BAB 03 Ⅱ Artha

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ARTHA
Tiga hari setelah pemungutan suara, sembilan puluh persen-sekitar empat puluh orang-calon anggota OSIS dikumpulkan di ruangan OSIS. Empat puluh, termasuk aku, dan lima calon anggota inti lainnya yang minggu depan akan benar-benar resmi menjabat sebagai anggota inti utama OSIS. Sore ini, hanya ada pengumuman singkat perihal kegiatan LDKS yang akan dilaksanakan Jum'at besok.

Menyadari harinya semakin dekat membuatku merasa semakin gugup, semakin deg-degan, dan membuatku ... sedikit takut juga. Tiap hari tiap malam aku berdoa supaya kegiatan tersebut berjalan dengan lancar, dan berakhir membuatku tersenyum selebar-lebarnya.

Aku hanya memiliki hari Jum'at pagi tersisa sebelum LDKS dilaksanakan sore harinya.

"Ar, nih punya lo," Jaka melemparkan plastik bening dengan label nama Artha ke arahku begitu aku berbalik badan. Aku menggapai plastik berisi kaus biru muda tersebut. Hanya sebuah kaus seragam OSIS yang harus kukenakan di hari LDKS nanti, dan ketika ada acara-acara sekolah tertentu. Sambil membolak-balikkan plastiknya, kusadari Jaka sudah berjalan lebih cepat, dan mengimbangi langkahnya denganku, "Pulang sama siapa?"

Aku mengerlingkan mataku, "Ya sendiri, lah. Kan udah enggak ada Gheo," jawabku enteng sambil memasukkan plastik kaus tadi ke dalam tasku. Dan, sudah kuduga kalau ujungnya, aku akan pulang bersama Jaka. Lagi pula, rumah kami benar-benar searah, meskipun jarak rumahku lebih jauh daripada rumah Jaka.

Kami terus jalan seiringan hingga tiba di halte Matraman 1. Aku menghela napas berat. Kuakui ini sangat terpaksa, sebenarnya. Meskipun aku bisa menolak untuk tidak pulang bersama Jaka, sih. Tapi, tetap saja kan, kami pasti akan naik di satu bus yang sama, jadi aku tidak punya alasan untuk memilih pulang sendiri.

Jujur saja, aku tidak begitu menyukai laki-laki yang sejak setahun lalu duduk di kelas yang sama denganku ini. Bukan, aku bukannya tidak menyukainya karena ia bersaing denganku di pemilihan ketua OSIS, tapi aku memang tidak menyukainya. Bahkan, jika mengingat apa yang pernah terjadi setahun lalu, aku malah geleng-geleng kepala saat ingat, bahwa kini, Jaka ditunjuk sebagai kandidat ketua OSIS.

Jadi, setahun yang lalu, di hari pertama masuk sekolah, saat aku, Jaka, dan semua warga sekolah seangkatanku masih mengenakan rok biru dan kemeja putih berlogo OSIS warna kuning, aku melihat laki-laki dengan name tag Jaka Almi Syahidan ini di halte Flyover Raya Bogor. Aku ingat, saat itu kami sama-sama tidak tahu harus naik bus TransJakarta yang mana, ke arah mana, lalu turun di mana.

Akhirnya, Jaka dan aku pergi bersamaan pada hari itu, dan beruntungnya, kami tidak hilang di ibu kota. Aku bersyukur masih bisa hidup aman karena tidak hilang bersamanya. Tapi tidak sampai situ. Setelah mengucap syukur tiada henti, laki-laki menyebalkan yang berkedok malaikat ini rupanya mengerjaiku.

Ketika tiba di halte Matraman 1, saat itu Jaka langsung berlari meninggalkanku ketika aku tengah celingukan memandangi jalan raya di sekitar halte tersebut. Ia berlari secepat-cepatnya yang ia mampu, sampai aku harus menghabiskan tenagaku di pagi buta itu hanya untuk mengejar laki-laki sialan ini. Dan yang lebih menyebalkannya lagi, begitu tiba di depan gerbang SMA Saka, ia tersenyum lebar hingga kelereng di balik lensanya itu menyipit, lalu ia berkata, "Capek, ya? Salah sendiri ngejar-ngejar gue. Kenapa emangnya? Lo takut hilang kan di sini?" sambil tertawa girang sekali.

Dan dari momen itulah aku mulai membencinya. Apalagi ketika menyadari bahwa laki-laki ini berada di kelas yang sama denganku, dan kelas tersebut, tidak akan diacak sampai tahun terakhir kami di SMA Saka.

"Ngelamun mulu lo! Itu busnya udah dateng, Ar," Jaka sekonyong-konyong menepuk tangannya di depan wajahku, jelas membuatku langsung terkejut bak mendengar suara petasan yang secara tiba-tiba dilempar, lalu meledak-ledak. Lamunanku langsung buyar di detik yang sama. Lalu, sebelum kernet di depan pintu tersebut masuk dan menginstruksikan sopir untuk menutup pintu, aku langsung berlari masuk ke dalam bus, disusul oleh Jaka. Laki-laki itu mengangkat tangannya, mencengkeram pegangan di atas kepalanya. Matanya memandang lurus ke arahku, lalu bertanya, "Lo ngelamunin apaan sih? Dipanggil-panggil enggak nyadar juga."

Aku menggelengkan kepalaku, kemudian turut menggapai pegangan di atas. "Bukan urusan lo." Jaka kemudian mengedikkan bahunya, dan aku berbalik sehingga posisiku membelakanginya.

Aku berdesah berat. Segera kupasang earphone ke telinga, kemudian menikmati musik selagi bus berjalan dengan cukup lancar ke arah halte Kampung Melayu. Perjalanan pulang yang datar, seperti sore-sore lainnya: bus TransJakarta, pemandangan jalan raya yang itu-itu saja, Jaka yang kerap berdiri atau duduk di sebelahku, dan keadaan penuh sesak bus.

Jaka dan aku turun bersamaan ketika bus sudah berhenti di halte Kampung Melayu, dan pintunya sudah terbuka. Satu per satu penumpang dulu-duluan keluar, lalu mengejar bus selanjutnya, atau keluar dari halte. Termasuk Jaka dan aku yang langsung berlari ke arah pintu koridor tujuh, dan langsung masuk ke bus yang agak sepi itu.

Thank God, kami mendapatkan kursi duduk. Meskipun harus duduk tepat di sebelahnya. Aku menyandarkan punggungku ke belakang, kemudian membuka ponselku, membaca-baca notifikasi, membalasnya satu per satu, kemudian perlahan-lahan beralih ke aplikasi-aplikasi yang ada di ponselku. Sementara Jaka, jika kulihat ke sebelah kiri, laki-laki ini tampak sudah bersandar ke belakang, dan matanya terpejam.

Aku abai dengannya yang hendak menikmati tidur sore di bus. Kugerakkan jemari-jemariku dengan lincah, berbalas pesan dengan Gheo di seberang.

Gheovino Pratama : Lg di jln, Bil?

Artha Risabilla : Iya. Btw jum'at ldks. Udah tau kan?

Gheovino Pratama : Iya, Bil. Gue udh dikabarin pak Hasan

Baru saja aku ingin membalas pesan tersebut, tiba-tiba bahu kiriku terasa berat. Baru lima menit bus berjalan, Jaka sudah tampak menikmati tidurnya, dan sekarang malah bersandar ke bahuku, entah ia sadar atau tidak.

Beberapa helai rambutnya membuatku merasakan geli di leher, tapi, mau bagaimana lagi, aku hanya akan merasa tidak enak jika membangunkan Jaka. Meskipun aku sangat benci terhadapnya, tapi tetap saja, aku tidak akan membangunkannya secara paksa, lalu berkata kurang lebih seperti: "Enggak usah minjem bahu gue buat tidur!"

Tidak akan. Meski banyak orang berpendapat bahwa aku adalah gadis yang galak, tapi aku juga masih memiliki rasa manusiawi, tahu. Aku tahu bagaimana rasanya ketika kantuk berkecamuk, menyentak untuk segera tidur, tapi tidak ada tempat bersandar. Yah, aku memiliki pengalaman banyak tentang hal tersebut. Apalagi ketika aku merasa begitu mengantuk di kelas, dan merasa sial ketika aku tidak membawa jaket atau sweter untuk kujadikan bantal di atas meja.

Aku mengembalikan fokusku ke ponsel, membaca ulang pesan dari Gheo tadi, kemudian melanjutkan kegiatanku yang sempat terhenti: mengetikkan balasan.

Artha Risabilla : Lo dateng, kak?

Gheovino Pratama : Gue diundang buat dateng, Bil. Jadi enggak bakalan gue bikin pak Hasan kecewa dengan cara bilang gue berhalangan hadir. C u!

Aku tersenyum kecil. Menurutku, Gheo adalah tipikal laki-laki yang lucu, manis, serta romantis. Memang, sih, aku bukan siapa-siapanya. Hanya sebatas adik dan kakak kelas, dan tidak lebih dari itu. Sejak empat tahun yang lalu, Gheo sudah tahu, bahwa aku menyukainya. Lalu sekarang, Gheo sudah tahu, bahwa aku ... mencintainya.

Aku sesekali cengar-cengir ketika membaca pesan-pesan dari Gheo. Bahkan, saking asyiknya, aku sampai tak sadar ketika Jaka sudah mengangkat kepalanya sehingga bahuku tidak terasa berat lagi. Aku hanya melirik-lirik sedikit ke arah Jaka. Ia langsung mengeluarkan ponselnya, kemudian mengotak-atiknya. Dan kami sama-sama hening, sampai bus berhenti di salah satu sisi halte Flyover Raya Bogor, dan kami pun turun.

Jaka dan aku masih jalan berbarengan sampai keluar dari halte. Ia akan langsung berbelok masuk ke gang rumahnya, sementara aku masih harus menumpang satu angkutan umum lagi untuk tiba di rumah. Tepat sebelum Jaka berbelok dan pisah, ia menyungging senyum ke arahku, menunjukkan lesung pipit yang dimilikinya di pipi kirinya, "Makasih bahunya ya, Ar."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro