posting status tersebut, Dunno kembali fokus pada omongan terakhir dari Nala. "Serius?" Dunno pura-pura kaget.

"Aku tak menyangka, tadi siang harus menelan pil pahit. Di hari yang kupikir akan jadi sejarah, ternyata segalanya hancur. Aku harus rela menerima pria yang kusukai sudah bertunangan dengan orang lain."

"Maaf, aku ikut menyembunyikan status Gamal."

"Tak usah merasa bersalah." Nala berdiri. "Tadi siang aku mengungkapkan perasaanku pada Gamal. Berharap menjadi putri di atas gedung, ternyata aku adalah upik abu. Upik abu yang harus mengalah kepada Kate Middleton," Nala menertawakan dirinya sendiri. Sebagai orang normal dia agak sedikit stres sekarang. Impiannya berakhir pada negatif film yang tak pernah menghasilkan foto bahkan untuk kualitas buruk.

Dunno ikut bangkit.

Nala kemudian bercerita panjang lebar tentang situasi yang terjadi. "Barangkali Alia benar soal diriku. Aku bahkan tak mengerti tentang tulang pipi, sudut mata, atau highlight pada hidung."

"Tapi kau tak seburuk Alia."

"Terima kasih," ucap Nala pendek. "Aku hanya bisa mengambil pelajaran dari kejadian tadi. Bahwa di dalam persahabatan, kita tidak boleh menyembunyikan satu hal penting pun. Kita harus terbuka. ... dan kini aku berharap keterbukaan selalu ada di dalam persahabatanku mulai dari detik ini."

Dunno mencerna baik-baik omongan Nala. "Kau yakin tak boleh ada yang disembunyikan dalam persahabatan?" Dunno memastikan.

"...."

"Kalau begitu aku harus jujur. Sebenarnya aku menyukaimu sejak kuliah."

"Hah?" pekik Nala setengah tak percaya. "Kau bercanda?"

"Katamu tak ada yang harus disembunyikan dari persahabatan. Apa aku terlihat seperti sedang berbohong?

Nala berseri-seri. Oase tak terduga rupanya datang dari yang orang yang disepelekan. "Kenapa tak pernah bilang dari dulu!"

Dunno menyerempet bahu Nala dan berbisik mesra, "Aku tak berani."

"Astaga, kau pengecut sekali," ledek Nala sambil tertawa pelan.

***

Gamal berdiri di depan pintu cokelat. Dia berusaha meraih handle pintu. Ketika siap memutar handle dia setengah ragu. Lalu memutuskan menjauhkan tangannya dari benda itu. Perlahan-lahan Gamal mundur. Di hitungan ke tiga dia menghentikan langkah. Sesaat dia menatap sekilas rumah yang sudah menampungnya beberapa waktu itu. Pandangannya kuyu dan tak bersemangat.

Gamal kemudian memutar arah. Dia menuju jendela rumah yang berada di samping. Lewat jendela dia leluasa menatap ke dalam rumah. Beberapa menit mengawasi, Gamal tak melihat siapa pun, termasuk Alia target yang ingin dilihatnya pagi ini.

Terpaksa Gamal kembali menggenjot langkah ke pintu cokelat. Kali ini dia berani membuka pintu tersebut. Wajah pertama yang dia temui adalah Tante Erin. Gamal hanya memberi sapaan basa-basi—entah apa yang akan dia sampaikan. Membocorkan pertengkaran di rooftop kantor PAS? Rasanya tidak, Gamal tidak ingin melibatkan orang lain.

Tante Erin langsung mencecar. "Ya ampun, Mal dari mana saja kau?" Tante Erin seperti kehilangan anak semata wayang.

Gamal hanya mampu tersenyum.

"Kenapa kau menghilang tiga hari ini?"

"Tante aku haus, aku ingin ke dapur," Gamal tak menceritakan apa pun. Kabur ke dapur mungkin bisa jadi ide yang bagus untuk menghindar, walau dia tahu Tante Erin tak bisa mendiamkan hal ini.

Gamal meletakkan tas di atas meja. Cepat-cepat dia membuka kulkas, mencari botol air. Tanpa pikir panjang dia langsung menenggak.

"Kau belum menjawab pertanyaan tante." Tante Erin ternyata mengekorinya. Wanita itu melipat tangan di dada.

"Tiga hari ini, aku membantu seorang teman di sebuah rumah belajar," bohongnya spontan.

"Tapi mengapa harus mematikan telepon selama itu."

"Aku lupa membawa charger Tante." Gamal meletakkan botol di atas meja. Dia meraih tas dan memasang setengah di pundak. "Aku ke kamar dulu, sepertinya aku butuh istirahat." Gamal melewati Tante Erin. Kemudian tanpa membalikkan badan, dia menyampaikan pesan pada Tante Erin, "Kalau nanti Alia bangun, bilang padanya aku sudah memaafkannya."

"Tante tak bisa menyampaikan hal itu."

Gamal segera memutar tubuhnya. "Apa dia ingin mendengar langsung permintaan maaf dariku?"

"Bukan karena itu. Tante tak bisa menyampaikannya karena Alia sudah pergi."

"Maksud Tante, dia sudah kembali ke Jakarta?"

"Ya kemarin, dengan penerbangan sore. Seharusnya kau sudah tahu apa yang akan terjadi setelah pertengkaran kalian."

"Alia membicarakan pertengkaran kami?"

"Sedikit." jawab Tante Erin pendek. "Hari itu, sepulang dari kantor PAS, Alia langsung mengunci diri di kamar. Tante berusaha menenangkan Alia. Sayang sepanjang malam yang bisa dia lakukan hanyalah menangis. Tante dan Alia kemudian berusaha menghubungimu. Apa daya ponselmu mati, dan kau seperti hilang ditelan angin." Tante Erin menarik kursi dan duduk.

"Jangan ke kamar dulu. Duduklah." Tante Erin menunjuk satu kursi.

Gamal kembali ke meja dan menempati kursi yang ditunjuk.

"Kalian sudah sama-sama dewasa. Seharusnya kalian bisa saling menjaga perasaan masing-masing."

Gamal mencoba mendengarkan.

"Pertunangan bukanlah perkara main-main, ini tak seperti menyusun puzzle. Dalam memutuskan sesuatu, baik kau maupun Alia harus dipikir matang-matang. Sebab ketika kau kehilangan kepercayaan karena salah memutuskan, kau akan sulit mendapat simpati dari orang lain."

Gamal terdiam.

"Tante rasa kau belum terlambat meminta maaf padanya."

Dan nasihat-nasihat Tante Erin hari itu memaksa Gamal merenung. Ketika tiba di kamar, Gamal sempat heran dengan keberadaan akuarium. Sudah pasti yang memindahkan akuarium ke sini adalah Alia. Gamal lalu pelan-pelan menyentuh benda itu. Dengan spontan dia memasukkan jarinya ke dalam air dan membuat pusaran. Sesekali dia menyentuh dua oranda yang berada di dalam. "Ikan mas," katanya seperti mengembus napas.

***

Jakarta, sore hari...

Alia sering murung belakangan ini. Di kursi yang menghadap jendela kamar, dia berusaha melenyapkan kemelut yang mengerubungi otak.

Dia mengingat-ingat restu Ibunda Gamal yang dia dapat sebelum mengunjungi tunangannya. Apa jadinya jika calon mertuanya itu tahu segala hal yang terjadi di Ambon? Apa yang harus dia jelaskan? Insiden di Kantor PAS benar-benar merebut ketenangan jiwanya. Apa pertunanganku harus benar-benar berakhir? Mungkin, Alia meratapi kenyataan. Selama ini Alia tak mampu membaca kehidupannya yang serba mewah dan akrab terhadap barang bermerek sepertinya memang timpang dengan Gamal yang biasa saja.

***

Nala yang baru saja sampai di Rumah Belajar Hati terlihat sedikit keberatan menggendong sebuah boks. Meski begitu dia sempat memberikan senyum dan sapaan hangat kepada semua orang yang berada di rumah panggung itu.

Dunno tak mengerti. Bingung mendapati perubahan drastis pada Nala. Bagaimana mungkin sedih di malam curhat itu bisa lenyap dari wajah Nala secepat ini. Atau mungkin benar wanita kadang serupa hujan, tak terprediksi. Mereka bisa berhari-hari dalam posisi yang menyenangkan dan semenit saja bisa langsung menangis. Bisa murung di malam hari dan kemudian tertawa ketika menjelang pagi. Wanita adalah sebuah cuaca aneh di musim panas.

Dengan sigap Dunno merebut boks dari tangan Nala lalu meletakkannya di dekat meja. "Coba tadi kujemput, mungkin kau tak akan susah-susah membawa boks ini."

"Aku tak ingin merepotkanmu," ujar Nala. Wanita itu lantas mencari tisu di dalam tas, lalu mengelap keringat di dahi.

Boks yang dibawa Nala ternyata berisi beberapa peralatan menulis dan beberapa buku baru. Setelah membagi-bagikan peralatan menulis, Nala dan Dunno memutuskan menjauh dari Rumah Belajar Hati.

Mereka kemudian menuju sebuah pohon kapuk randu. Pohon itu sangat rindang, sebagian cabangnya masih terlihat kokoh. Nala memperhatikan saksama pohon besar ini. Serat kapuk yang berjatuhan, seakan-akan menciptakan suasana salju. Dan Nala menyukainya. Dunno lalu menjatuhkan ilalang-ilalang yang berada di bawah kapuk randu. Tanpa pikir panjang pria itu berbaring di situ.

"Berbaringlah," ajak Dunno.

Nala berpikir sebentar sebelum akhirnya ikut berbaring. "Tadinya kupikir kau datang bersama Gamal."

Mendengar nama Gamal, Dunno terdiam sesaat. Pria itu lantas melipat tangan di belakang kepala. "Apa kau berharap bertemu dengannya di sini?"

"Tidak juga, lagi pula setelah kejadian itu dia tidak pernah menghubungiku lagi."

"Apa dia sudah meminta maaf padamu?"

Nala terdiam sesaat. "Yang salah itu aku. Aku yang harus meminta maaf. Bukan Gamal!"

Oh, Nala kau bahkan rela menyalahkan dirimu sendiri untuk sebuah luka yang tak kau goreskan, bangga Dunno dalam hati. Pria itu kini memperhatikan Nala yang sibuk menangkap kapuk-kapuk yang berjatuhan.

"Kau tahu, aku kaget malam itu," cetus Nala dengan topik obrolan yang berbeda. "Ternyata selama ini diam-diam kau menyukaiku."

"Aku malah lebih kaget ketika melihat matamu bengkak," balas Dunno setengah meledek.

"Kau ini!" Nala mendorong lengan dunno.

Tubuh Dunno terguncang-guncang menahan tawa. "Jadi bagaimana, kau mau menerima aku?"

"Huft... Dunno, jangan membuat aku bimbang!"

Di bawah kapuk randu Dunno dan Nala dapat mendengar kolibri yang berkicau-kicau. Menghitung jumlah kupu-kupu yang hilir mudik. Dan menyaksikan awan yang bergerak. Setidaknya sampai senja menyapa, mereka sama-sama tidak ingin kebersamaan ini cepat berlalu.

***

Gamal memegang akar rambut. Dia tersenyum tipis, bagaimana bisa dia memutuskan mencepak rambutnya. Oh, aku rindu rambut ikalku. Tak lama dia memperhatikan kemeja yang dia kenakan. Sembari tertawa Gamal menyadari pakaian ini mungkin akan menjadi pakaian wajibnya sehari-hari. Akan semakin banyak memenuhi isi lemari. Dan jeansku? Gamal tahu semakin hari dia semakin melupakan hasratnya menggunakan jeans yang robek di lutut. Citra baru Gamal ini adalah hasil rekayasa chef muda itu secara tidak langsung. Gamal ingat pertama kali datang penampilannya mirip preman, dan kini dalam waktu singkat dia bisa berubah menjadi Jason Momoa.

Di kursi Gamal tetap bengong. Dia tak memedulikan Tante Erin yang tengah sibuk dengan ikan-ikan di hadapannya. Gamal masih memikirkan Nala. Memikirkan keadaan wanita itu sekarang. Apa Nala masih terluka? Bagaimana bila senyum di bibirnya hanya sebuah ilusi demi mendamaikan hati yang sebetulnya menyiksa batin. Gamal merasa bodoh kemudian karena tak mampu mengutarakan maaf kepada wanita itu.

Gamal mengambil telepon genggam di saku. Buru-buru dia mencari aplikasi message, lalu menulisi beberapa kalimat, Aku yakin mungkin saat ini kau sakit hati. Tapi aku mohon, maafkanlah aku dan Alia. Setelah merasa pas dengan kalimat itu Gamal mengirimkan pesan ke kontak Nala.

Tante Erin mendekati Gamal. "Ada yang sedang kau pikirkan?" Wanita itu memegang sekantong pelet.

"Tidak ada," Gamal berbohong. Lalu dia merebut kantong pelet dari tangan Tante Erin, dan menuju akuarium. Tadi pagi memang Gamal sengaja memindahkan kembali akuarium ke ruang tengah. "Tan, apa Tante bisa membantuku merawat ikan-ikan ini?"

"Tentu saja!"

Gamal lega, Tante Erin bersedia merawat ikan-ikan ini setidaknya ketika dia tak berada di rumah. Lagi pula setelah kepergian Alia mungkin dua oranda ini membutuhkan tangan wanita lain. Dan entahlah hari itu Gamal merasa kegiatan mengirim pesan dan memindahtangankan ikan mas, sedikit mengangkat beban dari pundaknya.

.....bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro